Rabu, 13 Juni 2012

Mengapa Sebagian Ulama Meriwayatkan Hadits Dla'if atau Maudlu' ?


Sebagian di antara kita mungkin pernah menemui di beberapa kitab para ulama yang memuat hadits-hadits dla’if bahkan palsu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi dimana kesemuanya itu dapat terangkum dalam tujuh sebab utama, yaitu :

1.      Beberapa ulama memandang bahwa jika ia meriwayatkan hadits maudlu’ beserta sanadnya, maka mereka terbebas dari tanggung jawab, karena mereka merasa tidak menipu kaum muslimin dan para ulama lainnya. Ia hanyalah menuliskannya untuk mereka sebuah hadits lengkap dengan sanadnya sehingga para penuntut ilmu dapat membahas dan menelitinya hingga mencapai kesimpulan yang diharapkan. Pendapat ini dikutip oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Lisaanul-Miizaan [1] ketika menjelaskan biografi Al-Imam Ath-Thabarani, penulis tiga kitab Mu’jam.
2.      Para ulama yang menuliskan hadits-hadits dla’if atau maudlu’ ini merasa khawatir akan hilangnya sebagian ilmu pengetahuan. Namun tindakannya ini membuat samar sebagian orang yang kemudian menganggapnya sebagai hadits shahih. Mereka menuliskan hadits-hadits ini dalam rangka menjaga semua ilmu yang sampai kepadanya, sekalipun di dalamnya ada cacat, namun hal ini dilakukan dalam rangka agar ia dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik. Keterangan ini dikutip oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ketika membicarakan beberapa kitab hadits.[2]
3.      Ada yang meriwayatkan hadits-hadits jenis ini dalam rangka memberikan peringatan darinya dan dari kejahatannya. Dengan itu, orang-orang yang membacanya dapat mengetahui hadits-hadits itu adalah dusta yang dibuat-buat, sehingga mereka dapat menghindar dari keburukannya. Hal ini pernah dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruhiin saat menerangkan biografi Jaabir Al-Ju’fi. Ia menyebutkan bahwa Syu’bah pernah meriwayatkan hadits darinya. Ibnu Hibban kemudian menyebutkan bahwa Waki’ pernah menanyakan alasan perbuatan Syu’bah tersebut : “Anda meninggalkan riwayat si Fulan dan si Fulan, lalu kenapa Anda meriwayatkan hadits dari Jaabir Al-Ju’fiy ?”. Syu’bah menjawab :
روى أشياء لم نصبر عنها
“Aku menuliskan riwayat-riwayatnya yang membuat kita tidak sabar terhadapnya (untuk menolaknya dan membuangnya)”.

Muhammad bin Raafi’ pernah melihat Ahmad bin Hanbal duduk di majelis Yazid bin Harun dimana beliau menulis hadits Zuhair dari Jaabir (Al-Ju’fi). Muhammad bin Raafi’ bertanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, Anda melarang kami (meriwayatkan) hadits Jaabir , namun ternyata Anda sendiri justru menuliskannya ?”. Maka beliau menjawab : “Kami mengetahui (kedla’ifan) haditsnya”.[3]
4.      Ada beberapa ulama yang meriwayatkan hadits-hadits jenis ini karena rasa fanatik mereka terhadap satu madzhab, dengan tujuan agar hadits-hadits tersebut mendukung madzhab dan pendapat mereka. Terutama, jika madzhab atau pendapatnya tersebut sesuatu yang membuatnya berani atau terlalu gampang dalam meriwayatkan hadits-hadits ini. Rasa fanatik dapat membuat seseorang dihukumi seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Mu’tamir bahwa tidak ada bedanya antara binatang ternak yang ditundukkan dengan manusia yang ikut-ikutan (taqlid).

Ada beberapa orang yang sadar bahwa pendapatnya tersebut salah, lalu ia mendapatkan sebuah hadits palsu yang dapat menopang pendapatnya, kemudian syaithan meng-hijab (menghalangi) dirinya dari cahaya kebenaran sehingga ia berani menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah dan pendukung pendapatnya.
5.      Ketidaktahuan akan tingkatan hadits tersebut.

Kadang-kadang seorang ulama meriwayatkan sebuah hadits, namun ia bukan termasuk orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai ilmu hadits. Ia meriwayatkan hadits ini dengan anggapan bahwa hadits tersebut shahih atau ia bertaqlid kepada orang-orang sebelumnya. Hal ini merupakan realitas yang nyata bahwa ada sebagian ulama yang menonjol dalam satu bidang ilmu tertentu, namun ia tidak menonjol di bidang ilmu yang lain. Kenyataan ini berdasarkan kecenderungan masing-masing orang. Maka kita akan menjumpai seorang ahli di bidang ilmu nahwu dan bayan, akan tetapi ia tidak banyak mengetahui ilmu hadits. Sebaliknya, kita menjumpai seseorang yang ahli di bidang ilmu hadits, ia mengenal betul mengenai ilmu ’ilal hadits dan sanad-sanad hadits, akan tetapi sering ditemukan kerancuan dalam kalimat-kalimat yang dilontarkannya.

Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkiratul-Huffadh memberikan beberapa ungkapan dan contoh yang cukup bagus dalam hal ini. Misalnya saja ketika beliau menerangkan biografi Al-Hulaimi, seorang ulama madzhab Syafi’iyyah dalam hadits yang berbunyi :
لِصَاحِبِ الْقُرْانِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ خَتْمِهِ
”Seorang yang sering membaca Al-Qur’an memiliki doa mustajab ketika ia mengkhatamkannya”.

Adz-Dzahabi menuturkan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abi ’Ishmah Nuh Al-Jami’ Al-Marwadzi, seorang yang menurut Adz-Dzahabi memiliki segudang ilmu; namun sayangnya haditsnya ditinggalkan orang.

Lebih lanjut Adz-Dzahabi mengatakan :
فكم من امام في فن مقصر عن غيره كسيبويه مثلا امام في النحو ولا يدري ما الحديث ووكيع امام في الحديث ولا يعرف العربية وكأبي نواس راس في الشعر عري من غيره وعبد الرحمن بن مهدي امام في الحديث لا يدري ما الطب قط وكمحمد بن الحسن راس في الفقه ولا يدري ما القراءات وكحفص امام في القراءة تالف في الحديث وللحروب رجال يعرفون بها
”Berapa banyak ulama yang menjadi imam dalam bidang ilmu tertentu namun tidak pada yang lainnya. Seperti halnya Sibawaih, imam dalam ilmu nahwu, namun ia tidak mengerti apa itu hadits. Waki’, imam di bidang hadits, namun ia tidak mengetahui bahasa Arab. Abu Nawas, seorang yang lihai di bidang sya’ir, namun nihil di bidang lainnya. ’Abdurrahman bin Mahdi, seorang imam dalam ilmu hadits, namun tidak mengetahui ilmu kedokteran. Muhammad bin Al-Hasan, seorang imam dalam ilmu fiqh, namun tidak mengerti ilmu qira’at. Hafsh, seorang imam dalam ilmu qira’at, namun tidak memiliki andil dalam ilmu hadits. Intinya, masing-masing medan keilmuan memiliki tokoh-tokoh yang mengerti akan medan tersebut...”.
6.      Ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa banyaknya sanad/jalur periwayatan dapat mengangkat suatu hadits mencapai tingkatan tertentu yang dapat dijadikan hujjah. Kaidah ini pada prinsipnya benar, namun tidaklah berlaku mutlak, karena ada beberapa hadits yang jika dikumpulkan semua jalannya tetap tidak akan mengangkat derajat hadits tersebut sedikitpun. Tidak lain akibat terlalu parahnya status kedla’ifannya. Dan hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang berstatus matruk, dicurigai melakukan kedustaan (muttaham bil-kidzb), atau pendusta (kadzdzaab); maka ia tidaklah bisa terangkat dengan banyaknya jalur periwayatan.
7.      Terlalu gampang dalam menghukumi hadits-hadits yang tidak berkaitan dengan hukum. Terutama mereka yang berlebihan dalam membela pendapat dapat digunakannya hadits dla’if pada perkara keutamaan amal (fadlaailul-a’mal) tanpa memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan para ulama. Hingga ada beberapa ulama yang memasukkan hadits-hadits palsu ke dalam katagori ini.
Itulah tujuh sebab yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Muhammad As-Sadhan hafidhahullah. Semoga ada manfaatnya. Walhamdulillahi rabbil-’aalamiin.
Abu Al-Jauzaa’
Catatan kaki :
[1] Lisaanul-Miizaan, 3/75.
[2] Ar-Radd ‘alal-Bakri, halaman 19.
[3] Al-Majruhiin, halaman 208.










Tidak ada komentar: