Sebagian di antara kita mungkin pernah menemui di beberapa kitab para ulama yang memuat hadits-hadits dla’if bahkan palsu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi dimana kesemuanya itu dapat terangkum dalam tujuh sebab utama, yaitu :
1. Beberapa
ulama memandang bahwa jika ia meriwayatkan hadits maudlu’ beserta sanadnya,
maka mereka terbebas dari tanggung jawab, karena mereka merasa tidak menipu
kaum muslimin dan para ulama lainnya. Ia hanyalah menuliskannya untuk mereka
sebuah hadits lengkap dengan sanadnya sehingga para penuntut ilmu dapat
membahas dan menelitinya hingga mencapai kesimpulan yang diharapkan. Pendapat
ini dikutip oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Lisaanul-Miizaan [1] ketika
menjelaskan biografi Al-Imam Ath-Thabarani, penulis tiga kitab Mu’jam.
2. Para ulama yang menuliskan hadits-hadits dla’if atau
maudlu’ ini merasa khawatir akan hilangnya sebagian ilmu pengetahuan. Namun
tindakannya ini membuat samar sebagian orang yang kemudian menganggapnya
sebagai hadits shahih. Mereka menuliskan hadits-hadits ini dalam rangka menjaga
semua ilmu yang sampai kepadanya, sekalipun di dalamnya ada cacat, namun hal
ini dilakukan dalam rangka agar ia dapat membedakan antara yang buruk dengan
yang baik. Keterangan ini dikutip oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ketika
membicarakan beberapa kitab hadits.[2]
3. Ada yang meriwayatkan
hadits-hadits jenis ini dalam rangka memberikan peringatan darinya dan dari
kejahatannya. Dengan itu, orang-orang yang membacanya dapat mengetahui
hadits-hadits itu adalah dusta yang dibuat-buat, sehingga mereka dapat
menghindar dari keburukannya. Hal ini pernah dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu
Hibban dalam kitabnya Al-Majruhiin saat menerangkan biografi Jaabir
Al-Ju’fi. Ia menyebutkan bahwa Syu’bah pernah meriwayatkan hadits darinya. Ibnu
Hibban kemudian menyebutkan bahwa Waki’ pernah menanyakan alasan perbuatan
Syu’bah tersebut : “Anda meninggalkan riwayat si Fulan dan si Fulan, lalu
kenapa Anda meriwayatkan hadits dari Jaabir Al-Ju’fiy ?”. Syu’bah menjawab :
روى أشياء لم نصبر عنها
“Aku menuliskan riwayat-riwayatnya yang membuat
kita tidak sabar terhadapnya (untuk menolaknya dan membuangnya)”.
Muhammad bin Raafi’ pernah melihat Ahmad bin Hanbal duduk di majelis Yazid bin Harun dimana beliau menulis hadits Zuhair dari Jaabir (Al-Ju’fi). Muhammad bin Raafi’ bertanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, Anda melarang kami (meriwayatkan) hadits Jaabir , namun ternyata Anda sendiri justru menuliskannya ?”. Maka beliau menjawab : “Kami mengetahui (kedla’ifan) haditsnya”.[3]
Muhammad bin Raafi’ pernah melihat Ahmad bin Hanbal duduk di majelis Yazid bin Harun dimana beliau menulis hadits Zuhair dari Jaabir (Al-Ju’fi). Muhammad bin Raafi’ bertanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, Anda melarang kami (meriwayatkan) hadits Jaabir , namun ternyata Anda sendiri justru menuliskannya ?”. Maka beliau menjawab : “Kami mengetahui (kedla’ifan) haditsnya”.[3]
4. Ada beberapa ulama yang
meriwayatkan hadits-hadits jenis ini karena rasa fanatik mereka terhadap satu
madzhab, dengan tujuan agar hadits-hadits tersebut mendukung madzhab dan
pendapat mereka. Terutama, jika madzhab atau pendapatnya tersebut sesuatu yang
membuatnya berani atau terlalu gampang dalam meriwayatkan hadits-hadits ini.
Rasa fanatik dapat membuat seseorang dihukumi seperti yang diungkapkan oleh
Ibnu Mu’tamir bahwa tidak ada bedanya antara binatang ternak yang ditundukkan
dengan manusia yang ikut-ikutan (taqlid).
Ada beberapa orang yang sadar bahwa pendapatnya tersebut salah, lalu ia mendapatkan sebuah hadits palsu yang dapat menopang pendapatnya, kemudian syaithan meng-hijab (menghalangi) dirinya dari cahaya kebenaran sehingga ia berani menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah dan pendukung pendapatnya.
Ada beberapa orang yang sadar bahwa pendapatnya tersebut salah, lalu ia mendapatkan sebuah hadits palsu yang dapat menopang pendapatnya, kemudian syaithan meng-hijab (menghalangi) dirinya dari cahaya kebenaran sehingga ia berani menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah dan pendukung pendapatnya.
5. Ketidaktahuan
akan tingkatan hadits tersebut.
Kadang-kadang seorang ulama meriwayatkan sebuah hadits, namun ia bukan termasuk orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai ilmu hadits. Ia meriwayatkan hadits ini dengan anggapan bahwa hadits tersebut shahih atau ia bertaqlid kepada orang-orang sebelumnya. Hal ini merupakan realitas yang nyata bahwa ada sebagian ulama yang menonjol dalam satu bidang ilmu tertentu, namun ia tidak menonjol di bidang ilmu yang lain. Kenyataan ini berdasarkan kecenderungan masing-masing orang. Maka kita akan menjumpai seorang ahli di bidang ilmu nahwu dan bayan, akan tetapi ia tidak banyak mengetahui ilmu hadits. Sebaliknya, kita menjumpai seseorang yang ahli di bidang ilmu hadits, ia mengenal betul mengenai ilmu ’ilal hadits dan sanad-sanad hadits, akan tetapi sering ditemukan kerancuan dalam kalimat-kalimat yang dilontarkannya.
Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkiratul-Huffadh memberikan beberapa ungkapan dan contoh yang cukup bagus dalam hal ini. Misalnya saja ketika beliau menerangkan biografi Al-Hulaimi, seorang ulama madzhab Syafi’iyyah dalam hadits yang berbunyi :
Kadang-kadang seorang ulama meriwayatkan sebuah hadits, namun ia bukan termasuk orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai ilmu hadits. Ia meriwayatkan hadits ini dengan anggapan bahwa hadits tersebut shahih atau ia bertaqlid kepada orang-orang sebelumnya. Hal ini merupakan realitas yang nyata bahwa ada sebagian ulama yang menonjol dalam satu bidang ilmu tertentu, namun ia tidak menonjol di bidang ilmu yang lain. Kenyataan ini berdasarkan kecenderungan masing-masing orang. Maka kita akan menjumpai seorang ahli di bidang ilmu nahwu dan bayan, akan tetapi ia tidak banyak mengetahui ilmu hadits. Sebaliknya, kita menjumpai seseorang yang ahli di bidang ilmu hadits, ia mengenal betul mengenai ilmu ’ilal hadits dan sanad-sanad hadits, akan tetapi sering ditemukan kerancuan dalam kalimat-kalimat yang dilontarkannya.
Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkiratul-Huffadh memberikan beberapa ungkapan dan contoh yang cukup bagus dalam hal ini. Misalnya saja ketika beliau menerangkan biografi Al-Hulaimi, seorang ulama madzhab Syafi’iyyah dalam hadits yang berbunyi :
لِصَاحِبِ الْقُرْانِ دَعْوَةٌ
مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ خَتْمِهِ
”Seorang yang sering membaca Al-Qur’an memiliki
doa mustajab ketika ia mengkhatamkannya”.
Adz-Dzahabi menuturkan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abi ’Ishmah Nuh Al-Jami’ Al-Marwadzi, seorang yang menurut Adz-Dzahabi memiliki segudang ilmu; namun sayangnya haditsnya ditinggalkan orang.
Lebih lanjut Adz-Dzahabi mengatakan :
Adz-Dzahabi menuturkan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abi ’Ishmah Nuh Al-Jami’ Al-Marwadzi, seorang yang menurut Adz-Dzahabi memiliki segudang ilmu; namun sayangnya haditsnya ditinggalkan orang.
Lebih lanjut Adz-Dzahabi mengatakan :
فكم من امام في فن مقصر عن غيره
كسيبويه مثلا امام في النحو ولا يدري ما الحديث ووكيع امام في الحديث ولا يعرف
العربية وكأبي نواس راس في الشعر عري من غيره وعبد الرحمن بن مهدي امام في الحديث
لا يدري ما الطب قط وكمحمد بن الحسن راس في الفقه ولا يدري ما القراءات وكحفص امام
في القراءة تالف في الحديث وللحروب رجال يعرفون بها
”Berapa banyak ulama yang menjadi imam dalam bidang
ilmu tertentu namun tidak pada yang lainnya. Seperti halnya Sibawaih, imam
dalam ilmu nahwu, namun ia tidak mengerti apa itu hadits. Waki’, imam di bidang
hadits, namun ia tidak mengetahui bahasa Arab. Abu Nawas, seorang yang lihai di
bidang sya’ir, namun nihil di bidang lainnya. ’Abdurrahman bin Mahdi, seorang
imam dalam ilmu hadits, namun tidak mengetahui ilmu kedokteran. Muhammad bin
Al-Hasan, seorang imam dalam ilmu fiqh, namun tidak mengerti ilmu qira’at.
Hafsh, seorang imam dalam ilmu qira’at, namun tidak memiliki andil dalam ilmu
hadits. Intinya, masing-masing medan keilmuan
memiliki tokoh-tokoh yang mengerti akan medan
tersebut...”.
6. Ada sebagian ulama yang
berpandangan bahwa banyaknya sanad/jalur periwayatan dapat mengangkat suatu
hadits mencapai tingkatan tertentu yang dapat dijadikan hujjah. Kaidah ini pada
prinsipnya benar, namun tidaklah berlaku mutlak, karena ada beberapa hadits yang
jika dikumpulkan semua jalannya tetap tidak akan mengangkat derajat hadits
tersebut sedikitpun. Tidak lain akibat terlalu parahnya status kedla’ifannya.
Dan hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang berstatus matruk,
dicurigai melakukan kedustaan (muttaham bil-kidzb), atau pendusta (kadzdzaab);
maka ia tidaklah bisa terangkat dengan banyaknya jalur periwayatan.
7. Terlalu
gampang dalam menghukumi hadits-hadits yang tidak berkaitan dengan hukum.
Terutama mereka yang berlebihan dalam membela pendapat dapat digunakannya
hadits dla’if pada perkara keutamaan amal (fadlaailul-a’mal) tanpa
memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan para ulama. Hingga ada
beberapa ulama yang memasukkan hadits-hadits palsu ke dalam katagori ini.
Itulah tujuh sebab yang dijelaskan oleh
Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Muhammad As-Sadhan hafidhahullah. Semoga ada
manfaatnya. Walhamdulillahi rabbil-’aalamiin.
Abu
Al-Jauzaa’ Catatan kaki :
[1] Lisaanul-Miizaan, 3/75.
[2] Ar-Radd ‘alal-Bakri, halaman 19.
[3] Al-Majruhiin, halaman 208.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar