Begitulah kira-kira judul bombastis artikel dalam sebuah blog/web. Permasalahan yang hendak diangkat adalah perkataan Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabiy bahwa tidak ada perbedaan antara tata cara shalat bagi laki-laki dan wanita. Artikel ini kemudian direpro dalam beberapa blog dan forum yang dipergunakan untuk mencela Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah.
Apa yang
dikatakan oleh beliau (Asy-Syaikh Al-Albaaniy) berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
وَصَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Dan
shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 631 & 6008 & 7246, Ad-Daarimiy no. 1235, Ibnu Khuzaimah no. 391,
dan yang lainnya].
Perintah
ini mutlak yang berlaku untuk laki-laki dan wanita, kecuali jika ada dalil lain
yang setara dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
mengkhususkannya dengan membedakan kaifiyah shalat antara laki-laki dan
wanita. Sebab :
إِنَّمَا النِّسَاءُ
شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Wanita
itu hanyalah bagian dari laki-laki” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 236, At-Tirmidziy no.
113, Ahmad 6/256, dan yang lainnya].
Al-Khaththaabiy
rahimahullah berkata : “Bahwasannya khithaab apabila datang dengan
lafadh mudzakkar (laki-laki) , maka khithaab-nya berlaku juga
untuk wanita. Kecuali tempat-tempat khusus yang ada padanya dalil-dalil yang
mengkhususkannya”.
Para pencela Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah–
katakanlah seperti itu – dalam artikel dimaksud membawakan dalil sebagai
berikut :
Imam al-Baihaqi rahimahullah, di dalam as-Sunan al-Kubro, 3/73-75,
telah mencantumkan beberapa hadits sebagai berikut :
باب ما يستحب
للمرأة من ترك التجافي في الركوع والسجود[1]
قال ابراهيم
النخعي :كانت المرأة تؤمر إذا سجدت ان تلزق بطنها بفخذيها كيلا ترتفع عجزتها ولا
تجافى كما يجافى الرجل[2].
اخبرنا أبو عبد
الله الحافظ انبأ أبو بكر بن اسحاق الفقيه انبأ الحسن بن على بن زياد قال ثنا سعيد
بن منصور ثنا أبو الاحوص عن ابى اسحاق عن الحارث قال قال على رضى الله عنه : إذا
سجدت المرأة فلتضم فخذيها.[3]
اخبرناه أبو
بكر محمد بن محمد انبأ أبو الحسين الفسوى ثنا أبو على اللؤلؤي ثنا أبو داود ثنا
سليمان بن داود انبأ ابن وهب انبأ حيوة بن شريح عن سالم بن غيلان عن يزيد بن ابى
حبيب ان رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على امرأتين تصليان فقال : إذا سجدتما
فضما بعض اللحم إلى الارض فان المرأة ليست في ذلك كالرجل.[4]
Dan Imam as-Syafi’i rahimahullah di dalam kitab al-Umm, 1/138,
menjelaskan :
وقد أدب الله تعالى النساء
بالاستتار وأدبهن بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم وأحب للمرأة في السجود أن تضم
بعضها إلى بعض وتلصق بطنها بفخذيها وتسجد كأستر ما يكون لها وهكذا أحب لها في
الركوع والجلوس وجميع الصلاة أن تكون فيها كأستر ما يكون لها وأحب أن تكفت جلبابها
وتجافيه راكعة وساجدة عليها لئلا تصفها ثيابها[5]
Kira-kira ‘aliman mana al-Albani dgn Imam al-Baihaqi???? nggak usah
kita bandingkan al-Albani dgn Imam as-Syafi’i…jelas bukan bandingannya…
Mari kita cermati dalil yang tertulis di atas – dan saya
batasi hanya riwayat yang disebutkan di atas - :
1.
Atsar Ibraahiim
An-Nakha’iy dibawakan oleh Al-Baihaqiy tanpa sanad.
2.
Atsar ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah lemah (dla’iif) dengan
kelemahan yang terletak pada Al-Haarits (bin Al-A’war).[6] Selain itu, Al-Hasan bin
‘Aliy bin Ziyaad seorang yang majhuul.
3.
Hadits marfu’ yang
dibawakan oleh Yaziid bin Abi Habiib (Al-Kubraa, 2/223 no. 3201) adalah
lemah (dla’iif) dengan kelemahan yang disebabkan keterputusan antara
Yaziid dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (mursal).
Yaziid bin Abi Habiib termasuk shighaarut-taabi’iin yang wafat pada
tahun 128 H. Abu Daawud membawakannya dalam Al-Maraasiil hal. 103.
Adapun
riwayat Al-Baihaqiy 2/222-223 no. 3198-3200 (hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy dan
Ibnu 'Umar) yang tidak dibawakan oleh pemilik perkataan berwarna merah tersebut
juga lemah (dla’iif). Tentang hadits ini Al-Baihaqiy rahimahullah berkata
lemah dan tidak bisa dipergunakan sebagai hujjah.
So, bagaimana bisa riwayat-riwayat
di atas dapat dipergunakan untuk membatasi kemutlakan sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
وَصَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Dan
shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
? ? ?
Memang
benar bahwasannya sebagian salaf dan fuqahaa’ berpendapat adanya
pembedaan sifat shalat antara laki-laki dan wanita. Kita hormati
pendapat-pendapat tersebut. Namun pendapat-pendapat mereka tidaklah dilandasi
dalil (shahih), kecuali hadits yang lemah atau alasan agar aurat wanita lebih
tertutup (sehingga kaifiyah mereka/wanita berbeda dengan laki-laki).
Beberapa ulama lain tidak membedakannya, dan inilah pendapat yang raajih.
Saya
contohkan beberapa riwayat ulama dalam masalah duduknya wanita dalam shalat :
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ مَكْحُولٍ، قَالَ: كَانَتْ أُمُّ
الدَّرْدَاءِ تَجْلِسُ فِي صَلاتِهَا جِلْسَةَ الرَّجُلِ، وَكَانَتْ فَقِيهَةً
Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada
paki Sufyaan, dari Tsaur, dari Mak-huul, ia berkata : “Adalah Ummud-Dardaa’
duduk dalam shalatnya dengan cara duduk laki-laki, dan ia seorang wanita yang faqih”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath 1/332 no. 717. Lihat
juga dalam Taghliiqut-Ta’liiq oleh Ibnu Hajar, 2/329].
Riwayat
ini shahih. Abu Nu’aim, namanya adalah Al-Fadhl bin Dukain Al-Kuufiy, seorang
yang tsiqah lagi tsabat [At-Taqriib, hal. 782 no. 5436].
Sufyaan, ia adalah Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, ‘aabid,
imam, lagi hujjah [idem, hal. 394 no. 2458]. Tsaur bin
Yaziid adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal.
190 no. 869]. Mak-huul Asy-Syaamiy juga tsiqah lagi faqiih [idem,
hal. 969 no. 6823].
Sufyaan
mempunyai mutaba’ah dari Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan) [Al-Ausath no.
718] dan Wakii’ bin Al-Jarrah [Al-Mushannaf li-Ibni Abi Syaibah, 1/270
no. 2801].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ،
قَالَ: نا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ:
" تَقْعُدُ الْمَرْأَةُ فِي الصَّلَاةِ كَمَا يَقْعُدُ الرَّجُلُ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ghundar, dari Syu’bah, dari Manshuur, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy) : “Wanita
duduk dalam shalat seperti halnya duduknya laki-laki” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah, 1/270 no. 2804].
Riwayat
ini shahih, seluruh perawinya tsiqaat.
Maalik rahimahullah
berkata :
جلوس المرأة كجلوس الرجل
“Duduknya
wanita seperti duduknya laki-laki” [Mukhtashar Ikhtilaafil-‘Ulamaa’,
1/212].
Saya
persilakan membaca dalam Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah dan
‘Abdurrazzaaq, serta Al-Mukhtashar karya Ath-Thahawiy yang membawakan
riwayat tentang perbedaan pendapat di kalangan salaf tentang permasalahan ini.
Anyway, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika mengucapkan hadits di atas mengetahui bahwa di
antara umatnya ada laki-laki, wanita, orang tua, atau anak kecil. Namun beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tetap bersabda :
وَصَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Dan
shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy mungkin tidaklah sebesar Al-Imaam Al-Baihaqiy atau Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy rahimahumullah. Namun yang jelas, Asy-Syaikh
Al-Albaaniy lebih ‘alim daripada si empunya kalam berwarna merah di
atas.
Wallaahul-musta’aan.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– ngaglik, sleman, yogyakarta, 1432 H].
Bahan
bacaan :
a.
Al-Maraasiil
ma’al-Asaaniid
oleh Abu Daawud As-Sijistaaniy, tahqiq : ‘Abdul-‘Aziiz ‘Azzuddiin As-Sirwaan;
Daarul-Qalam, Cet. 1/1406 H.
b.
As-Sunan Al-Kubraa oleh Al-Baihaqiy (jilid 2),
tahqiq : Muhammad bin ‘Abdil-Qaadir ‘Atha’; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet.
3/1424 H.
c.
At-Taariikh Al-Ausath
oleh Al-Bukhaariy (jilid 1), tahqiq : Muhammad bin Ibraahiim Al-Luhaidaan;
Daarush-Shumai’iy, Cet. 1/1418 H.
d.
Mukhtashar
Ikhtilaafil-‘Ulamaa’
oleh Abu Ja’far Ath-Thahawiy (jilid 1), tahqiq : ‘Abdullah Nadziir Ahmad;
Daarul-Basyaair Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1416 H.
e.
Taghliiqut-Ta’liiq
oleh Ibnu Hajar
(jilid 2), tahqiq : Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Musa; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet.
1/1405 H.
f.
dan yang lainnya…
Abu
Al-Jauzaa
[1] Bab : Apa-apa yang
disukai bagi wanita untuk meninggalkan merenggangkan (perut dan paha) ketika
rukuk dan sujud.
[2] Telah berkata
Ibraahiim An-Nakha’iy : “Wanita diperintahkan apabila sujud agar merapatkan
perutnya dengan kedua pahanya supaya tidak terangkat pantatnya, dan tidak
merenggang sebagaimana merenggangnya laki-laki”.
[3] Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr
bin Ishaaq Al-Faqiih : Telah memberitakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy bin
Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah
menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Ishaaq, dari Al-Haarits, ia berkata
: Telah berkata ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : “Apabila seorang wanita
sujud, hendaklah ia mengumpulkan kedua pahanya”.
[4] Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu bakr Muhammad bin Muhammad : Telah memberitakan Abul-Husain
Al-Fasawiy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Lu’lu’iy : Telah
menceritakan kepada kami Abu Daawud : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan
bin Daawud : Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah memberitakan Haiwah bin
Syuraih, dari Saalim bin Ghailaan, dari Yaziid bin Abi Habiib : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua orang
wanita yang sedang shalat, lalu beliau bersabda : “Apabila kalian sujud,
maka kumpulkanlah sebagian daging/tubuh ke bumi. Karena sesungguhnya wanita itu
tidak melakukan hal itu seperti laki-laki”.
[5] “Allah ta’ala
telah mendidik para wanita dengan upaya menutupi, dan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam juga mendidik mereka dengan hal itu. Disukai bagi wanita
ketika sujud untuk mengumpulkan sebagian tubuh ke sebagian tubuh yang lainnya,
dan mendekatkan perutnya ke kedua pahanya. Ia sujud seperti menutup sesuatu
yang ada padanya. Begitu pulalah yang aku sukai baginya ketika rukuk, duduk,
dan keseluruhan shalat agar menjadikannya seperti menutupi sesuatu yang ada
padanya. Dan aku menyukai agar mengumpulkan/memegang jilbabnya dan
merenggangkannya ketika rukuk dan sujud, sehingga bajunya tidak menampakkan
bentuk tubuhnya”.
[6] Al-Haarits bin ‘Abdillah
Al-A’war adalah seorang yang lemah menurut jumhurmuhadditsiin. Ada
pembicaraan yang panjang mengenai Al-Haarits ini. Bahkan sebagian muhadditsiin memberikan jarh keras dengan mendustakaannya,
seperti : Asy-Sya’biy (dalam satu perkatannya), Muslim, Ibnul-Madiiniy, dan
yang lainnya. Sebagian yang lain, ada pula yang mentsiqahkannya seperti : Ibnu
Ma’iin, An-Nasa’iy (dalam satu perkataannya), Ibnu Syaahin, dan Ahmad bin
Shaalih Al-Mishriy. Beberapa ulama menjelaskan bahwa pendustaan mereka terhadap
Al-Haarits ini karena pemikirannya yang condong kepada Syi’ah/Rafidlah, bahkan
disebutkan ia berlebih-lebihan dalam masalah ini. Namun dalam periwayatan
hadits, ia bukan seorang pendusta. Ia di-jarh karena lemah dalam dlabth-nya. Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy pernah ditanya perihal
pendustaan Asy-Sya’biy terhadap Al-Haarits, maka ia menjawab : “Ia
(Asy-Sya’biy) tidak mendustakannya dalam hadits, namun ia hanya mendustakan
pemikirannya saja” [Ats-Tsiqaat li-Ibni Syaahin, lembar 17]. Ibnu Hibban berkata : “Ia seorang
berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, dan lemah
dalam hadits” [Al-Majruuhiin, 1/222]. Ibnu Hajar pun kemudian memberi
kesimpulan : “….Ia telah didustakan oleh Asy-Sya’biy dan dituduh sebagai
Rafidlah. Namun dalam hadits, ia lemah….” [At-Taqriib, hal. 211 no.
1036]. Adapun Adz-Dzahabiy memberi kesimpulan : “Seorang Syi’ah yang lemah (syi’iy
layyin)” [Al-Kaasyif, 1/303 no. 859]. Inilah yangraajih mengenai diri Al-Haarits, wallaahu a’lam. Selengkapnya, silakan lihatTahdziibul-Kamaal,
5/244-253 no. 1025, Tahdziibut-Tahdziib 2/145-147 no. 248, Al-Jaami’ fil-Jarh
wat-Ta’diil 1/142 no. 742, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 4/152-155 no. 54].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar