Pengertian Aqiqah
’Aqiqah berasal dari kata ’aqqu (عَقُّ) yang mempunyai arti potong.
Ibnul-Qayyim menukil perkataan Abu ’Ubaid bahwasannya Al-Ashmaa’iy dan
lain-lain berkata :
أن أصلها الشعر الذي يكون على رأس الصبي حين يولد وإنما سميت الشاة التي
تذبح عنه عقيقة لأنه يحلق عنه ذلك الشعر عند الذبح قال ولهذا قال أميطوا عنه الأذى
يعني بذلك الشعر
”Pada asalnya makna ’aqiqah itu adalah rambut bawaan yang ada di kepala
bayi ketika lahir. Hanya saja, istilah ini disebutkan untuk kambing yang
disembelih ketika ’aqiqah karena rambut bayi dicukur ketika kambing tersebut
disembelih. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits : ”Bersihkanlah dia dari kotoran”. Kotoran yang dimaksud adalah
rambut bayi (yang dicukur ketika itu).[1]
Al-Jauhari mengatakan : ”Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari
ketujuhnya, dan mencukur rambutnya”.
Selanjutnya Ibnul-Qayyim berkata : “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa
aqiqah itu disebutkan demikian karena mengandung dua unsur di atas dan ini
lebih utama”.[2][2]
Oleh karena itu, definisi ’aqiqah secara syar’iy yang paling tepat adalah
binatang yang disembelih karena kelahiran seorang bayi sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Allah ta’ala dengan
niat dan syarat-syarat tertentu.[3][3]
Lebih Disukai
Menggunakan Istilah Nasikah daripada
Aqiqah
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال : سئل رسول الله صلى الله
عليه وسلم عن العقيقة فقال لا يحب الله عز وجل العقوق وكأنه كره الاسم قال لرسول
الله صلى الله عليه وسلم إنما نسألك أحدنا يولد له قال من أحب أن ينسك عن ولده
فلينسك عنه عن الغلام شاتان مكافأتان وعن الجارية شاة
Dari ’Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah ditanya tentang aqiqah, maka beliau menjawab : “Allah ‘azza wa jalla tidak suka dengan istilah Al-‘Uquuq (‘aqiiqah)”.
Seakan-akan beliau membenci istilah tersebut (yaitu aqiqah). Penanya kembali
berkata kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Kami hanya bermaksud menanyakan jika salah seorang di
antara kami mempunyai anak (yang baru dilahirkan)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :
“Barangsiapa yang ingin menyembelih
karena kelahiran anaknya, maka hendaklah ia menyembelih. Untuk laki-laki dua kambing yang sama/setara dan untuk perempuan satu
kambing”.[4][4]
Asy-Syaukani berkata :
قوله : "وكأنه كره الأسم" وذلك لأن العقيقة التي هي الذبيحة
والعقوق للأمهات مشتقان من العق الذي هو الشق والقطع فقوله صلى اللّه عليه وآله
وسلم: "لا أحب العقوق" بعد سؤاله عن العقيقة للاشارة إلى كراهة اسم
العقيقة لما كانت هي والعقوق يرجعان إلى أصل واحد ولهذا قال صلى اللّه عليه وآله
وسلم: "من أحب منكم أن ينسك" ارشادا منه إلى مشروعية تحويل العقيقة إلى
النسيكة وما وقع منه صلى اللّه عليه وآله وسلم من قوله "مع الغلام
عقيقة" و"كل غلام مرتهن بعقيقته" و"رهينة بعقيقته" فمن
البيان للمخاطبين بما يعرفونه لان ذلك اللفظ هو المتعارف عند العرب ويمكن الجمع
بأنه صلى اللّه عليه وآله وسلم تكلم بذلك لبيان الجواز وهو لا ينافي الكراهة التي
اشعر بها.
”Perkataan : “seolah-olah beliau
membenci istilah tersebut (aqiqah)”; karena aqiqah adalah sembelihan (dzabihah), sedangkan ‘uquq biasanya digunakan bagi kaum ibu.
Istilah ini berasal dari kata al-’iq
yaitu membelah dan memotong. Maka kata-kata beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : لا أحب العقوق (“aku tidak menyukai istilah al-‘uquuq”) [5][5] setelah ditanya tentang masalah ‘aqiqah adalah isyarat
bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam membenci istilah ‘aqiqah karena al-‘aqiqah dan al-‘uquuq mempunyai
asal kata yang satu/sama. Oleh karena itu, sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : “Barangsiapa yang ingin menyembelih” adalah sebagai petunjuk
disyari’atkannya mengganti istilah ‘aqiqah dengan istilah ‘an-nasikah’. Adapun istilah ‘aqiqah yang pernah disebutkan oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi
wasallam dalam sabdanya : “Untuk satu
anak adalah satu ‘aqiqah” dan juga : “Setiap
anak itu tergadaikan dengan ‘aqiqahnya” merupakan penjelasan (bayan) bagi orang-orang yang beliau ajak
bicara dengan bahasa yang mereka pahami, karena kata ‘aqiqah adalah kata yang
diketahui maknanya oleh orang-orang Arab pada saat itu. Memungkinkan pula untuk
menjamak (hadits-hadits tersebut) bahwa hal itu merupakan penjelasan beliau shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang
membolehkan menggunakan kata ‘aqiqah. Dan itu tidaklah menafikkan kebencian
(terhadap kata ‘aqiqah) sebagaimana diketahui dalam hadits ”Aku tidak menyukai istilah al-‘uquuq”.[6][6]
Dalil Disyari’atkannya ’Aqiqah
Banyak sekali dalil yang menjadi landasan disyari’atkannya ’aqiqah,
diantaranya adalah :
1.
Hadits Salmaan bin
’Aamir Adl-Dlabbiy radliyallaahu ’anhu,
ia pernah berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
مع الغلام عقيقة، فأهريقوا عنه دماً، وأميطوا عنه الأذَى
”Untuk satu orang anak
adalah satu ’aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan bersihkanlah dia dari
kotoran”.[7][7]
2. Hadits Samurah bin Jundub radliyallaahu ’anhu, bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah
bersabda :
كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
”Setiap anak
tergadai dengan ’aqiqahnya [8][8] yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur
(rambutnya), dan diberi nama”.[9][9]
3.
Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda :
عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
“Untuk seorang anak
laki-laki adalah dua ekor kambing yang setara/sama, dan untuk anak perempuan
adalah seekor kambing”.[10][10]
4.
Dan yang lainnya.
Disyari’atkannya ‘aqiqah merupakan madzhab jumhur ‘ulamaa, kecuali ashhaabur-ra’yi (Hanafiyyah). Mereka
mengingkari pensyari’atan ‘aqiqah dan bahkan memakruhkannya dimana mereka
berpegang pada dalil-dalil yang tidak layak digunakan sebagai hujjah. Diantara
dalil yang mereka pakai adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا أحب العقوق
“Aku tidak menyukai
al-‘uquuq”.
Dalam riwayat lain :
لا يحب الله عز وجل العقوق
“Allah ‘azza wa jalla tidak
menyukai al-‘uquuq”
Tentu saja pendalilan mereka tidak dapat kita terima, karena yang
dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dibencinya istilah ‘aqiqah yang
bersamaan dengan itu di-masyru’-kan
menggantinya dengan istilah an-nasikah.
Hal itu telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya sehingga tidak perlu untuk
diulang.
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits ’Abdullah bin Muhammad bin
‘Aqiil, dari ’Ali bin Al-Husain dari Abi Raafi’ maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
أن الحسن بن علي عليهما السلام حين ولدته أمه أرادت أن تعق عنه بكبش عظيم
فأتت النبي صلى الله عليه وسلم فقال لها لا تعقي عنه بشيء ولكن احلقي شعر رأسه ثم
تصدقي بوزنه من الورق في سبيل الله عز وجل أو على بن السبيل ولدت الحسين من العام
المقبل فصنعت مثل ذلك
“Bahwasannya Al-Hasan bin ‘Ali ‘alaihimas-salaam
ketika ia dilahirkan, ibunya (yaitu Fathimah) ingin meng-aqiqahinya dengan
seekor kambing yang besar. Maka Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam datang dan berkata kepadanya : “Jangan kamu ‘aqiqahkan dia dengan sesuatu apapun. Akan tetapi,
cukurlah rambut kepalanya kemudian bershadaqahlah di jalan Allah ‘azza wa jalla
atau kepada ibnu sabiil dengan uang (perak) seberat rambutnya”. Dan ketika
Al-Husain lahir di tahun berikutnya, Fathimah pun melakukan hal yang sama”.[11][11]
Tapi hadits ini dla’if karena rawi yang bernama ’Abdullah bin Muhammad
bin ’Aqiil sehingga tidak bisa dipakai untuk hujjah. Kalaupun dianggap shahih,
maka hadits itu juga tidak menunjukkan dimakruhkannya ‘aqiqah; karena dalam
riwayat yang shahih[12][12] dijelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyembelih ‘aqiqah
untuk Al-Hasan dan Al-Husain.[13][13]
Hukum ‘Aqiqah :
Sunnah atau Wajib ?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
1. Jumhur ulama mengatakan bahwa
hukum ’aqiqah itu sunnah.
Dalil paling kuat yang mereka
bawakan adalah hadits ’Amr bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari kakeknya bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
من أحب أن ينسك عن ولده فلينسك عنه عن الغلام شاتان
مكافأتان وعن الجارية شاة
“Barangsiapa yang
ingin menyembelih karena kelahiran anaknya, maka hendaklah ia menyembelih untuk
laki-laki dua kambing yang sama/setara dan untuk perempuan satu kambing”.[14][14]
Asy-Syaukani berkata :
وذهب الجمهور من العترة وغيرهم إلى انها .........احتج
الجمهور ـ بقوله صلى اللّه عليه وآله وسلم: "من أحب أن ينسك عن ولده
فليفعل"
”Jumhur ulama berpendapat bahwasannya ’atirah dan yang lainnya (termasuk
’aqiqah – Abul-Jauzaa’) hukumnya adalah sunnah....... Jumhur berhujjah dengan
sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wa aalihi
wasallam : ” “Barangsiapa yang ingin
menyembelih karena kelahiran anaknya, maka hendaklah ia lakukan”.[15][15]
2. Sebagian ulama mengatakan
bahwa ’aqiqah hukumnya wajib bagi mereka yang mempunyai kelapangan.
Mereka berdalil beberapa hadits, diantaranya :
كل غلام رهينة بعقيقته
”Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya”.[16][16]
مع الغلام عقيقة
”Untuk satu orang anak
adalah satu ’aqiqah”.[17][17]
Ibnu ’Abdil-Barr berkata :
وقال الشافعي وأحمد وإسحاق وأبو ثور والطبري العقيقة سنة
يجب العمل بها ولا ينبغي تركها لمن قدر عليها
”Telah berkata Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu
Tsaur, dan Ath-Thabariy bahwa ’aqiqah itu merupakan sunnah yang wajib dilakukan
dan tidak sepantasnya untuk ditinggalkan bagi mereka yang memiliki
kesanggupan”.[18][18]
Dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm dan
Dhahiriyyah pada umumnya.
Yang rajih menurut kami dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan
bahwa ’aqiqah itu hukumnya wajib bagi mereka yang memiliki kesanggupan.
Perkataan beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam : ”Setiap anak tergadai dengan
’aqiqahnya” adalah penyerupaan ’aqiqah dengan jaminan dalam pinjaman di
tangan orang yang berpiutang.[19][19] Penyerupaan sesuatu dengan sesuatu lain yang dihukumi
wajib menunjukkan bahwa sesuatu itu
hukumnya juga wajib. Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits
yang paling kuat yang diriwayatkan dalam permasalahan ’aqiqah.
Adapun maksud hadits yang dibawakan oleh jumhur, maka itu tidak menunjukkan
sunnahnya (bukan wajib) pelaksanaan ’aqiqah. Perkataan ” Barangsiapa yang ingin menyembelih karena kelahiran anaknya”
adalah perkataan yang timbul untuk menjelaskan tentang perkara yang disebutkan
di awal hadits, yaitu dibencinya istilah ’aqiqah (yaitu perkataan beliau : ”Allah ‘azza wa jalla tidak suka dengan
istilah Al-‘Uquuq/‘aqiiqah” ).
Kemudian, sabda beliau من أحب (”Barangsiapa yang ingin”) ini seperti firman Allah ta’ala :
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
”(Yaitu) bagi siapa di antara
kamu yang ’ingin’ beristiqamah/menempuh jalan yang lurus” [QS. At-Takwiir : 28].
Juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam :
إذا أراد أحدكم أن يأتي الجمعة فليغتسل
”Apabila salah seorang
diantara kalian ingin mengerjakan shalat Jum’at, hendaklah ia mandi”.[20][20]
Tentu saja kita tidak akan memahami bahwa perintah untuk istiqamah/menempuh
lurus dan shalat Jum’at itu hukumnya sekedar sunnah (bukan wajib).
Waktu Pelaksanaan
Aqiqah/Nasikah
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
1. Sebagian ulama membolehkan
pelaksanaan sebelum
hari ketujuh. Inilah pendapat jumhur ’ulamaa. Ibnul-Qayyim berkata :
والظاهر أن التقييد بذلك استحباب وإلا فلو ذبح عنه في
الرابع أو الثامن أو العاشر أو ما بعده أجزأت والاعتبار بالذبح لا بيوم الطبخ
والأكل
”Dhahirnya bahwa pengkaitan waktu penyembelihan
hewan ’aqiqah pada hari ketujuh hukumnya adalah istihbaaab (disukai). Jika tidak dilakukan pada waktu itu, yaitu
disembelih pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh, dan seterusnya; maka hal
itu mencukupi (sah). Perhitungan (hari ’aqiqah) itu adalah hari penyembelihan,
bukan hari dimana daging dimasak atau dimakan”.[21][21]
2. Sebagian ulama berpendapat
bahwa ’aqiqah itu dilaksanakan pada hari ketujuh, namun jika tidak dilakukan
(pada hari itu) maka boleh dilakukan pada hari ke-14 (empatbelas) atau ke-21
(duapuluh satu). Mereka berdalil dengan hadits :
العقيقة تذبح لسبع أو أربع عشرة أو أحد وعشرين
”(Hewan) ’aqiqah itu
disembelih pada hari ketujuh atau empatbelas atau duapuluh satu”.
Namun hadits ini adalah dla’if. [22][22]
3. Sebagian ulama berpendapat
bahwa ’aqiqah itu boleh dilakukan setelah dewasa (yaitu ia mengaqiqahi dirinya
sendiri) setelah ia mempunyai kemampuan (tidak dibatasi oleh hari-hari
tertentu, walau mereka tetap berpendapat tentang sunnahnya hari ketujuh).
Ibnu Hazm berkata : ”Hewan disembelih pada hari
ketujuh dari kelahiran dan sama sekali tidak boleh dilakukan sebelum hari
ketujuh. Jika pada hari ketujuh ia belum menyembelih, maka ia menyembelih
setelah itu kapan ia mampu (melaksanakannya) secara wajib”.[23][23]
Mereka berdalil dengan hadits :
أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد النبوة
”Bahwasannya Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah
(diangkat menjadi nabi)”.
Hadits ini pun dla’if.[24][24]
4. Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa pelaksanaan ’aqiqah hanyalah pada hari ketujuh kelahiran.[25][25]
كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
”Setiap anak
tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya,
dicukur (rambutnya), dan diberi nama”.[26][26]
Di antara pendapat-pendapat yang tersebut di atas, maka yang rajih
adalah pendapat terakhir yang menyatakan bahwa waktu pelaksanaan ‘aqiqah itu
hanyalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Inilah pendapat yang
berkesesuaian dengan dalil shahih. Al-Haafidh berkata :
وقوله يذبح عنه يوم السابع تمسك به من قال أن العقيق مؤقته باليوم السابع
وأن من ذبح قبله لم يقع الموقع وإنها تفوت بعده وهو قول مالك وقال أيضا أن مات قبل
السابع سقطت العقيقة
“Dan perkataan beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam : ”disembelih
darinya pada hari ketujuh kelahirannya”; adalah sebagai dalil bagi orang
yang mengatakan bahwa ‘aqiqah itu pelaksanaannya adalah hari ketujuh. Dan
barangsiapa yang menyembelih sebelum waktu itu, berarti ia tidak melaksanakan
sebagaimana seharusnya. Dan bahwasannya ‘aqiqah itu gugur setelah lewat hari
ketujuh. Ini adalah perkataan Malik. Ia (Malik) juga berkata : “Apabila seorang
anak meninggal sebelum hari ketujuh, maka gugurlah syari’at ‘aqiqah tersebut”.[27][27]
‘Aqiqah adalah ibadah, dan ibadah itu telah ditentukan kaifiyat-kaifiyatnya
(termasuk waktu pelaksanaannya). Tidak boleh seseorang menentukannya kecuali
harus berdasarkan dalil.
Jenis Hewan untuk
‘Aqiqah
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama pendapat tentang masyru’-nya kambing atau domba untuk
‘aqiqah. Boleh dari
jenis jantan ataupun betina. Hal ini didasarkan oleh hadits :
عن أم كرز قالت سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : عن الغلام شاتان وعن
الجارية شاة لا يضركم أذكرانا كن أم إناثا
Dari Ummu Kurz ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak
perempuan adalah seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian
apakah ia kambing jantan atau betina”.[28][28]
Namun mereka berselisih pendapat tentang jenis hewan selain kambing atau
domba (misalnya : onta atau sapi).
1.
Jumhur ulama
membolehkannya.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya
:
أن أنس بن مالك كان يعق عن بنيه الجزور
”Bahwasannya Anas bin Malik mengaqiqahi dua anaknya
dengan onta”.[29][29]
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من
ولد له غلام فليعق عنه من الإبل أو البقر أو الغنم
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda : ”Barangsiapa dikaruniai
seorang anak laki-laki, hendaklah ia beraqiqah dengan onta, sapi, atau kambing”.
Namun atsar ini tidak shahih. [30][30]
Mereka (jumhur) juga beralasan bahwa makna syaatun (شاة) dalam bahasa Arab bisa bermakna domba, kambing,
sapi, unta, kijang, dan keledai liar.
2. Sebagian ulama tidak
membolehkannya, bahkan mereka menyatakan tidak sah ’aqiqah selain dari jenis
kambing atau domba.
Dalil mereka adalah dalil-dalil yang telah disebutkan
pada pembahasan di atas yang semuanya menyebut dengan istilah domba atau
kambing. Selain itu, mereka juga berdalil dengan atsar berikut :
عن يوسف بن ماهك قال دخلت أنا وبن مليكة على حفصة بنت
عبد الرحمن بن أبي بكر وولدت للمنذر بن الزبير غلاما فقلت هلا عققت جزورا على ابنك
فقالت معاذ الله كانت عمتي عائشة تقول على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة
Dari Yusuf bin Maahik ia berkata : ”Aku dan Ibnu
Mulaikah masuk menemui Hafshah binti ’Abdirrahman bin Abi Bakr yang saat itu
sedang melahirkan anak dari Mundzir bin Az-Zubair. Aku pun berkata : ’Mengapa
engkau tidak menyembelih seekor onta untuk anakmu ?’. Ia pun menjawab : ’Ma’aadzallah (aku berlindung kepada
Allah) ! Bibiku, yaitu ’Aisyah, pernah berkata : ”Untuk anak laki-laki dua ekor
kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.[31][31]
عن عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَرْدٍ الْمَكِّيُّ قَالَ
سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ { نُفِسَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي
بَكْرٍ غُلَامٌ فَقِيلَ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ عُقِّي عَنْهُ
جَزُورًا فَقَالَتْ مَعَاذَ اللَّهِ وَلَكِنْ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ }
Dari ’Abdil-Jabbar bin Ward Al-Makkiy ia berkata :
Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata : ”Ketika anak laki-laki ’Abdurrahman
bin Abi Bakr lahir, ditanyakan kepada ’Aisyah : ’Wahai Ummul-Mukminin, apakah
boleh seorang anak laki-laki di-’aqiqahi dengan seekor onta ?’. ’Aisyah
menjawab : ’Ma’aadzallah, akan tetapi
sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam : ’Dua ekor kambing
yang setara/sama’”.[32][32]
عن أم كرز وأبي كرز قالا نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن
أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا جزورا فقالت عائشة رضى الله تعالى عنها لا
بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
Dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata
: ”Telah bernadzar seorang wanita dari keluarga ’Abdurrahman bin Abi Bakr jika
istrinya melahirkan anak, mereka akan menyembelih seekor onta. Maka ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa berkata : ”Jangan,
bahkan yang disunnahkan itu lebih utama. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing
dan untuk anak perempuan seekor kambing”.[33][33]
Dari dua pendapat di atas, yang rajih menurut kami adalah pendapat kedua
yang menyatakan ketidakbolehan ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba.
Walaupun telah shahih riwayat dari Anas radliyallaahu
’anhu bahwasannya ia menyembelih onta, namun itu tidak dapat
dipertentangkan dengan hadits-hadits Nabi shallallaahu
’’alaihi wasallam yang semuanya menyebutkan atau membatasi pada jenis
kambing atau domba saja. Apalagi telah shahih pengingkaran ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa tentang hal itu.
’Aqiqah merupakan satu bentuk ibadah yang dalam pelaksanaannya bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash). Termasuk
di dalamnya adalah dalam penentuan jenisnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak beraqiqah dengan selain kambing/domba,
tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula memberikan taqrir (persetujuan) kepada para
shahabat. Oleh karena itu, sunnah beliau shallallaau
’alaihi wasallam tidaklah bisa dibatalkan oleh ijtihad Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu. Wallaahu a’lam.
Adapun alasan bahwa secara bahasa syaatun
itu bisa bermakna pada selain kambing, maka jawabannya : ”Pada asalnya kata
syaatun itu jika diucapkan secara
mutlak, maka tidak ada makna lain kecuali kambing. Adapun makna selain kambing,
maka ia adalah makna secara majazy yang hanya bisa dipakai jika ada qarinah
(keterangan) yang menunjukkan pada makna tersebut. Oleh karena itu,
Ibnul-Mandzur dalam Lisaanul-’Arab berkata
: ”Syaat adalah bentuk tunggal dari
kambing, baik jantan maupun betina. Dikatakan : Syaat adalah domba, kambing, kijang, sapi, onta, dan keledai liar”.
Al-Hafidh berkata :
ويذكر الشاة والكبش على أنه يتعين الغنم للعقيقة....
وعندي أنه لا يجزئ غيرها
”Dan disebut asy-syaatun dan al-kabsyun adalah untuk menentukan jenis
kambing untuk ‘aqiqah..... Dan menurutku, tidak boleh (untuk ’aqiqah) selain
dari jenis kambing”.[34][34]
Jumlah Hewan ’Aqiqah
untuk Anak Laki-Laki dan Perempuan
Sesuai dengan hadits-hadits yang telah disebutkan, ’aqiqah untuk anak
laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.
Shiddiq Hasan Khan menukil kesepakatan bahwasannya ’aqiqah untuk anak
perempuan adalah satu kambing.[35][35] Namun klaim ijma’ dari beliau ini perlu ditinjau
kembali karena Ibnu ’Abdil-Barr mengatakan bahwa Al-Hasan dan Qatadah
berpendapat bahwa anak perempuan tidak perlu di-’aqiqahi.[36][36] Pendapat yang ternukil dari Al-Hasan dan Qatadah ini
tidak perlu untuk diperhatikan karena telah sah dalam banyak hadits bahwasannya
anak perempuan pun disyari’atkan untuk di-’aqiqahi dengan satu ekor kambing.
Adapun untuk anak laki-laki, maka para ulama berbeda pendapat. Shiddiq Hasan
Khan menjelaskan sebagai berikut : ”Jumhur ulama mengatakan bahwa ’aqiqah bagi
anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing. Imam Malik berkata : Satu ekor
kambing.[37][37] Al-Mahalliy :
’Kesimpulannya, asal dari sunnah ’aqiqah untuk anak laki-laki adalah satu ekor
kambing. Namun kesempurnaan dari sunnah tersebut, yaitu dua ekor kambing’”.[38][38]
Kami katakan, yang lebih tepat adalah dhahir pendapat jumhur ’ulamaa, yaitu
yang disyari’atkan ’aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing. Ini
adalah asal dari perintah sekaligus menunjukkan kesempurnaannya.
Bolehkah Menyembelih
Satu Ekor Kambing untuk Anak Laki-Laki ?
Sebagian ulama membolehkannya dengan dasar perbuatan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahkan
Al-Hasan dan Al-Husain dengan seekor kambing.
عن بن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عق عن
الحسن والحسين كبشا كبشا
Dari Ibnu ’Abbas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu meng-’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain masing-masing dengan
seekor kambing”.
Namun, ada pembicaraan mengenai riwayat di atas. Berikut perinciannya :
1. Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 2841, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 11/316
no. 11856, Ibnul-Jarud dalam Al-Muntaqaa no.
911 dan 912, Ath-Thahawiy dalam Al-Musykiil
1/457, Al-Baihaqi 9/302, Ibnu ’Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 4/314 serta Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/530 melalui jalur ’Abdul-Waarits bin Sa’id, dari
Ayyub, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu
’anhuma secara marfu’. ’Abdul-Waarits ini dikuatkan oleh dua riwayat
berikut :
2. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
dalam Al-Hilyah 7/116 melalui jalur
Ya’la bin ’Ubaid, dari Ayyub, dari Sufyan, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma secara marfu’.
Akan tetapi sanad ini lemah karena adanya sisipan Sufyan antara Ayyub dan
’Ikrimah. Yang shahih, Ayyub menerima riwayat dari ’Ikrimah (tanpa melalui
perantara Sufyan), dari Ibnu ’Abbas sebagaimana disebutkan pada jalur yang
pertama.
3. Diriwayatkan pula oleh
Al-Khaathib dalam At-Taarikh 10/no.
5302 dari jalur Hafsh bin Muhammad Al-Bashriy, dari Ayyub, dari ’Ikrimah, dari
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma secara
marfu’. Nama Hafsh bin Muhammad Al-Bashriy dalam rantai sanad ini adalah
keliru. Yang benar adalah Hafsh bin ’Umar Al-Bashriy. Adz-Dzahabi dalam Al-Mizaan 1/567 no. 2158 (tahqiq : ’Ali
Muhammad Al-Bajawiy) berkata :
حفص بن عُمر، بصري. عن أيوب السختياني في العقيقة. قال
الأزدي : منكر الحديث
”Hafsh bin ’Umar Al-Bashriy, dari Ayyub
As-Sikhtiyaaniy dalam hadits ’aqiqah. Berkata Al-Azdiy : Munkaarul-hadits”.
Dikarenakan dua riwayat penguat ‘Abdul-Waarits itu tidak shahih, maka
yang tersisa hanyalah jalur pertama saja, yaitu ‘Abdul-Waarits bin Sa’id, dari
Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’. Inilah yang dapat
dipegang.
Jalur ini pun tidak luput dari penyakit. ’Abdul-Warits menyelisihi banyak
perawi – diantara mereka ada yang lebih kuat daripadanya – dalam hal
kebersambungan sanadnya.
Ibnul-Jarud berkata :
رواه الثوري وابن عيينة وحماد بن زيد وغيرهم عن أيوب لم يجاوزوا به عكرمة
”Diriwayatkan oleh Ats-Tsauriy, Ibnu ’Uyainah, Hammad bin Zaid, dan yang
lainnya, dari Ayyub, dari ’Ikrimah secara mursal”.[39][39]
Hammad bin Zaid statusnya lebih kuat daripada ’Abdul-Warits untuk riwayat
yang berasal dari Ayyub.
’Abdurrazzaq dalam kitab Al-Mushannaf
no. 7962 meriwayatkan dengan sanad mursal :
عن معمر والثوري عن أيوب عن عكرمة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عق عن
حسن وحسين كبشين
Dari Ma’mar dan Ats-Tsaury, dari ’Ikrimah : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi
Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing kibasy”.
Muhammad bin ’Abdil-Qadir ’Atha’ – pentahqiq kitab As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqi – ketika mengomentari hadits ’aqiqah
Al-Hasan dan Al-Husain di atas menyebutkan perkataan Abu Hatim bahwasannya
riwayat dari ’Ikrimah dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam secara mursal itu lebih shahih.[40][40] Perkataan Ibnu
Abi Hatim secara lengkap adalah sebagai berikut :
وسألت أبي عن حديث رواه عبد الوارث، عن أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس : أنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنِ الْحُسَين والْحَسَن كَبْشَتَين ؟ قال
أبي : هذا وهم؛ حدثنا أبو معمر، عن عبد الوارث، هكذا. ورواه وُهَيب، وابن
عُلَيَّة، عن عِكرمة، عن النبي صلى الله عليه وسلم، مُرسَلٌ. قال أبي : وهذا
مُرسَلً، أَصَحُّ
”Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan
’Abdul-Waarits, dari Ayyub, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam meng-’aqiqahi Al-Husain dan Al-Hasan dengan dua ekor kambing ?”.
Ayahku berkata : ”Ini keliru. Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, dari
’Abdul-Waarits dengan sanad ini. Dan diriwayatkan oleh Wuhaib dan Ibnu
’Ulayyah, dari ’Ikrimah, dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam dengan sanad mursal”. Ayahku berkata : ”Sanad mursal ini
lebih shahih”.[41][41]
Kesimpulannya, sanad hadits ini yang shahih adalah mursal.
Selain itu, riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain
masing-masing dengan seekor kambing, bertentangan dengan riwayat lain yang
dibawakan oleh An-Nasa’i (no. 4219) dari jalur Qatadah, dari ’Ikrimah, dari
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma :
عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين رضي الله عنهما بكبشين
كبشين
Dari Ibnu ’Abbas ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain radliyallaahu ’anhuma masing-masing
dengan dua ekor kambing kibasy”.
Sanad hadits ini dla’if karena ’an’anah
dari Qatadah. Riwayat An-Nasa’i ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Hakim (4/237) melalui jalur Siwaar Abi Hamzah, dari ’Amr bin Syu’aib,
ayahnya, dari kakeknya :
أن النبي صلى الله عليه وعلى اله وسلم عق عن الحسن والحسين عن كل واحد
منهما كبشين اثنين مثلين متكافيين
”Bahwasannya Nabi shallallaahu
’alaihi wa aalihi wasallam meng-’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain
masing-masing dengan dua ekor kambing kibasy yang sama dan setara”.
Sanad hadits ini dla’if karena Siwaar Abu Hamzah adalah dla’if (sebagaimana
dikatakan oleh Adz-Dzahabiy). Namun, ia layak digunakan sebagai syaahid.
Ada hadits serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 5309 melalui jalur
Ibnu Wahb, dari Jarir bin Haazim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik :
عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن حسن و حسين بكبشين. ذكر البيان بأن قول
أنس : بكبشين أراد به عن كل واحد منهما
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing kibasy”.
Disebutkan penjelasan bahwa maksud perkataan Anas ”dengan dua ekor kambing
kibasy” adalah masing-masing dari mereka (dua ekor).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Al-Musykil 1/456, Abu Ya’laa no. 2945,
Al-Bazzaar no. 1235, dan Al-Baihaqi 9/299 dari beberapa jalan Ibnu Wahb dengan
sanad ini. Mengenai sanad ini; Ahmad bin Hanbal yang dinukil oleh Adl-Dliyaa’
dalam Al-Mukhtaarah, Ibnu Ma’in dalam
Al-’Ilal karya ’Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal (no. 3912), dan Ibnu ’Adiy dalam Al-Kaamil
(2/130) semuanya menyimpulkan bahwa riwayat Jarir bin Haazim dari Qatadah
adalah lemah. Juga, sanad hadits ini sebenarnya mursal. Ibnu Abi Hatim berkata
:
وسألتُ أبي عن حديث ابن وهب، عن جَرير ابن حازم، عن قتادة، عن أنس قال :
عَقَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحُسَين بكبشين ؟. قال أبي : أخطأ
جرير في هذا الحديث؛ إنما هو : قتادة، عن عِكرمة قال : عَقَّ رسول ٰلله صلى الله
عليه وسلم مُرسَل
Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits Ibnu Wahb, dari Jarir bin Haazim,
dari Qatadah, dari Anas ia berkata : ”Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi
Al-Hasan dan Al-Husain dengan dua ekor kambing kibasy ?”. Ayahku berkata :
”Jarir telah salah dalam hadits ini. Sesungguhnya sanad hadits tersebut adalah
: Qatadah, dari ’Ikrimah ia berkata : ’ Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi...’ ; secara mursal”.[42][42]
Riwayat ini juga belum lepas dari ’an’anah
Qatadah. Walhasil, hadits ini pun statusnya dla’if mursal.
Akan tetapi, secara keseluruhan, riwayat yang menyatakan ’aqiqah Al-Hasan
dan Al-Husain masing-masing dengan dua ekor kambing dapat terangkat. Minimal
berderajat hasan.[43][43] Apalagi hadits tersebut sesuai dengan keumuman
peng-’aqiqahan bagi seorang anak laki-laki dengan dua ekor kambing.
Menyembelih dua ekor kambing dalam syari’at ’aqiqah inilah yang sesuai
dengan sunnah Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam.
Apakah Persyaratan
Hewan ‘Aqiqah Sama dengan Hewan Qurban ?
Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dhahirnya, syarat-syarat yang
untuk hewan qurban tidak harus ada pada hewan ’aqiqah. Artinya, sah hukumnya
jika seseorang meng-’aqiqahi anaknya dengan kambing yang memiliki cacat atau
hal-hal yang lain yang tidak memenuhi persyaratan hewan kurban. Asy-Syaukani
berkata :
الثاني هل يشترط فيها ما يشترط في الأضحية وفيه وجهان للشافعية. وقد
استدل بإطلاق الشاتين على عدم الأشتراط وهو الحق لكن لا لهذا الإطلاق بل لعدم ورود
ما يدل ههنا على تلك الشروط والعيوب المذكورة في الأضحية وهي أحكام شرعية لا تثبت
بدون دليل
”Kedua, apakah persyaratan bagi hewan ’aqiqah seperti persyaratan hewan
kurban ? Bagi Syafi’iyyah ada dua pendapat. Yang tidak mengkaitkan hewan
’aqiqah dengan syarat-syarat tersebut berdalil dengan penyebutan ”syaataini” secara mutlak tanpa menyebut
syarat-syarat tertentu. Inilah pendapat yang benar. Bahkan, tidak ada satu
hadits pun yang menunjukkan bahwa hewan untuk ’aqiqah harus memenuhi syarat dan
tidak memiliki cacat seperti yang diwajibkan pada hewan kurban. Perkara ini
adalah masalah syari’at, dan masalah syari’at tidak boleh ditentukan kecuali
dengan adanya dalil”.[44][44]
Yang Diucapkan ketika
Menyembelih Hewan ’Aqiqah
1. Mengucapkan basmalah dan
bertakbir ( = bismillaahi wallaahu akbar !!)
Allah ta’ala berfirman :
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
عَلَيْهِ
”Maka makanlah dari
apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu
(waktu melepasnya)” [QS.
Al-Maaidah : 4].
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
”Dan janganlah kamu
memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan” [QS. Al-Maaidah : 121].
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ
وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
Dari
Anas ia berkata : Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah
tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor
kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak
kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir”.[45][45]
Jika
seseorang lupa membaca basmalah ketika menyembelih, maka tidak mengapa.
2. Menyebut nama orang yang
ber-‘aqiqah.
عن
عائشة قالت يعق عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة قالت عائشة فعق رسول
الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين شاتين شاتين يوم السابع وأمر أن يماط عن
رأسه الأذى وقال اذبحوا على اسمه وقولوا بسم الله الله أكبر اللهم منك ولك هذه
عقيقة فلان
قال
وكانوا في الجاهلية تؤخذ قطنة تجعل في دم العقيقة ثم توضع على رأسه فأمر رسول الله
صلى الله عليه وسلم أن يجعلوا مكان الدم خلوقا
Dari ’Aisyah ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melakukan
’aqiqah untuk Al-Hasan dan Al-Husain dengan menyembelih masing-masing dua ekor
kambing pada hari ketujuh kelahirannya. Beliau memerintahkan untuk
menghilangkan kotoran di kepalanya. Beliau berkata : ’Sembelihlah atas nama-Nya, dan katakanlah : Bismillaahi Allaahu akbar.
Allaahumma minka wa laka hadzihi ’aqiiqatu Fulaan (Dengan menyebut nama Allah,
Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan
untuk-Mu ’aqiqah si Fulan ini)”.
Perawi berkata : “Dulu pada masa Jahiliyyah,
mereka mengambil kapas yang dibasahi dengan darah hewan ‘aqiqah, yang kemudian
mereka oleskan pada kepala anak/bayi. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mengganti darah (yang
dioleskan pada kepala anak) dengan khuluuq
(wewangian)”.[46][46]
Bolehkah
Menghancurkan Tulangnya ?
Sebagian ulama (seperti Asy-Syafi’iy, Ahmad, dan yang lainnya) melarang
menghancurkan tulang pipa hewan sembelihan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada
beberapa hadits, diantaranya :
عن أم كرز وأبي كرز
قالا نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا
جزورا فقالت عائشة رضى الله تعالى عنها لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان
وعن الجارية شاة تقطع جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق وليكن ذاك يوم
السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين
Dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata : ”Telah bernadzar
seorang wanita dari keluarga ’Abdurrahman bin Abi Bakr jika istrinya melahirkan
anak, mereka akan menyembelih seekor onta. Maka ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa berkata : ”Jangan, bahkan yang disunnahkan itu
lebih utama. Untuk anak
laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. Dipotong
anggota badannya, dan jangan dipecahkan tulangnya”.[47][47]
إن تبعثوا الى
القابلة منها برجل وكلوا وأطعموا ولا تكسروا منها عظما
“Berikan kaki (hewan ‘aqiqah)
kepada bidan. Makanlah dan berilah makan, akan tetapi jangan engkau hancurkan
tulangnya”.[48][48]
Namun sayangnya, riwayat-riwayat tersebut adalah dla’if sehingga tidak bisa
dipakai untuk hujjah. Adapun ulama yang lain berpendapat bolehnya menghancurkan
tulangnya. Dan inilah yang benar.
Bolehkah Menjual Kulit
dan Dagingnya ?
’Aqiqah merupakan salah satu sembelihan dalam rangka taqarrub kepada Allah ta’ala. Oleh karena itu sebagian ulama melarang
untuk menjual daging dan kulit hewan ’aqiqah diqiyaskan dengan penyembelihan
hewan qurban/hadyu, berdasarkan hadits :
عن علي قال أمرني
رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقوم على بدنه وأن أتصدق بلحمها وجلودها وأجلتها
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkanku agar dia mengurusi budnnya
(yaitu : onta-onta hadyu). (Beliau
juga memerintahkan) agar menshadaqahkan membagi semuanya dari hewan kurban
tersebut, (yang meliputi) dagingnya, kulitnya, dan jilal-nya”.[49][49] [HR. Al-Bukhari no. 1630 dan Muslim no. 1317.
Tambahan lafadh : “pada orang-orang
miskin” merupakan tambahan dari riwayat Muslim].
Sebaiknya Memberi
dalam Keadaan Matang/Masak atau Mentah ?
Ibnul-Qayyim menjelaskan :
وهذا لأنه إذا
طبخها فقد كفى المساكين والجيران مؤنة الطبخ وهو زيادة في الإحسان وشكر هذه النعمة
ويتمتع الجيران والأولاد والمساكين بها هنيئة مكفية المؤنة فإن من أهدي له لحم
مطبوخ مهيأ للأكل مطيب كان فرحه وسروره به أتم من فرحه بلحم نيء يحتاج إلى كلفة
وتعب فلهذا قال الإمام أحمد يتحملون ذلك وأيضا فإن الأطعمة المعتادة التي تجري
مجرى الشكران كلها سبيلها الطبخ
”Dan hal ini jika daging ’aqiqah dibagi setelah dimasak, berarti ia telah
meringankan biaya pengolahan masakan bagi tetangga dan orang-orang miskin. Ini
merupakan kebaikan tambahan yang ia berikan dan rasa syukur yang lebih terhadap
nikmat yang ia dapatkan sehingga tetangga, anak-anak, dan orang-orang miskin
dapat langsung menyantap daging tersebut tanpa berpikir mencari biaya untuk
memasaknya. Oleh karena itu, menghadiahkan daging yang sudah masak dan siap
santap lebih menumbuhkan rasa gembira daripada menghadiahkan daging yang masih
mentah. Imam Ahmad berkata : ’Demikian juga makanan yang biasanya diberikan
sebagai ungkapan rasa syukur adalah makanan yang sudah dimasak”.[50][50]
Walimah ’Aqiqah
Imam Malik dan Imam
Asy-Syafi’i mengatakan tidak perlu mengadakan walimah dengan mengundang
orang-orang makan di rumahnya. Yang perlu ia lakukan adalah menshadaqahkan
kepada para tetangga (dengan mengantarkannya).[51][51] Namun ulama lainnya mengatakan boleh mengadakan walimah ‘aqiqah dengan
mengundang para tetangga ke rumahnya.
An-Nawawi berkata :
قال أصحابنا
والتصدق بلحمها ومرقها على المساكين بالبعث إليهم أفضل من الدعاء إليها ولو دعا
إليها قوما جاز ولو فرق بعضها ودعا ناسا إلى بعضها جاز
“Berkata shahabat-shahabat
kami : Menshaqahkan daging dan gulainya kepada orang-orang miskin dengan
mengantarkan kepada mereka adalah lebih utama daripada mengundang orang-orang
untuk mekana di rumahnya. Jika ada seseorang yang mengundang (ke rumahnya) satu
kaum, maka hukumnya boleh. Dan boleh juga, ia menshaqadahkan daging ‘aqiqah
tersebut ke sebagaian orang dan ia undang sebagian yang lain, maka inipun
hukumnya boleh”.[52][52]
Ibnu Qudamah berkata :
وإن طبخها ودعا
إخوانه فأكلوها فحسن
“Yang lebih baik dalam
‘aqiqah adalah memasak daging tersebut, lalu mengundang para tetangga untuk
menyantapnya”.[53][53]
Tidak ada dalil yang
menyatakan pelarangan dalam hal ini. Pada asalnya, mengadakan walimah itu
sifatnya mubah. Wallaahu a’lam.
Adapun bagi orang yang
diundang menghadiri walimah ‘aqiqah, maka ia wajib datang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda :
إذا دعي أحدكم إلى
طعام فليجب، فإن كان مفطراً فليطعم، وإن كان صائماً فليصل. يعني: الدعاء
“Bila salah seorang diantara kalian diundang untuk menghadiri jamuan
makan, hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Jika tidak sedang berpuasa
hendaklah ia ikut makan. Dan jika sedang berpuasa hendaklah ia ikut mendoakan”.[54][54]
Kecuali jika dalam acara
tersebut terdapat maksiat, maka ia tidak wajib hadir.
عن أبي مسعود أن
رجلا صنع طعاما فدعاه فقال أفي البيت صورة قال نعم فأبى أن يدخل حتى تكسر الصورة
Dari Abu Mas’ud :
Bahwasnnya pernah ada seseorang membuat makanan untuknya. Lalu dia mengundang
Abu Mas’ud untuk makan. Abu Mas’ud bertanya kepadanya : ”Apakah di dalam
rumahmu ada gambar-gambar (makhluk hidup)?”. Orang tersebut menjawab : ”Ada”. Abu Mas’ud tidak
mau masuk sebelum gambar tersebut dirobek.[55][55]
Mencukur Rambut Bayi
كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
”Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari
ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama”.[56][56]
Hadits ini menunjukkan
disyari’atkannya mencukur rambut pada hari ketujuh, tepat pada saat hari
pelaksanaan ‘aqiqah.
Ash-Shan’aniy berkata :
وفي قوله في حديث سمرة "ويحلق" دليل على شرعية حلق رأس المولود
يوم سابعه، وظاهره عام لحلق رأس الغلام والجارية. وحكى المازري كراهة حلق رأس
الجارية، وعن بعض الحنابلة تحلق لإطلاق الحديث. وعن بعض الحنابلة تحلق لإطلاق
الحديث
“Dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pada
hadits Samurah : ‘wa yuhlaqu’ ;
merupakan bukti disyari’atkan mencukur rambut kepala bayi pada hari ketujuh.
Dan dhahirnya, hal itu umum mencakup mencukur rambut kepala bayi laki-laki
maupun perempuan. Dihikayatkan bahwa Al-Maziriy membenci mencukur rambut kepala
bayi perempuan. Dan dari sebagian ulama Hanabilah, disyari’atkan mencukur
rambut bayi laki-laki dan perempuan sesuai dengan kemutlakan hadits”.[57][57]
Pendapat Al-Maziriy patut
untuk disisihkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya.
Dalam mencukur rambut,
maka dilarang untuk melakukan qaza’,
sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ’Umar radliyallaahu
’anhuma (ia berkata) :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن القزع
”Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melarang qaza’ “.[58][58]
Dalam riwayat Ahmad disebutkan :
أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى صبيا قد حلق بعض شعره وترك بعضه فنهى عن
ذلك وقال احلقوا كله أو اتركوا كله
”Bahwasannya Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam melihat seorang anak-anak yang dicukur sebagian rambutnya
dan dibiarkan sebagian yang lainnya. Maka beliau melarangnya dengan bersabda : “Cukurlah seluruhnya atau biarkan
seluruhnya”.[59][59]
Para ulama berbeda pendapat tentang
makna qaza’. Namun dengan melihat
seluruh penjelasan yang ada, maka larangan qaza’
ini ada empat macam :
- Mencukur rambut kepala pada bagian-bagian tertentu secara acak.
- Mencukur bagian tengah kepala dan membiarkan kedua belah sisinya.
- Mencukur kedua belah sisi kepala dan membiarkan bagian tengahnya.
- Mencukur bagian depan dan membiarkan bagian belakang.
Disunnahkan bershadaqah perak seberat rambut yang dicukur.
عن علي بن أبي طالب قال : عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن
الحسن بشاة وقال يا فاطمة احلقي رأسه وتصدقي بزنة شعره فضة قال فوزنته فكان وزنه
درهما أو بعض درهم
Dari ’Ali bin Abi Thalib ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi Al-Hasan dengan
kambing. Beliau berkata : ”Wahai
Fathimah, cukurlah rambut kepalanya, dan bershadaqahlah perak seberat timbangan
rambutnya”. ’Ali berkata : ”Maka aku menimbangnya dimana berat rambut
tersebut adalah satu dirham atau setengah dirham”.[60][60]
Larangan Tadmiyyah
Tadmiyyah adalah tradisi masyarakat
jahiliyyah yang melumurkan darah hewan ’aqiqah ke kepala si bayi. Ada beberapa
hadits yang menyebutkan perintah tadmiyyah,
namun hadits-hadits ini jauh sekali dari kata shahih.[61][61]
Bahkan ada riwayat shahih yang melarang tradisi jahiliyyah ini.
عن عائشة قالت : كانوا في الجاهلية إذا عقوا عن الصبي خضبوا قطنة بدم
العقيقة فإذا حلقوا رأس الصبي وضعوها على رأسه فقال النبي صلى الله عليه وسلم : (
اجعلوا مكان الدم خلوقا )
Dari ’Aisyah ia berkata : ” “Dulu pada masa Jahiliyyah, jika mereka
meng-’aqiqahi seorang anak, mereka mencelupkan kapas dengan darah hewan ‘aqiqah
dimana ketika mereka mencukur rambut kepala anak tersebut, mereka oleskan pada
kepalanya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam berkata : ”Gantilah darah
(yang dioleskan pada kepala anak) dengan khuluuq (wewangian)”.[62][62]
عن يزيد بن عبد المزني : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يعق عن الغلام
ولا يمس رأسه بدم
Dari Yazid bin ’Abd Al-Muzanniy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda : ”Disembelih ’aqiqah untuk anak dan tidak
boleh diusap kepalanya dengan darah”.[63][63]
Asy-Syaukani berkata :
وقد كره الجمهور التدمية واستدلوا عن ذلك بما أخرجه ابن حبان في صحيحه عن
عائشة....
”Jumhur ’ulamaa membenci at-tadmiyyah.
Mereka berdalil akan hal itu dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban
dalam Shahih-nya dari ’Aisyah.....”.[64][64]
Al-Albani berkata :
أضف إلى ما سبق أن تدمية رأس الصبي عادة جاهلية قضى عليها الاسلام
”Tadmiyyah merupakan tradisi
orang-orang Jahiliyyah. Lalu tradisi tersebut dihapuskan oleh Islam...”.[65][65]
Allaahu a’lam.
[1][1] Tuhfatul-Maudud bi-Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim, hal. 33-34, tahqiq : ‘Abdul-Mun’im
Al-‘Aaniy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah; Cet. 1/1403, Beirut.
[3][3] Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2/380;
Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo.
[4][4] Diriwayatkan Abu Dawud no. 2842; Nasa’i no. 4212; Ahmad no.
6713, 6822; dan Abdurrazzaq no. 7961. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah
4/213 no.1655; Maktabah Al-Ma’arif, Cet. Tahun 1415, Riyadl.
[6][6] Nailul-Authaar oleh Muhammad bin ’Ali Asy-Syaukaniy, 5/153;
Maktabah Mushthafaa Al-Baabiy Al-Halabiy.
[7][7] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 5472, Abu Dawud no. 2839, At-Tirmidzi no. 1515, Ibnu Majah no. 3164, dan
yang lainnya.
تكلَّم الناسُ في هذا، وأجْودُ ما قيل فيه ما ذَهب إليه
أحمدُ بن حنْبَل. قال: هذا في الشفاعَةِ، يريدُ أنه إذا لم يُعَقَّ عنه فمات طِفلا
لم يَشْفَع في والدَيه. وقيل معناه أنه مَرهون بأذَى شَعَره، واستدَلُّوا بقوله:
فأمِيطُوا عنه الأذَى
“Orang-orang banyak berbicara tentang hadits ini
dan komentar yang paling baik adalah komentar Ahmad bin Hanbal. Ia berkata :
’Ini berkaitan dengan syafa’at. Apabila si anak meninggal dunia pada saat masih
kecil sementara ia belum di-aqiqah-kan (oleh walinya), maka anak tersebut tidak
dapat memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya” [An-Nihayah fii Ghariibil-Hadiits oleh Ibnul-Atsiir – materi kata رهن ; Maktabah Al-Misykah. Lihat pula Sunan Abi Dawud wa Ma’aalimus-Sunan
lil-Khaththabi 3/175; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418, Beirut ].
Ibnul-Qayyim berkata dalam kitabnya At-Tuhfah sebagai komentar dan bantahan
terhadap pendapat ’Atha’ yang diikuti oleh Ahmad yang mana mereka menafsirkan
makna ”tergadai” dengan terhalangnya syafa’at si anak untuk kedua orang tuanya.
Beliau berkata :
”Pendapat ini masih perlu ditinjau ulang, karena
tidak diragukan lagi bahwa syafa’at seorang anak terhadap orang tuanya tidaklah
lebih utama daripada syafa’at orang tua terhadap anaknya, dan tidak seorangpun
yang dapat memberi syafa’at pada hari kiamat nanti kecuali setelah mendapat
ijin yang diberikan Allah ta’ala kepada orang-orang yang Dia kehendaki dan Dia
ridlai. Ijin yang diberikan Allah ta’ala berdasarkan amalan orang yang diberi
syafa’at, baik yang berkaitan dengan tauhidnya maupun keikhlasannya.
Seseorang dapat memberi syafa’at karena
kedekatannya kepada Allah, bukan disebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan
orang yang diberi syafa’at. Bukan dikarenakan ia sebagai seorang anak, dan
bukan pula sebagai ayah. Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam pernah memberi pengarahan kepada paman, bibi, dan anak
perempuannya (Fathimah) :
لا أغني عنكم من الله شيئا
”Aku tidak dapat membantu kalian sedikitpun di hadapan Allah” ; dalam
riwayat lain disebutkan dengan lafadh :
لا أملك لكم من الله شيئا
”Sedikitpun aku tidak kuasa menolong kalian dari (siksaan) Allah
sedikitpun”.
Lantas, dari mana datangnya pernyataan bahwa anak
akan memberi syafa’at kepada orang tuanya, namun apabila mereka tidak
menyembelih ’aqiqah untuk anaknya maka si anak tidak dapat memberi syafa’at
kepada orang tuanya ? Juga, tidak dapat dikatakan bahwasanya seorang yang tidak
dapat memberikan syafa’at kepada orang lain adalah orang yang tergadai. Tidak
ada satu lafadh hadits pun yang menunjukkan makna seperti ini. Bahkan Allah
ta’ala telah mengkhabarkan bahwa seorang hamba akan tergadai dengan amalannya
semasa di dunia. Allah ta’ala berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” [QS. Al-Mudatstsir : 38].
أُولَئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا
”Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan
perbuatan mereka sendiri” [QS. Al-An’am : 70].
Jadi seorang yang tergadai adalah orang yang
bertanggung jawab atas apa yang pernah ia lakukan atau dikarenakan perbuatan
orang lain. Adapun orang yang tidak mempu memberikan syafa’at, tidak dapat
disebut murtahin (orang yang
tergadai), akan tetapi murtahin adalah
seorang yang terhalang untuk mendapatkan sesuatu. Bisa jadi karena perbuatannya
sendiri dan bisa jadi karena perbuatan orang lain.
Allah ta’ala menetapkan agar menyembelih hewan sebagai
pembebas seorang anak dari gadaian syaithan yang terus mengaitkannya sejak ia
lahir ke dunia dan menusuk bagian pinggangnya. ’Aqiqah merupakan penebus dan
pembebas seorang anak dari kungkungan syaithan yang senantiasa menghalanginya
untuk meraih kemaslahatan akhirat yang merupakan tempat kembalinya si anak.
Jadi seolah-olah ia dipenjara untuk disembelih syaithan dengan pisau yang telah
ia persiapkan untuk para wali dan pengikutnya serta telah bersumpah di hadapan
Allah bahwa ia akan menyesatkan anak cucu Adam. Sedikit sekali orang-orang yang
selamat dari sumpah syaithan ini, sementara syaithan masih terus siagamenunggu
dan mengganggu setiap anak yang lahir ke dunia. Ketika seorang anak lahir,
syaithan langsung merekrut anak ini dan berusaha agar anak ini menjadi
tawanannya dan di bawah kendalinya serta menjadikannya sebagai salah seorang
pengikut dan anggota kelompoknya.
Syaithan sangat sungguh-sungguh dalam melaksanakan hal ini, sehingga mayoritas
anak menjadi pengikut dan bala tentara syaithan, sebagaimana firman Allah
ta’ala :
وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلادِ
”Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak” [QS. Al-Israa’ : 64].
Dia juga berfirman :
وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ إِبْلِيسُ ظَنَّهُ
”Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya
terhadap mereka” [QS.
Sabaa’ : 20].
Karena setiap anak yang lahir akan tertawan, maka
Allah ta’ala menganjurkan agar orang tua si anak membebaskan anaknya dari
tawanan dengan menyembelih hewan sebagai tebusan. Jika orang tua si anak tidak
melakukannya, maka si anak tetap berstatus sebagai tawanan. Oleh karena itu,
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah
bersabda : ”Seorang anak itu tergadai
dengan ’aqiqahnya. Maka tumpahkanlah darah untuknya dan bersihkanlah dia dari
kotoran”.
Pada hadits ini Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan agar menumpahkan darah
(dengan menyembelih hewan ’aqiqah) untuk membebaskan anak dari tawanan itu.
Apabila tawanan tersebut berkaitan dengan kedua orang tua, tentu beliau shallallaau ’alaihi wasallam mengatakan
: ”Tumpahkanlah darah untuk kalian agar
kalian memperoleh syafa’at (dari anak kalian)”. Dengan adanya perintah agar
orang tua membuangkotoran yang ada pada fisik si anak dan menyembelih hewan
untuk membersihkan kotoran mental si anak, maka jelaslah bahwa tujuan syari’at
adalah untuk membersihkan lahir bathin si anak dari berbagai kotoran. Dan Allah
lah yang lebih mengetahui maksud firman-Nya dan maksud sabda Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam.”
[selesai penjelasan Ibnul-Qayyim dengan peringkasan
– Tuhfatul-Maudud bi-Ahkaamil-Maulud
hal. 50-52].
[9][9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 2837-2838; At-Tirmidzi no. 1522; An-Nasa’i no. 4220; Ibnu Majah no. 3165;
Ahmad 5/7,12,17,22; dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/196,
Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 1/1419, Riyadl.
[10][10] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no.
1513, Ibnu Majah no. 3163, dan Ahmad 6/31. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/164;
Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 1/1420, Riyadl.
[11][11] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
9/304 no. 19300 (tahqiq : Muhammad ‘Abdil-Qadir ‘Atha’ – Daarul-Kutub, Cet.
3/1424, Beirut).
[12][12] Lihat penjabarannya dalam Irwaaul-Ghaliil oleh Asy-Syaikh
Al-Albani 4/379-385 no. 1164; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1399, Beirut.
[13][13] Al-Baihaqi berkata : {
إن صح فكأنه أراد أن يتولى العقيقة
عنهما بنفسه } “Apabila shahih, maka yang
dimaksud adalah bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam sendiri yang menyembelih ‘aqiqah untuk mereka berdua
(Al-Hasan dan Al-Husain)” [As-Sunan
Al-Kubraa 9/304].
ومعنى قوله رهينة بعقَيِقته أن العقَيِقَة لازِمةٌ له
لابُدَّ منها، فشبّهه في لُزومها له وعَدم انْفِكاكه منها بالرَّهن في يَدِ
المُرْتَهن
“Makna sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam : ”tergadai dengan
’aqiqahnya” ; adalah bahwasannya ‘aqiqah merupakan satu keharusan yang
hendaknya dilakukan. Keharusan tersebut seperti keharusan menebus barang yang
tergadai dari orang yang berpiutang” [An-Nihaayah
fii Ghariibil-Hadiits – materi kata رهن ; Maktabah Al-Misykah].
[22][22] Diriwayatkan
oleh Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no.
723 dan Al-Baihaqi 9/303 no. 19293 dari jalan Isma’il bin Muslim (seorang
perawi dla’if karena faktor hafalannya), dari Qatadah (mudallis, dimana dalam hadits ini ia meriwayatkan dengan ’an’anah), dari ’Abdullah bin Buraidah,
dari ayahnya secara marfu’.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dari
jalan ’Atha’, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz.
Dhahir sanad hadits ini adalah shahih, namun padanya terdapat dua ’illat, yaitu :
a.
Terputusnya sanad antara
’Atha’ dan Ummu Kurz.
Ibnu Hajar berkata : ”Berkata ’Ali bin Al-Madini :
Abu ’Abdillah (’Atha’) melihat Ibnu ’Umar namun ia tidak mendengar haditsnya;
dan ia melihat Abu Sa’id Al-Khudriy sedang thawaf di Ka’bah namun ia tidak
mendengar haditsnya; dan ia tidak dari Zaid bin Khaalid, tidak pula dari Ummu
Salamah, Ummu Hani’, dan Ummu Kurz” [Tahdzibut-Tahdzib
7/182].
b. Syadz
Abu Dawud, An-Nasa’i, dan yang lainnya meriwayatkan
hadits yang menyebutkan adanya rawi antara ’Atha’ dan Ummu Kurz, yaitu ’Atha’,
dari Habibah binti Maisarah, dari Ummu Kurz.
Riwayat-riwayat ini tidak menyebutkan lafadh : ”(Hewan) ’aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh atau empatbelas atau
duapuluh satu”.
[24][24] Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi 9/300 no. 19273 dari jalur ‘Abdurrazzaq, dan hadits ini
diriwayatkan dalam Mushannaf-nya no.
7960; dari ’Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas radliyallaahu ’anhu.
Al-Baihaqi menegaskan bahwa hadits ini munkar, kemudian beliau
menyebutkan sanadnya dan berkata : ”’Abdurrazzaq berkata : Para ulama tidak
memakai riwayat dari ’Abdullah bin Muharrar dikarenakan kondisi hadits ini” [As-Sunan Al-Kubraa 9/300].
Al-Bazzar berkata : ”Hadits ini hanya diriwayatkan
melalui jalur ’Abdullah bin Muharrar dan ia adalah perawi yang sangat lemah” [Zawaaid
no. 1237]. ’Abdullah bin Muharrar adalah matrukul-hadiits sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daruquthni dan
selainnya. Adapun Abusy-Syaikh meriwayatkan dari Isma’il bin Muslim. Dia adalah
perawi lemah. Ibnu Hajar berkata mengenai hadits yang dibawakan Abusy-Syaikh :
”Barangkali Isma’il mencuri hadits ini dari ’Abdullah bin Muharrar” [lihat Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar 9/595].
Selain itu, kelemahan hadits ini juga terletak pada
’an’anah dari Qatadah.
Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 994, Ath-Thahawi dalam Al-Musykil 1/461, dan yang lainnya dari
jalan Al-Haitsam bin Jamil, dari ’Abdullah bin Al-Mutsanna, dari Tsumamah, dari
Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu.
Al-Hafidh mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat (hasan) karena ’Abdullah bin
Al-Mutsanna merupakan rawi yang dicantumkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Akan tetapi tahsin
atas ’Abdullah bin Al-Mutsanna ini harus ditinjau kembali. Benar
bahwasannya ia merupakan perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Akan tetapi hafalannya tidak
kuat sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib (hal. 540 no. 3596 – Daarul-’Ashimah) : ”Shaduq, namun
banyak keliru”. Yang menguatkan kekeliruannya dalam hadits ini adalah bahwa
Ath-Thahawi dalam Al-Musykil meriwayatkan
dari Al-Husain bin Nashr, diriwayatkan pula oleh Al-Khallal (dalam Al-Jaami’) dari Muhammad bin ’Auf;
keduanya – yaitu Al-Husain dan Muhammad – dari Al-Haitsam, dari ’Abdullah bin
Al-Mutsanna, dari seorang laki-laki dari keluarga Anas. Ia (’Abdullah bin
Al-Mutsanna) tidak menyebutkan nama laki-laki dari keluarga Anas tersebut,
kemudian ia menyebutkan hadits dengan sanad yang mursal. Ini merupakan ’illah qaadlihah (cacat yang merusak
keshahihan hadits). An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmuu’ (8/431) bahwa hadits ini bathil.
Catatan : Asy-Syaikh Al-Albani menghasankan hadits
ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no.
2726. Akan tetapi penghukuman beliau atas hadits ini perlu ditinjau kembali.
[25][25] Para ulama
berbeda pendapat mengenai penentuan hari pertama, apakah hari kelahiran
dihitung hari pertama ? Sebagian ulama berpendapat bahwa hari kelahiran tidak
dihitung sebagai hari pertama, kecuali jika anak tersebut lahir pada malam hari
sebelum terbit fajar. Ternukil pendapat ini melalui lisan Al-Imam Malik bin
Anas rahimahullah [Lihat Tuhfatul-Maudud hal. 44.].
Adapun ulama lain berpendapat bahwa hari kelahiran
terhitung sebagai hari pertama kelahiran, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm
dalam Al-Muhalla. Adapun yang rajih menurut
kami adalah pendapat terakhir ini.
Adapun perkataan Al-Imam Malik bin Anas, maka sebenarnya dalam hal ini
ternukil dari beliau perkataan yang lain. Di tempat yang sama (Al-Fath 9/594), Ibnu Hajar menukil
perkataan beliau tersebut : “Barangsiapa yang tidak sempat/bisa mengaqiqahi
(anak) pada hari ketujuh yang pertama, maka hendaknya ia mengaqiqahi pada hari
ketujuh yang kedua (yaitu hari keempatbelas)”.
[28][28] Diriwayatkan oleh Abi Dawud no.
2834-2835, At-Tirmidzi no. 1516, ‘Abdurrazzaq no. 7954, Ahmad 6/422, dan yang
lainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/195.
[29][29] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dalam Al-Kabiir no. 685 dan Ibnu Abi
Syaibah 8/244 no. 24636 (Maktabah Ar-Rusyd; Cet. 1/1425, Riyadl). Asy-Syaikh
Hamdiy bin ‘Abdil-Majid As-Salafy dalam takhrijnya atas riwayat Ath-Thabarani
tersebut mengatakan : “Berkata (Al-Haitsami) dalam Al-Majma’ (4/59) : ‘Rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih”.
[30][30] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dalam Ash-Shaghiir no. 229. Atsar ini palsu (maudlu’). Hadits ini mempunyai banyak cacat. Diantaranya, perawi
yang bernama ’Abdul-Malik bin Ma’ruuf adalah majhul (tidak dikenal). Adapun Mas’adah bin Al-Yasa’, ia dikatakan
oleh Adz-Dzahabi sebagai seorang yang haalik
(celaka). Ia pun seorang rawi yang didustakan oleh Abu Dawud. Untuk
keterangan selengkapnya, silakan lihat Irwaaul-Ghaliil
4/393-394 no. 1168.
[31][31] Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaq no. 7956, At-Tirmidzi no. 1513, Ibnu Majah no. 3163 ;
dan ini adalah lafadh ‘Abdurrazzaq. Asy-Syaikh Al-Albani berkata :
"Shahih sesuai dengan syarat Muslim. " [Irwaaul-Ghaliil 4/390].
[32][32] Diriwayatkan
oleh Ath-Thahawi dalam Al-Musykil 1/457
dan Al-Baihaqi 9/301 no. 19280. Asy-Syaikh Al-Albani berkata :
"Sanadnya hasan, rijalnya adalah rijal Syaikhain, kecuali ‘Abdil-Jabbar.
Tentang dia, Adz-Dzahabi dalam Adl-Dlu’afaa
berkata : ‘Tsiqah’. Al-Bukhari
berkata : ‘Diselisihi dalam sebagian haditsnya’. Al-Hafidh berkata dalam At-Taqrib : ‘Shaduq, kadang
salah/tidak kuat" [Irwaaul-Ghaliil
4/390].
[33][33] Diriwayatkan oleh Al-Hakim no. 7595 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/528. Hadits ini sebenarnya dla’if (lihat kembali catatan kaki no.
22) karena adanya inqitha’ antara
‘Atha’ dengan Ummu Kurz. Akan tetapi hadits ini (yaitu khusus pada lafadh yang
disebutkan di atas) menjadi terangkat dengan adanya syahid hadits sebelumnya.
وقد وقع الإجماع على أن العقيقة عن الأنثى شاة
“Telah terjadi ijma’ bahwasannya ‘aqiqah untuk
anak perempuan adalah satu ekor kambing”. [At-Ta’liqatur-Radliyyah
fii Raudlatin-Nadiyyah lil-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani, 3/145; Daar Ibni ‘Affan, Cet. 1/1423, Cairo].
انفرد الحسن وقتادة بقولهما إنه لا يعق عن الجارية بشيء
وإنما يعق عن الغلام فقط بشاة وأظنهما ذهبا الى ظاهر حديث سلمان مع الغلام عقيقته
والى ظاهر حديث سمرة الغلام مرتهن بعقيقته
“Al-Hasan dan Qatadah menyendiri dalam hal ini
dengan perkataannya bahwa anak perempuan tidak perlu di-‘aqiqahi. Yang perlu
di-‘aqiqahi adalah anak laki-laki dengan seekor kambing. Aku (yaitu Ibnu
‘Abdil-Barr – Abul-Jauzaa’) menyangka mereka berdua berpendapat demikian dengan
dhahir hadits Salman : “Tiap anak
laki-laki ada ‘aqiqahnya” dan juga dhahir hadits : “anak laki-laki tergadai dengan ‘aqiqahnya”. [At-Tamhiid, 4/317].
[37][37] Juga merupakan pendapat dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ’Urwah bin
Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad, dan Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin
Al-Hasan. Lihat juga beberapa tentang pendapat ini dalam Al-Mushannaf li-Ibni Abi Syaibah 8/238-240 no. 24612-24617 dan Al-Muwaththa’ no. 1842, 1845, 1846 [tahqiq : Dr. Muhammad
Mushthafa Al-A’dhamiy; Muassasah Zayid, Cet. 1/1425].
[39][39] Al-Muntaqaa (Ghautsul-Makduud bi-Takhriiji Muntaqaa
Ibnil-Jarud – Abu Ishaq Al-Huwainiy), 3/192 no. 912.
[41][41] Al-’Ilal Ibnu Abi Hatim 4/543-544
no. 1631, tahqiq : Dr. Sa’d bin ’Abdillah Al-Humaid dan Dr. Khaalid bin
’Abdirrahman Al-Juraisiy; Cet. 1/1426,
Riyadl.
[43][43] Catatan : Syaikh Al-Albani menshahihkan dua riwayat di atas
(meng-‘aqiqahi dengan satu ekor kambing dan dua ekor kambing) dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1164, Shahih Sunan Abi Dawud 2/197, dan Shahih
Sunan An-Nasa’i 3/139 no. 4230 (Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 1/1419, Riyadl).
Beliau dalam Shahih
Sunan Abi Dawud berkata setelah menyatakan keshahihan riwayat satu ekor
kambing : “Akan tetapi riwayat An-Nasa’i yang menyatakan : “Masing-masing dua ekor kambing” ; maka ini lebih shahih.
Abul-Jauzaa’ berkata : Jika dikatakan dua-duanya
shahih dan dua-duanya bisa dipakai, tentu saja hal ini ‘sulit’ untuk diterima.
Hal itu dikarenakan peristiwa peng-‘aqiqahan Al-Hasan dan Al-Husain oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi
hanya sekali. Jika kita
menetapkan salah satunya, maka itu akan menafikkan yang lain. Oleh karena itu,
jika dikatakan bahwa dua-duanya shahih sementara riwayat yang dibawakan oleh
An-Nasa’i itu lebih shahih, maka jadilah riwayat Abu Dawud itu statusnya syadz. Namun pada kenyataannya, riwayat
Abu Dawud tersebut berstatus mursal. Konsekuensinya dla’if. Maka dalam hal ini,
hanya riwayat yang menyatakan ”masing-masing
dua ekor kambing” lah yang dapat diterima dan dipakai.
[46][46] Diriwayatkan
oleh Abu Ya’la no. 4521, Al-Baihaqi 9/303-304 no. 19294, ‘Abdurrazzaq no. 7963, dan
Al-Hakim no. 7588; semuanya melalui jalur Ibnu Juraij, dari Yahya bin Sa’id,
dari ‘Amarah, dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa. Sebagian ulama mendla’ifkan hadits ini karena ‘an’anah Ibnu Juraij. Akan tetapi, dalam riwayat Ibnu Hibban (Mawaaridudh-Dham’aan no. 1057), Ibnu
Juraij telah menegaskan bahwa ia mendengar hadits dari Yahya bin Sa’id. Riwayat
Ibnu Hibban ini sanadnya shahih dengan penyebutan riwayat secara ringkas hanya
pada potongan terakhir, yaitu pada kalimat : “Dulu pada masa Jahiliyyah,....”.
[47][47] Diriwayatkan oleh Al-Hakim no. 7595. Lafadh hadits ini adalah lafadh
yang syadz (ganjil) dan idraj (sisipan) dari perkataan ‘Atha’. Hal
yang membuktikan sahnya dakwaan tersebut adalah dua riwayat berikut :
a.
Dari ‘Amr bin
Dinar, dari ‘Atha’, dari Habibah binti Maisarah, dari Ummu Kurz, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda :
عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang setara/sama dan untuk anak
perempuan satu ekor kambing”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2834, Al-Baihaqi
9/301, Ahmad 6/381, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/195.
b.
Dari Ibnu Juraij,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ’Atha’, dari Habibah binti Maisarah
bin Abi Khats’am, dari Ummu Kurz, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam , sama dengan hadits di atas.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Mawaarid no. 1060, ‘Abdurrazzaq no.
7953, dan Ad-Darimi no. 2009 (Daarul-Mughni, Cet. 1/1421). Sanadnya jayyid
sebagaimana dikatakan oleh Husain Salim Asad dalam Tahqiq Sunan Ad-Darimi (hal. 1250) dan Tahqiq Mawaaridudh-Dham’aan (3/388).
Dua riwayat di atas menunjukkan bahwa tambahan
tersebut mudraj dan sanadnya terputus
antara ‘Atha’ dan Ummu Kurz.
[lihat kembali catatan kaki no. 22 dan 33].
[48][48] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al-Maraasil no. 379 secara marfu’.
Hadits ini dla’if mursal dimana
Muhammad bin ‘Ali bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib tidak pernah bertemu
dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
وقول مالك مثل قول الشافعي أنه تكسر عظامها ويطعم منها
الجيران ولا يدعى الرجال كما يفعل بالوليمة
“Perkataan Malik adalah sebagaimana perkataan Asy-Syafi’i, yaitu
tulangnya boleh dipatahkan dan sebagian dagingnya kepada para tetangga, serta
tidak mengundang orang-orang sebagaimana
yang dilakukan pada pesta pernikahan”.
[53][53] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 10/153, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin
‘Abdil-Muhsin At-Turkiy dan Dr. ‘Abdul-Fattah Muhammad Al-Haluw; Daar
‘Alamil-Kutub, Cet. 3/1417, Riyadl.
[54][54] Diriwayatkan Muslim no. 1431; An-Nasa’i dalam Al-Kubra no. 3270; Ahmad 2/489 no. 10354, 2/507 no. 10953; dan
Al-Baihaqi 7/263 no. 14532 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Ini adalah
lafadh Al-Baihaqi.
[55][55] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi,
sebagaimana disebutkan oleh Al-Haafidh dalam Fathul-Bari 9/249 dengan sanad shahih.
[57][57] Subulus-Salam oleh
Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’aniy 4/135, tahqiq : ‘Ishamuddin Ash-Shabaabathiy
dan ‘Imaad As-Sayyid; Daarul-Hadits, Cet. Thn. 1425, Cairo.
[60][60] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1519; hasan. Takhrij selengkapnya bisa dilihat pada Irwaaul-Ghaliil 4/402-406 no. .1175.
1.
Hadits Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallaah ‘alaihi wasallam :
كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه
ويدمى
“Setiap anak tergadai
dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya,
dan kepalanya dilumuri darah (yudammaa)”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837. Hadits ini sebenarnya shahih, kecuali lafadh “wa yudammaa” (sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/196.
Lafadh ini syadz. Yang mahfudh adalah
dengan lafadh “wa yusamma” (dan
dinamai) sebagaimana yang terdapat dalam no. 2838.. Silakan lihat Irwaaul Ghaliil 4/387-388.
2.
Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda :
سبعة من السنة في الصبي يوم السابع : ......ويلطخ بدم
عقيقته.....
“Ada tujuh perkara yang termasuk sunnah untuk
anak pada hari ketujuh kelahirannya : “……, melumuri (kepalanya) dengan darah hewan
’aqiqah, ………………..”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 558 (tahqiq : Thariq bin ‘Awwdlillah). Sanad hadits
ini dla’if pada rawi yang bernama Rawwad bin Al-Jarrah. Ia seorang yang
bercampur hafalannya di akhir usianya. Lihat Majma’ul-Bahrain oleh Al-Haitsami 3/334 no. 1913 (tahqiq :
‘Abdul-Quddus bin Muhammad Nadzir).
[62][62] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 5308, Abu Ya’la no. 4521,
Al-Bazzar no. 1239, dan Al-Baihaqi 9/303. Hadits ini shahih, perawinya adalah
tsiqat, para perawi Shahihain; kecuali Yusuf bin Sa’id. Ia dipakai oleh An-Nasa’i, dan ia merupakan perawi
tsiqah. Lihat takhrij Asy-Syaikh
Syu’aib Al-Arna’uth terhadap Shahih Ibni
Hibban 12/124-125 (Muassasah Ar-Risalah, Cet. 2/1414, Beirut).
[63][63] Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah no. 3166. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 2452. Lihat pula Irwaaul-Ghaliil 4/388-399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar