Ibnul Atsir -rahimahullah- mengatakan:
وَقِيْلَ سَلَفُ الإِنْسَانِ مَنْ تَقَدَّمَهُ
بِالْمَوْتِ مِنْ آبَائِهِ وَذَوِي قَرَابَتِهِ وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ
الأَوَّلُ مِنْ التَّابِعِينَ السَّلَفَ الصَّالِحَ. {النهاية في
غريب الأثر – (ج 2 / ص 981)}
“Salaf seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya
(meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [2])
Perhatikanlah firman-firman Allah berikut:
“Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22).
Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya
Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu;
dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah
(Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).
Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’
artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa
ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara
istilah, maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang
meliputi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِذَا أُطْلِقَ (( السَّلَفُ
)) عِنْدَ عُلَمَاءِ الاِعْتِقَادِ فَإِنَّمَا تَدُورُ كُلُّ
تَعْرِيْفَاتِهِمْ حَوْلَ الصَّحَابَةِ، أَوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ،
أََوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِيْهِمْ مِنَ الْقُرُوْنِ
الْمُفَضَّلَةِ ؛ ِمنَ الأَئِمَّةِ الأَعْلاَمِ الْمَشْهُودِ لَهُمْ بِالإِمَامَةِ
وَالفَضْلِ وَاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَالإِمَامَةِ فِيهَا ، وَاجْتِنَابِ
الْبِدْعَةِ وَالْحَذَرِ مِنْهَا، وَمِمَّنْ اتَّفَقَتِ الأُمَّةُ عَلىَ
إِمَامَتِهِمْ وَعَظِيْمِ شَأْنِهِمْ فِي الدِّيْنِ ، وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ
الأَوَّلُ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ. (الوجيز 1/15)
Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa
embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar pada para
sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang
mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya para Imam
yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta keteguhan mereka dalam
mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan memperingatkan orang dari padanya.
Demikian pula orang-orang (lainnya) yang telah disepakati akan keimaman dan
jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat
ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15).Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’:
…هَذَا قَوْلُ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ ، وَهُمُ السَّلَفُ الصَّالِحُ…
“…Ini adalah pendapat para sahabat dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik. Dan mereka lah As Salafus Shaleh…”
[3]).Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka?
Maka kami jawab, ini dalilnya;
1. Dari Al Qur’anul Kariem:
Ayat Pertama
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. 4:115).
Penjelasannya:
Cobalah anda renungkan kalimat yang bercetak tebal di atas. Bukankah Allah telah menyatakan bahwa diantara sebab tersesatnya seseorang ialah karena ia mengikuti jalan yang lain dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas bahwa orang-orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para sahabat Rasulullah e.
Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [4]).
Ayat Kedua
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100).
Penjelasannya:
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua (muhajirin & anshar) telah dijamin surga oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari teladan selain mereka yang belum tentu masuk surga dan selamat dari neraka?? Padahal di hadapan kita telah terbentang jalan yang terang benderang menuju Surga dan keridhaan Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?!
Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka? Mungkinkah kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka ketahui? Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka dalam mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai siapa pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada-adakan suatu praktik ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut pembaca?
Ayat Ketiga:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS. 9:119)
Ayat Keempat:
Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9).
Penjelasan ayat ketiga dan keempat:
Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang-orang yang benar (ash shaadiquun), kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka.
Ayat Kelima:
Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya, berarti mereka telah mendapat petunjuk… (QS. 2:137).
Penjelasan ayat kelima:
Konteks ayat ini selengkapnya merupakan bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa barangsiapa mengikuti mereka niscaya akan mendapat petunjuk (ayat 135). Maka Allah membantah klaim mereka tersebut, kemudian memerintahkan mereka untuk mengatakan: kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,…. dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah menentukan hakikat keimanan tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[5]), maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat.
Jadi, jelas sekali bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk ialah dengan mengikuti manhaj para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ayat Keenam:
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26).
Penjelasan ayat keenam:
Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti takwa yang sesungguhnya, sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi “stempel ahli taqwa” bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya… tetapi Pencipta alam semesta; Allah Ta’ala.
Namun sayangnya, masih banyak orang yang berat menerima pengertian ini. Mereka merasa ada banyak cara untuk bertakwa kepada Allah yang terluputkan oleh para sahabat.
2. Dalil dari As Sunnah
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ… أخرجه البخاري ( 2652, 3651, 6429) و مسلم (
2533 )
Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia
ialah mereka yang hidup di zamanku, kemudian yang datang setelah mereka,
kemudian yang datang setelahnya lagi…” (H.R. Bukhari no
2652,3651,6429; dan Muslim no 2533).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ
قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
جَالِسٌ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ فَأَتَيْتُهُمْ
فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ في سَفَرٍ
فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ وَمِنَّا مَنْ يَنْتَضِلُ
وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِي جَشَرِهِ إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ الصَّلَاةَ
جَامِعَةً فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ إِنَّهُ لَمْ
يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ
عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ
آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا … الحديث
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke
masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash sedang duduk berteduh
di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada orang-orang yang berkumpul
mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk di majelis itu dan kudengar ia
mengatakan: “Pernah suatu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat,
diantara kami ada yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah,
dan ada yang sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah
kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya tak ada seorang Nabi pun
sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan umatnya akan setiap
kebaikan yang ia ketahui; dan memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang
ia ketahui. Sesungguhnya umat kalian ini ialah umat yang
keselamatannya ada pada generasi awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan
mengalami bala’ dan berbagai hal yang kalian ingkari… al hadits”
(H.R. Muslim no 1844).Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas maknanya bagi para pembaca. Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As Salafus Shaleh) dari umat ini, ialah generasi terbaik yang terpelihara dari fitnah-fitnah besar yang menimpa umat ini di kemudian hari. Maka wajar jika manhaj mereka yang paling dekat kepada kebenaran, dan paling terjaga dari penyimpangan. Kemudian disusul oleh generasi kedua dan ketiga.
Berangkat dari sini, maka setiap praktik ibadah yang muncul sepeninggal mereka harus kita waspadai. Janganlah terkecoh dengan banyaknya pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah jaminan sebuah kebenaran.
Mutiara Hikmah As Salafus Shaleh
Sebagai pelengkap, berikut ini adalah wasiat-wasiat berharga dari para salaf yang lebih memperjelas akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) dan bahayanya ibtida’ (membuat bid’ah). Sebagian besar mutiara hikmah ini kami nukil dari kitab Al Wajiez fi Aqidatis Salafis Shaleh Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsary -hafidhahullah- jilid 1 hal 153-160.
- Hudzaifah ibnul Yaman :
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا
أََصْحَابُ رَسُولِ اللهِ فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فإَِنَّ الأَوَّلَ
لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ،
خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
(رواه ابن بطة في الإبانة)
“Setiap ibadah yang tidak pernah
diamalkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan
komentar bagi yang belakangan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang yang
gemar beribadah, dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).2. Abdullah bin Mas’ud:
مَنْ كان مُسْتنَاًّ فَلْيَسْتَنِّ بِمَنْ قَدْ
مَاتَ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ كَانُوا خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ ،
وَأَبَرَّهَا قُلُوباً ، وَأََعْمَقَها عِلْماً ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ،
قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَة نَبِيِّهِ وَنَقْلِ دِيْنِهِ فَتَشَبَّهُوْا
بِأََخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ؛ فَهُمْ كَانُوا عَلَى الهَدْيِ المُسْتَقِيمِ
(أخرجه البغوي في شرح السنة)
“Siapa yang ingin mengikuti ajaran tertentu, hendaklah ia mengikuti ajaran
orang yang telah wafat, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka ialah sebaik-baik umat ini. Hati mereka paling baik,
ilmu mereka paling dalam, dan mereka paling tidak suka berlebihan (takalluf)
dalam beragama. Merekalah kaum yang dipilih Allah untuk menjadi pendamping
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyampaikan dien-Nya.
Maka tirulah akhlak dan tingkah laku mereka, karena mereka selalu berada di
atas petunjuk yang lurus” (Diriwayatkan oleh Al Baghawi dalam Syarhus
Sunnah).Beliau juga mengatakan:
اِتَّبِعُوا
وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ؛ عَلَيْكُمْ بِالأََمْرِ العَتِيْقِ (أخرجه الدارمي في سننه)
“Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi. Hendaklah
kalian berpegang teguh dengan perkara yang terdahulu” (Diriwayatkan oleh Ad
Darimi dalam Sunan-nya).- Umar ibnul Khatthab:
وَعَنْ عَابِسٍ بْنِ رَبِيْعَةَ ، قاَلَ :
رَأََيْتُ عُمَرَ بْنَ الخْطَاَّبِ يُقبِّلُ الحَجَرَ- يَعْنِي الأَسْوَدَ-
وَيَقُوْلُ : إِنِّي لأَعْلَمُ أََنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وُلاَ تَنْفَعُ ،
وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ الله ِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلتُكَ
(متفق عليه)
Dari ‘Aabis bin Rabi’ah, katanya: Aku melihat ‘Umar ibnul Khatthab shallallahu
‘alaihi wa sallam mencium Hajar Aswad seraya berkata: “Aku tahu pasti,
bahwa engkau hanyalah sebuah batu yang tak dapat memberi madharat maupun
manfaat. Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menciummu, kau tak akan kucium!” (Muttafaq ‘Alaih)[6]).
عَنْ أَبِي الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ شِخِّيْرٍ قَالَ : عَطَسَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أٌمِّكَ ، أَمَا
يَعْلَمُ أَحَدُكُمْ مَا يَقُوْلُ إِذَا عَطَسَ ؟ إِذَا عَطَسَ أَحَدَكُمْ
فَلْيَقُلْ : اَلْحَمْدُ ِللهِ ، وَلْيَقُلِ الْقَوْمُ : يَرْحَمُكَ اللهُ ،
وَلْيَقُلْ هُوَ : يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ
(رواه عبد
الرزاق في المصنف, 10/451-452, رقم 19677؛ و البيهقي في شعب الإيمان 39, فصل فيما
يقول العاطس في جواب التشميت, رقم 9030).
Dari Abul ‘Ala’ bin Abdillah bin Syikhkhir,
katanya: “Ada
seseorang bersin di samping Umar bin Khatthab t, lalu mengucapkan: “Assalaamu
‘alaika…”, maka sahut ‘Umar: “Alaika wa ‘ala ummik…!
Apa kalian tidak tahu apa yang musti diucapkan ketika bersin? Kalau kalian
bersin hendaknya mengucapkan: “Alhamdulillah”, sedang yang
mendengar mengucapkan: “Yarhamukallaah” lalu yang bersin
membalas: “Yaghfirullaahu lakum” (H.R. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya,
dan Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman).Hadits yang senada juga diriwayatkan dari sahabat Salim bin ‘Ubeid:
أَنَّهُ
كَانَ مَعَ الْقَوْمِ فِي سَفَرٍ فَعَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقَالَ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ- وَعِنْدَ الطَّحَاوِي
فِي مُشْكِلِ الآثَارِ: مَا شَأْنُ السَّلاَمِ وَشَأْنُ مَا هَاهُنَا ؟- ،
ثُمَّ قَالَ بَعْدُ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ مِمَّا قُلْتُ لَكَ ؟
قَالَ: لَوَدِدْتُ أَنَّكَ لَمْ تَذْكُرْ أُمِّي بِخَيْرٍ وَلَا بِشَرٍّ قَالَ :
إنَّمَا قُلْتُ لَكَ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إنَّا بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ
الْقَوْمِ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
وَعَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ ثُمَّ قَالَ : إذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ الْحَدِيث
} وَرَوَاهُ أَحْمَدُ وَفِي لَفْظٍ { فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ
حَالٍ ، أَوْ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }. رواه أبو داود
والترمذي وأحمد وابن حبان في صحيحه
Bahwa ketika beliau bersama rombongannya dalam sebuah safar, ada seseorang
yang bersin lantas mengucap: “Assalaamu ‘alaikum!”, maka sahut
Salim: “Alaika wa ‘ala ummik [7]” –dalam riwayat Ath Thahawy
ditambahkan: “Apa hubungannya antara salam dengan orang bersin?”– Kemudian
Salim berkata lagi: “Nampaknya kau tersinggung dengan ucapanku barusan…?”
jawabnya: “Ya… andai saja kau tak menyebut-nyebut ibuku tadi…” lalu
kata Salim: “Aku tak mengucapkan lebih dari yang diucapkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam … suatu ketika kami sedang bersama beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ada orang yang bersin dan mengucapkan: “Assalaamu
‘alaikum..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Alaika wa ‘ala ummik…” lalu
lanjutnya: “Kalau kalian bersin hendaklah mengucapkan: “Alhamdulillah”
atau “Alhamdulillahi ‘ala kulli haal” atau: “Alhamdulillahi
rabbil ‘alamien” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan
Ath Thahawy).- Abdullah bin Umar:
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ؛ وَإِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً (رواهما اللالكائي في شرح أصول الاعتقاد)
“Semua bid’ah adalah kesesatan, meski orang-orang menilainya baik (bid’ah
hasanah)” (Diriwayatkan oleh Al Laalaka-i dalam Syarh Ushulil I’tiqad)
[8]).
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ لمن
سأله عن مسألةٍ ، وقال له : إِن أَباك نهى عنها: أَأَمْرُ رَسُوْلِ اللهِ
أََحَقُّ أََنْ يُتَّبَعَ ، أََوْ أََمْرُ أَبِي؟! (زاد
المعاد)
Ketika ada seseorang yang mengatakan kepada Abdullah bin ‘Umar :
“Sesungguhnya ayahmu (Umar bin Khatthab) melarang hal itu”. Ibnu Umar balik
bertanya: “Perintah siapakah yang lebih berhak untuk ditaati, perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perintah ayahku??” (Zaadul
Ma’aad 2/178).Ibnu Umar memang terkenal sebagai sahabat yang paling ittiba’ kepada sunnah dan anti bid’ah. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya:
Dari Nafi’ katanya; ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar lantas mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah! Maka Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pun mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah, tapi bukan begitu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami (ketika bersin). Beliau mengajarkan kami agar mengucapkan Alhamdulillaahi ‘ala kulli haal” [9]).
- Abdullah bin ‘Abbas :
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا- لِمَنْ عَارَضَ السُّنَّةَ ؛ بِقَوْلِ أََبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا : يُوشكُ أَنْ تَنـْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ ؛
أََقُوْلُ لَكُمْ : قَالَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلََى آلِهِ
وَسَلَّمَ- وَتَقُوْلُوْنَ : قاَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه عبد الرزاق في المصنف بسند صحيح)
Beliau mengatakan kepada orang yang menolak Sunnah Nabi dengan perkataan Abu
Bakar dan Umar: “Hampir saja hujan batu menimpa kalian…!! Kukatakan bahwa: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda begini dan begitu…” namun
kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu…!!”
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani dalam Mushannaf-nya dengan
sanad shahih) [10]).- Mu’adz bin Jabal
Makna kesesatan orang bijak (زيغة الحكيم), sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud ialah:
أَيْ اِنْحِرَاف الْعَالِم عَنْ الْحَقّ. وَالْمَعْنَى
أُحَذِّركُمْ مِمَّا صَدَرَ مِنْ لِسَان الْعُلَمَاء مِنْ الزَّيْغَة وَالزَّلَّة
وَخِلَاف الْحَقّ فَلَا تَتَّبِعُوهُ (عون المعبود شرح سنن أبي داود, كتاب
السنة, باب: لزوم السنة)
(Yaitu) menyimpangnya seorang ‘alim dari al haq. Jadi maksud ucapan Mu’adz
ialah: “Kuperingatkan kalian akan penyimpangan, kekeliruan dan pernyataan yang
tidak benar, yang muncul dari lisan para ‘ulama; jangan sampai kalian
mengikutinya” (‘Aunul Ma’bud, lihat pada syarah hadits di atas).- Abdullah bin Mas’ud
وَإِيَّاكُمْ وَالْمُحْدَثَاتِ؛ فَإِنَّ شَرَّ
الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (إعلام الموقعين 2/428)
“Waspadailah setiap yang baru (dalam agama), karena sejelek-jelek perkara
ialah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan setiap bid’ah itu sesat” (I’laamul
Muwaqqi’in 2/428).- Sufyan Ats Tsaury -rahimahullah-
البِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ
المَعْصِيَةِ ، المَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا ، وَالبِدْعَةُ لاَ يتُاَبُ مِنْهَا
(أخرجه البغوي في شرح السنة)
“Bid’ah itu lebih disukai oleh
Iblis dari pada kemaksiatan. Dosa maksiat masih ada harapan taubat, tapi dosa
bid’ah tidak ada harapan taubat” [12]) (Diriwayatkan
oleh Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah).- Abdullah ibnul Mubarak -rahimahullah-
اِعْلَمْ- أَيْ أََخِي- أَنَّ المَوْتَ اليَوْمَ
كَرَامَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ لَقِيَ اللهَ عَلىَ السُّنَّةِ ، فَإِناَّ لِلّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ؛ فَإِلَى اللهِ نَشْكُوْ وَحْشَتَناَ ، وَذَهَابَ
الإِخْوَانِ ، وَقِلَّّةَ الأَعْوَانِ ، وَظُهُوْرَ الْْبِدَعِ ، وَإِلىَ اللهِ
نَشْكُوْ عَظِيْمَ مَا حَلَّ بِهَذِهِ الأُمَّةِ مِنْ ذَهَابِ الْعُلَمَاءِ ،
وَأََهْلِ السُّنَّةِ ، وَظُهُوْرِ الْبِدَعِ
(البدع والنهي عنها لابن وضاح)
“Saudaraku, ketahuilah bahwa
kematian hari ini adalah karamah (kemuliaan) bagi setiap muslim yang
menghadap Allah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Kepada
Allah lah kita mengadukan kesendirian kita, mangkatnya saudara kita, sedikitnya
penolong kita, dan kemunculan bid’ah di mana-mana. Kepada-Nya jua kita
mengeluh akan besarnya musibah
yang menimpa umat ini, karena mangkatnya para ulama dan pengikut sunnah, serta
munculnya berbagai bid’ah” (Al Bida’u wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu
Wadhdhah).- Al Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah-
اِتَّبِعْ طُرُقَ الهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ
قلَِّةُ السَّالِكِينَ ، وَإِياَّكَ وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ ، وَلاَ تَغْتَرُّ
بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ (الاعتصام)
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan janganlah risau dengan sedikitnya
pengikut. Tapi waspadailah jalan-jalan kesesatan, dan janganlah terkecoh dengan
banyaknya orang celaka” (Al I’tisham).- Amirul Mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziez -rahimahullah-
قِفْ حَيْثُ وَقَفَ القَوْمُ ، فَإِنَّهُمْ عَنْ
عِلْمٍ وَقَفُوا ، وَبِبَصَرٍ ناَفِذٍ كَفُّوْا ، وَهُمْ عَلَى كَشْفِهَا كَانُوا
أَقْوَى ، وَبِالْفَضْلِ لَوْ كَانَ فِيْهَا أََحْرَى ، فَلَئِنْ قُلْتُمْ :
حَدَثَ بَعدَهُمْ ؛ فَمَا أََحْدَثهُ إِلاَّ مَنْ خَالَفَ هَدْيَهُمْ ، وَرَغِبَ
عَنْ سُنَّتِهِمْ ، وَلَقَدْ وَصَفُوا مِنْهُ مَا يُشْفِي ، وَتَكَلَّمُوا مِنْهُ
بِمَا يَكْفِي ، فَمَا فَوْقَهُمْ مُحَسِّرٌ وَمَا دُوْنَهُمْ مُقَصِّرٌ ، لَقَدْ
قَصَرَ عَنْهُمْ قَومٌ فَجَفَوْا وَتجَاوَزَهُم آخَرُوْنَ فَغَلَوْا ، وَإِنَّهُمْ
فِيْماَ بَيْنَ ذَلِكَ لَعَلىَ هُدًى مُسْتَقَيْمٍ (أورده ابن قدامة في لمعة الاعتقاد)
“Berhentilah saat mereka (para salaf) berhenti. Karena mereka berhenti
berdasarkan ilmu. Mereka menahan
diri setelah berpikir jeli. Padahal merekalah yang lebih mampu untuk menyingkap
setiap masalah, dan lebih gencar tuk mengejar setiap fadhilah. Kalau kalian
berkata: “Banyak hal baru (dalam agama) yang muncul setelah mereka…” ingatlah,
bahwa hal tersebut tidak dimunculkan kecuali oleh mereka yang menyelisihi
pentunjuk salaf, dan menolak ajaran mereka. Para
salaf telah menjelaskan agama segamblang-gamblangnya, dan menerangkannya
sejelas mungkin. Siapa yang mendahului mereka akan menyesal, dan siapa yang
berada di bawah mereka berarti pemalas. Sungguh, orang-orang yang berada
dibawah mereka akhirnya gagal, namun yang ingin mengungguli mereka justru
melampaui batas, sedangkan mereka (para salaf) tetap berada di antara keduanya,
di atas jalan yang lurus” (disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Lum’atul
I’tiqad).- Al Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah-
قَالَ الإِمَامُ أََحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ ؛
إِمَامُ أَهْلِ السُّنَّةِ رَحِمَهُ اللهُ : أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَناَ :
اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أََصْحَابُ رَسُولِ اللهِ- صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلَّمَ- وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ ،
وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ (شرح أصول
الاعتقاد, للأمام اللالكائي).
Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah mengatakan: Pokok-pokok aqidah [13]) menurut kami
ialah berpegang teguh dengan apa yang dipraktikkan oleh sahabat-sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka, dan
meninggalkan bid’ah. Karena setiap yang bid’ah berarti kesesatan”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh Imam Al Laalaka-i).- Imam Malik bin Anas –rahimahullah–
مَن ابْتَدَعَ فِي الإِسْلاِمِ بِدْعَةً يَرَاهاَ
حَسَنَةً ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحَمَّداً – صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ
وَسَلَّمَ- خَانَ الرِّّسَالَةَ ؛ ِلأََنَّ اللهَ يَقُولُ : { الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلاَ
يَكُونُ اليَوْمَ دِيْناً )الاعتصام بالكتاب
والسنة, للشاطبي)
“Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam yang ia pandang sebagai bid’ah
hasanah, berarti ia mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengkhianati kerasulan beliau. Sebab Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian…” (Al Ma’idah: 3).
Karenanya, apa pun yang hari itu tidak dianggap sebagai ajaran agama, maka hari
ini pun bukan termasuk ajaran agama. (Al I’tisham bil Kitab was Sunnah,
oleh Imam Asy Syathiby).Kemudian Imam Malik meletakkan sebuah kaidah agung, yang merupakan intisari dari perkataan para ulama yang tadi kita sebutkan:
لَنْ
يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا ؛ فَمَا
لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً لاَ يَكُونُ اليَوْمُ دِيْناً (الشفا في حقوق المصطفي, للقاضي عياض 2/88)
“Generasi terakhir umat ini tak akan menjadi baik (shaleh), kecuali dengan
apa-apa yang menjadikan generasi pertamanya baik. Karenanya, apa pun yang pada
hari itu –saat turunnya surat Al Ma’idah ayat 3– tidak dianggap sebagai agama,
maka hari ini pun juga bukan bagian dari agama” (Asy Syifa fi Huquuqil
Musthofa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh).Kami rasa, nukilan-nukilan di atas cukup gamblang dalam menggambarkan manhaj salaf yang menjadi tolok ukur kita dalam menilai mana bid’ah mana sunnah, dan mana haq mana batil.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al
Atsary, LcMahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[2]) An Nihayah fi Ghariebil Hadits wal Atsar, 2/981. Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy dalam Taajul ‘Aruus (kamus Arab terbesar & terlengkap dalam sejarah, terdiri dari 35 jilid) lihat dalam bab Fa’ (ف), kata ‘sa-la-fa (سلف)’.
[3]) hal 146 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Islamiyyah wal Auqaf, Saudi Arabia.
[4]) Lihat kitab Al Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam, 1/200 tulisan As Saif Al Aamidy cet. Al Maktabul Islamy. Demikian pula dalam Al Mankhul min Ta’lieqaatil Ushuul, 1/401 tulisan Al Ghazali, cet. Daarul Fikr.
[5]) Begini menurut versi terjemahan Depag, akan tetapi dalam Tafsir Al Baghawy disebutkan makna lainnya yang lebih jelas, seperti: jika mereka (ahli kitab) beriman dengan iman kalian, mentauhidkan Allah dengan tauhid kalian, berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
Sedang dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
« فَإِنْ
ءَامَنُوُاْ » بسبب مثل الأسباب التي أرشدتكم أنتم إلى الإيمان فقد اهتدوا
“Jika mereka beriman dengan menempuh sebab-sebab yang telah menghantarkan
kalian kepada Iman (yang sesungguhnya), berarti mereka telah mendapat
petunjuk”.[6] H.R. Bukhari dalam Shahih-nya, no 1597; dan Muslim dalam Shahih-nya, no 1270 dari sahabat Ibnu ‘Umar.
[7]) Artinya: “(salam sejahtera) atasmu dan atas ibumu”.
[8]) Riwayat ini menjelaskan bahwa para salaf menolak adanya bid’ah yang baik dalam agama.
[9]) Riwayat ini dinyatakan gharieb oleh At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 18/56; dinyatakan jayyid (hasan) menurut Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatu Al Ahaadiets Adh Dha’iefah no 891. Dalam komentarnya Syaikh Al Albani mengatakan: “Lihatlah, bagaimana Ibnu ‘Umar mengingkari penempatan shalawat (salam) kepada Nabi disamping hamdalah dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah melakukan yang demikian itu; padahal beliau menyatakan bahwa dirinya sendiri mengucap hamdalah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan beliau hendak menolak anggapan yang mungkin muncul di benak sebagian orang, bahwa beliau mengingkari ucapan shalawat (salam) secara mutlak. Persis sebagaimana anggapan sebagian orang jahil ketika menyaksikan para pembela Sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah semacam ini, orang-orang jahil itu menuduh mereka mengingkari shalawat atas Nabi… semoga Allah memberi hidayah kepada mereka! (idem, 2/390).
[10]) Mengomentari jawaban Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar diatas, Al Imam Al Hafizh Ibnul Qayyim berkata: “Begitulah cara ulama menjawab. Tidak seperti jawaban orang yang mengatakan bahwa ‘Utsman dan Abu Dzar -umpamanya- lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kita… Mengapa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar tidak mengatakan: “Abu Bakar dan Umar lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kami”…? Demikian pula tak seorang pun dari sahabat atau tabi’in yang rela dengan jawaban seperti ini sebagai alasan untuk menolak sebuah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu karena mereka lebih tahu mengenai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih takut kepada-Nya kalau mereka sampai berani mendahulukan pendapat seseorang yang tidak ma’shum di atas pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum” (lihat Zaadul Ma’aad, 2/178)
[11]) Lihat Sunan Abu Dawud, kitab: Assunnah, bab: Luzuumus Sunnah, hadits no 4611. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud. Demikian pula dishahihkan oleh sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham, hal 25.
[12]) Memang benar apa yang beliau katakan. Seorang pelaku maksiat bagaimana pun juga pasti merasa dirinya bersalah. Karena dihantui rasa bersalah tadi, ia akhirnya terdorong untuk bertaubat. Tapi, lain halnya dengan pelaku bid’ah yang tidak pernah merasa bersalah, bahkan merasa lebih shaleh dari orang lain. Kalau lah tidak karena rahmat dan hidayah Allah, mustahil orang seperti ini akan bertaubat.
[13]) Para salaf biasa menyebut aqidah dengan istilah sunnah, dan ini termasuk salah satu makna sunnah.
Dari artikel Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan — Muslim.Or.Id – Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah by null
Tidak ada komentar:
Posting Komentar