Rabu, 13 Juni 2012

ISTILAH SALAFIYAH, BID’AH?


Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat) adalah satu dari tujuh puluh tiga firqah (golongan) umat Islam, [1] sebagaimana telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam di dalam sabdanya:Demi(Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka.

Beliau ditanya: Wahai Rasulullah, siapakah mereka (satu golongan itu)?
Beliau menjawab: Al-Jama`ah. [2]
Dalam riwayat yang lain:
Para sahabat bertanya: Siapakah (satu golongan yang selamat) itu wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: Ia adalah siapa yang mengikuti jalanku dan para sahabatku. (Hadits Hasan, riwayat at-Tirmidzi dari `Abdullah bin `Amr bin `Ash)
Selain nama Firqah an-Najiyah, golongan ini juga mempunyai nama-nama yang lain, diantaranya: [3] Ahlus Sunnah, Al-Jama`ah, Ahlus Sunnah wal Jama`ah, Ahlul Atsar, Ahlul Ittiba`, Ahlul Hadits, Ahlur Rahman, Thaifah al-Manshurah, Salafiyah.
Tetapi ada sebagian orang yang menanggapi bahwa penamaan Salafiyah (dan/ atau nama-nama yang lain) adalah bid`ah, dan bahwa cukuplah menggunakan nama Islam, Muslim atau Muslimin sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian Muslimin dari dulu dan (begitu pula) dalam (al-Qur`an) ini. (Al-Hajj:78)
Benarkah demikian?
Disini kami nukilkan tulisan Syaikh Salim bin `Ied al-Hilali hafizhahullah dalam masalah ini:
SYUBHAT DAN KOREKSINYA
1. Apakah penamaan Salafiyah adalah bid`ah? Sebagian orang mengatakan: Sesungguhnya penamaan Salafiyah adalah bid`ah, karena di zaman Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam para sahabaat tidak menggunakan nama itu.
Jawab:
Kata/Istilah Salafiyah tidak digunakan di zaman Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, karena memang tidak ada kebutuhan di saat itu. Kaum muslimin yang pertama kali, berada di atas Islam yang shahih (benar), sehingga tidak ada kebutuhan terhadap kata/istilah Salafiyah, karena memang mereka berada di atasnya (salafiyah) secara tabi`at dan fithrah (naluri). Sebagaimana mereka berbicara bahasa Arab yang fasih tanpa kekeliruan dan kesalahan. Tidaklah ada ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah sampai kesalahan dalam berbicara muncul. Kemudian muncullah ilmu ini yang memperbaiki kebengkokan/kesalahan lisan. Demikian pula tatkala keanehan dan penyimpangan dari Jama`atul Muslimin muncul, mulailah muncul kata/istilah salafiyah pada kenyataan. Walaupun Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah mengingatkan atas maknanya di dalam hadits iftiraq (perpecahan umat) dengan sabda beliau: Siapa yang mengikuti jalanku dan para sahabatku pada hari ini.
Tatkala banyak firqah-firqah (golongan-golongan) bermunculan, dan semuanya mengaku berjalan berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka para ulama ummat bangkit umtuk membedakannya dengan gamblang, mereka mengatakan: Ahlul Hadits dan Salaf.
Oleh karena itulah salafiyah terbedakan dari seluruh golongan-golongan (ummat) Islam yang lain dengan penisbatannya kepada perkara yang menjamin mereka untuk berjalan berdasarkan Islam yang shahih, yaitu: berpegang teguh dengan apa-apa yang dijalani oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka itulah para generasi yang mendapatkan persaksian kebaikan (dari Allah dan Rasul-Nya-pen)
Dikatakan: Kenapa kita menisbatkan diri kita kepada Salaf, padahal Allah berfirman:
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian Muslimin dari dulu. (Al-Hajj: 78)
Kami (Syaikh Salim) akan memaparkan sebuah diskusi yang lembut antara Syaikh kami (Muhammad Nashiruddin Al-Albani) hafizhahullah (sekarang beliau telah wafat, rahimahullah) dengan Ustadz Abdul Halim Abu Syuqqah, penulis kitab Tahrirul Mar`ah fi `Ash-rir Risalah (Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia-pen)
Syaikh Al-Albani berkata: Jika engkau ditanya, apakah madzabmu (keyakinanmu; jalanmu di dalam beragama), maka apa yang engkau katakan?
Dia (Ustadz Abdul Halim) berkata: Muslim.
Syaikh berkata: Itu tidak cukup!
Dia berkata: Allah telah menamai kita Muslimin, Kemudian Dia membaca firman Allah Ta`ala: Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian Muslimin dari dulu. (Al-Hajj: 78)
Syaikh berkata: Jawabanmu itu benar seandainya kita berada di zaman yang pertama sebelum tersebarnya firqah-firqah (golongan-golongan). Seandainya sekarang kita bertanya kepada seorang muslim mana saja dari firqah-firqah itu, yang kita berselisih secara prinsip di dalam aqidah terhadap firqah-firqah tersebut, maka semunya –baik orang tersebut Syi`ah Rafidhah, Khawarij, Duruz, Nushairiyah al-`Alawiyah- [4] akan menjawab: Saya Muslim. Kalau demikian, di zaman ini jawaban tersebut tidak cukup.
Dia berkata: Kalau begitu aku akan mengatakan: Saya Muslim berdasarkan al-Kitab dan Sunnah.
Syaikh berkata: Jawaban itu juga tidak cukup.
Dia berkata: Kenapa?
Syaikh berkata: Apakah engkau mendapati seorangpun dari mereka –firqah-firqah tadi- yang telah kita buat contoh, yang mengatakan: Saya seorang Muslim, tidak berdasarkan al-Kitab dan Sunnah? Kalau begitu, siapakah orang yang akan mengatakan: Saya tidak berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah.
Kemudian Syaikh Al-Albani rahimahullah menerangkan kepadanya urgensi/arti penting ikutan yang sedang kita angkat ini, yaitu: al-Kitab dan Sunnah dengan pemahaman Salaf kita yang shalih.
Dia (Ustadz Abdul Halim) berkata: Saya seorang muslim berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.
Syaikh berkata: Apabila ada orang yang bertanya kepadamu tentang madzabmu, maka apakah engkau akan mengatakan itu kepadanya?
Dia berkata: Ya.
Syaikh berkata: Bagaimana pendapatmu jika kita ringkaskan bahasanya, karena sebaik-baik perkataan adalah yang sedikit dan jelas, maka kita mengatakan: Salafi.
Dia berkata: Saya telah berbasa-basi kepada Anda, dan sekarang saya mengatakan kepada Anda: Ya, akan tetapi keyakinanku adalah apa yang telah terdahulu. Karena tatkala seseorang mendengar bahwa Anda adalah Salafi, pertama kali fikirannya melayang kepada perkara yang bermacam-macam, yang berupa tindakan-tindakan yang keras bahkan kasar, yang sering terjadi dari Salafiyin.
Syaikh berkata: Taruhlah perkataanmu benar, tetapi apabila engkau mengatakan: Muslim, tidaklah dia (orang yang mendengarmu, fikirannya –pent) akan melayang kepada orang Syi`ah Rafidhah, Duruz, Isma`iliyah … dan lainnya? [5]
Dia berkata: Mungkin juga, tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia:
Dia (Allah) telah manamai kamu sekalian Muslimin. (Al-Hajj:78)
Syaikh berkata: Tidak wahai Saudaraku! Sesungguhnya engkau tidak mengikuti ayat tersebut, karena yang dimaksud ayat tersebut adalah (Muslim dengan –pen) Islam yang shahih, sepatutnya manusia itu diajak bicara sesuai dengan ukuran akal mereka. Apakah ada seorangpun yang memahamimu bahwa engkau adalah seorang Muslim dengan arti yang dimaksudkan di dalam ayat itu?
Sedangkan kekhawatiran-kekhawatiran yang telah engkau sebutkan tadi bisa jadi benar atau tidak benar. Karena perkataanmu tadi (bahwa ada tindakan-tindakan keras) , bisa jadi ada pada sebagian individu-individu dan bukan sebagai manhaj aqidah ilmiyah (jalan yang diyakini yang menjadi ilmu). Maka tinggalkanlah orang-perorang, karena kita sedang membicarakan manhaj (jalan; metode yang harus ditempuh). Karena sesungguhnya apabila kita mengatakan: Orang syi`ah, orang Duruz, orang Khawarij, orang Sufi, atau orang Mu`tazilah (tentu) akan ada juga kekhawatiran-kekhawatiran yang telah engkau sebutkan tadi.
Kalau begitu, itu bukanlah topik pembicaraan kita. Tetapi kita sedang membahas tentang nama yang menunjukkan madzab seseorang yang dia beragama kepada Allah dengan madzab itu.
Kemudian Syaikh bertanya: Bukankah para sahabat semunya muslim?
Dia berkata: Tentu.
Syaikh berkata: Akan tetapi di kalangan mereka ada yang mencuri dan berzina. Tetapi hal ini tidak membolehkan seorangpun mengatakan: Saya bukan seorang Muslim, bahkan dia adalah seorang Muslim dan Mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai manhaj (jalan yang ditempuh), akan tetapi terkadang dia menyelisihi manhajnya, karena memang dia tidak maksum (terjaga dari kesalahan).
Oleh karena itu, kita sekarang –mudah-mudahan Allah memberkatimu- sedang membicarakan satu kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran kita, dan tempat berpijak kita di dalam kehidupan kita yang berkaitan dengan perkara-perkara agama kita yang dengannya kita beribadah kepada Allah. ADapun si Fulan berlebih-lebihan atau dia meremehkan, maka itu urusan lain.
Kemudian Syaikh berkata: Saya menginginkan supaya Engkau berfikit tentang kata yang ringkas ini, sehingga engkau tidak terus-menerus (mencukupkan) dengan kata Muslim (saja), sedangkan engkau mengetahui bahwa tidak akan didapatkan seorangpun yang memahami apa yang engkau kehendaki selama-lamanya. Kalau demikian maka ajaklah bicara orang-orang itu sesuai dengan ukuran akal mereka. Mudah-mudahan Allah memberkatimu atas sambutanmu. (Sekian nukilan dari Syaikh Salim al-Hilali –pen) (Limaadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal.36-38 oleh: Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, penerbit: Markas ad-Dirasat al-Manhajiyah as-Salafiyah, cet: I/1420 H – 1999 M)
Kemudian bahwa bid`ah itu mencakup semua yang di ada-adakan di dalam agama dan tidak mempunyai dasar di dalam syari`at yang menunjukkannya. Adapun perkara yang mempunyai dasar di dalam syari`at yang menunjukkannya, maka itu bukanlah bid`ah menurut syari`at, walaupun dinamakan bid`ah menurut bahasa. [6]
Sedangkan istilah Salafiyah, maka dasarnya dari syari`at sangat gamblang, baik dari al-Kitab ataupun Sunnah.
Dengan demikian, sama sekali tidak ada aib menisbatkan diri kepada Salafush Shalih jika diiringi dengan usaha untuk mencocoki mereka secara lahir dan batin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Tidak ada aib atas orang yang menampakkan madzab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya serta mengikatkan diri dengannya, bahkan hal itu wajib untuk diterima dari orang tersebut. Karena sesungguhnya madzab Salaf adalah kebenaran itu sendiri. Jika orang tersebut mencocoki Salaf secara lahir dan batin maka kedudukannya sama dengan seorang mukmin yang berada di atas al-haq secara lahir dan batin. Jika orang tersebut mencocoki Salaf di dalam lahiriyah saja –batinnya tidak- maka kedudukannya sama dengan seorang Munafik, sehingga lahiriyah diterima sedangkan isi hatinya diserahkan kepada Allah. Karena sesungguhnya kita tidak diperintahkan untuk menyelidiki hati manusia dan membedah perut mereka. (Majmu` Fatawa IV/149)
Syaikh Ali bin Hasan berkata: Sesungguhnya menisbatkan diri kepada Salaf; menyatakan dengan terang-terangan ketinggiannya di atas setiap wadah-wadah dan pandangan-pandangan (lain) yang menyelisihi al-haq; dan berterus terang bahwa dakwah satu-satunya yang haq adalah dakwah Salafiyah; semua itu tidak ada cela padanya, dan tidak ada bahaya terhadap orang yang mengatakannya, karena Salafiyah adalah nisbat kepada Salaf, dan itu adalah nisbat yang tidak pernah terpisah sekejappun dari umat Islam semenjak terbentuknya di atas minhaj nubuwah (jalan kenabian), sehingga (Salafiyah) itu memuat seluruh kaum muslimin dari generasi yang pertama disusul orang-orang yang meneladani mereka di dalam menerima ilmu, jalan memahaminya, dan tabi`at mendakwahkannya. Dengan demikian Salafiyah itu tidak dimasudkan terbatas pada tahap sejarah tertentu, bahkan wajib untuk dipahami bahwa kandungannya itu terus-menerus selama berlangsungnya kehidupan. [7] (Ru`yah Waqi`iyah fi Manahiji ad-Da`awiyah:25, oleh Syaikh Ali Hasan)


Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
_____________________________________________________________
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
*) Dinukil dari: Majalah As-Sunnah Edisi 06/Th.IV/1420-2000, hal 20-23
Catatan kaki :
[1] Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang memberitakan tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan, 72 masuk neraka dan satu masuk surga kurang lebih ada 15 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari 10 ahli hadits dari 14 sahabat Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Yang kebanyakan hadits-hadits itu berderajat shahih. Sehingga tidak ada peluang untuk meragukannya. Lihat majalah As-Sunnah edisi 08/th.I/1415-1994
[2] Hadits Hasan; riwayat Ibnu Majah no:3992, Ibnu Abi Ashim no:36 dan al-Laalikai di dalam Syarh Ushulil I`tiqad Ahlus Sunnah wal Jama`ah, dari `Auf bin Malik.
[3] Lebih luas lihat majalah As-Sunnah edisi 08/I/1415-1994
[4] Syi`ah Rafidhah: Syi`ah yang ghuluw (melewati batas) pada diri sahabat Ali dan sebagian anggota keluarga beliau, mencela sahabat, bahkan mengkafirkan mereka.
-Khawarij: Kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin.
-Duruz: Termasuk kelompok Syi`ah Isma`iliyah, pengikut Muhammad bin Isma`il ad-Duruzi yang menuhankan al-Hakim biamrillah al-`Ubaidi. Mereka sekarang ada di Libanon dan lainnya.
-Nushairiyyah al-`Alawiyah: Termasuk kelompok Syi`ah Rafidhah yang ekstrim, pengikut Muhammad bin Nushair an-Numairi. Mereka menuhankan Ali bin Abi Thalib. Mereka sekarang ada di Suria, Turki, Kurdistan dan lainnya. (Lihat al-Mujaz fil Adyan wal Madzahib al-Mu`ashirah, oleh Dr. Nashir bin Abdullah al-Qafari dan Dr. Nashir bin Abdul Karim al-`Aql) –pen.
[5] Isma`iliyah: Termasuk kelompok Syi`ah, yang menisbatkan kepada Isma`il bin Ja`far ash-Shadiq dan meyakini keimamannya. Mereka sekarang ada di jazirah Arab bagian selatan, Afrika bagian selatan dan tengah, Syam, Pakistan, India dan lainnya –pen.
[6] Al-Bid`ah Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi` fil Ummah, hal:13, oleh Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi
[7] Hukmul Intima`:31

Tidak ada komentar: