Kaidah di dalam Menghukumi
Suatu Hadits
الحمد
لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما
بعد:
Segala
puji hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga
senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh
sahabat beliau. Adapun setelah itu :
Berikut
ini merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits
atau pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan
atau kedha’ifannya.
Ketahuilah
–semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu
keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :
Cara Pertama : menghukumi
sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.
Cara kedua : menghukumi
sanadnya secara bathin[1][1], dimana di sini matannya juga dihukumi (atau dengan
kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).
الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً
Cara Pertama : Menghukumi Sanad
Secara Zhahir
Ada 5
hal di dalam menghukumi sanad secara zhahir :
Untuk mengetahui seorang
perawi ada beberapa jalan, diantaranya :
a. Murid perawi tersebut yang menjelaskannya yang tidaklah
terancukan (karena keserupaan) dengan perawi lainnya, seperti Abu Nu’aim
al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan kepada kami Sufyan bin
’Uyainah,....
b. Dari jalan riwayat murid-murid seorang perawi dan
guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara galibnya.[3][3]
c. Seorang perawi yang diketahui dengan mulazamah
(menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan
sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang
terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain.
Misalnya,
Abu Nu’aim apabila meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya
(kepada ats-Tsauri,pent) namun apabila meriwayatkan dari
Sufyan bin Uyainah, beliau menyebutkannya.[4][4]
Contoh
berikutnya, Sulaiman bin Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak
menasabkannya, namun apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau
menasabkannya.[5][5]
e. Adanya seorang imam mu’tabar (terkenal) yang
menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada orang lain yang
serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad Abu
Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini[8][8] akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip dengannya
tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud.
f. Merujuk kepada kitab-kitab al-Muttafaq wal Muftariq[9][9], kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf[10][10] dan kitab-kitab al-Musytabih[11][11].
g. Apabila perawi itu adalah seorang sahabat atau diduga
sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab Shahabah[12][12] dan
kitab-kitab al-Maroosil[13][13]
h. Apabila perawi tersebut berkunyah maka merujuk
kepada kitab-kitab al-Kuna[14][14] dan apabila berlaqob maka merujuk kepada
kitab-kitab al-Alqoob.[15][15]
i. Apabila tidak memungkinkan untuk membedakan seorang
perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau dua perawi yang
serupa- adalah perawi tsiqoot maka sanadnya shahih dengan
mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila
perawi ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila
sebagian perawi ini dha’if (dan sebagiannya tsiqot, pent)
maka bertawaqquf (mendiamkan)[16][16] di dalam penshahihan sanad sampai diteliti apakah
riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang
perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-.
Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi :
yang demikian ini bisa dengan kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya
atau bisa juga dengan penegasan seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya,
dan yang demikian ini dengan syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun
yang dapat menghilangkan sifat ’adalah-nya.
Apabila seorang perawi tidak masyhur
akan keadilannya dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya,
maka ada beberapa keadaan :
a. Sejumlah perawi tsiqot
meriwayatkan darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka
ia tsiqoh, dan hal ini semakin diperkuat apabila ia termasuk thobaqot
tabi’in senior atau pertengahan.
b. Riwayat al-Bukhari
dan Muslim pada seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya.
c. Terangkatnya status majhul
’ain-nya dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi
darinya.[17][17]
d. Apabila seorang majhul
meriwayatkan hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah
ditemukan di dalam sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka
perawi ini dituduh al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status
kelemahannya). [Lihat Miizanul I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21).
e. Apabila seorang imam
–diketahui bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh-
meriwayatkan dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq (pentsiqohan)-nya
terhadap perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam
tersebut.
f. Penshahihan
seorang imam mu’tabar terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan
terhadap seluruh perawinya.
Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi.
Untuk mengetahui sifat dhabit
seorang perawi ada dua cara, yaitu :
à Cara Pertama : Adanya tautsiq para imam terhadap
seorang perawi.
à Cara kedua : Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu
membandingkannya dengan riwayat para tsiqot huffazh. Apabila yang
dominan adalah istiqomah (kesesuaian) dan muwafaqoh (keselarasan)
maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang dominan adalah mukholafah
(penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut adalah dha’if
dan matruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa riwayatnya ada
yang mukholafah namun yang dominan adalah keselarasannya, maka ia adalah
perawi yang shoduq dan husnul hadits (haditsnya hasan).[18][18]
Di sini ada 9 hal di dalam
menghukumi seorang perawi, yaitu :
1. Mengumpulkan
pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut.
4. Mengetahui
imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi,
ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya (sahabat)
ataukah orang yang belakangan darinya.
5. Mengetahui
derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil
(pertengahan di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di
dalam menilai perawi) atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai
perawi).
6. Mengetahui
sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada.
7. Perincian jarh atau naqdh-nya (bantahan yang
menggugurkan penilaian) seorang mu’addil (ulama yang menta’dil).
8. Mengetahui
maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan dan harokaat
mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil.[21][21]
9. Menjama’
(mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila
pendapat para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi
(Kesimpulan pendapat terhadap perawi).
Keempat : Mengetahui hubungan seorang perawi dengan syaikhnya, hal
ini memiliki beberapa gambaran :
a. Apabila syaikhnya
termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atau taghoyar
(berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat apakah
perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya
ataukah setelahnya?
Apabila
perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya,
dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima
riwayatnya.
Apabila
perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau taghoyar-nya
maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if.
Apabila
tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelum ikhtilath
ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan
setelahnya dan tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari
syaikhnya, maka ditolak riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if.[22][22]
Contohnya
: ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh namun mukhtalith, meriwayatkan
darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid sebelum ikhtilath-nya,
dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin ‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya,
serta meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya.
b. Mengetahui perihal
perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan)
gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if,
seperti riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri.[23][23]
c. Mengetahui perihal
perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam
(periwayatan) mereka ataukah tidak?
Apabila
ia dha’if di dalam periwayatan mereka sedangkan dia meriwayatkan dari
mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari
penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if.[24][24]
d. Mengetahui
periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil
periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di
dalam (periwayatan) darinya ataukah tidak?[25][25]
Apabila
mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya sedangkan
mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat
penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if.
Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad dari inqitho’
(keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan :
1. Apabila rijaal
(para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas
akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka
sanadnya muttashil (bersambung).[26][26]
2. Apabila
sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi
itu sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan
syaikhnya maka sanadnya munqothi’ (terputus).
3. Apabila
seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu
dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila
ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqothi’.
Dan apabila tidak diketahui
bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan
mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’
seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu
dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima
periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah
(bepergian untuk mencari hadits).
4. Apabila seorang perawi bertemu
dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar darinya ataukah tidak
mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’ (mendengarnya)? Apabila
perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka sanadnya munqothi’.
Apabila tidak diketahui maka
hukum asalnya adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya
indikasi yang menunjukkan ketiadaan mendengar.
5. Apabila seorang perawi
mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu termasuk mudallis ataukah
tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnya muttashil.
6. Apabila perawi itu adalah mudallis
dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya dari syaikh yang ia
mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar darinya, (diperiksa)
:
Apabila perawi itu jarang
melakukan tadlis seperti Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau
tidak banyak (sedikit) melakukan tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu
Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya muttashil selama tidak jelas
adanya khilaf (pendapat yang menyelisihi)-nya.
Apabila perawi itu termasuk
yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap periwayatan
selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf
(mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if
sampai menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya.
7. Apabila perawi sezaman dengan
syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya namun tidak diketahui
ia mendengar darinya, namun ia mayshur (terkenal) dengan melakukan irsal
maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak masyhur
melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih
selama tidak datang indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya.
Hasil (Kesimpulan) Cara Pertama :
Apabila suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal
(cacat/penyakit) yang zhahir (tampak), telah tsabat (tetap) akan
sifat ’adalah dan dhabit para perawinya, dan telah shahih
akan sima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya, maka
sanadnya shahih secara zhahir.
Apabila didapatkan sebuah ’illah (cacat)
dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka sanadnya ditolak tidak diterima.
Apabila kedha’ifan di dalam sanad lebih
dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka akan menjadi sholih
(baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.
الخطوة الثانية: : الحكم على السند باطناً
Cara Kedua : Menghukumi Sanad secara bathin
Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap sanad
hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat.
Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni (sumber
perkiraan)-nya.
1. Dari
sahabat itu sendiri, akan diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah,
diketahui yang syadz dan illat.
2. Dari
sahabat yang meriwayatkan hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau
salah seorangnya- maka termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan
dengannya hadits-hadits mursal, mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang
dihukumi marfu’ atasnya.
Untuk
hadits yang dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat,
yang penting diantaranya adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if
(syadid), tidak syadz dan tidak munkar.
Dan
diterapkan cara pertama untuk setiap sanad mutaba’aat dan syawaahid
serta mukholafaat.
Peringatan
: Takhrij itu memiliki jalan-jalan yang diketahui perinciannya
dari sumber perkiraannya.[27][27]
Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para imam ahli hadits dan illat
hadits[28][28] seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim,
Abu Zur’ah, Abu Dawud, al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni,
al-Khothib al-Baghdadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab,
al-Hafizh al-Iroqi, Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan
selain mereka terhadap thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga
menjadi mudah bagi anda untuk memahami metode para imam ahli hadits di dalam naqd
(mengkritik hadits) dan kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad
hadits, dan hingga anda dapat memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka
mengenai masalah yang sulit atas anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui
kapasitas kelemahan diri anda di hadapan para imam yang ahli lagi mendalam
ilmunya.
Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan tafshil
(perincian) dan tahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini
dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-.
Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah perkara
yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali hanya
ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman hadits dan
janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah suatu
pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di dalam
ilmu hadits.
Perbanyaklah membaca
buku-buku mushtholahul hadits, ilalul hadits, biografi para
perawi dan biografi para imam, semoga Alloh memberikan taufiq-Nya atasku dan
atas anda kepada apa yang Ia cintai dan Ridhai.
والله
أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Hanya Allohlah yang lebih
tahu. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya.
Ditulis oleh :
Abu Zaid dan Abu ’Umar Usamah
bin ’Athaya al-’Utaibi.
[disalin/copy
paste dari ebook al-akh abusalma].
[1][1] Diantara yang dilontarkan oleh
adz-Dzahabi dari hadits-hadits Mustadrak karya al-Hakim : ”Sesungguhnya
di dalam kebanyakan hadits-hadits di dalam zhahirnya baik atas syarat salah
satu atau kedua-duanya [Bukhari – Muslim, pent.], dan di dalam bathin-nya
memiliki suatu illat (penyakit) yang khofiyah (samar/tersembunyi)
yang mu’atstsaroh (dapat mempengaruhi)” Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/174)
a. Diantaranya adalah biografi yang khusus membahas perawi tsiqoot
(kredibel/terpercaya) seperti kitab ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, dan
ada pula yang khusus membahas perawi dhu’afaa` (plural dari dha’if/lemah)
seperti kitab adh-Dhu’afaa` ash-Shoghir karya Imam Bukhari. Diantaranya
pula ada yang mencakup dan menghimpun perawi tsiqot dan selainnya
seperti at-Taarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari.
b. Diantaranya adalah biografi yang umum tidak khusus hanya untuk rijal
(perawi) suatu kitab atau kitab-kitab yang tertentu, seperti at-Taarikh
al-Kabir karya Bukhari, Al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, dan
adapula yang khusus membahas perawi suatu kitab tertentu seperti Tahdzibul
Kamal karya al-Mizzi.
c. Diantaranya adalah biografi yang khusus disusun menurut
negeri tertentu seperti kitab Taarikh Jurjaan karya al-Jurjaani, dan
adapula yang tidak dikhususkan seperti ini sebagaimana kitab-kitab lainnya yang
banyak.
d. Diantaranya adalah biografi yang disusun menurut tingkatan thobaqoot
seperti Thobaqootul Kubroo karya Ibnu Sa’d, ada pula yang disusun
berdasarkan nama-nama perawi sebagaimana
mayoritas buku biografi, sebagian lagi ada yang disusun berdasarkan al-Wafiyaat
seperti kitab al-Wafiyaat karya ash-Shofadi.
e. Diantaranya adalah biografi yang disusun khusus untuk syuyukh
(guru-guru) sebagian imam (disebut Ma’aajim asy-Syuyukh), ada yang
disusun berdasarkan keterangan perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali
hanya seorang perawi saja, seperti kitab al-Munfaridaat dan al-Wihdaan,
ada pula yang disusun berdasarkan riwayat al-Akabir (perawi senior) dari
al-Ashoghir (perawi junior), As-Sabiq wal Lahiq, ada juga
buku-buku al-Ansaab (nasab-nasab perawi), buku-buku riwayat seorang anak
dari bapaknya (al-Abnaa` minal Aaba`) atau sebaliknya, dan perawi yang
meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, serta buku-buku as-Su`alaat
dan al-’Ilal.
Penyebutan
contoh-contohnya akan sangat panjang
[3][3] Yang demikian
ini dengan merujuk kepada buku-buku khusus yang membahas tentangnya, seperti Tahdzibul
Kamal karya al-Mizzi, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar, Taarikh
ad-Dimasyqi karya Ibnu ’Asaakir, Taarikh Baghdad karya al-Khathib, at-Taqyid
karya Ibnu Nuqthoh dan Dzailut Taqyid karya at-Taqi al-Faasi...
[4][4] Lihat pembahasan anggun
yang ditulis oleh adz-Dzahabi di dalam mengangkat keserupaan antara dua Sufyan
dan dua Hammad, di Siyari A’laamin Nubalaa` (VII/44-466)
[5][5] Lihat Fathul Baari (XIII/285)
kitab al-I’tisham, bab Ma Yakrohu min Katsrotis Su`aal no. 7293
[6][6] Diantara buku bermanfaat
tentang pengenalan Thobaqot adalah : Thobaqot Khalifah bin
Khayath, Thobaqot Ibnu Sa’d, ats-Tsiqqot karya Ibnu Hibban, al-Mu’ayyan
fi Thobaqoot al-Muhadditsin karya adz-Dzahabi, Tadzkirotul Huffazh
karya adz-Dzahabi, Taqriibut Tahdziib karya al-Hafizh Ibnu Hajar,...
[7][7] Misalnya :
Tholq bin Mu’awiyah dari Sufyan ats-Tsauri... terdapat nama seperti ini pada
dua orang, yaitu : Tholq bin Mu’awiyah an-Nakho’i seorang tabi’in senior Mukhodhrom*,
dan Tholq bin Mu’awiyah bin Yazid dari thobaqoh ke-7. Maka perawi
dari Sufyan tidaklah mungkin seorang tabi’in mukhodrom, maka perawi dari
Sufyan bisa dipastikan adalah Ibnu Yazid. Lihat Taqribut Tahdzib (hal.
22 - ar-Risalah)
Keterangan : * Mukhodhrom memiliki 3
makna :
a. Man
Lam Yakhtatan (orang yang tidak berkhitan). Namun bukan ini yang
dimaksud.
b. Man
Lam Yu’rof Abawaahu (orang yang tidak diketahui kedua orang tuanya),
pengertian ini juga kurang tepat.
c.
Man Adrokal Jaahiliyah wal Islam (orang yang menemui zaman
jahiliyah dan Islam), dan makna ini yang dituju. Wallohu a’lam. Pent
[8][8] Diantara buku bermanfaat
mengenai hal ini adalah Tahdzibul Kamal dan Furu’-nya serta Ta’jiilul
Manfa’ah karya al-Hafizh Ibnu Hajar
[9][9] Seperti : al-Muttafaq wal
Muftariq karya al-Khathib al-Baghdadi, dan Muwadhdhoh Awhaam al-Jam’i
wat Tafriiq karya al-Khathib juga,...
[10][10] Seperti : al-Mu’talaf
wal Mukhtalaf karya ’Abdul Ghoni bin Sa’id al-Azdi, al-Mu’talaf wal
Mukhtalaf karya ad-Daaruquthni, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya Ibnu
Thohir al-Qoisarooni, dan yang paling lengkap dan luas adalah kitab al-Ikmaal
karya al-Amiir Ibnu Makuulaa.
[11][11] Seperti : Talkhishul
Mutasyaabih karya al-Khathib, Taaliy Talkhish al-Mutasyaabih karya
beliau juga, Musytabihun Nisbah karya al-Hafizh ’Abdul Ghoni al-Azdi,
Kitab al-Musytabih karya al-Hafizh adz-Dzahabi, kitab Tabshiirul
Mutanabbi bi Tahriiril Musytabih karya al-Hafizh Ibnu Hajar dan kitab Taudhihul
Musytabih karya Ibnu Nashiruddin
[12][12] Buku yang terkenal
diantaranya adalah Ma’rifatu ash-Shohabah karya Ibu Nu’aim, Mu’jam
ash-Shohabah karya Ibnu Qoni’, al-Istii’aab karya Ibnu ’Abdil Barr, Usudul
Ghoobah karya Ibnu Katsir dan al-Ishobah karya Ibnu Hajar.
[13][13] Seperti kitab al-Maroosiil
karya Abu Dawud, al-Maroosiil karya Ibnu Abi Hatim dan Tuhfatut
Tahshil karya al-Allaa`i.
[14][14] Misalnya : kitab al-Kunaa
karya Imam al-Bukhari, al-Kunaa karya Imam Muslim, al-Kunaa wal
Asmaa` karya ad-Daulaabi, kitab al-Kunaa karya Abu Ahmad al-Haakim
dan al-Muntaqo fi Sardil Kunaa karya adz-Dzahabi.
[15][15] Seperti : kitab Fathul
Baab fil Kunaa wal Alqoob karya Ibnu Mandah, kitab Nuzhatul Albaab fil
Alqoob karya al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mizzi telah mengkhususkannya di dalam
kitabnya Tahdzibul Kamal sebuah pasal di akhir bukunya tentang alqoob,
demikian pula dengan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Tahdzib dan Taqrib-nya
[17][17] Demikian pula terangkat majhul
’ain-nya dengan pentsiqohan seorang ulama mu’tabar atau ta’dil
dari imam mu’tabar.
[18][18] Lihat : at-Tankil
karya al-‘Allamah al-Mu’allimi (I/66-67), Siyaru A’laamin Nubalaa`
(IX/429,95), Mizanul I’tidal (I/521,405), (II/415-41) dan (IV/188,103).
[19][19] Menguatkan keshahihan
nisbat Jarh dan Ta’dil oleh seorang imam yang berbicara tentangya
baik secara sanad maupun matannya. Adapun secara matan, jatuhnya kesalahan di
dalam menukil dari para imam, atau menukil secara makna yang diperhitungkan
sebagai kekacauan makna, inilah yang dimaksudkan oleh imam yang membicarakannya.
[20][20] Lihat kitab : ”Dzikru
man Yu’tamadu qouluhu fil Jarhi wat Ta’dil karya al-Hafizh adz-Dzahabi dan
risalah al-Hafizh as-Sakohwi yang berjudul al-Mutakallamuna fir Rijaal.
[21][21] Lihatlah di
dalam masalah ini pasal-pasal yang berkaitan dengannya pada buku-buku mushtholah
seperti Fathul Mughits karya as-Sakhowi, Syarh Alfaazhu Jarh
an-Naadiroh dan Syarh Alfaazhut Ta’diil an-Naadiroh karya DR. Sa’di
al-Hasyimi serta Dhowabith al-Jarh wat Ta’dil karya Syaikh ’Abdul ’Aziz
al-’Abdul Lathif
[22][22] Lihat macam semisal ini :
al-Ightibath bi Ma’rifati man Ruwiya bil Ikhtilath karya Sabth Ibnu
al-’Ajami, al-Kawaakibu an-Niiroot fi Ma’rifati man Ikhtalatho minar Ruwaat
karya Ibnu al-Kiyaal dan Syarh al-’Ilal kara Ibnu Rojab (II/555-598 :
DR. ’Itr).
[23][23] Lihat macam semisal ini :
ats-Tsiqoot alladziina Dho’afuu fii Ba’dhi Syaikhihim karya guru kami,
DR. Shalih ar-Rifa’i dan Syarh ‘Ilalit Turmudzi karya Ibnu Rojab
(II/621-672).
[24][24] Isma’il bin ‘Iyasy dha’if
di dalam periwayatan selain dari penduduk negerinya, seperti riwayat penduduk
Hijaz, Mesir maupun Iraq.
[26][26] Inilah yang asal selama
tidak jelas ada khilafnya, dan yang demikian ini dengan meneliti
jalan-jalan hadits sebagaimana akan datang penjelasannya –insya Alloh-
dalam cara kedua.
[27][27] Diantara sumbernya adalah
: Kitabut Takhriij karya DR. Bakr ’Abdush Shomad ’Aabid, at-Takhirj
wa Diroosatul Asaaniid karya Mahmud ath-Thohhan dan Kitabu at-Ta`shil
karya DR. Bakr Abu Zaid.
[28][28] Diantara buku tersebut
adalah : Kitab al-’Ilal karya Ibnul Madini, al-’Ilal wa Ma’rifatur
Rijaal karya Imam Ahmad, al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim dan al-’Ilal
karya ad-Daaruquthni. Sebagai tambahan juga buku-buku ar-Rijaal
(perawi hadits) saja yang mencakup naqd (kritik) para imam terhadap
riwayat-riwayat yang jumlahnya banyak sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar