Kalau coba kita buka bolak-balik dalam
lembaran-lembaran mush-haf al-Quran atau al-Hadits didapati sekian banyak hal
yang tidak dilarang secara tegas. Jelas, orang yang melaksanakan ibadah haji di
luar bulan Dzulhijjah tidak ada larangannya. Orang yang sedang berhaji di bulan
Dzulhijjah yang ingin melakukan wukuf di luar Aråfah juga tidak ditemukan
larangannya. Shalat wajib dan sunah harian yang dilakukan tanpa rukuk pun tidak
ada larangannya. Menjamak shalat di rumah saban hari juga tidak ada
larangannya. Sekali lagi, masih banyak bentuk ibadah, baik yang modifikasi maupun
baru sama sekali, yang tidak didapati larangan untuk melakukannya. Lantas,
apakah seluruh bentuk ibadah tersebut boleh seenaknya kita lakukan? Jelas
sangat keliru bila kita menjawab ya! Jadi alasan tidak adanya larangan dalam
al-Quran dan al-Hadits untuk mengamankan dalam melakukan ibadah bid`ah adalah
kekeliruan yang amat nyata. Mestinya sebelum beramal ibadah mencari dulu dasar
tuntunannya, dan jangan melakukan sesuatu ibadah baru kemudian langkah
kesepuluh mencari-cari dalilnya. Akibatnya bila ada orang yang mengritik dan
menegur, saat kesulitan mencari dalil, akhirnya seenaknya memelintir dalil.
Akhirnya tidak mau bertobat justru mengajak orang lain untuk melakukannya
dengan dalil yang dipelintir tersebut. Persis apa yang dikatakan dalam al-Quran sebagai berikut:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ
مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ
الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ
تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar
janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka
suka mengubah perkataan (Allåh) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja)
melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di
antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah
mereka, sesungguhnya Allåh menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[1]
Satu
kasus adalah seperti apa yang diungkap dalam situs resmi berjuluk nu.or.id.
Disebutkan dalam situs tersebut bahwa K.H. Munawwir Abdul Fattah berkata,
“Ziarah di bulan suci Råmadhån ataupun
di Hari Raya sekalipun sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan.
Dan karena tidak adanya larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif
alangkah indahnya jika dapat kirim doa pada hari-hari yang penuh rahmat dan
ampunan (hari-hari bulan Råmadhån) dan hari yang bahagia (Idul Fithri).”
Penulis
buku berkata, “Tidak membaca tasbih waktu rukuk, sujud, tidak mengenakan baju
atas, begitu pula tidak bertakbir juga tidak ada larangannya. Apakah kemudian
kita tidak membaca tasbih pada waktu rukuk dan sujud? Sudah tentu kita tidak
akan meninggalkan bacaan dan kita lebih baik ikut saja perilaku Råsulullåh r dan para sahabat y.
Bila
Anda sendiri sudah meyakini dan menyatakan bahwa ritual ibadah tersebut memang
tiada larangan dan perintahnya, berarti termasuk ibadah bid`ah. Kalau bukan
bid`ah terus harus dinamakan apa? Apalagi Anda menyatakan sebelum minta ampun
kepada manusia pergi dulu ke kuburan. Bila saran Anda ini diikuti orang
kemudian dipraktekkan, maka setelah shålat Id seluruh jamaah akan pergi ke
kuburan hingga menjadi ramailah tempat itu. Kuburan akan menjadi tempat
berkumpulnya muda–mudi, akibatnya akan muncul kemungkaran baru lagi.”
K.H. A. Nuril Huda, Ketua PP Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), menuliskan keyakinannya sebagai berikut,
“Mendoakan orang tua, kemudian orang
tua di alam barzah mendoakan kepada yang berdoa agar selamat, hal ini tidak ada
larangan dalam agama. Baik orang yang berdoa maupun ahli kubur seluruhnya
memohon kepada Allåh. Perlu diingat bahwa bagi yang berdoa di dunia, itu tidak
meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat
apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa. Bertawassul dengan ahli kubur
artinya agar ahli kubur bersama-sama dengan pendoa memohon kepada Allåh.”
Komentarku ( Mahrus ali ),
“Masalah ahli kubur berdoa untuk orang
yang hidup sekalipun tidak ada larangannya, apakah ada perintahnya? Lalu
siapakah yang mengetahui bahwa ahli kubur bisa berdoa. Bila tidak ada
keterangan dalam ayat maupun hadits tentang hal tersebut lebih baik diam saja
dan katakan no coment. Tidak usah berpendapat dalam hal yang tidak bisa
ditembus dengan pendengaran atau mata biasa agar kita tidak terjerumus hingga
justru mengotori wahyu atau ajaran ilahi yang suci ini. Perlu sekali kita ini
menghilangkan segala macam bid`ah dalam agama Islam agar tetap tampak indah,
bijak, dan cocok dengan fitrah.
Kaidah yang penting tidak ada
larangannya adalah kaidah khusus untuk urusan duniawi, bukan untuk urusan
ibadah. Urusan duniawi misalnya naik mobil, naik pesawat terbang (meski untuk
bepergian ke Makkah), naik sepeda motor, menggunakan teknologi komputer dan
lain-lain. Dalam masalah ini, duniawi, tidak ada bid’ah yang terlarang. Berbeda
dengan kaidah yang berlaku untuk ibadah: asal ibadah adalah haram sehingga ada
dalil yang menunjukkan tuntunannya. Karena itu, misalnya, apabila ada orang
shalat maghrib sepuluh rekaat, tentu orang yang menetapi sunnah akan
menyalahkan dan mengoreksinya. Jadi, dalam hal ini bukan berkilah dengan
pernyataan mana larangannya toh tidak ada larangannya, akan tetapi harus
meninggalkan ritual ibadah tersebut karena tidak ada contohnya. Demikian juga
ritual-ritual yang saya komentari tersebut di muka, bukan dibela dengan
menanyakan mana larangan agama untuk melakukan tradisi tersebut. Karena
ritual-ritual tersebut, menurut mereka sendiri, adalah ibadah. Sehingga
hukumnya haram kecuali dibenarkan atau dibenarkan oleh syariat. Toh tidak ada
bukti bahwa Råsulullåh r dan para sahabatnya y sedikit pun
pernah mengerjakannya.
Sebagian pihak yang mati-matian
membela ritual ibadah bid’ah menangkis lawannya dengan menyergah: membaca surat
Yasin, membaca Tahlil, melakukan ziarah kubur atau ritual sejenis kok
dilarang?! Itu, kan, sunah! Pernyataan ini sungguh menggelikan. Sebenarnya
tidak membutuhkan kecerdasan yang berlebihan untuk memahami jalan pikiran
Ahlussunnah sejati. Ahlussunnah tidak pernah melarang orang membaca Yasin
karena itu ayat Allåh, tidak pula mengharamkan bacaan tahlil, karena itu
kalimat thåyib untuk menunjukkan sikap mengesakan Allåh, demikian pula tidak
melarang ziarah kubur, karena memang akan mengingatkan kita tentang
mati dan ada contoh dari Råsulullåh r Tetapi,
untuk ritual yang disebut dengan Yasinan atau Tahlilan yang harus dilakukan
pada hari tertentu untuk merespon peristiwa tertentu dengan menekankan
pengumpulan orang, jelas tidak dicontohkan oleh Råsulullåh r Begitu pun ziarah kubur yang biasa dilakukan dengan
berombongan, berpayah-payah dan berhari-hari, apalagi butuh waktu lama untuk
menuju kuburan tertentu, yakin tidak diajarkan oleh Råsulullåh r Kebiasaan-kebiasaan itu tidak pernah dicontohkan oleh
sahabat y dan para tabi’in. Jika tidak ada, dan memang tidak ada,
lantas mengapa diamalkan? Ada kaidah syara’ (agama) yang termasuk dalam bagian
manhaj (cara beragama) yang perlu dipegang kuat-kuat: “kalau sekiranya sebuah
perbuatan [ibadah, editor.] itu baik, tentulah para sahabat telah
mendahului kita dalam mengamalkannya!” Kaidah ini mesti kita pegang kuat-kuat.
Sebuah kaidah yang besar dan agung ini hendaknya bisa menyentuh nurani kita
hingga menyadarkan diri untuk tidak mengerjakan satu ibadah pun yang tidak
pernah diyakini dan diamalkan oleh para sahabat y.
Read more: http://mantankyainu.blogspot.com/2011/03/yang-penting-tidak-ada-larangan.html#ixzz1wz4bVI00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar