Dalam
tulisan yang lalu, kita telah mengulas sejarah kelahiran dan perkembangan
gerakan inkarussunnah modern, terutama yang berkembang di anak benua India,
termasuk yang muncul di Mesir, Sudan dan Amerika… dan ternyata, semuanya tak
lepas dari campur tangan kaum orientalis dan missionaris.
Nah,
jika kita telah mengetahui akar sejarahnya, sekarang mari kita renungkan apakah
rahasia di balik gencarnya usaha mereka dalam menolak sunnah… Jawabannya, kembali
kepada urgensi sunnah itu sendiri, dan inilah yang akan kita bahas dalam
tulisan kali ini.
Sebagaimana
dimaklumi, sunnah menurut seluruh ulama adalah landasan kedua dalam Islam.
Kedudukannya adalah sebagai sumber kedua setelah Al Qur’an. Para
ulama sepakat bahwa sunnah merupakan dalil kedua setelah Al Qur’an, dan ia
merupakan hujjah yang independen atas segenap umat Islam. Siapa yang menentang
atau mengingkarinya, atau menganggap boleh berpaling darinya dan mencukupkan
diri dengan Al Qur’an saja, berarti telah tersesat jauh dan kafir, alias keluar
dari Islam dengan ucapan tersebut. Mengapa? Karena dengan ucapan dan keyakinan
seperti itu, dia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya.
Kedudukan
sunnah ini telah dijelaskan baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah itu sendiri.
Simaklah ayat-ayat berikut, niscaya akan jelaslah betapa pentingnya sunnah Nabi
dalam syariat Islam.
Allah berfirman:
{ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ } [الحشر:7]،
Apa saja yang
dibawa kepadamu oleh Rasulullah maka ambillah, dan apa saja yang dilarang
olehnya maka jauhilah oleh kalian…
Dalam tafsirnya,
Ibnu Katsir menyebutkan atsar dari salah seorang tabi’in yang bernama Masruq,
katanya: Ada
seorang wanita yang datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata: “Aku dengar bahwa
Anda melarang wanita yang menato dan menyambung rambut, apakah ini kau dapati
dalam Al Qur’an ataukah dari Rasulullah saw?”
“Iya, aku
mendapatinya dalam Al Qur’an dan dari Rasulullah”, sahut Ibnu Mas’ud.
“Demi Allah, aku
telah membaca Al Qur’an lembar demi lembar dari awal sampai akhir, tapi tidak
menemukan apa yang kau katakan tadi”, sanggah si wanita.
“Apa kau tidak
menemukan ayat: wa maa aataakumurrasuulu…. Dst?” tanya Ibnu Mas’ud.
“Tentu iya”,
jawab si wanita.
“Kalau begitu,
maka sesungguhnya Aku mendengar Rasulullah melarang wanita yang menato,
menyambung rambut dan mencukur alisnya”, jawab Ibnu Mas’ud.
“Kurasa sebagian
keluargamu ada yang masih melakukannya”, sahut si wanita.
“Silakan saja kau
masuk dan lihat sendiri”, kata Ibnu Mas’ud. Maka wanita itu pun masuk dan
melihat, lalu keluar seraya berkata: “Oh, tidak ada ternyata”. Lantas Ibnu
Mas’ud mengatakan: “Tidakkah engkau menghafal wasiat Si hamba yang shalih
(Syu’aib AS):
{ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا
أَنْهَاكُمْ عَنْهُ }
“Aku tak
ingin melanggar sesuatu yang kularang kalian dari padanya” (Hud: 88).[1]
وقال تعالى: {
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا } [النساء:65].
Maka sungguh
Demi Rabbmu, mereka tidak benar2 beriman hingga menjadikanmu (Muhammad)
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan; kemudian tidak merasa
berat dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan menerimanya sepenuh hati.
Ibnu Katsir
mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah bersumpah atas nama dirinya yang suci,
bahwa seseorang tidaklah beriman hingga ia menjadikan Rasulullah sebagai hakim
dalam setiap permasalahan. Apa pun keputusan beliau, maka itulah kebenaran yang
harus diikuti secara lahir dan batin, karenanya Allah mengatakan: “Kemudian
mereka tidak merasa berat dalam hati terhadap keputusanmu dan menerimanya
sepenuh hati”. Maksudnya, jika mereka telah menjadikanmu hakim, mereka
menaatimu secara batin pula, hingga tidak merasa berat terhadap keputusanmu dan
tunduk kepadanya secara lahir batin, dan pasrah sepenuh hati tanpa ada
penolakan sedikitpun.[2]
وقال تعالى: {
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالًا مُبِينًا } [الأحزاب:36]،
Tidak boleh
bagi seorang mu`min maupun mu`minah memilih hal lain jika Allah dan Rasul-Nya
telah menurunkan keputusan. Barang siapa membangkang kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka ia telah benar-benar tersesat.
عن أنس قال: خطب
النبي صلى الله عليه وسلم على جُلَيْبيب امرأة من الأنصار إلى أبيها، فقال: حتى
أستأمر أمها. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: فنعم إذًا. قال: فانطلق الرجل إلى
امرأته، [فذكر ذلك لها] ، فقالت: لاها اللهِ إذا ، ما أما وجد رسول الله صلى الله
عليه وسلم إلا جلَيبيبا، وقد منعناها من فلان وفلان؟ قال: والجارية في سترها تسمع.
قال: فانطلق الرجل يريد أن يخبر النبي صلى الله عليه وسلم بذلك. فقالت الجارية:
أتريدون أن تَرُدّوا على رسول الله صلى الله عليه وسلم أمره؟ إن كان قد رضيه لكم
فأنكحوه. قال: فكأنها جَلَّت عن أبويها، وقالا صدقت. فذهب أبوها إلى رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقال: إن كنت رضيته فقد رضيناه. قال: “فإني قد رضيته”. قال: فزوجها
، ثم فزع أهل المدينة، فركب جُلَيْبيب فوجدوه قد قتل، وحوله ناس من المشركين قد
قتلهم، قال أنس: فلقد رأيتها [وإنها] لمن أنفق ثيب بالمدينة .
Dari Anas bin
Malik, katanya: Nabi pernah meminang seorang wanita Anshar untuk Julaibib
–salah seorang sahabat yang berparas buruk. Beliau meminang lewat ayah si
wanita, maka katanya: “Tunggulah sebentar, aku ingin minta pendapat dari
ibunya”. “Baiklah kalau begitu”, kata Nabi. Maka si lelaki tadi mendatangi
isterinya dan menyampaikan hal tersebut. Isterinya pun berkata: “Demi Allah,
tidak bisa kalau begitu… apakah Rasulullah tidak mendapati lelaki lain selain
Julaibib? Padahal kita telah menolak pinangan Si Fulan dan Fulan?” sementara
itu, si gadis yang dimaksud mendengarkan di balik tirai. Sang Ayah pun akhirnya
kembali menemui Rasulullah dan menyampaikan keberatan isterinya. Maka Si Gadis
tadi berkata: “Apakah kalian hendak menolak perintah Rasulullah? Kalaulah
Beliau telah meridhainya untuk kalian, maka nikahkan saja dia”. Ucapan Si Gadis
seakan menyadarkan kedua orang tuanya, lantas mereka berdua berkata: “Kau
benar”, lalu Sang Ayah kembali lagi kepada Rasulullah seraya berkata: “Bila
Anda meridhainya, maka kami pun ridha terhadapnya”. “Ya, aku telah
meridhainya”, kata beliau. Maka lelaki tadi menikahkannya dengan puterinya.
Tak lama
berselang, warga Madinah dikejutkan oleh suatu serangan. Julaibib pun segera
menunggangi kudanya dan terjun ke medan
perang… usai peperangan, mereka mendapatkan Julaibib gugur setelah berhasil membunuh
sejumlah orang musyrik di sekitarnya. Anas lalu mengisahkan: “Sungguh, aku
melihat bahwa Janda Si Julaibib termasuk wanita Madinah yang paling banyak
dipinang orang”.[3]
Demikianlah
hikmah dan buah manis dari menaati perintah Rasulullah. Meski semula terkesan
berat dan sulit diterima, namun ternyata itulah yang terbaik bagi kita.
Seandainya ayah si wanita anshar tadi tetap menolak pinangan Rasulullah,
mungkin puterinya takkan dipinang lagi selamanya.
وقال تعالى: {
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى
الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُضِلَّهُمْ ضَلالًا بَعِيدًا * وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا
أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ
صُدُودًا } [النساء:60-61].
Tidakkah kamu
perhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu
(Al Qur’an) dan yang turun kepada orang sebelummu; namun mereka ingin
berhukum kepada para thaghut, padahal mereka disuruh mengingkari thaghut itu.
Akan tetapi syaithan ingin menyesatkan mereka sejauh-jauhnya. Dan jika
diserukan kepada mereka: “Marilah kita ikuti apa yang Allah turunkan dan
ikutilah Rasulullah”, niscaya kalian lihat bahwa kaum munafikin tersebut
berusaha menghalang-halangi seruan tersebut dengan segala cara.
وقال تعالى: {
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ } [النور:51-52].
Ucapan kaum
mu`minin ketika diseru untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya tiada lain
ialah: “Sami’na wa atho’na” (kami mendengar dan menaati). Merekalah
orang-orang yang beruntung, dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, serta
takut dan bertakwa kepada-Nya, maka merekalah orang-orang yang menang.
Sebenarnya
masih banyak ayat-ayat lainnya yang menekankan masalah ini, bahkan tak kurang
dari 30 ayat yang berbicara tentang wajibnya menaati Rasulullah secara mutlak.
Jika satu ayat saja cukup menjadi hujjah bagi segenap ummat, lantas bagaimana
jika tiga puluh ayat?? Masihkah tersisa setitik keraguan dalam hati seorang
mu`min tentang hal ini? Tidak, tentunya…
Dari
uraian tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa sunnah Rasulullah adalah wahyu dari
Allah, hingga kedudukannya adalah setingkat dengan Al Qur’an secara konstitusi.
Tentunya bila sunnah tersebut diriwayatkan secara shahih.
Ikhwan
sekalian, Insya Allah dalam tulisan berikutnya kita akan membahas kedudukan
sunnah lebih lanjut, saya ucapkan Jazakumullahu khairan atas waktu yang antum
longgarkan untuk membaca tulisan ini, ilalliqaa’…

وصلى
الله على سيدنا محمد والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Maraji’:
-Shahih Muslim.
-Musnad Imam Ahmad.
-Durus Asy Syaikh Abdul Aziz bin
Baz.
-Tafsir Ibnu Katsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar