Rabu, 13 Juni 2012

HADITS AHAD DAN HADITS MUTAWATIR


   Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Orang-orang yang bergelut di dalamnya telah menyandang keharuman tersendiri dalam sejarah. Sebutlah misal seperti : Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Auza’i, ‘Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ibnul-Mubarak, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ibnu Rajab, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfury, Ahmad Syakir, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits).
Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي. وفي لفظ : وهي الجماعة
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan terpecah umat ini menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan para shahabatku di hari ini”.  [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 724].
Dalam lain riwayat beiau besabda : “Dan ia adalah Al-Jama’ah” [HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmad 4/102 no. 16979 dari shahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan].[2][2]
Satu golongan/kelompok itulah Al-Firqatun-Najiyyah (sebagaimana disebut oleh banyak ulama). Syaikh Abdul-Qadir Al-Jailani berkata dalam kitab Al-Ghunyah :
أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة و الجماعة ، و أهل السنة لا اسم لهم إلا اسم واحد و هو أصحاب الحديث
“Adapun golongan yang selamat yaitu Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan Ahlus-Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhaabul-Hadiits (para Ahli-Hadits)” [3][3].
Ashhaabul-Hadits disebut juga Ath-Thaifah Al-Manshurah, yaitu kelompok yang mendapatkan pertolongan (dari Allah) dalam menegakkan al-haq sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah (yaitu datangnya hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu” [HR. Muslim no. 1920].
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang hadits di atas beliau menjawab :
ان لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم
“Apabila kelompok yang mendapatkan pertolongan itu bukanlah Ashhaabul-Hadits, maka aku tidak tahu siapakah mereka…” [Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi hal. 1 dengan sanad shahih] [4][4].
Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian memberikan penjelasan kandungannya..
Bila ada permasalahan yang berkaitan dengan hadits dan sunnah Nabi, tentu Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits) lah [5][5] yang paling mengetahui. Bukan selainnya, seperti dari kalangan ahlul-kalam, ahlul-ushul, dan yang semisal. Imam Ibnul-Qayyim mengatakan :
وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صدق الحديث وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله ، وهم علماء الحديث ، العالمون بأحوال نبيهم ، الضابطون لأقواله وأفعاله ، المعتنون بها أشد من عناية المقلدين لأقوال متبوعيهم ، فكما أن العلم بالتواتر ينقسم إلى عام وخاص ، فيتواتر عند الخاصة ما لا يكون معلوماً لغيرهم ، فضلاً أن يتواتر عندهم ، فأهل الحديث لشدة عنايتهم بسنة نبيهم ، وضبطهم لأقواله وأفعاله وأحواله يعلمون من ذلك علماً لا يشكون فيه مما لا شعور لغيرهم به البتة
“….Demikian pula dalam perkara yang berkaitan dengan membenarkan sebuah hadits atau tidak, mesti disepakati oleh para ahli hadits yang lebih memahami jalur periwayatan dan ‘illat-nya. Mereka itu adalah ulama hadits, karena mereka mengetahui keadaan nabi mereka, yang senantiasa memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, dan memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan dibandingkan mereka yang masih ber-taqlid pada perkataan-perkataan yang mereka ikuti. Sebagaimana ilmu pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu khusus dan ilmu umum. Maka ada ilmu yang diyakini oleh orang khusus dimana tidak diketahui oleh orang lain, apalagi diyakini. Dan Ahlul-Hadits dengan perhatian mereka yang lebih kepada sunnah Nabi mereka, pemeliharaan mereka atas sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau; mereka mengetahui permasalahan ini dan tidak meragukannya. (Dan tentu mereka sangat berbeda) dibandingkan orang-orang selain mereka yang tidak mempunyai perasaan perhatian kepada sunnah Nabi sebagaimana mereka” [Mukhtashar Ash-Shawaaiqul-Mursalah juz 2 hal. 373 melalui perantara kitab Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil-‘Aqaaid wal-Ahkaam hal. 70-71; Maktabah Sahab].
Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita.[6][6]) [7][7]) Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.  Ada empat syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
1.    Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2.    Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.    Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta [8][8]
4.    Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1.    Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2.    Mutawatir Ma’nawy adalah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.  Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’ Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4].
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”.  Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”.[9][9] Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
 إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” [HR. Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi].
‘Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” [HR. Al-Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama].
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
1.    Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
2.    Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].  Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu. [10][10]
Itulah garis besar penjelasan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. Pembagian antara hadits mutawatir dan ahad sama sekali bukanlah masuk dalam ranah diterima atau ditolaknya satu khabar/hadits.
Antara Dlarury dan Nadhary
Telah disinggung sebelumnya bahwa pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dla’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :
1.    Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).
2.    Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dla’if, Maudlu’, dan saudara-saudaranya.
Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dlarury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah dan Madinah berada di Saudi Arabia, matahari itu panas, es itu dingin, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nadhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan)[11][11], maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai penguat (qarinah) antara lain (ditulis secara ringkas) :
-       Hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih-nya.
-       Hadits masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta selamat dari illat hadits.
-       Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para ulama hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut tidak asing lagi.
Hadits-hadits ahad yang mempunyai qarinah sebagaimana di atas, maka kedudukannya adalah kuat lagi qath’i (pasti). Al-Hafidh Ibnu Shalah berkata :
أهل الحديث كثيرا صحيح متفق عليه يطلقون ذلك ويعنون به اتفاق البخاري ومسلم لا اتفاق الأمة عليه لكن اتفاق الأئمة عليه لازم من ذلك وحاصل معه لاتفاق الأمة على تلقي ما اتفقا عليه بالقبول وهذا القسم جميعه مقطوع بصحته والعلم اليقيني النظري واقع به خلافا لقول من نفى ذلك محتجا بأنه لا يفيد في أصله إلا الظن
“Para ahli hadits sering menyebut hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim dengan (shahih muttafaq ‘alaih). Maksudnya adalah yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat secara keseluruhan. Akan tetapi, kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan kesepakatan Al-Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima hadits-hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim. Semua hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim adalah qath’i keshahihannya dan mengandung ilmu yaqiny nadhary. Hal ini berbeda dengan orang yang menafikkkannya dimana mereka berhujjah bahwa hadits-hadits tersebut tidak menghasilkan sesuatu kecuali dhann ” [‘Ulumul-Hadits hal. 8-9, Maktabah Sahab].
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata :
والخَبَرُ المُحْتَفُّ بالقَرائِن أنواعٌ : مِنْها مَا أَخْرَجَهُ الشَّيْخانِ في صَحيحَيْهِما ممَّا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ المتواتِرِ، فإِنَّهُ احْتُفَّتْ بِهِ قرائِنُ ؛ منها : جَلالتُهُما في هذا الشَّأْنِ . وتَقَدُّمُهُما في تَمْييزِ الصَّحيحِ على غيرِهما . وتَلَقِّي العُلماءِ كِتابَيْهِما بالقَبُولِ ، وهذا التَّلقِّي وحدَهُ أَقوى في إِفادةِ العلمِ مِن مُجَرَّدِ كَثْرَةِ الطُّرُقِ القاصرةِ عَنِ التَّواتُرِ
“Hadits yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini mengandung ilmu yaqin karena : a) Kemuliaan keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang terdahulu yang memisahkan hadits shahih; dan c) restu para ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan haditsnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar oleh Ibnu Hajar hal. 74].
Syaikh Ahmad Syakir (1309-1377 H) [12][12] berkata : “…..bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmu qath’i, baik yang ada pada dua kitab shahih atau yang lainnya. Ilmu Yaqini ini adalah ilmu nadhary burhany. Ilmu ini tidak diketahui kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan kelemahan-kelemahannya…” [Al-Ba’itsul-Hatsits hal. 39].
Inilah yang disebut dengan ilmu dlarury dan ilmu nadhary sebagaimana dijelaskan para ulama. Intinya, ilmu dlarury dan ilmu nadhary tidaklah berbeda dalam konsekuensi hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta diamalkan; baik masalah aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashhaabul-Hadits dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Antara ‘Ilmu Yaqin dan Dhann
Terdapat khilaf ‘ulama tentang pembahasan : “Apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqini atau dhann ?”. Pembahasan ini menghasilkan khilaf yang banyak dan polemik yang panjang. Ada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Ustadz Abu Hamzah A. Hasan Bashari yang berjudul Khabar Ahad ‘indal-Ushuliyyin [13][13] di bawah bimbingan Dr. Ahmad Al-Khatm As-Sudani Al-Ushuli yang dilakukan pada tahun 1413 di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Jakarta (LIPIA) terkait dengan bahasan ini. Secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :[14][14]
Ada tiga pendapat mengenai masalah ini :
1.    Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dlarury secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, atau yang lainnya.
Ini adalah madzhab Dawud Adh-Dhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (w. 245 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan Imam Malik (menurut riwayat Ibnu Khuwaiz Mindad). Dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm (384-456 H) dimana ia mengatakan 
أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا
"Bahwasannya khabar wahid yang (dibawakan oleh perawi) ‘adil dari orang semisal sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam mewajibkan ilmu dan ‘amal sekaligus" [Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Hazm ; Maktabah Al-Misykah].
2.    Hadits ahad adalah qath’i keshahihannya dan menghasilkan ilmu jika disertai qarinah-qarinah.
Adapun qarinah-qarinah-nya adalah sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan sebagian ulama lain menambahkan bahwa hadits yang shahih menurut syarat Al-Bukhari-Muslim juga qath’i meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Ini adalah pendapat dari Abu Ishaq Asy-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (344-406 H), Qadli Abu Thibb (w. 308 H) dari kalangan Syafi’iyyah; As-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah; Qadli Abdul-Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah; Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Az-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah; Ibnu Furak Asy-Syafi’i; seluruh ahli hadits (terlalu banyak untuk disebutkan); dan ini merupakan madzhab salaf secara keseluruhan.
3.    Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i , akan tetapi dhanni tsubut secara mutlak.
Ini adalah madzhab masyhur dari kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan mayoritas Malikiyyah [15][15]. Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibnu ‘Abdis-Salaam (577-660 H). Dan inilah yang dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H).
Itulah garis besar perbedaan pendapat seputar pembahasan apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin atau dhann. Penyebutan khilaf di atas meliputi khilaf yang terjadi pada kalangan Ahlus-Sunah ataupun selainnya (Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah).
Perbedaan pendapat di kalangan Ahlus-Sunnah dan/atau Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar/hadits ahad dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya – kecuali Khawarij dan Mu’tazillah – bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani (setelah beliau menyebutkan berbagai khilaf permasalahan di atas) :
واعلم أن الخلاف الذي ذكرناه في أول هذا البحث من إفادة خبر الآحاد الظن أو العلم مقيد بما إذا كان خبر واحد لم ينضم إليه ما يقويه ، وأما إذا انضم إليه ما يقويه أو كان مشهوراً أو مستفيضاً فلا يجري فيه الخلاف المذكور. ولا نزاع في أن خبر الواحد إذا وقع الإجماع على العمل بمقتضاه فإنه يفيد العلم لأن الإجماع عليه قد صيره من المعلوم صدقه وهكذا خبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول فكانوا بين عامل به ومتأول له ومن هذا القسم أحاديث صحيحي البخاري ومسلم فإن الأمة تلقت ما فيهما بالقبول ومن لم يعمل بالبعض من ذلك فقد أوله والتأويل فرع القبول......
”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, diantara mereka ada yang mengamalkan hadits itu dan ada pula yang men-ta’wil-kannya. Yang termasuk dalam jenis hadits ini adalah hadits-hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih – Al-Bukhari dan Muslim – karena kaum muslimin telah sepakat menerima hadits-hadits yang tercantum dalam kedua kitab ini. Di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian hadits-hadits tersebut, maka mereka men-ta’wil-kannya. Dan ta’wil adalah termasuk bentuk dari penerimaan ……” [Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].
Kesimpulan di point ini, secara umum hadits ahad itu mempunyai karakter memberikan dhann, akan tetapi ucapan dhanniyyatul-hadits tidak bermakna lagi setelah hadis itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits. Sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruhmakna dhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nadhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dlaruri (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya).
Hadits Ahad Tidak Boleh Digunakan dalam Masalah ‘Aqidah ?
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak. Pembagian mutawatir dan ahad ini bermanfaat dalam pembahasan ta’arudl (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain. Jika ada satu hadits yang dibawakan oleh satu orang perawi yang menyelisihi perawi lain yang lebih kuat atau lebih banyak, maka hadits itu adalah lemah. Jika perawinya merupakan perawi lemah lagi tidak tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits munkar. Jika perawinya adalah tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits syadz. Inilah yang dikenal oleh para ulama salaf ashhaabul-hadits.
Tidak ada pembedaan antara masalah aqidah dan hukum dalam penerimaan hadits ahad yang shahih. Allah ta’ala telah berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. [QS. Al-Ahzaab : 36].
Kalimat amran [أَمْراً] dalam ayat di atas adalah umum yang meliputi semua perkara, baik masalah aqidah atau hukum, yang sampai pada kita melalui jalan mutawatir ataupun ahad. Hal yang sama tercermin dalam firman Allah ta’a :
وَمَآ آتَاكُمُ الرّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُواْ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” [QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nur : 63].
Ayat-ayat di atas (dan juga masih banyak ayat yang lainnya) menunjukkan keumuman wajibnya menerima khabar yang berisi perintah, larangan, aqidah, hukum, dan yang lainnya. Pengkhususan atas pembedaan antara masalah aqidah dan hukum serta mutawatir dan ahad; sama sekali tidak ditunjang dengan dalil yang kuat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu orang (yang dalam segi periwayatan dinamakan ahad) kepada satu negeri untuk menyampaikan masalah aqidah dan hukum sebagaimana perkataan beliau ketika mengutus Mu’adz ke negeri Yaman :
إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ـ وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله ـ وأني رسول الله، فإن هم أطاعوك لذلك فأخبرهم أن الله فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة.......
“Sesungguhnya kamu mendatangi suatu kaum yang berasal dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal dari apa yang kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah – dalam lain riwayat : ajakan untuk mentauhidkan Allah – dan bahwasannya aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Jika mereka mentaatimu, maka khabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari dan semalam…..” [Muttafaqun ‘alaih].



Abu Al-Jauzaa














Tidak ada komentar: