Salah satu bentuk nikah yang terlarang yang kita bahas kali ini adalah nikah di masa ‘iddah. Masa ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab yang mengakibatkan ia tidak boleh menikah dulu sampai masa ‘iddah itu selesai. Silakan lihat bahasan berikut.
Keempat: Nikah dalam Masa ‘Iddah
Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan
untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau
dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh
dinikahi pada masa ‘iddahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum
habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak
boleh menikahi wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah
satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah
pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi
sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)Apa saja masa ‘iddah bagi wanita?
‘Iddah itu ada tiga macam:
- ‘Iddah hitungan quru’
- ‘Iddah hitungan bulan
- ‘Iddah wanita hamil
1. ‘Iddah hitungan quru’
‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan
diceraikan suaminya adalah dengan hitungan quru’.Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’.” (QS. Al Baqarah: 228).Apa yang dimaksud tiga quru’?
Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru’ adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.
01/09
|
05/09 – 11/09
|
11/09 – 05/10
|
05/10 – 11/10
|
11/10 – 05/11
|
05/11 – 11/11
|
11/11
|
|||||
Talak ketika Suci
|
Haidh
|
Suci
|
Haidh
|
Suci
|
Haidh
|
Suci
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
- Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.
- Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh?
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ
فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ
الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
“Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika
datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian
shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai
no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’
adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat
khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama
hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad
berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku
berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).
Catatan:
- Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
- Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.
2. ‘Iddah hitungan bulan
‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan:(1) masa ‘iddah dengan hitungan 3 bulan (hijriyah) yaitu bagi wanita yang ditalak sebagai ganti hitungan haidh, boleh jadi pada wanita monopause (yang sudah tidak mendapati haidh lagi) karena sudah beruzur, atau tidak mendapati haidh karena masih kecil, atau sudah mencapai usia haidh, namun belum juga mendapati haidh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4).(2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita hamil. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali
atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR.
Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)3. ‘Iddah wanita hamil
Masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik ‘iddahnya karena talak atau karena persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa ‘iddah adalah untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah Ta’ala berfirman,
أُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir ketika ia melahirkan, baik masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya suaminya, masa ‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.
Demikian pembahasan bentuk nikah lainnya yang terlarang. Masih ada beberapa lagi bahasan tersebut. Moga Allah memudahkan membahasnya kembali pada edisi mendatang.
Wallahu waliyyut taufiq was
sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 4 Muharram 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar