Jajaran Ulama
dari kalangan Habaib menyerukan Ahlul Bait Rasulullah untuk tidak memperturuti
hawa nafsu mereka. Karena Perayaan yang mereka sebut dengan “Maulid Nabi”
dengan dalih “Cinta Rasul”, dan berbagai acara yang menyelisihi syari’at, yang
secara khusus dimeriahkan/ diperingati oleh sebagian anak keturunan Nabi yang
mulia ini jelas merupakan sebuah penyimpangan, dan tidak sesuai dengan
“Maqasidu asy-Syar’i al-Muthahhar” (tujuan-tujuan syariat yang suci) untuk
menjadikan ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala sikap
dan perbuatan (ibadah) mereka.
Dalam sebuah
pernyataan yang dilansir “Islam Today,” para Habaib berkata, “Bahwa Kewajiban
Ahlul Bait (Keturunan Rasulullah) adalah hendaklah mereka menjadi orang yang
paling mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mengikuti petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang
sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi
manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at Islam datang untuk
menyelisihi penyeru hawa nafsu, sedangkan cinta yang hakiki pasti akan menyeru
“Ittiba’ yang benar”.
Mereka (Para
Habaib) menambahkan, “Di antara fenomena yang menyakitkan adalah terlibatnya
sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul
Bait) dalam berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan terhadap
syi’ar-syi’ar yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu
‘alaihi wasallam. Dan di antara syi’ar-syi’ar tersebut adalah bid’ah peringatan
Maulid Nabi dengan dalih cinta.
Para Habaib
menekankan dalam pernyataannya, bahwa yang membuat perayaan tersebut sangat
jauh dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah karena hal itu
dapat menyebabkan pengkultusan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang beliau sendiri tidak membolehkannya, bahkan tidak ridho dengan hal itu dan
lainnya adalah bahwa peringatan tersebut dibangun di atas Hadits-hadits yang
bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam akan pengingkaran terhadap sikap-sikap yang berlebihan seperti
ini, dengan sabdanya,
لَا ُتطْرُونِي كَمَا
َأطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ (رواه البخاري)
“Janganlah kalian
mengkultuskan aku seperti pengkultusan orang-orang nasrani terhadap putra
maryam.” (HR. al-Bukhari)
Sedangkan seputar
adanya preseden untuk perayaan-perayaan seperti itu pada as-Salafu ash-Shalih,
Para Habaib tersebut mengatakan, “Bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan ibadah/
amalan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan
Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali
Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum ‘ajma’in- begitu
pula tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para tabi’in.
Para Habaib
tersebut mengatakan kepada Ahlul Bait, “Wahai Tuan-tuan yang terhormat! Wahai
sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemulian Asal usul (Nasab)
merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan
sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk
menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya dengan menjaga agama dan
menyebarkan dakwah yang dibawanya. Dan karena mengikuti apa yang tidak dibolehkan
oleh syari’at tidak mendatangkan kebenaran sedikitpun, bahkan merupakan amalan
yang ditolak oleh Allah ta’ala, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)
“Barangsiapa
mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan
termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berikut ini
adalah teks pernyataannya:
Risalah untuk
Ahlul Bait (Anak-Cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang
Peringatan/ perayaan Maulid Nabi.
الحمد لله رب العالمين،
الهادي من شاء من عباده إلى صراطه المستقيم، والصلاة والسلام على أزكى البشرية،
المبعوث رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه أجمعين .. أما بعد:
Di antara Prinsip-prinsip
yang agung yang berpadu di atasnya hati-hati para ulama dan kaum Mukminin
adalah meyakini (mengimani) bahwa petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah petunjuk yang paling sempurna, dan syariat yang beliau bawa
adalah syariat yang paling sempurna, Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ
دِينًا (المائدة:3)
“Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al-Maaidah
5:3)
Dan meyakini
(mengimani) bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan
keyakinan atau tanda kesempurnaan iman seorang Muslim, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِين (رواه البخاري ومسلم)
“Tidak sempurna
iman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dia cintai dari ayahnya,
anaknya, dan semua manusia.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Beliau adalah penutup
para nabi, Imam orang-orang yang bertaqwa, Raja anak-cucu Adam, Imam Para Nabi
jika mereka dikumpulkan, dan Khatib mereka jika mereka diutus, si empunya
tempat yang mulia, telaga yang akan dikerumuni (oleh manusia), si empunya
bendera pujian, pemberi syafa’at manusia pada hari kiamat, dan orang yang telah
menjadikan umatnya menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, Allah
Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب:21]
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
Dan di antara
kecintaan kepada beliau adalah mencintai keluarga beliau (Ahlul Bait/ Habaib),
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي
أَهْلِ بَيْتِي (رواه مسلم)
“Aku mengingatkan
kalian kepada Allah pada Ahlu Bait (keluarga)ku.” (HR. Muslim).
Maka Kewajiban
keluarga Rasulullah (Ahlul Bait/ Habaib) adalah hendaklah mereka menjadi orang
yang paling mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mengikuti petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang
sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi
manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at datang untuk
menyelisihi penyeru hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman,
فَلا وَرَبِّكَ لا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي
أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء:65]
“Maka demi
Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
Sedangkan cinta
yang hakiki pastilah akan menyeru “Ittiba’ yang benar”. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ.. [آل عمران:31]
“Katakanlah:”Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali
‘Imran: 31)
Tidak cukup hanya
sekedar berafiliasi kepada beliau secara nasab, tetapi keluarga beliau (Ahlul
bait) haruslah sesuai dengan al-haq (kebenaran yang beliau bawa) dalam segala
hal, dan tidak menyalahi atau menyelisihinya.
Dan di antara
fenomena menyakitkan adalah orang yang diterangi oleh Allah ta’ala pandangannya
dengan cahaya ilmu, dan mengisi hatinya dengan cinta dan kasih sayang kepada
keluarga NabiNya (ahlul bait), khususya jika dia termasuk keluarga beliau pula
dari keturunan beliau yang mulia adalah terlibatnya sebagian anak-cucu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul Bait/ Habaib) dalam
berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar
yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Dan di antara
syi’ar-syi’ar yang diagungkan yang tidak berdasarkan petunjuk moyang kami
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah bid’ah peringatan Maulid
Nabi dengan dalih cinta. Dan ini jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap
prinsip yang agung, dan tidak sesuai dengan “Maqasidu asy-Syar’i
al-Muthahhar”(tujuan-tujuan syariat yang suci) untuk
menjadikan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala
sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.
Karena kecintaan
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan ittiba’(mengikuti)
beliau Shallalllahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Dan tidak ada
pertentangan antara mencintai beliau dengan mengikuti beliau shallallahu
‘alaihi wasallam, bahkan mengikuti (ittiba) kepada beliau merupakan inti/
puncak kecintaan kepadanya. Dan orang yang mengikuti beliau secara benar (Ahlul
ittiba’) adalah komitmen dengan sunnahnya, mengikuti petunjuknya, membaca sirah
(perjalanan hidup)nya, mengharumi majlis-majlis mereka dengan pujian-pujian
terhadapnya tanpa membatasi hari, berlebihan dalam menyifatinya serta
menentukan tata cara yang tidak berdasar dalam syariat Islam.
Dan di antara
yang membuat perayaan tersebut sangat jauh dari petunjuk Nabi adalah karena
dapat menyebabkan pengkultusan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang beliau sendiri tidak membolehkannya, bahkan beliau tidak ridho dengan hal
itu. Dan hal lainnya adalah bahwa peringatan tersebut dibangun di atas
Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah shahih dari
Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pengingkaran terhadap sikap-sikap yang
berlebihin seperti ini, dengan sabdanya,
لَا ُتطْرُونِي كَمَا
َأطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ (رواه البخاري)
“Janganlah kalian
mengkultuskan aku seperti pengkultusan orang-orang nasrani terhadap putra
Maryam.” (HR. al-Bukhari)
Maka bagaimana
dengan faktanya, sebagian majlis dan puji-pujian dipenuhi dengan lafazh-lafazh
bid’ah, dan istighatsah-istighatsah syirik.
Dan perayaan
Maulid Nabi merupakan ibadah/ amalan yang tidak pernah dilakukan dan
diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula
dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin
Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak
pernah pula diamalkan oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
–Radhiyallahu ‘anhum ‘ajma’in- begitu pula tidak pernah diamalkan oleh seorang
pun dari para tabi’in, dan tidak pula Imam Madzhab yang empat, serta tidak
seorangpun dari kaum muslimin pada periode-periode pertama yang diutamakan.
Jika ini tidak
dikatakan bid’ah, lalu apa bid’ah itu sebenarnya? Dan Bagaimana pula apabila
mereka bersenandung dengan memainkan rebana?, dan terkadang dilakukan di dalam
masjid-masjid? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hal ini
secara gamblang dan tanpa pengecualian di dalamnya,
كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ (رواه مسلم)
“Semua bid’ah itu
sesat.” (HR. Muslim).
“Wahai tuan-tuan yang terhormat! Wahai
sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemuliaan Asal usul/ nasab
merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan
sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk
menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya, dengan menjaga agama,
menyebarkan dakwah yang dibawanya. Dan karena mengikuti apa yang tidak
dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkangkan kebenaran sedikitpun, dan
merupakan amalan yang ditolak oleh Allah ta’ala, sebagaimana yang disabdakan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)
“Barangsiapa
mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan
termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demi Allah, demi
Allah, wahai para habaib (Ahlu bait Nabi)! Jangan kalian diperdayakan oleh
kesalahan orang yang melakukan kesalahan, dan kesesatan orang yang sesat, dan
menjadi pemimpin- pemimpin yang tidak mengajarkan petunjuk beliau! Demi Allah,
tidak seorangpun di muka bumi ini lebih kami cintai petunjuknya dari kalian,
semata-mata karena kedekatan kalian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Ini merupakan
seruan dari hati-hati yang mencintai dan menginginkan kebaikan bagi kalian, dan
menyeru kalian untuk selalu mengikuti sunnah lelulur kalian dengan meninggalkan
bid’ah dan seluruh yang tidak diketahui oleh seseorang dengan yakin bahwa itu
merupakan sunnah dan agama yang dibawanya, maka bersegeralah, Beliau bersabda,
مَنْ بَطَّأَ بِهِ
عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ (رواه مسلم)
“Barang siapa
yang lambat dalam amalnya, niscaya nasabnya tidak mempercepat amalnya
tersebut.” (HR. Muslim).
والحمد لله رب
العالمين،،
YANG
MENANDATANGANI RISALAH DI ATAS ADALAH:
1.
Habib Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar (Ketua Yayasan Sosial “Adhdhamir
al-Khairiyah” di Traim).
2. Habib Syaikh Aiman bin Salim al-Aththos (Guru
Ilmu Syari’ah di SMP dan Khatib di Abu ‘Uraisy).
3. Habib Syaikh Hasan bin Ali al-Bar (Dosen
Kebudayaan Islam Fakultas Teknologi di Damam dan Imam serta khatib di Zhahran).
4. Habib Syaikh Husain bin Alawi al-Habsyi
(Bendahara Umum “Muntada al-Ghail ats-Tsaqafi al-Ijtima’i di Ghail Bawazir).
5. Habib Syaikh Shalih bin Bukhait Maula
ad-Duwailah (Pembimbing al-Maktab at-Ta’awuni Li ad-Da’wah wal Irsyad wa Taujih
al-Jaliyat, dan Imam serta Khatib di Kharj).
6. Habib Syaikh Abdullah bin Faishal al-Ahdal
(Ketua Yayasan ar-Rahmah al-Khairiyah, dan Imam serta Khatib Jami’ ar-Rahmah di
Syahr).
7. Habib
Syaikh DR. ‘Ishom bin Hasyim al-Jufri (Act.
Profesor Fakultas Syari’ah Jurusan Ekonomi Islam di Universitas Ummu al-Qurra’,
Imam dan Khotib di Mekkah).
8. Habib Syaikh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Segaf
(Pembina Umum Mauqi’ ad-Durar as-Saniyah).
9. Habib Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi (Pembina
Umum Mauqi’ ash-Shufiyah, Imam dan Khotib di Damam).
10.
Habib Syaikh Muhammad bin Muhsi al-Baiti (Ketua Yayasan al-Fajri al-Khoiriyah,
Imam dan Khotib Jami’ ar-Rahman di al-Mukala.
11.
Habib Syaikh Muhammad Sami bin Abdullah Syihab (Dosen di LIPIA Jakarta).
12.
Habib Syaikh DR. Hasyim bin ‘Ali al-Ahdal (Prof di Universitas Ummul Qurra’ di
Mekkah al-Mukarramah Pondok Ta’limu al-Lughah al-‘Arabiyah Li Ghairi
an-Nathiqin Biha).
(Istod/Rydh/AN)
Selasa, 15
Februari 11
Komentarku (
Mahrus ali ) :
Merayakan
hari kelahiran atau hari wafat bukan ajaran Islam , tapi bid`ah yang di adakan
untuk di jadikan sunah yang di lakukan oleh banyak masarakat . Para sahabat , tabiin juga tidak merayakan dua hari
tsb. Mereka menjadikan dua hari itu sebagaimana hari yang lain , tiada perayaan
di dalamnya.
Peganglah ayat
Allah sbb :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى
شَرِيعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ
يَعْلَمُونَ
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.[1]
Jadi sariat selain sariat rNabi adalah hawa nafsu . Dan ajaran Islam ini
telah sempurna sebagaimana ayat :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian
dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam
sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Read more: http://mantankyainu.blogspot.com/2011/10/para-habaib-serukan-tidak-mengadakan.html#ixzz1xEH0nlwh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar