Bahagian Pertama
Memahami Akar Permasalahan & Solusinya
Dalam kitabnya yang terkenal, Al Imam Al Hafizh Ibnu
Rajab -rahimahullah-
menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang
disebut sebagai poros Islam (madaarul Islaam).
Diantara pendapat yang beliau nukil di sana
ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal[1]),
Imam Ishaq ibnu Rahawaih[2]),
Imam Utsman bin Sa’id Ad Darimy[3]),
dan Imam Abu ‘Ubeid Al Qaasim bin Sallaam[4])
-rahimahumullah-. Akan tetapi
dari sekian pendapat yang beragam tadi, semuanya sepakat bahwa hadits ‘Aisyah
berikut merupakan salah satu poros Islam:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e : مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري
ومسلم, وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari
padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no
3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang ti
Dalam penjelasannya, Ibnu Rajab -rahimahullah- mengatakan:dak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak” (lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).
“Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dalam Islam.
Ia merupakan neraca untuk menimbang setiap amalan secara lahiriah, sebagaimana
hadits ‘Innamal a’maalu binniyyah’
(=setiap amalan tergantung pada niatnya) adalah neraca batinnya. Jika setiap
amal yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah pelakunya tidak akan
mendapat pahala, maka demikian pula setiap amal yang tidak berlandaskan aturan
Allah dan Rasul-Nya, amal tersebut juga pasti tertolak.
Siapa pun yang mengada-adakan perkara baru dalam agama
tanpa izin dari Allah dan R
asul-Nya, maka hal itu bukanlah bagian dari agama
sedikit pun…” kemudian lanjut beliau: “Lafazh hadits ini menunjukkan bahwa
setiap amalan yang tidak berlandaskan urusan Allah & Rasul-Nya, maka amalan
tersebut tertolak. Sedangkan mafhum
(makna yang tersirat) dari hadits ini ialah bahwa setiap amalan yang
berlandaskan urusan Allah dan Rasul-Nya berarti tidak tertolak. Sedang yang
dimaksud dengan ‘urusan kami’
dalam hadits ini ialah agama &
syari’at-Nya.
Jadi maknanya ialah: siapa saja yang
amalnya keluar dari koridor syari’at, tidak mau terikat dengan tata cara
syari’at, maka amalan itu tertolak” [5]).
Sering kali ketika seseorang mendapat teguran bahwa
amalan yang diperbuatnya tidak dicontohkan oleh Nabi e -alias bid’ah-; ia
beralasan: “Ini kan baik, mengapa mesti dilarang…?!”
ini kalau dia agak moderat dan lugu. Tapi sebagian justeru mengatakan: “Semua-semua bid’ah!… tahlilan bid’ah, shalawatan
bid’ah, baca Barzanji (mberjanjen) bid’ah… mana dalilnya?”. Jawaban kedua ini memang terkesan lebih
‘ilmiah’, mengapa? Karena ia menanyakan ‘mana
dalilnya’.
Akan tetapi… benarkah setiap bid’ah harus ada dalil yang
melarangnya ?
Cobalah saudara renungkan pertanyaan
di atas dengan seksama…
Agar lebih mudah memahaminya, kami
akan membuat sebuah contoh ringan;
Sebagian orang mengatakan bahwa mengadakan majelis
dzikir berjama’ah bukanlah suatu bid’ah, karena tidak ada dalil yang melarang
kita melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan tahlilan, ngalap berkah, tawassul
dengan Nabi/orang shalih, shalawatan, istighatsah
dengan orang mati, dsb…
Bagaimana menurut anda jika pertanyaannya kami balik menjadi: Adakah dalil
yang menyuruh kita mengadakan majelis dzikir berjama’ah, tahlilan, ngalap berkah, dll… ? Kami yakin, sebagai
orang yang obyektif tentu saudara akan menjawab: “tidak ada”, selama yang dicari ialah dalil yang shahih dan sharih.
Artinya dalil tersebut bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, yakni berupa Al
Qur’an atau hadits shahih, dan maknanya jelas berkaitan dengan masalah yang
sedang dibahas. Dengan kata lain, dalil tersebut menjelaskan secara rinci
bagaimana pelaksanaan majelis dzikir berjamaah, tahlilan dan shalawatan tadi [6]).
Bagaimana jika ada orang yang
melaksanakan shalat subuh empat roka’at umpamanya, dengan alasan bahwa waktu
subuh adalah waktu senggang yang sangat tepat untuk banyak beribadah…
suasananya pun cukup hening, hingga apabila seseorang menambah shalatnya
menjadi empat roka’at pun tetap terasa khusyu’. . .lagi pula kan tidak ada dalil yang
melarang kita untuk itu?! Pasti saudara akan mengingkari pemikiran
seperti ini dan menghukuminya sebagai bid’ah
dholaalah (bid’ah yang sesat), mengapa? Jawabnya: karena ibadah bukanlah sesuatu yang bebas dilakukan
semaunya, tapi wajib ikut ‘aturan main’ dari Allah dan Rasul-Nya.
Kalaulah kita sepakat bahwa shalat adalah ibadah yang
tidak boleh dilakukan sembarangan, mestinya kita bersikap konsekuen terhadap
ibadah-ibadah lainnya. Tentunya setelah kita mengetahui apa itu definisi ibadah
yang sesungguhnya [7]).
Namun biasanya analogi (penalaran) seperti ini akan
ditolak mentah-mentah oleh sebagian orang. “Kalau
shalat subuh empat roka’at itu jelas bid’ah dholalah. Tapi kalau dzikir bersama, tahlilan, tawassul,
shalawatan, dsb hukumnya lain. Ini adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Ini semua baik dan mengandung
manfaat. lagi pula kita khan diperintahkan untuk banyak berdzikir, membaca Al
Qur’an, bershalawat kepada Nabi e, dan seterusnya…?!” begitu
sanggah mereka.
Sebagian yang agak pintar mungkin berdalih: “Bukankah tahlil, takbir, tahmid, tasbih, membaca
shalawat, dsb itu merupakan dzikir yang dianjurkan? Bukankah itu semua
merupakan amal shaleh? Mengapa saudara membid’ahkan-nya…? Mana dalilnya…?
Dan masih segudang lagi alasan yang mungkin mereka
utarakan demi meligitimasi praktik-praktik
bid’ah tersebut. Ya… kami katakan bahwa itu semua adalah bid’ah khurafat yang dilekatkan pada
ajaran Islam, namun Islam berlepas diri dari padanya meskipun
ia dipandang baik oleh kebanyakan manusia.
Lantas, bagaimana solusinya…?
Untuk mendudukkan masalah ini, kita harus menetapkan
suatu standar baku
dalam menilai mana bid’ah dan mana sunnah… Mana yang baik dan bermanfaat, dan
mana yang sesat dan penuh khurafat… alias standar untuk menilai mana yang haq
dan mana yang batil.
Kami mengajak para pembaca yang budiman untuk menyatukan
pedoman dalam hal ini, yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits shahih), dan Ijma’.
Kami yakin bahwa pembaca sekalian tidak akan keberatan dalam menerima ketiga
sumber hukum di atas sebagai pedoman kita dalam menetapkan dan menerapkan suatu ibadah, atau sebagai rujukan ketika ada
perselisihan.
Sekarang kita telah sepakat bahwa rujukan kita adalah Al
Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Tapi bukankah semua golongan yang saling bertikai
menyatakan bahwa rujukan mereka adalah Al Qur’an dan Sunnah? Lantas mengapa
mereka masih bertikai juga? Pasti ada yang tidak beres…
….Benar, mereka berbeda pendapat dalam memahami Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah e, karenanya mereka pun tetap berselisih. Selama
Al Qur’an dan Sunnah masih difahami menurut akal dan selera masing-masing, maka
mencari titik temu melaluinya ibarat menegakkan
benang basah, alias perbuatan yang sia-sia !!
Karenanya, kita harus terlebih dahulu menyepakati
pemahaman yang akan kita jadikan acuan dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Kami akan menawarkan kepada pembaca yang budiman, sebuah manhaj (metodologi) dalam memahami Al
Qur’an dan Sunnah. Manhaj ini
bukanlah hasil rumusan kami atau golongan tertentu… namun ia adalah manhaj rabbani yang Allah gariskan dalam
Kitab-Nya. Sebuah manhaj yang
telah diridhai-Nya dan telah sukses dipraktikkan oleh generasi terbaik umat
ini. Manhaj yang menghantarkan
mereka ke puncak kejayaan dunia dan akhirat.
….Ya, itulah manhaj
salafus shaleh, leluhur kita yang mulia…
Kami akan menjelaskan kepada saudara
bahwa manhaj ini adalah manhaj terbaik dalam memahami Al Qur’an
dan Sunnah secara benar; dan tentunya berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan Sunnah. Namun pertama-tama, bukalah fikiran dan hati sanubari kita terlebih
dahulu… tepislah semua bentuk subyektivitas yang akan menghambat kita untuk
menerima kebenaran dari pihak lain. Marilah sejenak kita memanjatkan do’a
kepada Allah U agar Ia menunjukkan kebenaran kepada kita…
اللَّهُمَّ
أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقُنْاَ اتـِّباَعَهَ, وَأَرِناَ الْباَطِلَ
باَطِلاً وَارْزُقنْاَ اجْتِناَبَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah yang haq sebagai al
haq bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang mengikutinya. Tampakkan pula yang
batil itu sebagai kebatilan bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang
menjauhinya.”
اللَّهُمَّ رَبَّ
جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا
كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ
بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail, dan
Israfil. Pencipta langit dan bumi. Dzat yang mengetahui yang ghaib maupun yang
nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah
bagiku kebenaran dalam perselisihan mereka atas seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau
berkenanmenunjukkan siapa pun yang Kau kehendaki pada jalan yang lurus” (H.R.
Muslim).
%^^%
[1])Beliau ialah Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal
Asy Syaibany Al Baghdady. Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim dan ahli zuhud panutan. Beliau lahir
di bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Beliau salah satu sahabat dekat dan murid
kesayangan Imam Syafi’i. Ahmad senantiasa melazimi gurunya yang satu ini hingga
ia (Imam Syafi’i) pindah ke Mesir. Imam Syafi’i berkata: “Tak pernah
kutinggalkan seorang pun di Baghdad
yang lebih bertakwa dan faqieh (pandai) dari Ahmad bin Hambal”. Kitab beliau
yang bernama Al Musnad adalah
kitab hadits terbesar yang sampai kepada kita, memuat sekitar 30 ribu hadits.
Beliau lah satu-satunya ulama yang tetap tegar menolak kemakhlukan Al Qur’an
meski disiksa sedemikian rupa, hingga karenanya ia dijuluki Imam Ahlussunnah
wal Jama’ah. Beliau wafat pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 H, rahimahullahu rahmatan waasi’an. (lihat: Wafayaatul A’yaan 1/63-64 & Tadzkiratul Huffazh 2/431-432)
[2]) Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad Al Handhaly Al
Marwazy. Imam dan ulama Ahlussunnah wal jama’ah. Terkumpul padanya ilmu hadits, fiqih, hafalan kuat, kejujuran, sikap
wara’ dan zuhud. Beliau mengembara ke Irak, Hijaz, Yaman, Syam, dan kembali ke
Khurasan dan wafat di Nishapur. Beliau termasuk salah satu sahabat Imam Ahmad
dan guru besar Imam Bukhari. Lahir pada tahun 161 H. Ibnu Khuzaimah berkata:
“Demi Allah, seandainya beliau hidup di zaman tabi’in, pastilah mereka mengakui
kekuatan hafalan, kedalaman ilmu, dan pemahamannya”. Abu Dawud Al Khoffaf berkata;
aku mendengar Ishaq berkata: “Seakan-akan aku melihat 100 ribu hadits dalam
kitabku, 30 ribu diantaranya dapat kubaca dengan lancar”. Beliau wafat pada
tahun 237 atau 238 H, rahimahullah.(lihat
Tahdziebut Tahdzieb, Siyar A’laamin Nubala’, dan Tahdziebul Kamal)
[3])
Beliau ialah Al Imam Al ‘Allaamah Al Hafizh, Abu Sa’id Utsman bin Sa’id bin
Khalid bin Sa’id Ad Darimy At Tamimi. Lahir sebelum tahun 200H. Beliau menimba
ilmu hadits dari Ali ibnul Madiny, Yahya ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal -rahimahumullah,- hingga mengungguli
orang-orang di zamannya. Beliau adalah orang yang gigih memegang Sunnah, dan
ahli dalam berdebat. Beliau menulis sebuah kitab yang membantah kesesatan Bisyr
Al Marrisi (salah seorang tokoh Jahmiyyah), dan kitab Musnad.Beliau wafat pada
bulan Dzul Hijjah tahun 280 H (As Siyar,
2/2651-2653).
[4])Beliau ialah Al Imam Al Hafizh Abu ‘Ubeid, Al Qasim bin Sallam bin Abdillah. Lahir tahun 157
H. berguru kepada Abdullah ibnul Mubarak, Waki’, Ibnu Mahdy, Yahya Al Qatthan
dan lainnya. Karnya cukup banyak, diantaranya: Gharibul Hadits, Al Amtsal,
Gharibul Mushannaf, Al Amwal, Fadha-ilul Qur’an, Ath
Thuhur, dan lain-lainnya. Beliau ahli dalam berbagai disiplin ilmu,
seperti hadits, qiraat, fiqih, dan sastera Arab. Ibnul Anbary berkata: “Abu
Ubeid konon membagi malam jadi tiga; sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk
tidur, dan sisanya untuk menyusun kitab”. Ishaq ibnu Rahawaih berkata: “Abu
‘Ubeid lebih luas ilmunya dari kita, lebih mulia perangainya, dan lebih banyak
menyusun kitab. Kita membutuhkan dirinya, namun dia tidak butuh kepada kita”.
Beliau wafat tahun 224 H (As Siyar
2/3057-3060).
[5])Jaami’ul ‘Uluumi wal
hikam
hal 73-74, oleh Ibnu Rajab Al Hambaly. cet. Daarut Tauzi’ wan Nasyril
Islamiyyah.
[6])Konsekuensinya, jika dalil tersebut tidak shahih
maka tidak sah dijadikan pegangan. Atau jika dalil tersebut shahih namun
petunjuknya bersifat umum –seperti yang disebutkan oleh Novel dalam banyak
contohnya–, maka ia juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab menetapkan ibadah
dengan tata cara tertentu, tempat tertentu atau waktu tertentu adalah urusan
Allah dan Rasul-Nya. Jika ibadah tersebut diperintahkan untuk dilakukan secara
bebas ya kita tidak boleh membatasinya dengan bilangan, waktu dan tata cara
tertentu. Sebaliknya jika ibadah tersebut diperintahkan dengan tata cara
tertentu ya kita harus terikat dengan tata cara tersebut.
اَلْعِباَدَةُ: اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا
يُحِبُّّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الْباَطِنَةِ
وَالْظَاهِرَةِ (كتاب العبودية ص 38)
Ibadah ialah nama untuk setiap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah,
baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun tersembunyi. (Kitab Al ‘Ubudiyyah, hal 38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar