Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُر اسْمَ اللهِ عَلَِيْهِ.
“Tidak ada
(kesempurnaan) wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/41, Ibnu Abi Syaibah 1/1-2,
Abu Ya’laa no. 1060, Ibnu Maajah no. 397, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/173, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Al-Baihaqiy 1/43, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 26, dan
Ibnul-Jauziy dalam At-Tahqiiq fii
Ahaaditsil-Khilaaf 1/137; dari jalan Zaid Hubbaab.
Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 910, Ad-Daarimiy
no. 691, Ibnu Maajah no. 397, Ad-Daaruquthniy 1/71, dan Ibnul-Jauziy; dari
jalan Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy.
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/41, Abu Ya’laa no. 1221,
At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal 1/112-113,
Ibnu Maajah no. 397, Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal
Al-Mutanaahiyyah no. 552 dan At-Tahqiiq
1/137; dari jalan Abu Ahmad Az-Zubairiy.
Ketiganya (Zaid bin Hubbaab, Abu ‘Aamir, dan Abu
Ahmad) dari Katsiir bin Zaid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Rubaih
bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Sa’iid Al-Khudriy, dari ayahnya, dari kakeknya Abu
Sa’iid secara marfuu’.
Hadits ini lemah karena Rubaih bin ‘Abdirrahmaan dan
Katsiir bin Zaid.
Tentang Rubaih bin ‘Abdirrahmaan, berikut sebagian
perkataan ulama tentangnya :
Al-Bukhaariy berkata : “Munkarul-hadiits”. Ahmad berkata : “Bukan seorang yang dikenal (laisa bi-ma’ruuf)”. Ibnu ‘Adiy berkata :
“Aku harap tidak mengapa dengannya”. Abu Zur’ah berkata : “Syaikh”. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul”.
Adapun Katsiir bin Zaid, berikut perkataan sebagian
perkataan ulama tentangnya :
Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu
Haatim berkata : “Jujur, tidak kuat, namun ditulis haditsnya”. Abu Zur’ah
berkata : “Jujur, padanya ada kelemahan”. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Muushiliy
berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hajar
berkata : “Jujur, terkadang salah”.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوْءَ لَهُ، وَلَا وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ
يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.
“Tidak sah shalat
bagi orang yang tidak berwudlu, dan tidak ada (kesempurnaan) wudlu bagi orang
yang tidak menyebut nama Allah padanya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/418, Abu Dawud no. 101,
At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal 1/111,
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no.
8076, Ad-Daaruquthniy 1/79, Al-Haakim 1/146, Al-Baihaqiy 1/41 & 43,
Al-Mizziy 11/332-333, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah
no. 209; dari Qutaibah bin Sa’iid.
Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6409, Ibnu Maajah
no. 399, dan Ad-Daaruquthniy 1.79; dari Ibnu Abi Fudaik.
Keduanya (Qutaibah bin Sa’iid dan Ibnu Abi Fudaik)
dari Muhammad bin Muusaa, dari Ya’quub bin Salamah, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah secara marfuu’.
Jalan riwayat ini lemah karena tiga sebab, yaitu :
Pertama, Ya’quub bin
Salamah seorang yang majhuul haal,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar.
Kedua, jahalah dari ayahnya
(Salamah bin Al-Laitsiy). Al-Mundziriy berkata : “Salamah tidaklah diketahui.
Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali anaknya yang bernama Ya’quub”.
Selain itu, ia juga seorang yang layyinul-hadiits,
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar. Adz-Dzahabiy berkata : “Laisa bi-hujjah”.
Ketiga, keterputusan (inqithaa’) antara Ya’quub dengan
ayahnya, dan antara ayahnya (Salamah) dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu; sebagaimana dikatakan Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 4/76.
Hadits Abu Hurairah ini juga mempunyai jalan lain,
yaitu dari Mahmuud bin Muhammad Abu Yaziid Adh-Dhafariy, dari Ayyuub bin
An-Najaar, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah
secara marfuu’; sebagaimana diriwayatkan
oleh Ad-Daaruquthniy 1/71 dan Al-Baihaqiy 1/44. Namun riwayat ini juga lemah
karena Mahmuud bin Muhammad Adh-Dhafariy. Al-Haafidh berkata dalam At-Talkhiishul-Habiir 1/251 : “Dan
Mahmuud bukan seorang yang kuat. Sedangkan Ayyuub bin An-Najaar meskipun ia tsiqah, namun ia seorang mudallis, dan di sini ia membawakan
dengan ‘an’anah”.
Dari Sa’iid bin Zaid radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
لَا وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُر اسْمَ اللهِ عَلَِيْهِ.
“Tidak ada
(kesempurnaan) wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya”.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 25, Ahmad 4/70
& 5/381-382 & 6/382, Ad-Daaruqthniy 1/72-73, Ibnu Abi Syaibah 1/2 &
4, Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal
Al-Mutanaahiyyah 1/336 no. 551, Al-‘Uqailiy 1/77, dan Al-Baihaqiy 1/43;
dari ‘Abdurrahmaan bin Harmalah, dari Abu Tsiqaal, dari Rabbaah bin
‘Abdirrahmaan bin Huwaithib, dari neneknya, dari ayahnya (Sa’iid bin Zaid),
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/27 dan
Al-Haakim 4/60 dari jalan Sulaimaan bin Bilaal, dari Abu Tsiqaal, dari Rabbaah,
dari neneknya, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Di sini tanpa menyebut ayah nenek Abu Tsiqaal (yaitu
Sa’iid bin Zaid).
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy 1/27 dari jalan
Ad-Daraawardiy, dari Ibnu Harmalah, dari Abu Tsiqaal, dari Rabbaah, dari Ibnu
Tsaubaan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Ahmad 4/70, Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 9/46, At-Tirmidziy no.
26, dan Ibnu Maajah no. 398; dari Yaziid bin ‘Iyaadl, dari Abu Tsiqaal, dari
Rabbaah, dari neneknya, dari ayahnya (Sa’iid bin Zaid), dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 240 dari
Al-Hasan bin Abi Ja’far, dari Abu Tsiqaal, dari Rabbaah, dari neneknya, dari
ayahnya (Sa’iid bin Zaid), dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Hadits ini lemah, karena berporos pada Abu Tsiqaal.
Ia bernama Tsumaamah bin Waail bin Hushain. Ibnu Abi Haatim menyebutkannya
dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 2/467,
namun ia tidak memberikan jarh maupun
ta’diil. Al-Bukhaariy berkata : “Abu
Tsiqaal, dari Rabbaah bin ‘Abdirrahman. Haditsnya perlu dikritik (fii hadiitsihi nadhar)”.
Dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa, ia berkata :
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إذا توضأ فوضع يده في الإناء يسمي
الله فيتوضأ ويسبغ الوضوء.
“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berwudlu, beliau meletakkan
tangannya di bejana dengan menyebut nama Allah, lalu berwudlu dan
menyempurnakannya (sampai dengan selesai)”.
Diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 999, Ibnu Abi Syaibah 1/3,
Al-Bazzaar 1/137 (Kasyful-Astaar),
dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/616;
semuanya dari jalan Haaritsah bin Muhammad, dari ‘Abdah, dari ‘Aaisyah.
Hadits ini lemah dikarenakan Haaritsah bin Abi
Rijaal, seorang perawi yang disepakati kelemahan oleh para ahli hadits [lihat Tahdziibul-Kamaal, 5/313-316].
Dan masih banyak jalan yang lainnya.
Bagi yang menginginkan, silakan baca beberapa jalan
hadits lain sebagaimana disebutkan disebutkan Ibnu Hajar dalam At-Talkhiishul-Habiir (1/250-257;
Daarul-Kutub, Cet. 1/1419).
Jalan-jalan hadits yang semakna
dengan hadits di atas tidak lepas dari kritikan atas kelemahannya. Namun secara
keseluruhan, hadits tersebut adalah hasan lighairihi[1][1] dan dapat
dipergunakan sebagai hujjah. Telah berkata Al-Haafidh Al-Mundziriy :
وفي الباب
أحاديث كثيرة لا يسلم شيء منها من مقال وقد ذهب الحسن وإسحاق بن راهوية وأهل
الظاهر إلى وجوب التسمية في الوضوء حتى أنه إذا تحمد تركها أعاد الوضوء وهو رواية
عن الإمام أحمد ولا شك أن الأحاديث التي وردت ليها وإن كان لا يسلم شيء منها عن
مقال فإنها تتعاضد بكثرة طرقها وتكتب قوة
“Dalam bab ini terdapat banyak
hadits yang kesemuanya tidak luput dari pembicaraan. Al-Hasan, Ishaaq bin
Raahawaih, dan ahludh-dhaahir
berpendapat wajibnya tasmiiyah
(membaca basmalah) ketika wudlu.
Sampai-sampai mereka berpendapat jika ditinggalkan dengan sengaja wajib untuk
mengulangi wudlunya. Ini adalah salah satu riwayat (yang ternukil) dari Al-Imam
Ahmad. Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah
ini – meskipun tidak luput dari pembicaraan (tentang ke-dla’if-annya) – namun saling menguatkan satu dengan lainnya karena
banyaknya jalan” [At-Targhiib wat-Tarhiib,
1/225].
Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :
وَالظَّاهِرُ
أَنَّ مَجْمُوعَ الْأَحَادِيثِ يَحْدُثُ مِنْهَا قُوَّةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ لَهُ
أَصْلًا
“Dhahirnya, hadits-hadits ini
secara keseluruhan saling menguatkan dan menunjukkan bahwa hadits ini ada
asalnya” [At-Talkhiishul-Habiir,
1/257].
Ada hadits lain dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang tasmiyyah ini :
عن أنس قال
نظر بعض أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وضوءا فلم يجدوا قال فقال النبي صلى
الله عليه وسلم : ها هنا ماء قال فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم وضع يده في
الإناء الذي فيه الماء ثم قال توضؤوا بسم الله فرأيت الماء يفور يعني بين أصابعه
والقوم يتوضؤون حتى توضؤوا عن آخرهم قال ثابت قلت لأنس كم تراهم كانوا قال نحوا من
سبعين
Dari Anas, ia berkata : “Sebagian
shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam hendak berwudlu, namun mereka tidak mendapatkan air untuk itu.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : ‘Di sini ada air’. Aku
melihat beliau meletakkan tangannya ke dalam sebuah bejana yang berisi air.
Lalu beliau kembali bersabda : ‘Berwudlulah
kalian dengan menyebut nama Allah (mengucapkan basmalah)’. Aku melihat air
keluar di antara jari-jemari beliau. Orang-orang pun berwudlu hingga orang
terakhir di antara mereka”. Tsaabit berkata : “Aku bertanya kepada Anas :
‘Berapa kamu melihat jumlah mereka’. Ia menjawab : ‘Sekitar tujuhpuluh orang”.
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq
no. 20535, Abu Ya’laa no. 3036, Ahmad 3/165, An-Nasaa’iy no. 78, Ibnu Khuzaimah
no. 144, Ibnu Hibbaan no. 6544, dan Ad-Daaruquthniy 1/71; semuanya dari jalan
‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Qataadah dan Tsaabit (al-Bunaaniy), Anas radliyallaahu ‘anhu.
Para perawi hadits ini adalah tsiqah, namun ia mempunyai ‘illat tersembunyi.
Pertama; riwayat Ma’mar dari
Tsaabit (Al-Bunaaniy) adalah lemah (dla’iif).
‘Ali bin Al-Madiniy berkata : “Dalam hadits Ma’mar dari Tsaabit adalah
hadits-hadits gharib dan munkarah”. Al-‘Uqailiy berkata : “Mereka
(para ulama) mengingkari hadits-hadits Ma’mar yang berasal dari Tsaabit”. Ibnu
Abi Khaitsamah menyebutkan dari Yahyaa bin Ma’iin, bahwa ia berkata : “Hadits
Ma’mar dari Tsaabit adalah goncang (mudltharib)
dan banyak kelirunya” [Syarh ‘Ilal
At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, 2/691].
Kedua; riwayat Ma’mar dari
Qataadah juga lemah (dla’iif). Ibnu
Rajab berkata : Telah berkata Ad-Daaruquthniy : ‘Ma’mar jelek hapalan haditsnya
dari Qataadah dan Al-A’masy’. Yahyaa bin Ma’iin berkata : ‘Telah berkata Ma’mar
: Aku duduk di hadapan Qataadah saat aku masih kecil. Aku tidak menghapal
darinya sanad-sanad (hadits)” [idem, 2/698].
Ketiga, Ma’mar telah menyendiri
dalam periwayatan tambahan lafadh ‘menyebut
nama Allah (mengucapkan basmalah)’. Ia telah menyelisihi Sulaiman bin
Al-Mughiirah, Hammaad bin Zaid, dan Hammaad bin Salamah yang ketiganya
meriwayatkan dari Tsaabit, dari Anas tanpa ada lafadh tasmiyyah. Juga menyelisihi Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, Hammaam bin
Yahyaa, Hisyaam bin Al-Dustuwaa’iy, dan Syu’bah bin Al-Hajjaaj; yang semuanya
meriwayatkan dari Qataadah, dari Anas tanpa ada lafadh tasmiyyah.
Oleh karena itu, status hadits ini
adalah munkar.
Ada hadits lain dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang tasmiyyah ini, yaitu hadits Jaabir yang
panjang dimana disebutkan di dalamnya :
وقال
"خذ. يا جابر! فصب علي. وقل: باسم الله" فصببت عليه وقلت: باسم الله.
فرأيت الماء يفور من بين أصابع رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Dan beliau bersabda : “Ambillah wahai Jaabir dan tuangkan untukku.
Ucapkanlah : ‘Bismillah”. Maka aku (Jaabir) lihat air mengalir di antara
jari-jemari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 3013].
Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum membaca basmalah
sebelum wudlu.
Ada yang berpendapat hukumnya sunnah. Ini merupakan
pendapat madzhab Hanafiyyah[2][2], Syaafi’iyyah[3][3], dan satu
riwayat dari Ahmad[4][4].
Ada yang berpendapat bahwa ia
termasuk dari keutamaan-keutamaan wudlu. Ini adalah pendapat masyhur dari
madzhab Malikiyyah[5][5].
Ada yang berpendapat hukumnya
mubah, dan ini merupakan satu pendapat dari madzhab Maalikiyyah.[6][6]
Ada yang berpendapat hukumnya
makruh, dan ini satu pendapat dari Maalik (bin Anas).[7][7]
Ada yang
berpendapat hukumnya wajib; namun jika lupa membacanya, gugur kewajiban
tersebut dan sah wudlunya. Pendapat ini masyhur di kalangan ulama Hanabilah muta’akhkhirin.[8][8]
Ada yang berpendapat bahwa tasmiyyah termasuk syarat sahnya wudlu.
Ini merupakan pendapat Dhahiriyyah, sebagaimana dikatakan oleh pengarang ‘Aunul-Ma’buud.[9][9]
Melihat dhahir dalil di atas, perintah untuk mengucapkan
tasmiyyah adalah wajib selagi tidak
ada dalil shahih dan sharih yang
memalingkannya.
Para ulama yang berpendapat tidak wajibnya
mengucapkan tasmiyyah menjawab
bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam saat menyebutkan menyebutkan kewajiban wudlu pada
seseorang yang buruk shalatnya, tidak menyebutkan tasmiyyah :
عن رفاعة بن رافع :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بينما هو جالس في المسجد يوما قال رفاعة ونحن معه
إذ جاءه رجل كالبدوي فصلى فأخف صلاته ثم انصرف فسلم على النبي صلى الله عليه وسلم
فقال النبي صلى الله عليه وسلم وعليك فارجع فصل فإنك لم تصل فرجع فصلى ثم جاء فسلم
عليه فقال وعليك فارجع فصل فإنك لم تصل ففعل ذلك مرتين أو ثلاثا كل ذلك يأتي النبي
صلى الله عليه وسلم فيسلم على النبي صلى الله عليه وسلم فيقول النبي صلى الله عليه
وسلم وعليك فارجع فصل فإنك لم تصل فخاف الناس وكبر عليهم أن يكون من أخف صلاته لم
يصل فقال الرجل في آخر ذلك فأرني وعلمني فإنما أنا بشر أصيب وأخطئ فقال أجل إذا
قمت إلى الصلاة فتوضأ كما أمرك الله.....
Dari Rifaa’ah bin Raafi’ : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
duduk di dalam masjid pada suatu hari. Pada waktu itu kamu bersama beliau
ketika datang seorang laki-laki Baduwi kepada beliau. Ia lalu shalat dengan
cepat. (Setelah selesai), lalu berpaling dan mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab
: “Hendaknya kamu kembali lalu ulangi
shalatmu, karena kamu belum shalat”. Ia pun mengulanginya sampai dua atau
tiga kali, dimana setiap selesai shalat, ia mengucapkan salah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
beliau pun menjawab : “Kembalilah lalu
ulangi shalatmu, karena kamu belum shalat”. Orang-orang menjadi khawatir
dan menjadi besarlah perkara itu bagi mereka, bahwasannya barangsiapa yang
paling cepat shalatnya, maka dianggap belum melakukan shalat. Orang tersebut
berkata pada akhirnya : “Nasihatilah aku
dan ajarkanlah kepadaku, karena aku hanyalah manusia yang kadang benar dan
kadang pula salah”. Maka beliau bersabda : “Baiklah. Jika engkau berdiri hendak melakukan shalat, berwudlulah
sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu….” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 302, Ath-Thayaalisiy no. 1469, Ahmad 4/340, Ad-Daarimiy no.
1335, Al-Bukhaariy dalam Al-Qiraa’atu
Khalfal-Imaam no. 101 & 102 & 103 & 108 & 109 & 111
& 112, Abu Dawud no. 858 & 860-861, Ibnu Maajah no. 460, An-Nasaa’iy
2/20 & 2/193 & 3/59-60, Ibnu Khuzaimah no. 545 & 597 & 638,
Ath-Thahaawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 1/232, Al-Haakim 1/243, Al-Baihaqiy 2/380, dan yang
lainnya; semuanya dari jalan ‘Aliy bin Yahyaa bin Khallaad, dari ayahnya, dari
Rifaa’ah secara marfu’ – kecuali
riwayat Tirmidziy dimana ia membawakan tanpa menyebutkan ‘Aliy bin Yahyaa bin
Khallaad. Ini adalah kekeliruan dari sebagian perawi At-Tirmidziy, wallaahu a’lam. Diriwayatkan juga oleh
Ahmad 4/340, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 1/232, dan Abu Dawud no. 857 & 859 dari jalan ‘Aliy
bin Yahyaa bin Khallaad, dari Rifaa’ah. Hadits ini shahih].
Yang dimaksud dari sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “berwudlulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu” ;
adalah firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ....
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki…” [QS. Al-Maaidah : 6].
Pada ayat tersebut tidak disebutkan tasmiyyah (saat berwudlu) sebagai satu
perintah dari Allah ta’ala [Al-Majmuu’ oleh An-Nawawiy, 1/346].
Dan dalam riwayat lain dari Abu Dawud sangat jelas
tidak disebutkan tasmiyyah dalam
perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam kepada Arab Baduwiy yang harus dilaksanakan :
عن رفاعة بن رافع
قال : فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنها لا تتم صلاة أحدكم حتى يسبغ
الوضوء كما أمره الله عز وجل فيغسل وجهه ويديه إلى المرفقين ويمسح برأسه ورجليه
إلى الكعبين
Dari Rifaa’ah bin Raafi’, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: “Sesungguhnya shalat salah seorang di
antara kalian tidak mencukupi hingga menyempurnakan wudlunya sebagaimana
diperintahkan Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya ia membasuh wajah dan kedua
tangannya sampai siku, dan menyapu kepala dan (membasuh) kedua kakinya hingga
mata kaki…” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 858; shahih].
Pendapat inilah yang shahih dalam permasalahan ini –
yaitu tidak wajibnya tasmiyyah, dan
ia hanya merupakan sunnah saja.
Oleh karena itu, maka makna kalimat لَا وُضُوْءَ
(tidak ada wudlu) adalah penafikkan
adanya kesempurnaan (pahala) wudlu bagi orang yang tidak ber-tasmiyyah. Bukan penafikkan
keabsahannya.
Ini seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا صلاة بحضرة الطعام....
“Tidak ada shalat
saat makanan dihidangkan…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 560].
Hadits tersebut tidak memberikan konsekuensi shalat
seseorang menjadi batal jika ia melaksanakannya saat makanan telah dihidangkan.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibraahiim dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah.[10][10]
Namun sudah selayaknya bagi kaum muslimin tidak
meninggalkan tasmiyyah ketika
berwudlu sebagai langkah hati-hati dan keluar dari perselisihan dengan selalu
mengharapkan keridlaan-Nya semata.
Semoga artikel kecil ini bermanfaat.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.(Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy)
هو
الضعيف إذا تعددت طرقه، ولم يكن سببُ ضعفه فِسْقَ الراوي أو كَذِبَهٌ.
يستفاد
من هذا التعريف أن الضعيف يرتقى إلى درجة الحسن لغيره بأمرين هما:
أ) أن
يٌرْوَيٍِ من طريق آخر فأكثر ، على أن يكون الطريقٌ الآخر مثله أو أقوى منه
ب) أن يكون
سببٌ ضعف الحديث إما سوء حفظ راويه أو انقطاع في سنده أو جهالة في رجاله .
“Ia
adalah hadits (yang asalnya) dla’if
yang memiliki beberapa jalur (sanad), dan sebab ke-dla’if-annya bukan karena perawinya fasiq atau dusta. Berdasarkan
definisi ini, menunjukkan bahwa hadits dla’if
itu dapat naik tingkatannya menjadi hasan
lighairihi karena dua hal :
a. Jika hadits
tersebut diriwayatkan melalui jalan lain (dua jalur) atau lebih; asalkan jalan
lain itu semisal atau lebih kuat.
b. Penyebab kedla’ifannya bisa karena buruknya hafalan perawinya,
terputusnya sanad, atau jahalah dari
perawi” [lihat Taisiru
Mushthalahil-Hadiits hal. 43-44].
[2][2] Tabyiinul-Haqaaiq
(1/3-4), Al-Bahrur-Raaiq (1/19), Haasyiyyah Ibni ‘Aabdiiin (1/108-109), Al-Mabsuuth (1/55), Syarh Fathil-Qadiir (1/21-22), Badaai’ush-Shanaai’
(1/20), dan Al-Fatawaa Al-Hindiyyah
(1/6).
[3][3] Al-Umm
(1/31), Al-Majmuu’ (1/385), I’aanatuth-Thaalibiin (1/43), Minhajuth-Thullaab (1/4), Asaniyul-Mathaalib (1/37), dan Haasyiyyataa Al-Qalyuubiy wa ‘Umairah
(1/59).
[4][4] Telah berkata Ibnu Haani’ dalam Masaail Ahmad (hal. 3) : “Aku bertanya
pada Abu ‘Abdillah mengenai tasmiyyah
sebelum wudlu, ia menjawab : ‘Tidak shahih hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentangnya’. Aku juga bertanya
tentang seseorang yang lupa mengucapkan tasmiyyah
ketika wudlu, maka Abu ‘Abdillah menjawab : ‘Telah mencukupi baginya. Hadits
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tentang tasmiyyah sanadnya tidaklah
kuat”.
Ini juga merupakan
pendapat Ats-Tsauriy, Abu ‘Ubaidah, dan Ibnul-Mundzir [lihat Al-Mughniy, 1/73, At-Tahqiiq fii Ahaadiitsil-Khilaaf 1/137, dan Al-Inshaaf 1/1/128].
[5][5] Dikatakan dalam kitab Haasyiyyah Ad-Daasukiy (1/103) : “Tasmiyyah menjadi bagian dari keutamaan-keutamaan (wudlu). Hal itu
merupakan pendapat masyhur dari
madzhab yang menyelisihi orang yang berpendapat tidak masyru’nya mengucapkan tasmiyyah dan memakruhkannya”.
Lihat Haasyiyyah Ash-Shaawiy
‘alasy-Syarhish-Shaghiir (1/122), Al-Kaafiy
fii Fiqhi Ahlil-Madiinah (hal. 23), dan Haasyiyyah
Al-‘Adawiy (1/181).
Berkata
Al-Mardaawiy : “Itu (wajib) merupakan pendapat madzhab. Telah berkata penulis
kitab Al-Hidaayah, Al-Fushuul,
Al-Majd dalam Syarah-nya, dan yang
lainnya : “Tasmiyyah adalah wajib
menurut riwayat yang paling shahih (dari Ahmad) dari dua riwayat (yang ternukil
darinya)” [Al-Inshaaf, 1/128].
[9][9] ‘Aunul-Ma’buud,
1/121. Mungkin yang dimaksudkan adalah madzhab Dawud Adh-Dhaahiriy. Adapun
madzhab Ibnu Hazm, maka ia berpendapat sunnah. Ia berkata : “Dan disukai untuk
mengucapkan nama Allah ta’ala saat
berwudlu. Apabila ia tidak melakukannya, maka wudlunya (tetap) sempurna” [Al-Muhallaa, 2/295].
[10][10] Adapun dua permata jaman lainnya, yaitu
Al-Imaam Ibnu Baaz dan Al-Imaam Al-Albaaniy rahimahumallah
berpendapat tentang wajibnya tasmiyyah
[lihat http://binbaz.org.sa/mat/2213 dan Al-Ikhtiyaaraatul-Fiqhiyyah lil-Imaam
Al-Albaaniy oleh Ibraahiim Abu Syaadaa, hal. 45].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar