Permasalahan
tentang sampainya pahala yang dilakukan orang yang masih hidup kepada mayit
telah menjadi satu bahasan yang mu’tabar
sejak berabad-abad silam.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa
mereka (para ulama) sepakat
akan sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si
mayit sebatas yang disebutkan secara khusus oleh dalil. Yang menjadi khilaf di
antara mereka adalah amal-amal selain yang disebutkan khusus oleh dalil. Apakah
amal-amal tersebut bisa diqiyaskan secara mutlak atau tidak sehingga memberikan
konsekuensi sampainya pahala kepada si mayit ? Sebagian ulama berpendapat bisa
diqiyaskan, sebagian lain berpendapat tidak bisa diqiyaskan. Dari sinilah
kemudian khilaf muncul.
Adapun khilaf tersebut bisa
diterangkan sebagai berikut :
1.
Bahwasannya setiap
amal ibadah yang dilakukan oleh manusia yang diperuntukkan pahalanya kepada
seorang muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh secara mutlak dan
pahalanya akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut. Ini adalah
pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam
Asy-Syafi’i. Ada
yang menyebutkan bahwa ini merupakan pendapat jumhur [1].
2.
Bahwasannya tidak
sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan
(untuk) memberikan amalan/pahala kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan
’umrah. Adapun di luar hal tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala
yang diniatkan oleh orang yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang
telah meninggal dunia. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam
Syafi’i.[2]
Dalil
yang Dipergunakan oleh Kelompok Pertama
1.
Hadits ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata :
يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو
تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak
sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat berbicara niscaya ia akan
bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya ?”. Maka
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam
menjawab : ”Ya” [HR. Bukhari
no. 1322 dan Muslim no. 1004].
2.
Hadits ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa bahwasannya Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam pernah bersabda :
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban
puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” [HR. Bukhari no. 1851, Muslim no. 1147, Abu Dawud
no. 2400, dan yang lainnya].
3.
Hadits Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu dimana ia pernah
menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian
dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
الآن حين بردت عليه جلده
“Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya” [HR. Al-Hakim 2/74 bersama At-Tattabu’ no. 2401. Ia berkata :
“Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim].
4.
Dan lain-lain.
Dalil-dalil di
atas dan yang semisal diqiyaskan secara mutlak terhadap amal-amal lain yang
dengan itu dapat bermanfaat bagi si mayit. Contoh dalam hal ini adalah kirim
pahala amalan dzikir dan bacaan Al-Qur’an.
Ibnu Taimiyyah
pernah ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an dan beberapa dzikir yang dilakukan
oleh ahli mayit yang kemudian dihadiahkan kepada si mayit, maka beliau menjawab
:
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر
ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه. والله أعلم.
”Sampai kepada
mayit (pahala) bacaan-bacaan dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya,
takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk
menghadiahkan pahalanya (kepada si mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu
a’lam” [Majmu’ Fataawaa
24/324].
Dalil-Dalil
yang Dipakai oleh Kelompok Kedua
Pada dasarnya
dalil yang dipakai oleh kelompok pertama dipakai pula oleh kelompok kedua.
Namun, kelompok kedua ini hanya mengkhususkan amalan-amalan yang sampai adalah
sebatas yang disebutkan oleh dalil saja. Tidak diqiyaskan kepada yang lain.
Dalil yang dipergunakan untuk membangun pendapat tersebut antara lain :
1.
Firman Allah ta’ala :
وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى
“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
diusahakannya” [QS. An-Najm :
39].
Ayat
ini mengandung pengertian : ”Dan tidaklah seseorang yang berbuat itu dibalas
melainkan dari perbuatannya itu sendiri”.
2.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من
صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya
kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau
anak shalih yang mendoakannya”
[HR. Muslim no. 1631].
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا
يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن
لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن
آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Adapun bacaan Al-Qur’an
(yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab
Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada
mayit yang dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah
firman Allah (yang artinya) : ”Dan
tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan”
(QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang
artinya) : ”Apabila anak Adam telah
meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah
jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya”
[Lihat Syarh Shahih Muslim
oleh An-Nawawi 1/90].
Al-Haitsami
dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah
telah berkata :
الميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن
القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها للقارء. والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن
عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.
“Mayit, tidak
boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa bacaan
(yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab
pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan
tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut,
berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia
usahakan” (QS. An-Najm : 39) [Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitsami 2/9].
Ibnu Katsiir
dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan
Surat An-Najm ayat 39 berkata :
أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر
إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه,
أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم
يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص
ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا
إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء
”Yakni
sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga
manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari
ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama
lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya
dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil
usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk
mengamalkannya (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan
bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang
shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan
semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal
amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash
(yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan
qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” [Lihat Tafsir
Al-Qur’aanil-’Adhiim li-Bni Katsiir].
Tarjih
Melihat
keseluruhan dalil yang disebutkan (baik yang tertulis ataupun yang tidak
tertulis dalam artikel ini), maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat
yang menyatakan tidak sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih
hidup kepada si mayit kecuali yang disebutkan secara khusus oleh dalil. QS.
An-Najm ayat 39 merupakan nash yang sangat tegas bahwa seseorang itu hanyalah
akan mendapat balasan (baik pahala ataupun siksa) dari apa yang ia perbuat
sendiri. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu juga menjelaskan bahwa setelah
seseorang itu meninggal, maka terputuslah segala amal yang dapat bermanfaat
baginya. Adapun beberapa dalil yang menjelaskan tentang sampainya amal dan
pahala – yang sama-sama disebutkan oleh kelompok pertama maupun kedua – merupakan
kasus-kasus tertentu sebagai pengkhususan (takhshish)
atas keumuman ayat. Oleh karena itu, tidak bisa ia diqiyaskan dengan
kasus-kasus (amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi telah shahih perkataan Ibnu
’Abbas radliyallaahu ’anhuma
yang menguatkan tarjih ini :
لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه
مكان كل يوم مدا من حنطة
”Seseorang tidak
boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk
menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap
hari sebanyak satu mud biji gandum” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi
dalam Musykilul-Aatsaar
3/141; shahih].
Pemahamannya
adalah, kita tidak diperkenankan untuk melakukan shalat (baik shalat wajib atau
sunnah) bagi orang lain (baik yang masih hidup, apalagi yang telah meninggal).
Begitu pula dengan amalan puasa [3].
Selain itu
alasan yang menjadi latar belakang tarjih ini adalah :
·
Prinsip dasar
dalam ibadah yaitu tawaquf
(diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Sedangkan di
sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian saja, sehingga
diharuskan meninggalkan selain itu.
·
Tidak pernah
terdengar pada masa Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya bahwa ada seseorang
yang membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada si mayit.
Kalaupun itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita untuk
mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah
dan Rasul-Nya.
·
Pemberlakuan
qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu
buat ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama
Allah.
·
Bahwa para
ahli bid’ah di masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti
mengupah para qaari’ untuk
membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan terhadap jenazah
beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti
tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.
·
Kebanyakan
manusia pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah)
telah melupakan ibadah-ibadah yang disyariatkan, yang terdapat dalil shahih
tentang bolehnya menghadiahkan pahala kepada mayit; sebaliknya, mereka
berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.
Semoga tulisan
ringkas ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Amien.
allaahu a’lam
bish-shawwab.
Abul-Jauzaa’
Catatan
kaki :
[1] Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664.
[2] Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/521 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664.
[3] Hadits : ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih
memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” ; terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis puasa
yang dimaksud. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa
nadzar, atau puasa yang lainnya ? Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam
hadits ini adalah puasa nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits
yang lain :
عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله
أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله
صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma :
“Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah
menyelematkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun
kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya)
hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara
perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa
untuknya” [HR. Abu Dawud no. 3308; shahih].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar