Shalat adalah satu ibadah ’amaliy terbesar yang harus dilakukan muslim yang pernah
mengikrarkan dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang agama. Namun sayangnya,
banyak diantara kaum muslimin yang menyia-nyiakannya. Ini adalah musibah bagi
dirinya dan juga kaum muslimin seluruhnya......
Diantara yang telah mengerjakannya (dan kita ucapkan alhamdulillah
atas hal ini), masih banyak yang tidak mengerti akan
hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat. Bagaimana cara yang benar dalam
shalat. Oleh karena itu, di sini saya akan mencoba meringkaskannya tentang
bahasan ini..... Semoga Allah ta’ala menjadikannya
satu kemanfaatan bagi diri saya (di dunia dan di akhirat), juga bagi kaum
muslimin semua.
1.
Makna Shalat
Shalat secara bahasa
(etimologis) maknanya adalah doa [1][1]. Adapun secara syari’at (terminologis) maknanya adalah
perkataan dan perbuatan yang dimulai dari takbir (takbiratul-ihram) dan diakhiri dengan salam, yang dibarengi dengan
niat.
2.
Dalil
Pensyari’atan Shalat
Allah ta’ala
berfirman :
قُل لّعِبَادِيَ الّذِينَ
آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصّلاَةَ وَيُنْفِقُواْ مِمّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً
وَعَلانِيَةً مّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ
Katakanlah kepada
hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat,
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi
ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak
ada jual beli dan persahabatan” [QS. Ibrahim : 31].
3.
Hukum
Orang yang Meninggalkan Shalat
Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari
kewajibannya, maka dia telah kafir dan keluar dari agama Islam. Kaum
muslimin (ulama) telah sepakat mengenai hal itu. Akan tetapi mereka berselisih
pendapat tentang hukum orang meninggalkan shalat karena malas atau bisikan hawa
nafsu (tanpa mengingkari kewajibannya). Sebagian ulama
mengkafirkan, dan sebagian lagi tidak mengkafirkan (kufur ashghar). Yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang
mengatakan tidak kafir.[2][2] Akan tetapi bukan berarti hal ini meremehkan
kewajiban shalat. Bahkan orang yang meninggalkan shalat (karena malas dan
dorongan hawa nafsu), maka ia telah berbuat salah satu dosa besar yang paling
besar yang hampir menjerumuskannya pada pintu kekafiran. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ
وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya batas
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 82].
4.
Jumlah
Shalat Fardlu
Jumlah shalat fardlu dalam sehari semalam adalah lima kali shalat.
عن طلحة بن عبيد الله يقول:
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد، ثائر الرأس، يسمع دوي صوته
ولا يفقه ما يقول، حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام، فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: (خمس صلوات في اليوم والليلة) فقال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن
تطوع).
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah ia berkata : “Telah
datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung
suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali
setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam’. Ia bertanya
lagi : ‘Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :
‘Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja” [HR. Al-Bukhari no. 46].
Ia adalah shubuh (2 raka’at), dhuhur (4 raka’at),
‘asar (4 raka’at), maghrib (3 raka’at), dan ‘isya’ (4 raka’at).
5.
Waktu-Waktu
Shalat
Allah ta’ala
berfirman :
أَقِمِ الصّلاَةَ لِدُلُوكِ
الشّمْسِ إِلَىَ غَسَقِ الْلّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنّ قُرْآنَ الْفَجْرِ
كَانَ مَشْهُوداً
“Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
وقت الظهر إذا زالت الشمس.
وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر. ووقت العصر ما لم تصفر الشمس. ووقت صلاة
المغرب ما لم يغب الشفق. ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط. ووقت صلاة الصبح
من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس.
“Waktu dhuhur jika
matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang sama tinggi dengan
seseorang itu selama belum masuk waktu ‘ashar. Waktu ‘ashar sampai matahari
berwarna kuning. Waktu shalat maghrib selama sinar matahari belum hilang. Waktu
shalat ‘isya’ sampai tengah malam. Waktu shalat shubuh mulai terbitnya fajar
(shadiq) sampai matahari belum terbit” [HR. Muslim no. 612].
Perinciannya adalah sebagai berikut :
a)
Waktu
shubuh, dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai sebelum matahari terbit.
b)
Waktu
dhuhur, dimulai saat matahari telah tergelincir (bayangan seseorang telah
nampak sesaat setelah matahari tepat di atas kepala) sampai panjang bayangan
seseorang sama dengannya tinggi badannya.
c)
Waktu
maghrib, dimulai sesaat setelah matahari tenggelam sampai dengan sinar
lembayung merah di ufuk barat habis.
d)
Waktu
‘isya’, dimulai setelah sinar lembayung merah di ufuk barat habis sampai dengan
tengah malam tiba.
6.
Waktu
Terlarang untuk Shalat
Dari Amru bin Abasah radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan
bahwa ia pernah berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Beritahukanlah kepadaku sesuatu tentang shalat”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
صل صلاة الصبح. ثم أقصر عن
الصلاة حتى تطلع الشمس حتى ترتفع. فإنها تطلع حين تطلع بين قرني شيطان. وحينئذ
يسجد لها الكفار. ثم صل. فإن الصلاة مشهودة محضورة. حتى يستقل الظل بالرمح. ثم
أقصر عن الصلاة. فإن، حينئذ، تسجر جهنم. فإذا أقبل الفيء فصل. فإن الصلاة مشهودة
محضورة. حتى تصلي العصر. ثم أقصر عن الصلاة. حتى تغرب الشمس. فإنها تغرب بين قرني
شيطان. وحينئذ يسجد لها الكف
“Lakukanlah shalat Shubuh, kemudian berhentilah
melakukan shalat lain, hingga terbit matahari, hingga matahari meninggi. Sesungguhnya matahari itu terbit di antara
sepasang tanduk setan. Waktu itulah
orang-orang musyrik bersujud kepadanya.
Kemudian shalatlah karena shalat pada saat itu disaksikan oleh para
malaikat hingga bayang-bayang tembok tegak.
Kemudian berhentilah melakukan shalat lain, karena kala itu neraka
Jahannam dinyalakan. Apabila matahari
sudah tergelincir, shalatlah hingga datang waktu Ashar. Kemudian berhentilah melakukan shalat hingga
matahari tenggelam. Karena matahari
tenggelam di antara sepasang tanduk setan, dan ketika itulah orang-orang
musyrik bersujud kepadanya” [HR.
Muslim no. 832].
Perincian waktu terlarang untuk shalat adalah
sebagai berikut :
a)
Setelah
shalat Shubuh sampai terbit matahari.
b)
Ketika
terbit matahari sampai matahari meninggi setinggi satu tombak (dimulainya waktu
Dluha).
c)
Ketika
matahari tepat di atas kepala (pertengahan siang) sampai tergelincir (zawal
– masuk waktu Dhuhur).
d)
Setelah
shalat Ashar sampai terbenam matahari.
e)
Ketika
matahari mulai tenggelam sampai betul-betul tenggelam (masuk waktu Maghrib).
Kelima waktu di atas adalah diharamkan bagi setiap
muslim untuk melakukan shalat sunnah mutlak.[3][3] Akan tetapi
para ulama berbeda pendapat tentang dilakukannya shalat sunnah dengan
sebab-sebab tertentu (contoh : shalat tahiyyatul masjid, shalat sunnah wudlu,
shalat kusuf (gerhana), dan lain-lain) yang dilakukan pada 5 waktu terlarang
tersebut. Yang lebih rajih (kuat)
insya allah adalah diperbolehkan – wallahu a’lam. [4][4]
7.
Meninggalkan
Shalat karena Ketiduran atau Kelupaan.
Maka hendaknya ia segera mengerjakannya begitu ia
teringat, sebagaimana perintah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :
من نسي صلاة فليصل إذا ذكرها
لا كفارة لها إلا ذلك
“Barangsiapa yang tidak
mengerjakan shalat karena lupa, maka hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut
ketika ia teringat dengannya. Tidak ada kaffarat lain selain itu” [HR. Al-Bukhari no.
572 dan Muslim no. 684].
8.
Syarat
sahnya shalat :
a)
Islam
b)
Berakal
c)
Tamyiz (mampu membedakan antara baik dan buruk
d)
Suci dari hadats besar dan hadats kecil.
e)
Suci badan, pakaian, dan tempat shalat.
f)
Menutup aurat (bagi wanita seluruh tubuh kecuali muka dan
telapak tangan).
g)
Dikerjakan
pada waktunya.
h)
Menghadap
kiblat.
i)
Niat
9.
Rukun-Rukun
Shalat :
a)
Berdiri
jika mampu.
b)
Takbiratul-ihram.
c)
Membaca Al-Fatihah.
d)
Rukuk.
e)
I’tidak
setelah rukuk.
f)
Sujud pada tujuh anggota tubuh.
g)
Bangkit dari sujud.
h)
Duduk antara dua sujud.
i)
Thuma’ninah pada seluruh gerakan.
j)
Tertib pada seluruh pelaksanaan rukun-rukun shalat.
k)
Tasyahud akhir.
l)
Duduk (pada tasyahud akhir).
m)
Bershalawat pada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
n)
Salam.
10.
Shalat
Berjama’ah Bagi Wanita
v
Para ulama sepakat bahwa kaum wanita tidak wajib mengerjakan shalat
berjama’ah, akan tetapi syari’at tetap membenarkan mereka shalat berjama’ah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صلاة الجماعة أفضل من صلاة
الفذ بسبع وعشرين درجة
“Shalat berjama’ah
duapuluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian” [HR. Al-Bukhari no.
619 dan Muslim no. 650].
v
Posisi
imam seorang wanita yang mengimami wanita lainnya adalah di tengah-tengah shaff
pertama.
عن ريطة الحنفية أن عائشة
أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
Dari Raithah Al-Hanaifiyyah : “Bahwasannya ‘Aisyah
pernah mengimami mereka dan ia berdiri di tengah mereka (barisan pertama) dalam
shalat fardlu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 5086, Ad-Daruquthni 1/404, dan Baihaqi 3/131; shahih bisyawahidihi].
v
Rumah
adalah Tempat Shalat yang Paling Baik Bagi Wanita
عن بن عمر قال قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Janganlah kalian
melarang kaum wanita pergi ke masjid; akan tetapi shalat di rumah adalah lebih
baik bagi mereka” [HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan
yang lainnya; shahih lighairihi].
v
Seorang
wanita boleh mengimami sesama wanita atau anak kecil yang belum baligh. Wanita
tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
11.
Kaifiyyah (Tata Cara) Shalat
a)
Niat
Tidak disyari’atkan mengucapkan/melafadhkan niat,
sebab hal itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan para ulama
setelahnya (termasuk imam empat).[5][5]
b)
Menghadap Sutrah (Pembatas dalam Shalat).
Sutrah adalah sesuatu yang digunakan sebagai
pembatas shalat yang diletakkan di depan orang shalat.
Hukum menghadap sutrah ini adalah wajib bagi
shalat munfarid (sendirian) dan bagi
imam [6][6]. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تصل إلا إلى سترة ولا تدع
أحدا يمر بين يديك فإن أبى فلتقاتله فإن معه القرين
“Janganlah engkau
shalat kecuali menghadap sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan
seorangpun lewat di hadapanmu (ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka
perangilah ia, sesungguhnya ia bersama dengan qarin (syaithan)” [HR. Ibnu Khuzaimah
no. 800; shahih].
وَقَالَ ابن مَسعود : أَربَع
منَ الخلَفَاء : أن يصلي الرّجل إلى غير سترة … أو يسمع المنادي ثم لا يجيبه
Dan Ibnu Mas’ud berkata : “Empat hal dari
kemunkaran yaitu : Seseorang melakukan shalat tidak menghadap sutrah….. atau
mendengar panggilan (adzan) lalu tidak menjawabnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/61 dan
Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 2/285; shahih].
Tinggi sutrah minimal seukuran bagian belakang
pelana kuda atau kira-kira dua pertiga sampai satu hasta, berdasarkan hadits:
إذا قام أحدكم يصلي فإنه
يستره إذا كان بين يديه مثل آخرة الرحل
“Jika berdiri salah
seorang di antara kalian untuk melaksanakan shalat, sesungguhnya terbatasi dia
jika di depannya terdapat seukuran bagian pelana kendaraan tunggangan/kuda” [HR. Muslim no. 510].
Adapun jarak antara tempat berdiri shalat dengan
sutrah adalah sepanjang tiga hasta, berdasarkan hadits :
...ثم
صلى وجعل بينه وبين الجدار نحوا من ثلاثة أذرع
“….Kemudian beliau
shalat dimana jarak antara beliau dan dinding (sebagai sutrah –
Abul-Jauzaa’ (Pent.)) adalah sekitar tiga hasta” [HR. An-Nasa’i no. 749
dan Ahmad 2/138; shahih].
c)
Berdiri
jika mampu
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
صل قائما فإن لم تستطع
فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
“Shalatlah sambil
berdiri. Bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil duduk. Bila tidak sanggup
juga, shalatlah sambil berbaring” [HR. Al-Bukhari no.
1066, Abu Dawud no. 939, dan At-Tirmidzi no. 369].
Seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang sehat lagi mampu wajib melakukan shalat fardlu sambil berdiri, baik sendiri
maupun menjadi imam.
Bila ia sedang naik pesawat, kapal, atau kendaraan
lain yang tidak mungkin baginya untuk turun (ke tanah/darat) sewaktu-waktu,
maka ia tetap wajib shalat sambil berdiri jika mampu. Namun jika tidak mampu,
maka boleh baginya shalat sambil duduk.
Boleh mengerjakan shalat sunnah sambil duduk tanpa
alasan apapun, akan tetapi ia hanya mendapatkan pahal setengah dari orang yang
berdiri. ‘Imran bin Hushain pernah bertanya kepada Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wasallam tentang
orang yang shalat sambil duduk. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam menjawab :
إن صلى قائما فهو أفضل ومن
صلى قاعدا فله نصف أجر القائم ومن صلى نائما فله نصف أجر القاعد
“Barangsiapa yang
shalat dengan berdiri, maka hal itu lebih baik. Orang yang mengerjakan shalat
sambil duduk mendapatkan setengah pahala orang yang mengerjakannya sambil
berdiri. Orang yang mengerjakan shalat sambil berbaring mendapatkan setengah
pahala orang yang mengerjakannya sambil duduk” [HR. Bukhari no.
1064].
Namun jika ia melakukan shalat sambil duduk atau
berbaring karena udzur (sakit atau
yang lainnya), maka ia tetap mendapatkan pahala sebagaimana orang berdiri
(tidak kurang). Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إذا مرض العبد أو سافر كتب
له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا
“Barangsiapa yang jatuh
sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka dicatatkan pahala baginya pahala
seperti yang biasa ia dilakukannya ketika bermukim atau sehat” [HR. Al-Bukhari no.
2834].
d)
Takbiratul-Ihram dan Mengangkat Tangan
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
مفتاح الصلاة الطهور
وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
“Kunci shalat itu
adalah suci, pengharamannya[7][7] adalah takbir (yaitu
takbiratul-ihram), dan penghalalannya[8][8] adalah salam” [HR. Abu Dawud
no. 61, Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1/87,
At-Tirmidzi no. 3 dan lain-lain; hasan].
إنه لا تتم صلاة لأحد من
الناس حتى يتوضأ، فيضع الوضوء مواضعه ثم يقول : اَللهُ أَكْبَرُ
“Sesungguhnya tidaklah
sempurna shalat salah seorang di antara manusia sehingga ia berwudlu dan
meletakkan wudlu tersebut pada tempatnya (yaitu pada anggota badan yang wajib
terkena air wudlu), lalu berkata : Allaahu Akbar” [HR. Thabarani dalam Al-Kabiir no. 4526; shahih].
Kadangkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya bersamaan
dengan takbir.
أن عبد الله بن عمر رضي الله
عنهما قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين
يكبر، حتى يجعلهما حذو منكبيه
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata : “Aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam memulai shalat dengan takbir. Maka beliau mengangkat kedua tangannya
ketika (bersamaan) takbir setinggi kedua pundaknya” [HR. Al-Bukhari no.
705].
Kadangkala beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan sebelum takbir.
أن بن عمر قال كان رسول الله
صلى الله عليه وسلم إذا قام للصلاة رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبر
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma
berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila
berdiri untuk shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya,
kemudian beliau bertakbir” [HR. Muslim no. 390].
Kadangkala beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan setelah takbir.
عن أبي قلابة أنه رأى مالك
بن الحويرث إذا صلى كبر ثم رفع يديه وإذا أراد أن يركع رفع يديه وإذا رفع رأسه من
الركوع رفع يديه وحدث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفعل هكذا
Dari Abu Qilabah : “Bahwasannya ia melihat Malik
bin Al-Huwairits apabila ia melakukan shalat, maka ia bertakbir kemudian
mengangkat kedua tangannya. Dan apabila ia hendak rukuk, maka ia mengangkat kedua
tangannya. Apabila ia mengangkat kepalanya dari rukuk (i’tidal), maka ia mengangkat kedua tangannya. Ia mengatakan
bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam melakukan demikian (dalam shalat)” [HR. Al-Bukhari no. 704
dan Muslim no. 391].
Beliau shallalaahu
‘alaihi wasallam mengangkat tangan sejajar kedua pundaknya (berdasarkan
hadits di atas). Kadangkala, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan
kedua telinganya.
عن مالك بن الحويرث أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم كان إذا كبر رفع يديه حتى يحاذي بهما أذنيه
Dari Malik bin Al-Huwairits : “Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
apabila bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua
telinganya” [HR. Muslim no. 391].
e)
Meletakkan
Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri di Dada
عن سهل بن سعد قال كان الناس
يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة
Dari Sahl bin Sa’id radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Adalah para shahabat
diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas
hasta kirinya dalam shalat” [HR.
Al-Bukhari no. 707].
Dari Wa’il bin Hujr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده
اليمنى على يده اليسرى على صدره
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau
meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah
dalam Shahih-nya no. 479].
Adapun meletakkan kedua tangan di bawah dada atau
perut, maka hal ini tidak benar (menyelisihi sunnah).[9][9]
f)
Melihat
Tempat Sujud dan Khusyu’
عن أبي هريرة رضى الله تعالى
عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا صلى رفع بصره إلى السماء فنزلت الذين
هم في صلاتهم خاشعون فطأطأ رأسه
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dengan mengangkat
pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat : “(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” {QS. Al-Mukminun
: 2}. Maka beliau kemudian menundukkan kepalanya” [HR. Al-Hakim no. 3483; shahih sesuai syarat Muslim].
Dilarang menoleh ketika shalat, sebagaimana
penjelasan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam ketika beliau ditanya tentang hukum menoleh ketika shalat
:
هو اختلاس يختلسه الشيطان من صلاة العبد
“Itulah ikhtilaas
(mencuri-curi), yang dicuri-curi syaithan dari shalat seorang hamba” [HR. Al-Bukhari no.
718].
Akan tetapi diperbolehkan untuk melirik (tanpa
menoleh) jika ada keperluan.
عن بن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان
يلحظ في الصلاة يمينا وشمالا ويلوى عنقه خلف ظهره
Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam melirik ke kanan dan ke kiri dalam shalat, namun beliau
tidak menolehkan leher beliau ke belakang” [HR. At-Tirmidzi no. 587 dan Ibnu
Khuzaimah no. 485 dengan sanad shahih].
g)
Membaca
Iftitah/Istiftah
Hukumnya adalah sunnah menurut jumhur ulama (dan
ini adalah pendapat yang rajih/kuat).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
إنه لا تتم صلاة لأحد من الناس حتى يتوضأ، فيضع
الوضوء يعني مواضعه ثم يكبر ويحمد الله جل وعز ويثني عليه ويقرأ بما تيسر من
القرآن
“Sesungguhnya shalat
seseorang tidaklah sempurna kecuali bila dia wudlu pada anggota tubuh yang
terkena air wudlu, kemudian mengucapkan takbir, memuji Allah jalla wa ‘azza dan
mengagungkannya, serta membaca Al-Qur’an yang mudah baginya” [HR. Abu Dawud no.
857; shahih].
Kalimat { وَيَحْمَدُ اللهَ جَلَّ
وَعَزَّ} “memuji
Allah jalla wa ‘azza” dijelaskan oleh para ulama mempunyai makna membaca
doa iftitah.
Macam-macam doa iftitah/istiftah antara lain :
o
{
اَللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ اَللَّهُمَ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ
اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ
وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ }
Alloohumma baa’id bainii wa bainaa khothooyaaya
kamaa baa’atta bainal-masyriqi wal-maghrib. Alloohumma naqqinii min
khothooyaaya kamaa yunaqqots-tsaubul-abyadlu minad-danas. Alloohummagh-silnii
min khothooyaaya bits-tsalji wal-maa-i wal-barad.
“Ya Allah, jauhkanlah
diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau telah menjauhkan jarak antara timur
dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosaku seperti baju putih
yang dibersihkan dari noda. Ya Allah, cucilah diriku dari segala dosa-dosaku dengan salju, air, dan
embun” [HR. Al-Bukhari no. 711 dan Muslim no. 598].
o
{سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ
وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ}
Subhaanakalloohumma
wabihamdika watabaarokas-muka wata’aalaa jadduka walaa ilaaha ghoiruka.
"Aku menyucikan-Mu dan memuji-Mu ya Allah. Sungguh berkah nama-Mu dan
sungguh tinggi kekayaan-Mu. Dan tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan
Engkau” [HR. Abu Dawud no. 776, At-Tirmidzi no. 243, dan
yang lainnya; shahih].
- Dan yang lain-lain sebagaimana yang tercantum dalam hadits-hadits shahih.
h)
Membaca Isti’adzah
Para ulama sepakat bahwa
hukum membaca isti’adzah di permulaan
shalat (maksudnya : sebelum membaca Al-Fatihah) adalah wajib. Akan tetapi
mereka berselisih pendapat tentang kewajiban membacanya di tiap raka’at.
Allah ta’ala
berfirman :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ
فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشّيْطَانِ الرّجِيمِ
“Apabila kamu hendak
membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan yang
terkutuk”
[QS. An-Nahl : 98].
Isti’adzah dalam shalat dapat
dilakukan dengan membaca salah satu lafadh sebagai berikut :
o
{ أَعُوْذُ بِاللهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ }
A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir-rojiim
“Aku berlindung kepada
Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk” [QS. An-Nahl : 98].
o
{ أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ }
A’uudzu billaahi minasy-syaithoonir-rojiim min
hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi
“Aku berlindung kepada
Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk, yaitu dari bisikan, tiupan, dan
hembusannya” [HR. Ahmad 6/156 no. 25266; hasan].
o
{ أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ }
A’uudzu billaahis-samii’il-‘aliimi
minasy-syaithoonir-rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi
“Aku berlindung kepada
Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari gangguan syaithan yang
terkutuk, yaitu dari bisikan, tiupan, dan hembusannya” [HR. Abu Dawud no.
775; shahih].
i)
Membaca
Surat Al-Fatihah
Wajib membaca Al-Fatihah (dan ini menjadi bagian
dari rukun shalat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah shalat
seseorang yang tidak membaca surat
Al-Fatihah” [HR. Al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 394].
Jika ada orang yang tidak hafal surat Al-Fatihah, maka dia boleh membaca :
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ
إِلا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلا بِاللهِ
Subhaanalloohi wal-hamdulillaahi walaa ilaaha
illalloohu walloohu akbar. Walaa haula walaa quwwata illaa billaah
“Maha suci Allah,
segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.
Allah Maha Besar dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan
Allah”
[HR. Abu Dawud no. 832; hasan].
Namun keringanan ini hanya berlaku bagi orang yang
benar-benar tidak mampu menghafalnya setelah berusaha sekuat tenaga
untuk menghafalnya.
Dalam shalat jama’ah jahriyyah (yang dikeraskan suaranya, seperti shalat shubuh,
maghrib, dan ‘isya’), maka bacaan basmalah
adalah sirr (tidak dikeraskan – tapi
tetap dibaca) berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم وأبا بكر وعمر رضى
الله تعالى عنهما كانوا يفتتحون الصلاة ب-{اَلحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ}
”Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu
Bakar, dan ‘Umar membuka (bacaan) shalatnya dengan membaca Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin”. [HR. Al-Bukhari no. 710].
j)
Mengucapkan
Amiin Setelah Membaca Al-Fatihah
عَنْ وَائِل بْنِ حُجْر قَالَ كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ { وَلاَ الضَالِينَ } قَالَ
آمِيْنَ وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata
: ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam bila selesai membaca Waladl-dlooolliin; maka beliau berkata :
Aamiin, dan beliau mengangkat suara dengannya” [HR. Abu Dawud no. 932; shahih].
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إذا أمن الإمام فأمنوا فإنه من وافق تأمينه تأمين
الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
“Jika imam mengucapkan
aamiin, maka ikutilah dengan mengucapkan aamiin juga. Sesungguhnya, barangsiapa
yang ucapan amin-nya bersamaan dengan aamiin yang diucapkan oleh malaikat; maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [HR. Al-Bukhari no. 747 dan Muslim no.
410].
Sebagian ulama mengatakan bahwa membaca aamiin setelah Al-Fatihah adalah wajib.
Adapun tambahan rabbighfirlii sebelum
membaca aamiin (sebagaimana dilakukan
oleh sebagian kaum muslimin), maka itu adalah perbuatan yang sama sekali tidak
dilandasi dalil (shahih). Sudah sepatutnya perbuatan tersebut untuk
ditinggalkan.
k)
Membaca Surat /Ayat yang Dihafal dari Al-Qur’an
§ Hukumnya
adalah sunnah.
عَنْ أبِيْ هرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى
عَنْهُ يَقُوْلُ فيْ كُلِّ صَلاَةٍ يُقْرَأُ فَمَا أَسْمَعَنَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْمَعْنَاكُمْ وَمَا أَخْفَى عَنَّا
أَخْفَيْنَا عَنْكُمْ وَإِنْ لَمْ تَزِدْ عَلَى أُمِّ الْقُرْآنِ أَجْزَأَتْ
وَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu ia
berkata : "Al-Qur’an dibaca pada setiap shalat. Bacaan yang
dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, kami pun mengeraskannya ketika kami menjadi imam. Dan
bacaan yang tidak dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka kami pun tidak mengeraskannya.
Jika kamu tidak menambah bacaan selain Ummul-Qur’an
(Al-Fatihah), maka itu sudah cukup. Jika kamu menambah bacaan surat selain
Ummul-Qur’an, maka itu lebih baik" [HR. Al-Bukhari no. 738].
عن جبير بن مطعم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم قرأ في المغرب بالطور
Dari Jubair bin Muth’im ia berkata : “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam membaca surat
Ath-Thuur dalam shalat maghrib” [HR. Al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 463].
§
Sebagian
ulama menjelaskan bahwa sebaiknya bacaan pada raka’at pertama lebih panjang
daripada raka’at kedua.
§
Disunnahkan
pula membaca surat
lain setelah Al-Fatihah pada raka’at ketiga dan/atau keempat berdasarkan hadits
:
عن أبي سعيد الخدري أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم
كان يقرأ في صلاة الظهر في الركعتين الأوليين في كل ركعة قدر ثلاثين آية وفي
الأخريين قدر خمس عشرة آية
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca surat (setelah Al-Fatihah) dalam dua raka’at
pertama shalat Dhuhur untuk setiap raka’atnya sekitar tigapuluh ayat. Sedangkan
dalam dua raka’at terakhir beliau membaca sekitar lima belas ayat” [HR. Muslim no. 452].
§
Bila
shalat sendirian, maka ia boleh memperpanjang bacaan ayat sesukanya. Namun jika
ia menjadi imam, maka hendaknya ia memperhatikan kondisi makmum. Jika makmum
adalah dari kalangan yang kuat, semangat ke-Islamannya tinggi, dan biasa
dibacakan ayat-ayat yang panjang; maka tidak apa-apa jika ia memperpanjang
bacaan suratnya. Namun jika makmumnya adalah orang yang lemah, para wanita,
anak-anak, dan orang-orang yang mempunyai keperluan; hendaknya ia memperpendek
bacaan suratnya.
عن أنس بن مالك أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم قال
إني لأدخل في الصلاة وأنا أريد إطالتها فأسمع بكاء الصبي فأتجوز في صلاتي مما أعلم
من شدة وجد أمه من بكائه
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda : “Sungguh aku akan memulai
shalat (berjama’ah) dan aku ingin memperpanjangnya. Namun tiba-tiba aku
mendengar suara tangisan seorang bayi. Maka aku memperingan (memperpendek)
shalatku, karena aku mengetahui betapa cintanya (gelisahnya) ibunya terhadap
tangis (anak)-nya itu” [HR. Al-Bukhari no. 677 dan Muslim no. 470].
l)
Rukuk
- Setelah membaca ayat Al-Qur’an, hendaknya ia berhenti sejenak sebelum memulai gerakan untuk rukuk, sebagaimana riwayat Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu.[10][10] Lama berhenti ini sekitar satu nafas.
o
Mengangkat
kedua tangan ketika hendak rukuk.
عن وائل بن حجر ........فلما أراد أن يركع رفعهما
مثل ذلك (رفع يديه)
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Ketika beliau hendak rukuk,
maka beliau melakukan hal yang serupa (yaitu mengangkat kedua tangannya)” [HR.
Abu Dawud no. 726; shahih].
o
Meletakkan
kedua tangannya di lututnya dengan menguatkan pegangan dan merenggangkan
jari-jemarinya. Posisi tangan agak dijauhkan dan sedikit dibengkokkan di kedua
siku.
عن وائل بن حجر .......فلما أراد أن يركع رفعهما
مثل ذلك ثم وضع يديه على ركبتيه
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata
: “…..Ketika beliau hendak rukuk, maka beliau melakukan hal yang serupa (yaitu
mengangkat kedua tangannya), kemudian meletakkan kedua tangannya pada lututnya”
[idem].
فقال أبو حميد الساعدي....... وإذا ركع أمكن يديه
من ركبتيه
Berkata Abu Humaid As-Sa’idy radliyallaahu ‘anhu : “….. Dan apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam rukuk, maka beliau menguatkan kedua
tangannya pada kedua lututnya” [HR. Al-Bukhari no. 794].
عن أبي حميد : .... ثم ركع فوضع يديه على ركبتيه
كأنه قابض عليهما ووتر يديه فتجافى عن جنبيه
Abu Humaid radliyallaahu
‘anhu berkata : “….. Kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam rukuk dan beliau meletakkan kedua tangannya pada kedua
lututnya, seakan-akan beliau memegang erat kedua lututnya tersebut. Beliau
membengkokkan dan menjauhkan kedua tangannya di samping badannya” [HR. Abu
Dawud no. 734, At-Tirmidzi no. 260 dan Ibnu Khuzaimah no. 589; shahih].
عن وائل بن حجر أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان
إذا ركع فرج بين أصابعه
Dari Wail radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila
rukuk, maka beliau merenggangkan jari-jemarinya” [HR. Al-Hakim no. 814;
shahih].
- Ketika rukuk, posisi punggung dan kepala adalah lurus dan rata.
كان إذا ركع سوِى ظهره حتى لو صب عليه الماء
لاستقر
“Apabila beliau rukuk, maka beliau meluruskan
punggungnya. Bahkan seandainya disiramkan air di atas punggung tersebut, maka
pasti tidak akan tumpah ke bawah” [Lihat Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4732].
إن رسول اللَّه لم يصب رأسه ولم يقنعه
“Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menundukkan kepalanya dan tidak pula
mengangkat/ menegakkannya” [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa; shahih].
- Bacaan dalam rukuk (bisa dipilih dan dibaca yang mudah) :
-
{ سُبْحَانَ رَبِّيَّ الْعَظِيْمِ}
Subhaana Rabbiyal-‘Adhiim (tiga kali)
“Maha Suci Tuhanku Yang
Maha Agung” [HR. Abu Dawud no. 871, Ibnu Majah no. 890, dan lain-lain; shahih].
-
{ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَ اغْفِرْ لِيْ }
Subhaanakalloohumma wabihamdika
alloohummagh-firlii
“Aku menyucikanmu ya
Allah, Tuhan kami, dan aku memujimu. Ya Allah, ampunilah aku” [HR. Al-Bukhari no.
761 dan Muslim no. 484].
-
{ سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ
وَالرُّوْحِ }
Subbuuhun qudduusun robbul-malaaikati war-ruuh
“Engkau Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh" [HR. Muslim no. 487 dan Abu Dawud no. 872].
Masing-masing doa/bacaan
dalam rukuk di atas dapat diulang lebih dari tiga kali berdasar keumuman
hadits :
عن البراء رضى الله تعالى عنه قال كان ركوع النبي
صلى اللَّه عليه وسلم وسجوده وإذا رفع رأسه من الركوع وبين السجدتين قريبا من
السواء
Dari Al-Barra’ radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
"Adalah rukuk dan sujudnya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam, serta bangkitnya beliau dari rukuk (i’tidal) dan duduknya diantara dua sujud; hampir sama lamanya"
[HR. Al-Bukhari no. 768 dan Muslim no. 471].
- Wajib thuma’ninah dalam rukuk. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
....ثم اركع حتى
تطمئن راكعا
"Kemudian rukuklah sampai engkau merasa thuma’ninah dalam rukuk
itu" [HR. Al-Bukhari no. 724 dan Muslim no. 397].
m)
Bangkit dan Berdiri dari Rukuk (I’tidal).
·
Mengucapkan : { سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ} « Sami’alloohu liman
hamidah » ketika mengangkat badan dari rukuk, dan { رَبَنَا لَكَ الْحَمْدُ} « Robbanaa
lakal-hamdu » ketika telah berdiri. Hal itu berdasarkan hadits :
عن أبي هريرة يقول كان رسول الله صلى اللَّه عليه
وسلم إذا قام إلى الصلاة يكبر حين يقوم ثم يكبر حين يركع ثم يقول : سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ حين يرفع صلبه من الركعة ثم يقول وهو قائم رَبَّنَا لَكَ
الْحَمْدُ
Dari Abi Hurairah
radliyallaahu ‘anhu : "Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri shalat beliau
mengucapkan takbir ketika dalam keadaan berdiri, kemudian beliau bertakbir
ketika hendak rukuk. Beliau mengucapkan :
Sami’alloohu liman hamidah
(Mudah-mudahan Allah mendengarkan/memperhatikan orang-orang yang memuji-Nya)
ketika beliau mengangkat/ menegakkan tulang pungungnya. Kemudian beliau
mengucapkan setelah berdiri : Robbanaa
lakal-hamdu (Tuhan kami, Engkaulah yang pantas mendapat pujian)"
[HR. Al-Bukhari no. 756].
Ucapan « Robbanaa
lakal-hamdu » bisa juga diucapkan dengan lafadh :
ü { رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ} « Robbanaa walakal-hamdu » "Ya Allah, dan Engkaulah yang pantas
mendapatkan pujian" [HR. Al-Bukhari no. 657].
ü { اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ} « Alloohumma robbanaa
lakal-hamdu » "Ya Allah,
Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" [HR. Muslim no. 404].
ü { اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ } « Alloohumma robbanaa
walakal-hamdu » "Ya Allah, dan
Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" [HR. Al-Bukhari no. 762].
Dalam shalat berjama’ah, maka
ketika imam mengucapkan « Sami’alloohu liman hamidah », maka makmum
mengikutinya dengan ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » (atau yang lain sebagaimana
di atas).
·
Setelah ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » (atau
yang semisal di atas), maka disunnahkan untuk menambah dengan ucapan:
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمِلْءَ
مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Mil-as samaawaati wa mil-al
ardli wa mil-a maa syi’ta min syain ba’du
"Sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau
kehendaki sesudah itu" [HR. Muslim no. 476].
·
Posisi tangan ketika berdiri i’tidal adalah bersedekap di dada menurut pendapat yang paling
kuat. Hal itu berdasarkan keumuman hadits :
كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على
ذراعه اليسرى في الصلاة
“Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa
seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” [HR. Al-Bukhari no. 707 dari Sahl bin
Sa’d radliyallaahu ‘anhu].
·
Wajib thuma’ninah ketika i’tidal dan disunnahkan
memperpanjangnya, berdasarkan hadits :
عن ثابت قال كان أنس ينعت لنا صلاة النبي صلى
اللَّه عليه وسلم فكان يصلي وإذا رفع رأسه من الركوع قام حتى نقول قد نسي
Dari Tsabit ia berkata : “Anas pernah memberikan
contoh shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian Anas melakukan
shalat. Setelah bangun dari rukuk, Anas berdiri lama hingga kami menyangka ia
lupa untuk sujud” [HR. Bukhari no. 767 dan Muslim no. 472].
n)
Sujud
v
Bertakbir
ketika turun untuk sujud, berdasarkan hadits :
.....ثم يكبر حين
يرفع رأسه ثم يكبر حين يسجد
“….Kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat
kepalanya (i’tidal), dan kemudian
beliau pun bertakbir ketika hendak sujud” [HR. Al-Bukhari no. 756].
v
Terkadang
beliau mengangkat tangan ketika hendak sujud, berdasarkan hadits :
عن مالك بن الحويرث أنه رأى النبي صلى اللَّه عليه
وسلم رفع يديه في صلاته وإذا ركع وإذا رفع رأسه من الركوع وإذا سجد وإذا رفع رأسه
من السجود......
Dari Malik bin Al-Huwairits : “Bahwasannya ia
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam mengangkat kedua tangannya
dalam shalatnya ketika hendak rukuk, ketika mengangkat kepalanya dari rukuk
(i'tidal), ketika hendak sujud, dan ketika mengangkat kepala dari sujud…..”
[HR. An-Nasa’i no. 1085; shahih].
v
Mendahulukan
tangan daripada lutut ketika turun dari sujud. Hal ini berdasarkan hadits :
عن أبي هريرة قال رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم
إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apabila salah seorang diantara kalian
hendak sujud, maka janganlah ia menyungkur seperti menyungkurnya seekor unta.
Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” [HR. Abu
Dawud no. 840, Nasa’i no. 1091, dan yang lainnya; shahih] [11][11].
v
Ketika
sujud, beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam sujud dengan tujuh anggota badan (dahi dan hidung – dianggap satu
kesatuan –, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن بن عباس أَن رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم
قال أمرت أن أسجد على سبعة أعظم الجبهة وأشار بيده على أنفه واليدين والرجلين
وأطراف القدمين
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda : “Aku diperintahkan untuk sujud
dengan tujuh anggota tubuh, yaitu dahi (beliau berisyarat ke hidungnya), kedua
(telapak) tangan, kedua kaki (maksudnya kedua lutut), dan kedua ujung kaki”
[HR. Al-Bukhari no. 776 dan Muslim no. 490].
v
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sujud dengan
bertelekan dengan kedua tangannya, mengangkat kedua siku, melebarkan bentangan
tangannya, meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua bahunya atau
kedua telinganya, merapatkannya jari-jarinya serta mengarahkannya ke kiblat.
عن البراء قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
إذا سجدت فضع كفيك وارفع مرفقيك
Dari Al-Barra’ bin ‘Azib ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam : “Apabila engkau sujud,
maka letakkanlah dua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” [HR.
Muslim no. 494]. [12][12]
عن عبد اللَّه بن مالك ابن بحينة أن رسول اللَّه
صلى اللَّه عليه وسلم كان إذا صلى فرج بين يديه حتى يبدو بياض إبطيه
Dari Abdillah bin Malik bin Buhainah radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
apabila shalat, maka beliau membentangkan kedua tangannya hingga kelihatan
putih ketiaknya” [HR. Al-Bukhari no. 383 dan Muslim no. 495].
عن وائل بن حجر قال : ....... ثم سجد فكانت يداه
حذاء أذنيه
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata
: “…..Kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam sujud, sedangkan kedua tangannya di hadapan (sejajar) kedua
telinganya” [HR. Ahmad 4/317 no. 18878; shahih].
عن وائل أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان إذا
سجد ضم أصابعه
Dari Wail
radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam apabila sujud, maka beliau merapatkan jari-jarinya” [HR.
Ibnu Khuzaimah no. 642; hasan].
عن البراء بن عازب رضى اللَّه عنه قال : كان رسول
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم إذا سجد فوضع يديه بالأرض استقبل بكفيه وأصابعه
القبلة
Dari Al-Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam apabila sujud maka beliau meletakkan kedua tangannya di
bumi/tanah, serta menghadapkan kedua tangan dan jari-jemarinya ke arah kiblat”
[HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa ;
shahih].
v
Menempelkan/merapatkan
dua kaki dan mengarahkan jari-jari kaki ke arah kiblat
قالت عائشة زوج النبي فقدت رسول الله صلى اللَّه
عليه وسلم وكان معي على فراشي فوجدته ساجدا راصا عقبيه مستقبلا بأطراف أصابعه
القبلة
Telah berkata ‘Aisyah istri Nabi : “Aku kehilangan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang
sebelumnya bersamaku di tempat tidur. Maka aku menemukan beliau sedang bersujud
menempelkan tumitnya, ujung-ujung jemarinya menghadap kiblat” [HR. Ibnu
Khuzaimah no. 654; shahih].
v
Bacaan
dalam sujud (bisa dipilih dan dibaca yang mudah) :
-
{سُبْحَانَ رَبِّيَّ الْأَعْلَى}
Subhaana robbiyal-a’laa (tiga kali)
“Maha Suci Allah yang
Maha Tinggi” [HR. Abu Dawud no. 871, Ibnu Majah no. 890, dan lain-lain; shahih].
-
{سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَ اغْفِرْ لِيْ}
Subhaanakalloohumma wabihamdika
alloohummagh-firlii
“Aku menyucikanmu ya
Allah, Tuhan kami, dan aku memujimu. Ya Allah, ampunilah aku” [HR. Al-Bukhari no.
761 dan Muslim no. 484].
-
{ سُبُّوْحٌ
قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ }
Subbuuhun qudduusun robbul-malaaikati war-ruh
“Engkau
Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh" [HR. Muslim no. 487 dan Abu Dawud no. 872].
Masing-masing doa tersebut
dapat dibaca berulang-ulang (lebuh dari tiga kali) dengan keumuman hadits yang
mnejlaskan lamanya sujud beliau ketika shalat.
v
Dianjurkan
memperbanyak doa ketika sujud. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء فقمن أن يستجاب
لكم
“…Adapun ketika bersujud,
maka perbanyaklah doa, karena hal itu lebih pantas untuk dikabulkan” [HR. Muslim no. 479
dan Abu Dawud no. 876].
Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam dalam sujudnya sering berdoa dengan doa berikut :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهُ
وَجِلَّهُ وَأَوَلَّهُ وآخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ
Alloohumagh-firlii dzanbii kullahu diqqohu wa
jillahu wa-awwalahu wa aakhirohu wa ‘alaaniyyatahu wa sirrohu
“Ya Allah, ampunilah
semua dosaku, dosa kecil maupun besar, dosa pertama maupun terakhir, dosa yang
dilakukan dengan terang-terangan mapun sembunyi-sembunyi" [HR. Muslim no. 483].
v
Diperintahkan
untuk thuma’ninah dalam sujud (dan juga rukuk) serta dilarang untuk sujud (dan
rukuk) seperti patukan burung/ayam.
عن رفاعة أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم قال للرجل
الذي صلى ..... ثم إذا أنت سجدت فاثبت وجهك ويديك حتى يطمئن كل عظم منك إلى موضعه
Dari Rifa’ah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda kepada orang yang sedang melakukan shalat : “…..Kemudian jika kamu melakukan sujud, maka tancapkanlah wajah (dahi)
dan kedua tanganmu sehingga setiap persendian thuma’ninah pada tempatnya”
[HR. Ibnu Khuzaimah no. 638; hasan].
عن أبي هريرة يقول أمرني خليلي صلى اللَّه عليه
وسلم بثلاث ونهاني عن ثلاث أمرني بركعتي الضحى وصوم ثلاثة أيام من الشهر والوتر
قبل النوم ونهاني عن ثلاث عن الالتفات في الصلاة كالتفات الثعلب وأقعاء كأقعاء
القرد ونقر كنقر الديك
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Kekasihku (yaitu Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
memerintahkan kepadaku tiga hal dan melarangku tiga hal pula. Beliau
memerintahkanku untuk mengerjakan dua raka’at shalat dluhaa, puasa tiga hari
pada setiap bulannya, dan shalat witir sebelum tidur. Beliau melarangku atas
tiga hal, yaitu berpaling dalam shalat seperti berpalingnya serigala, duduk
seperti duduknya kera, dan mematuk (dalam shalat) seperti mematuknya ayam
jantan” [HR. Ath-Thayalisi no. 2593; hasan].
o)
Duduk di Antara Dua Sujud
§
Mengucapkan
takbir ketika mengangkat kepala dari sujud.
ثم يكبر حين يسجد ثم يكبر حين يرفع رأسه
“….Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika sujud, dan bertakbir
pula ketika mengangkat kepala beliau (dari sujud)” [HR. Al-Bukhari no. 756].
§
Kadang
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengangkat kedua tangannya ketika mengangkat kepalanya dari sujud.
ثم سجد ووضع وجهه بين كفيه وإذا رفع رأسه من
السجود أيضا رفع يديه حتى فرغ من صلاته
“Kemudian beliau sujud dan meletakkan wajahnya di
antara dua telapak tangannya. Dan apabila beliau mengangkat kepalanya dari
sujud, maka beliau juga mengangkat kedua tangannya, hingga beliau menyelesaikan
shalatnya” [HR. Abu Dawud no. 723; shahih].
عن وائل بن حجر قال : ...... وكان يرفع يديه كلما كبر
ورفع ووضع بين السجدتين
Dari Wail bin Hujr
radliyallaahu ‘anhu ia berkata : ”..... Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya setiap
beliau bertakbir. Beliau mengangkat dan meletakkan (kedua tangannya) di antara
dua sujud” [HR. Ahmad no. 18881; hasan].
§ Beliau
duduk iftirasy dengan cara duduk di
atas telapak kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya.
عن عبد
الله بن عمر قال من سنة الصلاة أن
تنصب القدم اليمنى واستقباله بِأصابعها القبلة والجلوس على اليسرى
Dari Abdullah bin ‘Umar ia berkata : “Termasuk
sunnah shalat adalah menegakkan telapak kaki kanan, menghadapkan jari-jarinya
ke kiblat, dan beliau duduk di atas telapak kaki kirinya” [HR. Nasa’i no. 1158;
shahih].
Boleh juga duduk dengan cara iq’a’ (duduk dengan
menegakkan dua telapak kaki/tumit).
عن ابن عباس رضي اللَّه تعالى عنه، قال:من السنة
في الصلاة أن تضع أليتيك على عقبيك بين السجدتين
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Termasuk di antara sunnah dalam
shalat adalah kamu meletakkan kedua pantatmu di atas kedua tumitmu ketika duduk
di antara dua sujud” [HR. Thabarani dalam Al-Kabiir
no. 10852; shahih. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Muslim no. 536].
§
Bacaan
ketika duduk di antara dua sujud (bisa dipilih salah satu) :
ü
{ اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ }
Alloohummagh-firlii warhamnii wa ‘aafinii wahdinii
warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, sehatkanlah aku, dan berilah aku rizki” [HR. Abu Dawud no.
850].
ü
{ رَبِّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَارْفَعْنِيْ }
Robighfirlii warhamnii wajburnii warzuqnii
warfa’nii
“Tuhanku, ampunilah
aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, berilah aku rizki, dan angkatlah
derajatku” [HR. Ibnu Majah no. 898; shahih].
ü
{ اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ }
Alloohummagh-firlii warhamnii wajburnii wahdinii
warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, tunjukilah aku, dan berilah aku
rizki”
[HR. At-Tirmidzi no. 284; shahih].
Yang paling lengkap dengan penggabungan beberapa
riwayat hadits adalah sebagai berikut :
{ اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ، وَارْحَمْنِيْ، وَاجْبُرْنِيْ، وَارْفَعْنِيْ، وَاهْدِنِيْ،
وَعَافِنِيْ، وَارْزُقْنِيْ}
Alloohummagh-firlii warhamnii wajburnii warfa’nii
wahdinii wa’aafinii warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, angkatlah derajatku, tunjukilah
aku, sehatkanlah aku, dan berikanlah aku rizki”.
ü
{ رَبِّ
اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ }
Robbighfirlii robbighfirlii
“Ya Tuhanku, ampunilah
aku, ya Tuhanku ampunilah aku” [HR. Ibnu Majah no. 897; jayyid].
§
Diperintahkan
untuk thuma’ninah ketika duduk.
ثُمَّ يَقُوْلُ اَللهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ
رَأْسَهُ وَيَثْنِيْ رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ
كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ
“….Kemudian beliau mengucapkan ‘Alloohu akbar’ dan
mengangkat kepalanya (dari sujud). Beliau membengkokkan kaki kirinya serta
duduk di atasnya hingga setiap tulang kembali pada tempatnya (yaitu duduk
dengan tegak dan tenang)” [HR. Abu Dawud
no. 730; shahih].
p)
Berdiri untuk Melanjutkan Raka’at Kedua (dan Keempat).
o
Duduk
istirahat sebelum berdiri ke raka’at kedua (dan keempat).
عن مالك بن الحويرث الليثي أنه رأى النبي صلى
اللَّه عليه وسلم يصلي فإذا كان في وتر من صلاته لم ينهض حتى يستوِي قاعدا
Dari Malik bin Al-Huwairits Al-Laitsi :
“Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam melakukan shalat. Apabila beliau berada pada raka’at
ganjil (yaitu rakaat pertama dan ketiga) dalam shalatnya, maka beliau tidak
langsung bangkit berdiri (ke raka’at kedua dan keempat) hingga beliau duduk
sejenak terlebih dahulu” [HR. Al-Bukhari no. 789].
o
Berdiri
dengan mendahulukan mengangkat kedua lutut sebelum tangan.
عن مالك بن الحويرث أنه كان يقول : ألا أحدثكم عن
صلاة رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم فيصلي في غير وقت الصلاة ، فإذا رفع رأسه من
السجدة الثانية في أول ركعة استوى قاعدا ، ثم قام ، فاعتمد على الارض
Dari Malik bin Al-Huwairits : Bahwasannya ia
berkata : "Maukah kalian aku ceritakan bagaimana shalat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam ? Maka beliau shalat di luar waktu shalat.
Apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud kedua pada raka’at pertama, maka
beliau duduk dengan tegak. Kemudian apabila beliau bangkit, maka beliau
bertelekan pada tanah” [HR. Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1/227; shahih]. [13][13]
o
Kadang
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
menggenggamkan/mengepalkan kedua telapak tangannya untuk bertelekan ke tanah
ketika berdiri dari sujud.
عن الازرق بن قيس : رأيت ابن عمر يعجن في الصلاة :
يعتمد على يديه إذا قام . فقلت له ؟ فقال : رأيت رسول الله صلى اللَّه عليه يفعله
Dari Al-Azraq bin Qais : Aku melihat Ibnu ‘Umar
melakukan ‘ajn (menggenggam tangan)
ketika shalat, yaitu bertelekan dengan dua tangannya ketika berdiri. Maka aku
bertanya kepadanya tentang hal tersebut. Maka ia menjawab : “Aku melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
melakukannya” [HR. Abu Ishaq Al-Harbi dengan sanad shalih].
q)
Wajib Membaca Al-Fatihah pada Setiap Raka’at
وكان من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال جاء
رجل ورسول الله صلى الله عليه في المسجد فصلى قريبا منه ثم انصرف إليه فسلم عليه
فقال له رسول الله صلى الله عليه .........ثم اقرأ بأم القرآن ثم اقرأ بما شئت
.......ثم اصنع ذلك في كل ركعة
Dari salah seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ia berkata
: Datang seseorang dan pada waktu itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berada di masjid. Maka orang tersebut
melakukan shalat di dekat beliau. Setelah usai melakukan shalat, maka ia
berpaling kepada beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam dan mengucapkan salam terhadap beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadanya (tentang bagaimana tata cara shalat yang benar) : “….Kemudian bacalah Ummul-Qur’an
(Al-Fatihah) dan setelah itu bacalah surat
yang engkau kehendaki……kemudian lakukanlah hal tersebut pada setiap raka’at
(dalam shalatmu)” [HR. Ibnu Hibban no. 1787 dengan sanad qawiy (kuat)].
r)
Tasyahud
Awal
v
Duduk
tasyahud awal adalah duduk iftirasy
sebagaimana duduk di antara dua sujud
عن أبي حميد الساعدي : ...... فإذا جلس في
الركعتين جلس على رجله اليسرى ونصب اليمنى
Dari Abu Humaid As-Sa’idi : “….Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam duduk pada raka’at
kedua (yaitu duduk tasyahud awal), maka beliau duduk di atas telapak kaki
kirinya dengan menegakkan telapak kaki kanannya” [HR. Al-Bukhari no. 794].
v
Meletakkan
kedua tangan di atas lutut (atau di atas paha), tangan kanan menggenggam (atau
membuat lingkaran antara jari tengah dan ibu jari), dan berisyarat dengan jari
telunjuk tangan kanan dengan mengerak-gerakannya.
عن بن عمر أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان إذا
جلس في الصلاة وضع يديه على ركبتيه ورفع إصبعه اليمنى التي تلي الإبهام فدعا بها
ويده اليسرى على ركبته اليسرى باسطها عليها
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila duduk dalam shalat, beliau
meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas kedua lututnya, dan beliau
mengangkat jari (telunjuknya) yang kanan, maka beliaupun berdoa (bersamaan)
dengan itu, dan (telapak) tangan kirinya terhampar di atas lututnya yang kiri”
[HR. Muslim no. 580, At-Tirmidzi no. 294, Ibnu Majah no. 913, dan yang
lainnya].
Dalam riwayat lain dari Ibnu
‘Umar :
كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه
كلها وأشار بإصبعه التي تلي الإبهام ووضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى
"Bahwasannya apabila
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
duduk (tasyahud) dalam shalat, maka
beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya. Beliau
menggenggam semua jari tangan kanannya dan berisyarat dengan jari telunjuk. Dan meletakkan telapak
tangan kirinya di atas paha kirinya" [HR. Muslim no. 580].
ان وائل بن حجر الحضرمي قال : ........فوضع كفه
اليسرى على فخذه وركبته اليسرى وجعل حد مرفقه الأيمن على فخذه اليمنى ثم قبض بين
أصابعه فحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها
Bahwasannya Wail bin Hujr Al-Hadlrami radliyallaahu ‘anhu berkata : “…..Maka
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lututnya yang kiri pula, dan
meletakkan ujung siku tangan kanannya di atas pahanya yang kanan dan beliau pun
membuat lingkaran (dengan jari tengah dan ibu jarinya) dan beliau mengangkat
jari (telunjuknya). Maka aku pun (yaitu Wail) melihat beliau
menggerak-gerakkannya (jari telunjuk) sambil berdoa dengannya” [HR. Ahmad no.
18890; shahih]. [14][14]
عن عبد الله بن الزبير قال : .....وأشار بإصبعه
السبابة ووضع إبهامه على إصبعه الوسطى
Dari Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma : “…..Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari telunjuknya
dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya” [HR. Muslim no. 579].
عن وائل بن حجر قال : ....... ثم أشار بسبابته
ووضع الإبهام على الوسطى حلق بها
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Kemudian beliau shallallaau ‘alaihi wasallam berisyarat
dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah dengan
membuat lingkaran” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 2522; shahih].
Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam melakukan hal itu pada setiap tasyahud, baik tasyahud
awal maupun akhir.
عن عبد الله بن الزبير قال كان رسول الله صلى
اللَّه عليه وسلم إذا جلس في الثنتين أو في الأربع يضع يديه على ركبتيه ثم أشار
بأصبعه
Dari ‘Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila
duduk di raka’at kedua atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua
tangannya di atas kedua lututnya, kemudian berisyarat dengan jari
(telunjuknya)” [HR. Nasa’i dalam As-Shughraa
no. 1161; shahih].
v
Membaca
tasyahud, di antaranya adalah (bisa dipilih salah satu):
-
{ اَلتَّحِيَّاتُ للهِ، وَالصَّلَوَاتُ،
وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ
الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ }
At-tahiyyaatu lillaah, wash-sholawaatu
wath-thoyyibaat, as-salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatulloohi
wabarokatuh, as-salaamu ‘alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish-shoolihiin, asyhadu
al-laa ilaaha illalloohu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
“Segala ucapan selamat,
kebahagiaan, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakahnya.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kami pula dan kepada seluruh
hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya
dan utusan-Nya” [HR. Al-Bukhari no. 797 dan Muslim no. 402].
-
{ اَلتَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ َالطَّيِّبَاتُ للهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ . وفي رواية: عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ }
At-tahiyyaatul-mubaarokaatush-sholawaatuth-thoyyibaatu
lillaah, as-salaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi
wabarokaatuh, as-salaamu ‘alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish-shoolihiin, asyhadu
al-laa ilaaha illalloohu wa asyhadu anna Muhammadar-“Rosuulullah” [dalam
riwayat lain :] ’abduhu warosuuluh
“Segala ucapan selamat,
barakah, kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah milik Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi, beserta rahmat Allah dan
barakahnya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kami pula dan kepada
seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah
‘Rasululah’ [dalam riwayat yang lain :] ‘hamba-Nya
dan utusan-Nya’ “ [HR. Muslim no. 403, Abu ‘Awanah no. 1597, Nasa’i no.
1174].
-
{ اَلتَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا
اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ }
At-tahiyyaatuth-thoyyibaatush-sholawaatu lillaah,
as-salaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi wabarakaatuh, as-salaamu
‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish-shoolihiin, asyhadu al-laa ilaaha illalloohu
wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
“Segala ucapan selamat,
kebaikan, dan kebahagiaan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan kepada kami pula dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya” [HR. Muslim no. 404].
Perhatikan yang kalimat yang digaris bawah di
atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat as-salaamu ‘alaika itu diucapkan ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam masih hidup. Adapun setelah beliau meninggal, maka disyari’atkan
mengganti kalimat tersebut dengan : as-salaamu
‘alan-nabiy. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya :
عن عطاء أن أصحاب النبي صلى اللَّه عليه
وسلم كانوا يسلمون و النبي صلى اللَّه عليه وسلم حي اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ فلما مات قالوا اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Dari ‘Atha’ : Bahwasannya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bila
mereka memberikan salam (dan shalawat ketika shalat) dan waktu itu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam masih
hidup : As-salaamu ‘alaika
ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh. Namun ketika beliau telah
wafat, maka mereka mengatakan : “As-salaamu
‘alan-nabiyyi warohmatulloohi wabarokatuh “ [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq
dalam Al-Mushannaf no. 3075; shahih].
Dan inilah yang lebih benar dalam pengamalan.
Wallaahu a’lam.
v
Membaca shalawat
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
diantaranya adalah (bisa dipilih salah satu):
-
{ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ }
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa ahli
baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shollaita ‘alaa aali
Ibroohiima innaka hamiidum-majiid. Wabaarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa ahli
baitihi wa ‘alaa azwaajihi wadzurriyyatihi kamaa baarokta ‘alaa aali Ibroohiima
innaka hamiidum-majiid
“Ya Allah, berilah
kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya serta
keturunannya sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan berikanlah
barakah kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya, serta
keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” [HR. Ahmad no. 23221; shahih].
-
{ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ }
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali
Muhammad kamaa shollaita ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohiim, innaka
hamiidum-majiid. Alloohumma baarik alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad kamaa
baarokta ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohiima innaka hamiidum-majiid
“Ya Allah, berikanlah
kebahagiaan kepada Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan
kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahiim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
lagi Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada
keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada Ibrahim
dan kepada keluarga Ibrahiim. Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3190 dan Muslim no. 406].
-
{ اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ }
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali
Muhammad, kamaa shollaita ‘alaa aali Ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammad wa
‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa aali Ibroohiima fil-‘aalamiina innaka
hamiidum-majiid
“Ya Allah, berikanlah
kebahagiaan kepada Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan
kepada keluarga Ibrahiim. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada
keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga
Ibrahiim di seluruh alam. Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Muslim no. 405].
-
{ اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النبي الأمي وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ}
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammad,
an-nabiyyil-ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad
“Ya Allah, berikanlah
kebahagiaan kepada Muhammad – nabi yang ummi – dan kepada keluarga Muhammad” [HR. Abu Dawud no.
981; hasan].
Bolehkah menambah kata “sayyidinaa” sebelum lafadh/penyebutan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
Ibrahim ‘alaihis-salaam dalam
shalawat ketika shalat ?
Pendapat yang rajih
adalah tidak boleh. Hal itu dikarenakan apa yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah
tanpa kata “sayyidinaa”. Begitu pula
dengan apa yang diajarkan oleh para shahabat. Tidak satupun di antara mereka
yang mengucapkan dan menambahkan “sayyidinaa”.
Lafadh shalawat adalah lafadh yang sifatnya tauqifiyyah
(yang berdasarkan wahyu) dimana tidak diperbolehkan penambahan
kalimat-kalimat dari manusia. Apalagi hal itu diucapkan dalam shalat. Satu hal
yang menunjukkan hal itu (yaitu satu lafadh doa haruslah persis sama dengan
yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alahi
wasallam) adalah ketika beliau menegur Al-Barra’ bin ‘Azib ketika Al-Barra’
keliru dalam mengucapkan doa/dzikir sebelum tidur. Al-Barra’ mengisahkan :
فرددتها علي النبي صلى الله عليه وسلم
فلما بلغت : اَللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ قلت
وَرَسُوْلِكَ قال لا وَنَبِّيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ
“Maka aku mengulanginya (doa yang diajarkan Nabi)
di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Ketika aku sampai pada bacaan : “Alloohumma aamantu bi-kitaabikal-ladzii anzalta”; maka aku melanjutkannya
dengan : “warosuulika”. (Mendengar
itu) maka beliau menegurku : “Bukan
begitu !, akan tetapi (yang benar) : ‘wanabiyyikal-ladzii arsalta’” [HR.
Al-Bukhari no. 244]. [15][15]
s)
Bangkit
kepada Raka’at Ketiga dan/atau Keempat.
عن أبي هريرة أن النبي صلى اللَّه عليه
وسلم كان إذا أراد أن يسجد كبر ثم يسجد وإذا قام من القعدة كبر ثم قام
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam apabila hendak sujud, maka beliau
bertakbir, kemudian sujud. Dan apabila beliau hendak
berdiri dari tempat duduknya (dalam shalat), maka beliau bertakbir, kemudian
berdiri” [HR. Abu Ya’la no. 6029 dengan sanad jayyid].
قال أبو حميد........ ثم إذا قام من الركعتين كبر
ورفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه
Berkata Abu Humaid
radliyallaahu ’anhu : ”....Kemudian
apabila beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berdiri dari raka’at kedua, beliau
bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya”
[HR. Abu Dawud no. 730; shahih].
t)
Tasyahud Akhir.
·
Secara umum, apa yang dilakukan pada tasyahud awal juga dilakukan pada tasyahud akhir. Hanya saja dalam tasyahud akhir, posisi duduk
adalah tawaruk.
عن أبي حميد الساعدي : ..... وإذا جلس في الركعة
الآخرة قدم رجله اليسرى ونصب الأخرى وقعد على مقعدته
Dari Abu Huamid As-Sa’idi radliyallaahu ’anhu : ”......Dan apabila
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam duduk pada raka’at terakhir, maka beliau
menjorokkan (telapak) kaki kirinya, menegakkan (telapak) kaki kanan, dan duduk
di atas pantatnya” [HR. Al-Bukhari no. 794].
·
Membaca doa sebelum salam
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda :
عن أبي هريرة يقول قال رسول الله صلى اللَّه عليه
وسلم إذا فرغ أحدكم من التشهد الآخر فليتعوذ بالله من أربع من عذاب جهنم ومن عذاب
القبر ومن فتنة المحيا والممات ومن شر المسيح الدجال
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apabila salah seorang diantara kamu telah
menyelesaikan (bacaan) tasyahud akhir, maka mohonlah kepada Allah agar
dilindungi dari empat perkara, (yaitu) : siksa neraka Jahannam, siksa kubur,
fitnah/cobaan hidup dan mati, dan kejahatan Al-Masih Ad-Dajjal” [HR. Muslim
no. 588].
Adapun lafadh doanya adalah :
{ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ }
Alloohumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi
jahannama wa min ‘adzaabil-qobri wa min fitnatil-mahyaa wal-maaati wa min
syarri fitnatil-masiihid-dajjaal
“Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup
dan mati, serta dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal” [idem].
Selain doa tersebut juga bisa dibaca :
{ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ
ظُلْماً كَثِيْراً وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِيْ
مَغْفِرَة مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ }
Alloohumma innii dholamtu nafsii dhulman
katsiiroo, walaa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta, faghfirlii maghfirotam-min
‘indika, warhamnii innaka antal-ghofuurur-rohiim
“Ya Allah, sesungguhnya aku banyak menganiaya diriku, dan tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau. Oleh karena itu, ampunilah dosa-dosaku
dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” [HR. Al-Bukhari no. 799,5967,6953; dan Muslim no.
2705].
{ اَللَّهُمَّ حَاسِبنِْيْ حِسَاباً يَسِيْراً}
Alloohumma haasibnii
hisaabay-yasiiro
”Ya Allah, hisablah/perhitungkanlah (segala amalku) dengan
hisab/perhitungan yang mudah” [HR. Ahmad no. 24261 dengan
sanad jayyid].
{ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ يَا اَللهُ اْلأَحَدُ الْصَّمَدُ
الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوا أَحَد أَنْ
تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَِّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ }
Alloohumma innii as-aluka yaa
alloohul-ahadush-shomad, alladzii lam yalid walam yuulad, walam yakul-lahuu
kufuwan ahad. An-taghfiro lii dzunuubii innaka antal-ghofuurur-rohiim
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ya Allah Yang Maha Esa, Maha
Tunggal, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada beranak
dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya;
agar Engkau mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” [HR. Abu Dawud no. 985; shahih].
u)
Salam
Salam pertama termasuk bagian
rukun shalat yang harus dikerjakan, sedangkan salam kedua merupakan sunnah.
عن عامر بن سعد عن أبيه قال كنت أرى رسول الله صلى
اللَّه عليه وسلم يسلم عن يمينه وعن يساره حتى أرى بياض خده
Dari ’Amir bin Sa’d dari
ayahnya radliyallaahu ’anhu ia
berkata : ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam melakukan salam (di akhir shalat) dengan menoleh ke kanan
dan ke kiri, sehingga aku melihat putih pipi beliau” [HR. Muslim no. 582].
عن عائشة أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان يسلم
في الصلاة تسليمة واحدة تلقاء وجهه يميل إلى الشق الأيمن شيئا
Dari ’Aisyah radliyallaahu
’anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam pernah melakukan satu kali salam (yaitu ke kanan tanpa ke
kiri) dalam shalatnya. Beliau memiringkan wajahnya sedikit ke sebelah kanan”
[HR. At-Tirmidzi no. 296; shahih].
Ada beberapa macam cara salam
dalam shalat, yaitu :
§ Mengucapkan
« assalaamu ’alaikum warohmatullooh »
ke kanan dan ke kiri
عن عبد الله أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان
يسلم عن يمينه وعن شماله حتى يرى بياض خده اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ
Dari Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri hingga terlihat putih pipinya (dengan
ucapan :) ”Assalaamu’alaikum
warohmatullooh, assalaamu ’alaikum warohmatullooh” [HR. Abu Dawud no. 996; shahih].
§ Mengucapkan
salam pertama (ke kanan) « assalaamu
’alaikum warohmatulloohi wabarookatuh » dan salam kedua (ke kiri) «assalaamu ’alaikum warahmatullah »
عن وائل قال صليت مع النبي صلى اللَّه عليه وسلم
فكان يسلم عن يمينه اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ وعن
شماله اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ
Dari Wail radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Aku
pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, dimana beliau
mengucapkan salam ke kanan : Assalaamu
’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh; dan ke kiri : Assalaamu ’alaikum warohmatullooh” [HR. Abu Dawud no. 997;
shahih].
§ Mengucapkan
salam pertama (ke kanan) «assalaamu
’alaikum warahmatullah » dan salam ke dua (ke kiri) « assalaamu ’alaikum »
عن واسع بن حبان قال قلت لابن عمر أخبرني عن صلاة
رسول الله صلى الله عليه وسلم كيف كانت قال فذكر التكبير قال يعني وذكر اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ عن يمينه اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ عن يساره
Dari Wasi’ bin Hibban ia
berkata : Aku bertanya kepada Ibnu ’Umar : ”Khabarkanlah kepadaku bagaimana
sifat shalat Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam ?”. Maka Ibnu ’Umar menjawab : ”Maka beliau mengucapkan
takbir, yaitu (maksudnya) mengucapkan Assalaamu ’alaikum warohmatullooh ke
kanan dan Assalaamu ’alaikum ke
kiri” [HR. Nasa’i no. 1321; shahih].
§ Mengucapkan
sekali salam ke kanan dengan «assalaamu
’alaikum warahmatullah » sebagaimana disebutkan dalam hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa di atas.
Abul-Jauzaa’ Bahan bacaan : Shifatu
Shalatin-Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (Syaikh Al-Albani – Maktabah
Al-Ma’arif), Ashlu Shifati Shalatin-Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam (Syaikh Al-Albani – Maktabah Al-Ma’arif), Fiqih Sunnah untuk Wanita (Abu Malik
Kamal bin Sayyid Salim – Al-I’tisham), Kitabul-’Ilm
(Syaikh Ibnu ’Utsaimin – Daaruts-Tsuraya), Ad-Duruusul-Muhimmah
(Syaikh Ibnu Baaz – islamhouse.com/Departemen Urusan Keislaman, Saudi Arabia), Menggerakkan Jari Telunjuk ketika Tasyahud
(Ustadz Ibnu Saini – Maktabah Abdullah), Taisirul-’Allam
Syarh ’Umdatil-Ahkaam (Syaikh Aali Bassam – Daar Ibnu Haitsam), Sunnah-Sunnah dalam Shalat yang Ditinggalkan
(Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir – Bahrul-Ulum), Mausu’ah Hadits (Maktabah
Ruuhul-Islaam), Fathul-Baariy (Ibnu
Rajab – Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah), Syarh Matni Syuruuthish-Shalaah wa Arkaanihaa wa Waajibatihaa
lisy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab (Dr. Muhammad Aman Al-Jaami –
Maktabah Ruuhul-Islaam), Hukmu
Taarikish-Shalah (Syaikh Al-Albani – Daarul-Jalalain), dan yang lainnya.
[1][1] Contohnya adalah sebagaimana firman Allah ta’ala : {يَأَيّهَا
الّذِينَ آمَنُواْ صَلّواْ عَلَيْهِ وَسَلّمُواْ تَسْلِيماً} “Hai
orang-orang yang beriman, berdoalah (bershalawatlah) kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” [QS. Al-Ahzab : 56].
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ تَعَالَى
مَنْ أَحْسَنَ وُضُوْءَهُنَّ وَصَلاَهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوْعَهُنَّ
وَخُشُوْعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ
يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ
عَذَّبَهُ
“Allah
ta’ala telah mewajibkan shalat lima
waktu (atas para hamba-Nya). Barangsiapa yang membaguskan wudlunya, shalat
tepat pada waktunya, menyempurnakan rukuknya, dan khusyu’; maka dia memiliki
perjanjian di sisi Allah (untuk itu) untuk mendapatkan ampunan. Dan barangsiapa
yang tidak berbuat demikian, maka ia tidak mempunyai perjanjian apapun dengan
Allah. Jika Allah kehendaki, maka dia akan diampuni. Dan jika Allah kehendaki,
maka dia akan disiksa” [HR. Abu Dawud no. 425; shahih].
[3][3] Ada perbedaan ulama
mengenai larangan shalat setelah ‘Asar. Sebagian ulama mengatakan bahwa
diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah setelah ‘Asar dengan syarat matahari
masih tinggi (panas). Adapun jumhur ulama tetap melarangnya.
[4][4] Lihat penjelasan Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qaththani dalam
bukunya Shalatut-Tathawwu’ : Mafhumun wa Fadlaailun wa Anwa’un wa Adabun fii
Dlauil-Kitab was-Sunnah.
[5][5] Abu
Ishaq Asy-Syairazy rahimahullah, seorang pembesar madzhab Syafi’iyyah
berkata : “Kemudian ia berniat.
Berniat termasuk fardhu-fardhu shalat karena berdasarkan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam : ‘Sesugguhnya amalan itu tergantung niatnya dan bagi
setiap orang apa yang ia niatkan’.; dan karena ia juga merupakan ibadah
murni (mahdlah). Maka tidak sah tanpa disertai niat seperti puasa.
Sedang tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat dengan hatinya, tanpa
lisannya, niscaya cukup. Di antara sahabat kami ada yang berkata
: ‘Dia berniat dengan hatinya, dan
melafazhkan (niat) dengan lisan’. Pendapat ini tak ada nilainya karena niat
itu adalah menginginkan sesuatu dengan hati”. [Lihat Al-Muhadzdzab (3/168 bersama Al-Majmu’) karya Asy-Syairazy rahimahullah]
An-Nawawiy
rahimahullah berkata ketika menukil
pendapat orang-orang bermadzhab Syafi’iyyah yang membantah ucapan Abu Abdillah
Az-Zubairy di atas : “Para sahabat kami -yakni orang-orang madzhab
Syafi’iyyah- berkata : ‘Orang yang berpendapat demikian telah keliru. Bukanlah
maksud Asy-Syafi’i dengan “mengucapkan” dalam shalat adalah ini (bukan melafazhkan niat).
Bahkan maksudnya adalah (mengucapkan ) takbir’”. [Lihat
Al-Majmu (3/168)]
[7][7] Yaitu sebagai isyarat dimulainya shalat dimana pada waktu itu
diharamkan mengerjakan sesuatu apapun kecuali dari gerakan shalat.
[8][8] Yaitu sebagai isyarat telah selesainya shalat yang sekaligus
diperbolehkannya mengerjakan suatu pekerjaan yang lain.
[10][10] Terdapat pembicaraan yang panjang dalam hadits Samurah ini yang
mempunyai inti bahwa hadits ini adalah lemah. Namun maknanya adalah benar bahwa
terdapat dua tempat untuk berhenti sejenak dalam shalat, yaitu setelah takbiratul-ihram dan setelah membaca qira’at sebelum rukuk. Ini adalah
madzhab jumhur ulama. Untuk pembahasan takhrij hadits, silakan baca Irwaaul-Ghalil juz 2 hal. 284-288 hadits
no. 505. Dan penjelasan hukum silakan baca Ashlu
Shifatish-Shalatin-Nabi hal. 601. Wallaahu
a’lam.
[11][11] Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Al-Auza’i, Imam Ahmad, dan
jumhur ahli hadits. Adapun hadits-hadits yang menyatakan sunnah meletakkan
kedua lutut sebelum kedua tangan, maka hadits-hadits ini adalah dla’if [lihat
kitab Irwaa’ul-Ghaliil no. 357].
[12][12] Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam melarang menghamparkan kedua siku ketika sujud (yaitu
dengan menempelkan kedua siku di lantai) dengan sabdanya : {اعْتَدِلُوْا فِي السُّجُوْدِ وَلاَ
يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبُ} “Luruslah (punggungmu)
ketika sujud, dan janganlah salah seorang diantara kamu menghamparkan kedua
hasta/sikunya seperti anjing menghamparkannya” [HR. Al-Bukhari no. 768].
[13][13] Adapun hadits Wail bin Hujr, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam mendahulukan mengangkat tangan daripada lutut ketika berdiri dari
sujud adalah hadits dla’if (lemah).
Lihat selengkapnya pembahasan takhrij
hadits dalam kitab Irwaaul-Ghaliil .
[14][14] Adapun hadits : { أن النبي صلى الله عليه وسلم
كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها } “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari telunjuknya
dan tidak menggerak-gerakkannya” [HR. Abu Dawud no. 989, An-Nasa’i no. 1270,
Abu ‘Awanah no. 2019, dan yang lainnya]; adalah hadits syadz lagi dla’if,
sehingga tidak dipakai.
[15][15] Doa selengkapnya adalah : {اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ
وَفَوَضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ إِلَيْكَ رَغْبَة وَرَهْبَة
إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اَللَّهمَّ آمَنْتُ
بِكتَابِكَ الَّذيْ أَنْزَلْت وَنَبِّيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ}
“Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu dengan penuh harap
dan rasa takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat mencari
keselamatan dari murka dan siksa-Mu kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman
kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang telah
Engkau utus”.
Perhatikanlah
! Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan toleransi kepada
Al-Barra’ bin ‘Azib ketika ia salah mengucapkan doa, dengan mengganti lafadh
“nabi” menjadi “rasul”. Padahal, secara substansi kedua kata ini dalam
keseluruhan makna doa tidaklah berbeda. Hanya saja, beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam tetap menginginkan keselarasan doa yang diucapkan Al-Barra’ dengan
yang beliau ajarkan kepadanya.
Lantas,
bagaimana jika kita menambah lafadh “sayyidinaa”
kepada Nabi pada shalawat dalam shalat ? Penolakan ini bukanlah berarti
penolakan kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai sayyid bagi manusia. Namun, semata-mata hanyalah
meneladani lafadh doa yang beliau ajarkan sesuai dengan hadits-hadits shahih
yang sampai pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar