BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua
setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala
tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan
ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya
sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal
dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan
setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam
periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya
sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima);
Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu
(maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad
maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi
terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima
maupun meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang
menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas
kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas
sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti
metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas
sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif
dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B.
Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak
menyajikan makalah yang
berkisar pada permasalahan hadis sahih,hasan dhaif dan
maudhu’ yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
· Pengertian,
syarat-syarat, pembagian, kehujjahan dan kitab-kitab hadis shahih;
· Pengertian,
Pembagian, Kehujjahan, Kitab-kitab Hadis Hasan;
· Pengertian,
pembagian, pengamalan dan kitab-kitab hadis dhaif;
· Pengertian,
sejarah munculnya, motivator, kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab dan
hukum meriwayatkan hadis maudhu’;
PEMBAHASAN
A.
Hadis Shahih
1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula,
sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat)[1]
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi
tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah
saw) tanpa syuzuz tanpa illat”[2]
Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat
terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a.
muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya adil[3] c. Perawi-perawinya dhabit[4] d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan
terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus
diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a.
Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang
teratas.
b.
Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan
memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih
tinggi.
c.
Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat
tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya,
kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh
muhaddisin tentang hadis shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun
tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan
kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki
sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke rasulullah saw. dinukil dari
dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal
(terkena illat).
Dengan
demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq
dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat
maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin
tentang hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri
hadis shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang
tidak sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan
periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa
serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab
tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara
langsung.
2. Pembagian Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi
hadis shahih menjadi dua macam:
a.
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat
atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi”
karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat
yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai
dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah
salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
b.
Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain.[7] Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li
ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat
Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang
sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun
keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi
derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari
Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini
tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya.
Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas
hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul
asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling
tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat
perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1)
Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn
Umar.
2)
Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman
al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn
Mas’ud.
3)
Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah
riwayat imam Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan
karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis
dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang
meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin
cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari
Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah
ad-dzahab (mata rantai emas).[8]
3. Kehujjahan Hadis Shahih.
Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada
perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram
(status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr :
59) :
"Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya".
4. Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih.
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis,
mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[9]:
a. Shahih
Bukhari
d. Shahih Ibn Hibban
b. Shahih
Muslim
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c. Mustadrak
al-Hakim
Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang
memuat hadis-hadis shahih adalah:
a. Shahih
Bukhari
e. Sunan an-Nasa’i
b. Shahih
Muslim
f. Sunan Ibn Majah
c. Sunan
Abu Daud
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d. Sunan
at-Tirmidzi
Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum
al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih
antara lain[10]:
a. al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c. Shahih
Muslim
d. Shahih Ibn
Khuzaimah
e. Shahih
Ibn Hibban
B. Hadis Hasan
1. Pengertian
Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya
bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya
(tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.[12]
Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit
yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis
hasan[13]
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah
Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh
perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa
syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi.
Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah
hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua
perawi atau sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya dibanding
dengan perawi hadis shahih. [15]
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah
dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan,
kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat
perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis
shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan
mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.
Sanad hadis harus bersambung.
b.
Perawinya adil
c.
Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah
(kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.
Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah
hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana
tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke
derajat hasan.
b.
Hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan li ghairihi
adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan
sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[17]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya
merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat,
jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya
tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah
riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut
para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih
terendah.[18]
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ،
عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ
فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk
orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut adz-Zahaby,Ma’bad
termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ
؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim
bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya
seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga
diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi
Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini
dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.[20]
Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan
dengan dua ketentuan,yaitu:
a)
hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain,
dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau
lebih baik dari padanya.
b)
bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya
sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.[21]
Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis
hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang
terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid
dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi
hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun
derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama
ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis
hasan ini.[22]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis
hasan adalah[23]:
a. Sunan
at-Tirmidzy
b. Sunan Abu Daud
c. Sunan
ad-Dar Quthny
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian
dan Pembagian Hadis Dha’if
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua
macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah
dha’if maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya
tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya
sama.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis
shahih dan syarat-syarat hadis hasan”[25]
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari
syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi
didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi
syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
Dhaif disebabkan
karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi
menjadi :
1) Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang
satu atau lebih rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari:
قال مالك
عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung
menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh
lain adalah,
قال
ألبخارى قالت العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi
dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in
mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda begini atau
berbuat seperti ini”[26]. Contoh hadits ini adalah:
قال مالك
عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan
sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin
sebagai “hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan
menurut para ulama hadis mutaakhkhirin adalah ”suatu hadis yang ditengah
sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut”
[27]
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه
عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها
أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan
hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri
tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits
dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di
atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada
sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”[28].
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby
dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah
bersabda,
للمملوك
طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق "
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena
gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya.
Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan[29]
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi
diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
a. Tadlis Isnad,
adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa
dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis
tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia
mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak
termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qath’i
: Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas
menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata
kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .”
umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi
secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga
dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan
tujuan untuk memotong).
c. Tadlis ‘Athaf
(merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan
bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain
padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah
: apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena
dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang
terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah
merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang
keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh:
Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih
dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang
berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh:
Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita
kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f. Termasuk dalam
golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran
nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud
adalah suatu tempat di pekuburan). Ada
beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum
dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau
karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis
darinya dan lain sebagainya.
Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan
ke’adalahan perawi ada lima, dan yang berkaitan
dengan kedhabithannya juga ada lima.
Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a)
Dusta, b) Tuduhan, c) berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah
(ketidakjelasan)
Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a)
kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham,
e) menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan
sebab-sebab diatas:
1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat
seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah
khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada
Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.[30] Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab
yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل يارسول
الله لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun
adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang
disangka suka berdusta.[31] Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat
yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari
dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي
عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang
tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang
dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit.
Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat
rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa
terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul
'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya
hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn
Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn
Sa'id al Kindi
ان النبي
كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn
Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul
hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh
dan ta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari
Yazid ibn Madkur.
ان عليا
رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang
dalam rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari seseorang
(rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل
الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan
hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[34].
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar
balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di
belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8) Hadis mudraj
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang
didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad.
Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya,
atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau
pada akhirnya.
9) Hadis mushahaf
Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat
beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz
atau pada makna, sehingga maksud hadis menjadi jauh berbeda dari makna dan
maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang
termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj,
mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj
al-Khotib; Ushul al-hadits
2. Pengamalan Hadits Dha’if
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh
diamalkan, bila dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para
ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya
hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada
tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:
a. Hadis
dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun
ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu
Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
b. Hadis dhaif
bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam
Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
c. Sebagian
ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail
mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.[35]
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah
amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1) Kelemahan
hadis itu tiada seberapa.
2) Apa yang
ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi,
dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang
sudah dibenarkan.
3) Jangan
diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya
dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash
sama sekali.[36]
D. Hadis Maudhu’
a.
Pengertian Hadis Maudhu’
Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang
diletakkan, sedangkan menurut istilah adalah:
”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan
kepada rasulullah secara dusta”[37].
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara
hadis-hadis dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian:
shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis
maudhu’ dinamakan juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq
dan muftara.[39]
b.
Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat
tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut pendapat mereka:
a.
Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah
masih hidup.
b.
Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan
masalah keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.
c.
Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[40]
c.
Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya
bid’ah dan pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak
hanya dilakukan oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang
non islam.
Ada
beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.
Pertentangan Politik
Perpecahan umat islam terjadi akibat permasalahan politik
yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar
terhadap munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha
mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satu
usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
b.
Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik
sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin
dapat memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih melakukan upaya pemalsuan
hadis.[41] Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.
c.
Sikap Fanatik Buta
Salah satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya
sifat ego dan fanatik buta tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan
Contoh golongan yang fanatik yaitu ash-Syu’ubiyah
yang fanatik terhadap bangsa persia,
dia mengatakan “Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab
dan apabila senang dia menurunkan dengan bahsa persia.[42]
d.
Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat
Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk
memmperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat
kemampuannya.[43] Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
Bahkan ada hadis palsu yang berbunyi: “nabi duduk bersanding
dengan Allah diatas Arsy-nya”.
e.
Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam,
berasal dari para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena
ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
f.
Lobby dengan penguasa
Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa khilafah bani
Abbasiyah, seorang yang bernama Ghiyats ibn Ibrahim pernah membuat hadis yang
disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi yang menyangkut kesenangan khalifah.[44]
g. Semangat ibadah yang berlebihan tanpa
didasari pengetahuan.
Dikalangan para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa
membuat hadis-hadis yang bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib)
adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka ber-taqarrub kepada Allah.[45]
d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
Para ulama hadis menetapkan
kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan hadis maudhu’,
sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar lain[46]:
a.
Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat
Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan
hadis atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b.
Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya
seorang perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul
bait.
c.
Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal
sehat, atau bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan
ketetapan agama yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan
kacau, misalnya apa yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
bapaknya dari kakeknya secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf
mengelilingi ka’bah tujuh kali dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya
diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang mengetahui
kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan
kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
“barang siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan
dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian makalah yang penulis paparkan diatas, dapat
disimpulkan beberapa hal.
1. Hadis Shahih
Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula,
sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).
Syarat-syarat hadis shahih antara lain: a. Muttashil
sanadnya b.Perawi-perawinya adil c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan
tidak syaz e.yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah(illat yang
mencacatkannya).
Hadis shahih terbagi atas dua:
1.shahih lidzatihi
2.shahih li ghairihi
Tidak terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya
terutama dalam masalah penentuan hukum sesuatu.
Kitab-kitab yang memuat hadis shahih, antara lain:
1)
Shahih bukhari
7) Shahih Ibn Khuzaimah
2)
Shahih
muslim
8) Sunan Abu Daud
3)
Mustadrak al-Hakim
9) Sunan at-Tirmidzi
4)
Shahih Ibn
Hibban
10) Sunan an-Nasa’i
5)
Shahih Ibn Khuzaimah 11) Sunan Ibn
Majah
6)
Sunan Abu Daud
2. Hadis Hasan
Hadis Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya
bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu
kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.
Kriteria hadis hasan :
1)
Sanad hadis harus bersambung.
2)
Perawinya adil
3)
Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah
(kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)
Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5) Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat
yang merusak (qadihah)
a.
Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.
hasan li dzatihi
b.
hasan li ghairi
b.
Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan
hukum maupun dalam beramal
c.
Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.
Sunan at-Tirmidzy
b.
Sunan Abu Daud
c.
Sunan ad-Dar Quthny
3. Hadis Dhaif
a. Hadis dhaif adalah “hadis yang didalamnya
tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan
b. ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka
dapat dibagi kepada dua bahagian:
1.
Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad, yang
tergolong didalamnya antara lain:
a.
Mu’allaq
b.
Mursal
c.
Munqathi'
d.
Mu'dhal
e.
Mudallas
2.
Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya, yang tergolong didalamnya
antara lain:
a.
Maudhu'
g. Mudhtharab
b.
Munkar
h. Mudarraj
c.
Majhul
i. mu'allal
d.
Matruk
j. Musalsal
e.
Mubham
k. Mukhtalith
f.
Syadz
l. mudha'af
c. Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
pengamalan hadis dhaif, mengenai hal ini ada tiga pendapat:
1)
Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail
a’mal maupun ahkam.
2)
Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, hadis dhaif lebih kuat dari
ra’yu perorangan
3)
Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam
masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat
4. Hadis Maudhu’
a. Hadis maudhu’ adalah “sesuatu yang diciptakan dan
dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara dusta”
b. Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
1). Pertentangan Politik
2). Usaha Kaum Zindiq
3). Sikap Fanatik Buta
4). Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan
Nasehat
5). Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
6). Lobby dengan penguasa
7). Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari
pengetahuan
c. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
1)
Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis
2)
Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya
3)
Adanya indikasi pada isi hadis
d. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya
diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang mengetahui
kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan
kemaudhu’annya Fsafsa
DAFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar, Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis
ad-Dhaif , Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar
al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda
Karya, Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan
Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu
wamusthalahatuhu, Beirut:
Dar al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung,
2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber
Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis
diterjemahkan oleh Mifdol
Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah,
[t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.
[1] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul
Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 304
[3] Kata”adil” menurut muhaddisin adalah:
lurus agamanya, baik budi pekertinya,bebas dari kefasikan dan hal-hal yang
menjatuhkan perawinya.
[4] ”dhabit” ialah: yang kuat ingatan,dan
hafal secara sempurna.Dhabit terbagi atas dua macam, pertama: dhabt shadr
yaitu perawi memiliki daya hafal yang kuat dan mampu menyuguhkannya kapan
saja.kedua:”dhabt kitab” yaitu pemeliharaan melalui penulisan teks dan
hafalan.dengan tingkat ketelitian yang tinggi.
[9] Manna’ Khalil al-Qatthan,
Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam
judul Pengantar ilmu Hadis, (jakarta:
Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) h. 119-120
[10] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi
‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum
al-Hadis(Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.II, 1997)h. 12
[25] Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul
al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif (Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah,
1992) h. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar