Oleh: Abu Shafa Luqmanul Hakim
Muqaddimah
الحمد لله رب العالمين
والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي
يوم الدين, أما بعد :
Ikhwah yang dirahmati
Allah, salah satu karakteristik ahlus sunnah wal jamaah dalam manhajul
istidlal[1]
adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql
dalam sebuah risalahnya:
كل ما صحّ من سنة رسول
الله وجب قبوله والعمل به، وإن كان آحاداً في العقائد وغيرها
Artinya: Seluruh yang shahih dari hadits Rasulullah wajib untuk
diterima dan diamalkan baik yang berkaitan dengan aqidah ataupun selainnya,
meski hadits tersebut ahad.[2]
Sebuah bait Syair dengan sangat fashih terlantunkan:
لو كان حبّك صادقا
لأطعته فإن المحبّ لمن
يحبّ مطيع
Artinya: Seandainya cintamu sejati niscaya engkau akan
mematuhinya, sesungguh sang pecinta akan patuh kepada yang dicintai.[3]
Kendati pemaparan
tentang manhajul istidlal yang benar menurut manhaj ahlus sunnah
-terkhusus berkaitan dengan hadits-hadits Nabi- sarat menghiasi kitab para
ulama kita dari masa ke masa, namun sangat disayangkan, ternyata sangat banyak
dari kalangan kaum muslimin yang buta tentang hal ini, sehingga mereka mudah
terperangkap ke dalam jaring-jaring iblis dalam masalah ini, maka ditolaklah
sunnah-sunnah Nabi dan dikritiklah hadits-hadits yang tidak singkron dengan
logika mereka [menurut sangkaan mereka]. Jika kita tilik secara umum, maka para
pengingkar hadits bisa dibagi menjadi dua fraksi:
Yang pertama:
Golongan yang mengingkari seluruh hadits Rasulullah, menolak untuk berhujjah
dengan sunnah bahkan melecehkannya, merasa cukup dengan al-Qur-an sebagai
satu-satunya referensi otentik, dan biasanya mereka masyhur dengan julukan
Qur-aniyyun atau Inkarus Sunnah
Untuk kelompok ini, alangkah indahnya jika kita hadiahkan sebuah
atsar dari tabi'in yang mulia Hasan al-Bashrii –rahimahullah-:
أن عمران بن حصين ، كان
جالسا ومعه أصحابه, فقال رجل من القوم : لا تحدثونا إلا بالقرآن ، قال :
فقال له : ادنه، فدنا، فقال : « أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد
فيه صلاة الظهر أربعا وصلاة العصر أربعا والمغرب ثلاثا ، تقرأ في اثنتين ، أرأيت
لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد الطواف بالبيت سبعا والطواف بالصفا
والمروة ، ثم قال : أي قوم خذوا عنا فإنكم ، والله إلا تفعلوا لتضلنّ
Artinya: Bahwa Imran bin Hushain bekumpul dengan para sahabatnya,
lalu seseorang mengatakan kepada beliau: jangan engkau ajarkan sesuatu kepada
kami kecuali al-Qur-an saja!!, maka beliaupun memanggilnya kemudian berkata:
tahukah engkau, seandainya engkau hanya belajar dari al-Qur-an saja, apakah
engkau akan mengetahui bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat ashar empat
rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat dengan membaca ayat alqur-an di dua
rakaat pertama???, tahukah engkau, jika seandainya engkau hanya mengambil
al-Qur-an saja sebagai dalil, apakah engkau akan mengetahui bahwa jumlah thawaf
di Ka'bah tujuh kali, dan jumlah Sa'i juga tujuh kali???, kemudian beliau
mengatakan: wahai kaum, Belajarlah dari kami!! Jika tidak, maka niscaya kalian
akan tersesat.[4]
Duhai, sebuah hujjah kokoh keluar dari lisan yang sarat ilmu seorang sahabat
yang mulia Imran bin Hushain, mematahkan syubhat lemah dari seseorang yang
terkungkung nafsu, sekaligus mengukuhkan sebuah paradigma bahwa al-Qur-an dan
sunnah bak dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dan dengarkan pula
perkataan dari seorang ulama rabbani Ayub as-Sakhtiyani –rahimahullah- agar
kemudian kita menjauhi pemikiran sesat ini:
إذا حدثت الرجل بالسنة
فقال : دعنا من هذا وحدثنا من القرآن ، فاعلم أنه ضالّ مضلّ
Artinya: jika engkau mengabari seseorang dengan hadits, kemudian
dia mengatakan: jauhkanlah kami dari hadits dan bicaralah engkau dari al-Qur-an
saja!!, ketahuilah bahwa orang tersebut sesat dan menyesatkan.[5]
Duhai, seandainya mereka –para Ingkarus Sunnah- menyadari bahwa pengingkaran
terhadap sunnah Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- pada hakikatnya
adalah perpanjangan dari pengingkaran terhadap al-Qur'an, pasalnya kitab suci
tersebut sarat dengan perintah untuk mencintai, mengagungkan dan memuliakan
serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-,
beberapa contoh dari ayat tersebut:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya: Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka
terimalah, dan apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah.[6]
من يطع الرسول فقد أطاع
الله
Artinya:
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah mentaati
Allah.[7]
ياأيها الذين آمنوا
أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan taatilah
para pemimpin kalian.[8]
Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika al-Imam Syafi'i –rahimahullah-
menukil ijma' umat untuk mengagungkan sunnah Nabi kita yang tercinta, beliau
mengatakan:
أجمع المسلمون على أن من
استبانت له سنة رسول الله لم يكن له أن يدعه لقول أحد من الناس
Artinya: Telah tegak ijma' kaum muslimin bahwa barang siapa yang
telah jelas baginya sunnah Nabi, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan
sunnah tersebut karena [mengikuti, pent.] perkataan salah seorang manusia
[ulama].[9]
Kedua: Golongan
yang menolak hadits ahad, baik memungkirinya secara mutlak dalam masalah aqidah
dan hukum-hukum fiqh, ataupun meninggalkannya dalam masalah aqidah saja.
Kelompok inilah yang akan kita bahas dalam risalah kecil ini, semoga Allah
mencurahkan taufiqnya kepada kami sehingga bisa membahas masalah ini dengan
sebaik mungkin.
Dan untuk memudahkan pemaparan maka kami akan bagi pembahasan ini dalam
beberapa point, Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad, Yang Kedua: Dalil
Tentang Kehujjahan Hadits Ahad, Ketiga: Menjawab Syubhat. Inilah poin-poin
yang akan kami bahas, semoga Allah menjadikan makalah yang sederhana ini
bermanfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.
Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad
Jika kita ingin
mengetahui definisi Hadits Ahad, maka akan lebih mudah jika kita mengenal
definisi Hadits Mutawatir terlebih dahulu, karena hadits ahad merupakan antonim
dari hadits mutawatir. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan rawi
yang banyak dalam setiap tingkatan rawi, sehingga mustahil bagi mereka untuk
bersepakat dalam kedustaan, dan sumber pengambilan beritanya adalah panca
indera dan bukan dugaan belaka.[10]
Ikhwah yang dirahmati Allah, jika kita perhatikan definisi Hadits Mutawatir di
atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa syarat dari hadits mutawatir ada 4:
1.
Jumlah perawinya banyak,
sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam dusta.
2.
Sumber
haditsnya bukan dari dugaan belaka.
3.
Sumber
periwayatannya adalah panca indera, contohnya: saya mendengar atau saya
melihat.
4.
Semua
syarat ini terpenuhi dalam setiap tingkatan sanad.
Contoh hadits mutawatir adalah sabda Nabi Muhammad:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka
hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.[11]
Inilah pemaparan yang sangat ringkas tentang definisi hadits mutawatir,
nah..apabila kita telah memahami definisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk sebuah hadits mutawatir, maka akan mudah bagi kita untuk mengetahui
tentang hakikat hadits ahad. Definisi yang dari ulama terkait Hadits Ahad
sangatlah beragam, namun perbedaan definisi para ulama kita dalam masalah ini
-pada umumnya- adalah perbedaan dalam konteks redaksi saja, adapun subtansinya
maka berujung pada makna yang serupa, definisi inti dari Hadits Ahad adalah :
ما قصر عن صفة التواتر ،
ولم يقع به العلم وإن روته الجماعة
Artinya: Hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan
belum memberikan faidah ilmu [yakin], meski diriwayatkan oleh jumlah yang
banyak [selama tidak sampai pada derajat mutawatir].[12]
Hadits ahad terbagi menjadi 3 bagian:
1. Hadits Gharib
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.[13]
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya amalan tergantung dengan niatnya, dan
sesungguhnya setiap manusia akan mendapatkan pahala selaras dengan niatnya.[14]
2. Hadits 'Aziz
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam setiap
tingkatan sanadnya.[15]
Contohnya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga
mencintai aku melebihi cintanya atas bapaknya dan anaknya.[16]
3. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau bahkan
lebih dalam setiap tingkatan sanad, selama belum sampai pada derajat mutawatir.[17]
Contoh:
إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya,
akan tetapi mencabut ilmu dengan wafatnya ulama.[18]
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits ahad beserta pembagiannya,
kesimpulannya adalah hadits ahad merupakan hadits yang belum mencapai derajat
mutawatir meski diriwayatkan oleh beberapa rawi dalam setiap tingkatan
sanadnya.
Yang Kedua: Dalil Tentang Hujjahnya Hadits Ahad
Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, para ulama ahlus sunnah berpendapat bahwa
jika hadits ahad telah memenuhi syarat hadits shahih[19]
maka bisa dijadikan sebagai hujjah baik dalam masalah aqidah ataupun dalam
masalah hukum syar'i, dalil-dalil dari pendapat ini adalah:
v
Dalil Dari Ayat
al-Qur-an
1.
Firman Allah:
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi
berperang semuanya, mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka pergi
untuk menuntut ilmu, agar kemudian memberi peringatan kepada kaumnya jika
mereka telah kembali dari medan
perang agar mereka dapat berhati-hati.[20]
Perhatikan kalimat "tho-ifah"
dalam ayat diatas [yang kami garis bawahi], telah terjadi kesepakatan di
kalangan para ahli bahasa bahwa kalimat tersebut dapat digunakan untuk satu
orang atau lebih[21].
Olehnya ayat diatas mereka dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa hadits
ahad bisa diterima dan diamalkan, ayat di atas memberi perintah kepada kaum
muslimin untuk mengutus seseorang ataupun lebih dalam rangka untuk menuntut
ilmu agama, agar kemudian orang yang diutus tersebut bisa mengajarkan dan
menyampaikan ilmunya jika telah kembali dari tempat menuntut ilmu.
2. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا
بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ
وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah
yang kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk, setelah kami menerangkannya
kepada manusia dalam kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat seluruh
makhluk yang melaknat.[22]
Ayat di atas memerintahkan kita untuk menjelaskan dan menyampaikan ilmu, dan
melarang untuk menyembunyikannya. Perintah dan larangan ini berlaku untuk
setiap individu muslim bukan hanya kepada jamaah atau jumlah-jumlah tertentu,
dan perlu diketahui bahwa meriwayatkan hadits adalah bentuk dari bayan
[penjelasan], Nah.. jika memang hadits ahad ditolak maka tentu ayat di atas
adalah perintah yang sia-sia, Allahu musta'an.
3. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: Wahai orang-orang yan beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa berita, maka klarifikasilah berita tersebut dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu, yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut.[23]
Ayat ini merupakan salah satu rambu dalam masalah pemberitaan, dengan sangat
gamblang dipaparkan dalam ayat di atas, bahwa kabar orang fasik [yang
memiliki cacat dari sisi agama] harus diklarifikasi dahulu agar kemudian bisa
mengambil sikap yang benar terhadap berita tersebut, dan secara tersirat ayat
di atas merupakan isyarat bahwa jika yang datang membawa berita adalah orang
yang berkualifikasi 'adil [baik agamanya] dan dhabith [baik hafalannya] maka
berita yang dibawa bisa dipercaya.
4. Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.[24]
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk
bertanya kepada orang yang memiliki ilmu [ulama] jika tidak mengetahui tentang
sesuatu, dan apabila kita bertanya hanya kepada satu orang ulama saja, maka
kita telah mengamalkan ayat di atas, sebab ayat di atas tidak menentukan jumlah
tertentu agar jawabannya menjadi mutawatir, sehingga kita boleh mengamalkan
jawaban dari ulama tersebut. Bahkan ayat di atas justru merupakan dalil bagi
diterimanya hadits ahad.
5. Firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Artinya: Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak
memiliki pengetahuan tentangnya.[25]
Imam Sarakhsi –rahimahullah- berkata: sesungguhnya mengamalkan
hadits ahad adalah wajib, dan tidak wajib beramal kecuali dengan pijakan ilmu,
Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak
memiliki pengetahuan tentangnya", dan berfirman berkaitan dengan berita
yang dibawa oleh orang fasik:" agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
atas suatu kaum karena kebodohanmu". Dan lawan kata kebodohan adalah
ilmu, sedangkan lawan kata kalimat Fasik adalah 'adalah [sifat adil].[26]
v
Dalil Dari Hadits Nabi
Muhammad –shallallahu 'alaihi wa sallam-.
1.
Sabda Nabi:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً
سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
Artinya: Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang
mendengarkan perkataanku lalu dia memahaminya dan menghafalnya lalu
menyampaikanya kepada orang lain.[27]
Hadits ini adalah hadits mutawatir, yang
menjelaskan kepada kita tentang untaian doa dari Nabi kita yang tercinta, bagi
orang-orang memiliki sifat di atas, mendengarkan perkataan Nabi yang mulia,
lalu berupaya untuk memahaminya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan hadits
tersebut kepada yang lain. Jika kita menelaah hadits di atas maka niscaya
kita akan dapatkan bahwa hadits tersebut tidak mempersoalkan jumlah sang
perawi, akan tetapi yang justru dipaparkan adalah kualitas sang perawi.
2. Sabda Nabi kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِى
قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Artinya: Wahai Mu'adz, sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli
kitab, jika kamu telah berjumpa dengan mereka hendaknya yang dakwahkan dahulu
adalah mengucapkan kalimat tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[28]
Ikhwah yang dirahmati
Allah, hadits ini merupakan hakim pemutus kontraversi tentang hadits ahad, yang
mana Nabi mengutus para sahabat sendiri-sendiri dalam rangka untuk mendakwahkan
tauhid ke setiap kabilah bangsa arab maupun ke yang lainnya. Ini tentu
menegaskan bahwa yang menjadi barometer dalam kesahihan sebuah hadits
bukanlah jumlah rawinya, akan tetapi kwalitas dari para perawi dari hadits
tersebut, dan masih banyak hadits yang serupa diantaranya pengutusan Abu
'Ubaidah al-jarrah ke Yaman, pengutusan Mush'ab bin 'Umair ke Madinah,
pengutusan Dihyah al-Kalbi ke raja Heraklius penguasa Romawi, perintah Nabi ke
utusan 'Abdul Qais dan lain sebagainya.
v
Dalil dari Ijma'
Telah tegak ijma' dari kalangan sahabat
dan tabi'in tentang kehujjahan hadits ahad[29],
dan tidak ada satupun dari mereka yang membedakan antara masalah aqidah dan
masalah hukum-hukum fiqih, bahkan pada saat itu belumlah masyhur pembagian
hadits kepada Mutawatir dan ahad. Beberapa indikasi tegaknya ijma' di kalangan
para sahabat dan tabi'in adalah:
1.
Pengutusan Rasulullah kepada
setiap kabilah bangsa arab dan yang selainnya, yang mana Nabi hanya mengutus
satu orang sahabat kepada kabilah tersebut demi untuk mendakwahkan tauhid, dan
hal itu tidak diingingkari oleh para sahabat ataupun kabilah yang menjadi objek
dakwah.
2.
Sebagian para sahabat
meriwayatkan hadits dari sahabat yang lainnya, dan tidak ada pengingkaran dari
Nabi ataupun dari kalangan ulama yang hidup pada jaman tersebut, diantara
contoh dari fenomena ini adalah Abu Ayub al-Anshari meriwayatkan hadits dari
Abu Hurairah. dan simaklah perkataan sahabat Abdullah bin Abbas berikut ini:
جَاءَ بُشَيْرٌ
الْعَدَوِىُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَجَعَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ يَأْذَنُ لِحَدِيثِهِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ
فَقَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا لِى لاَ أَرَاكَ تَسْمَعُ لِحَدِيثِى أُحَدِّثُكَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ تَسْمَعُ. فَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ
بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ
النَّاسِ إِلاَّ مَا نَعْرِفُ.
Artinya: Busyair al-Adawi menghadap Abdullah bin Abbas dan
kemudian dia mulai membacakan hadits dari Rasulullah, dan Abdullah bin Abbas
tidak menyimak hadits tersebut dan tidak melihat kepadanya, maka dia mengatakan
wahai Ibnu Abbas:"kenapa kamu tidak menyimak hadits-haditsku dari
Rasulullah??", maka berkata Ibnu Abbas sesungguhnya kami dahulu jika
mendengar seseorang membacakan hadits dari Rasulullah maka mata kami berlinang
air mata, dan kami menyimaknya dengan sungguh-sungguh, namun ketika manusia
sudah banyak berdusta maka kami tidak mendengarkan kecuali dari orang yang kami
kenal.[30]
3. Banyaknya
fenomena para sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- yang
menerima hadits ahad dari sahabat yang lain, diantara contoh dari fenomena ini
adalah Abu Bakar as-Shiddiq menerima dan mengamalkan hadits dari
al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah dalam masalah bagian nenek
dalam warisan yaitu seper-enam[31],
Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil
jizyah [upeti] dari orang Majusi, karena Rasulullah bersabda:
سنوا بهم سنة أهل الكتاب
Artinya: Perlakukan mereka [orang majusi] seperti ahlul kitab.[32]
Dan beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang
diyah [denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki
ataupun wanita[33],
beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit
Tha'un[34],
dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah
al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][35],
Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh
yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[36],
bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi
tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka:
إنّا معشر الأنبياء لا
نورث ما تركناه صدقة
Artinya: Kami para Nabi tidak membagikan warisan [kepada keluarga
mereka], harta warisan yang kami tinggalkan adalah sedekah.[37]
Para sahabat juga menerima hadits dari Abu
Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi:
الأنبياء يدفنون حيث
ماتوا
Artinya: Para Nabi dikuburkan di
mana saja mereka wafat.[38]
Dan para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang
wajibnya mandi besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan
kelamin wanita] meskipun belum ejakulasi.[39]
Inilah fakta sejarah yang terpahat dalam kitab para ulama kita
yang menjelaskan tegaknya ijma' para sahabat untuk menerima hadits ahad dalam
masalah apapun juga, oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama sekaliber
Imam Syafi'i mengatakan:
ولم يزل سبيل سلفتا و
القرون بعدهم إلي من شاهدناه هذه سبيل
Artinya: Dan jalan para Ulama terdahulu kita [sahabat] dan
generasi setelah mereka bahkan sampai para ulama yang kami jumpai senantiasa
berada di atas jalan ini [menerima hadits ahad, pent.].[40]
Berkata Ibnu Hazm –rahimahullah-:
فإنّ جميع أهل الاسلام
كانوا على قبول خبر الواحد الثقة عن النبي صلي الله عليه وسلم يجري على ذلك كل
فرقة في عملها, كأهل السنة والخوارج والشيعة والقدرية حتى حدث متكلموا المعتزلة
بعد المائة من التاريخ, فخلفوا الاجماع في ذلك
Artinya: Sesungguhnya seluruh kaum muslimin terdahulu menerima
kabar dari satu orang yang tsiqoh [terpercaya] yang meriwayatkan hadits dari
nabi –shallahu 'alaihi wasallam-, bahkan seluruh kelompok pun berpandangan sama
[menerima kabar dari satu orang tsiqoh], seperti ahlus sunnah, al-Khawarij,
Syi'ah dan Qodariyah sampai munculnya al-Mu'tazilah setelah seratus tahun
kemudian, maka merekapun menyelisihi ijma' ini.[41]
Dan jika kita meneliti sumber dari
syubhat tentang ditolaknya hadits ahad, maka akan kita temukan sebagai berikut:
1.
Bahwa syubhat ini ditebarkan
ini oleh para ahlul bid'ah, ahlul kalam, orang yang lemah agama bahkan
orang-orang zindik secara sembunyi-sembunyi, dan syubhat ini tidak mendapatkan
tempat di hati kaum muslimin pada saat itu. Ditambah lagi, para ulama kita
getol membantah syubahat tentang hadits ahad ini, contohnya seperti Imam
Syafi'i, yang dengan tanpa ragu menguliti syubhat ini dalam buku beliau Jima'ul
Ilmi.
2.
Hakikat dari pendapat ini
adalah penolakan hadits-hadits Rasulullah karena pengkultusan mereka kepada
akal, dan jika tilik mayoritas syubhat mereka memang berpijak kepada akal.[42]
Yang ketiga: menjawab Syubhat
Syubhat Pertama: Hadits Ahad hanya menghasilkan berita yang sifatnya dhanni
[dugaan] saja.
Bantahan:
v
Pandapat ini bersumber ahlul
bid'ah, dan mereka berpecah menjadi dua:
A. Mu'tazilah, yang mengatakan bahwa Hadits Ahad sifatnya hanya
dhanni saja, dan sesuatu yang dhanni tidak layak untuk diamalkan, makanya
kelompok ini menolak hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum syar'i.
B. Ahlul kalamnya Asya'irah, mereka berpendapat bahwa hadits ahad
bersifat dhanni, sehingga hanya layak dijadikan hujjah pada masalah hukum saja
dan tiak bias dijadikan hujjah dalam masalah aqidah.
v
Fakta menetapkan bahwa
kebenaran suatu berita tidak dilihat dari banyaknya pemberi kabar, namun dari
sisi kwalitas sang pembawa berita.
v
Perlu kita kaji makna
kalimat dhanni [dugaan] tersebut, karena kalimat dhann yang banyak
digunakan ulama fiqh adalah ad-Dhan ar-Rajih [dugaan yang kuat] yaitu lawan
kata dari istilah al-Wahm [dugaan yang lemah], dan ad-Dhan menurut para
ulama fiqh adalah sesuatu yang bisa dijadikan landasan hukum, dan bukan
bermakna dugaan ataupun prasangka yang diharamkan oleh agama, sebagaimana sabda
Nabi:
إياكم والظنّ فإنّ الظن
أكذب الحديث
Artinya: Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan
yang paling dusta.
Dan mungkin perlu kami jelaskan pula bahwa diantara makna kalimat
ad-Dhann juga adalah alyakin, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ
أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya: yaitu orang yang yakin bahwa mereka akan berjumpa dengan
Rabbnya dan mereka akan kembali kepadanya.[43]
v Pijakan terkuat dari pendapat ini adalah akal, dan
dalil-dalil syar'i menyelisihinya.
Syubhat kedua: Hadits Ahad hanya bisa dijadikan hujjah dalam masalah hukum fiqih
dan bukan dalam masalah aqidah.
Bantahan:
v
Diperlukan dalil yang kuat
untuk membedakan antara masalah aqidah dan hukum fiqih dalam menerima hadits
ahad sebagai hujjah .
v
Telah tegak ijma' para ulama
untuk menerima hadits ahad dari seorang perawi yang terpercaya dan jujur.
v
Telah sampai kepada kita secara
mutawatir bahwa Nabi Muhammad mengutus para utusannya kepada setiap kabilah dan
raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah
al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja Persia,
mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah ke makaukus
di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mendakwahkan tauhid dan
menegakkan hujjah atas mereka.
v
Pendapat ini adalah aqidah
[pendapat bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan pijakan dalam masalah aqidah],
maka kami meminta kepada para pengingkar hadits ahad –khususnya dalam masalah
aqidah- untuk mendatangkan dalil yang mutawatir dalam masalah ini.
v
Seandainya hadits ahad
bukanlah dalil dalam masalah aqidah, maka pasti telah dijelaskan oleh Nabi dan
para sahabat dengan gamblang, karena hal ini adalah masalah yang sangat
krusial.
Syubhat Ketiga: Telah sampai kepada kita sebuah riwayat yang menjelaskan
bahwa Nabi –shallahu 'alaihi wasallam- menolak kabar dari Dzul Yadain
bahwa beliau telah shalat dua rakaat, sampai ada penguat dari Abu Bakar dan
Umar bin Khatthab.
Bantahan:
v
Rasulullah –shallallahu
'alaihi wasallam- tawaqquf [ragu] untuk menerima kabar dari Dzul
Yadain karena Rasulullah yakin bahwa beliau telah shalat 4 rakaat, dan yang
menghadiri shalat tersebut bukan hanya Dzul Yadain, namun dihadiri jumlah yang
banyak dari para sahabat. Keraguan Rasulullah terhadap kabar Dzul Yadain dipicu
oleh diamnya para sahabat yang lain bahkan termasuk Abu Bakar dan Umar, menurut
Nabi –Shallallahu 'alaihi wa sallam- jika benar beliau hanya shalat dua
rakaat, tentu yang lebih layak untuk mengajukan kabar tersebut adalah
sahabat-sahabat yang terdekat beliau seperti Abu Bakar dan Umar, oleh
karena itu beliau ragu untuk menerima kabar dari Dzul Yadain sampai mendapatkan
penguat dari para sahabat yang lainnya. kesimpulannya, sikap
Rasulullah tawaqquf untuk menerima kabar dari Dzul Yadain
bukan karena karena kabar tersebut dibawa oleh satu orang [ahad], namun karena
ada penghalang untuk menerima kabar tersebut yaitu diamnya sahabat yang lain
–termasuk Abu Bakar Dan Umar-, padahal mereka semua juga
menghadiri shalat tersebut.[44]
v
Telah sampai kepada kita
riwayat yang sangat banyak bahwa Nabi Muhammad mengutus para utusannya kepada
setiap kabilah dan raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman,
mengutus Dihyah al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra
raja Persia, mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah
ke makaukus di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mengajarkan
agama yang dibawa oleh Nabi baik itu dalam masalah aqidah, ibadah ataupun
hukum-hukum dalam agama islam, fakta ini menyimpulkan untuk kita bahwa Nabi-pun
mengajarkan kepada kita untuk menerima hadits ahad sepanjang tidak ada
penghalang yang bisa menjadikan hadits tersebut tertolak.
v
Kita tidak bisa berpegang
dengan satu dalil [Rasulullah ragu untuk menerima hadits ahad], lalu
meninggalkan dalil-dalil yang menyelisihinya [Rasulullah mengutus para sahabat
ke kabilah-kabilah dalam rangka berdakwah sendiri-sendiri], ironisnya apabila
kemudian kita memaksa untuk membangun hukum diatasnya [menolak hadits ahad],
padahal masih ada dalil-dalil yang menyelisihinya [dalil bahwa hadits ahad
diterima], yang benar –bi idznillah- adalah kita berupaya untuk
mengumpulkan seluruh dalil terkait satu masalah lalu berupaya untuk menarik
kesimpulan berdasarkan dalil-dalil tersebut, wallahu a'lam.
Syubhat Keempat: Telah sampai kepada kita riwayat yang valid, bahwa beberapa
sahabat menolak kabar yang dibawa satu orang, seperti penolakan Abu Bakar
terhadap hadits yang dibawa oleh al-Mughirah bin Syu'bah tentang bagian warisan
untuk nenek sampai datang penguat dari sahabat Muhammad bin Maslamah, dan
penolakan Umar terhadap hadits dari Abu Musa al-Asy'ari tentang adab meminta
ijin sampai datang penguat dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri dan lain
sebagainya.
Bantahan:
v
Riwayat-riwayat yang
disebutkan oleh para pengingkar hadits ahad diatas justru adalah dalil
diterimanya hadits ahad, dan menunjukkan kehujjahannya, karena sesungguhnya
kabar dari dua orang masih masuk dalam kategori hadits ahad, dan bukan
tergolong hadits mutawatir.
v
Penolakan yang dilakukan
beberapa sahabat diatas terhadap hadits yang dibawa oleh satu orang, bukan
disebabkan karena dibawa oleh satu orang, namun lebih disebabkan karena adanya
penghalang atau cacatnya syarat, makanya ketika mereka mendapat penguat dari
sahabat yang lain tentang hadits tersebut merekapun menerimanya,
meskipun hadits tersebut belum keluar dari kategori hadits ahad.
v
Telah sampai pula riwayat
yang banyak bahwa para sahabat menerima hadits nabi yang diriwayatkan oleh satu
orang sahabat, contohnya: Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman
bin 'Auf tentang mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, Dan beliau
juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah [denda] membunuh
janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki ataupun wanita[45],
beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit
Tha'un[46],
dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah
al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][47],
Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh
yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[48],
bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi
tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka, Para sahabat juga menerima
hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi, para
sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi besar jika
bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin wanita] meskipun belum
ejakulasi.
v
Beberapa sahabat menjelaskan
tentang penyebab tawaqquf mereka terhadap hadits yang diriwayatkan oleh
satu orang, contohnya Umar bin Khotthoob, beliau mengatakan kepada Abu Musa
al-Asy'arii:
إني لا أتّهمك, ولكنّي خشيت أن يتقوّل الناس
على رسول الله
Artinya: Sesungguhnya saya tidak menuduhmu [berdusta], namun saya
khawatir manusia akan berdusta atas Nabi Muhammad.[49]
Perkataan ini adalah hakim bagi para pengingkar hadits ahad,
dengan tidak bertele-tele Umar mengatakan bahwa penyebab dari tawaqqufnya
beliau terhadap hadits yang dibawa oleh Abu Musa al-Asy'arii disebabkan
pembinaan yang beliau tanamkan kepada umat untuk berhati-hati dalam
berinteraksi dengan hadits-hadits Nabi, oleh karena itu para ulama hadits
berkesimpulan bahwa sikap sahabat Abu Bakar dan Umar serta sahabat-sahabat yang
lainnya berupa tawaqquf mereka terhadap hadits yang dibawa oleh
satu orang –dalam beberapa moment- merupakan pondasi bagi ilmu sanad.
Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah makalah sederhana tentang polemik hadits
ahad, yang senantiasa diperdebatkan dari masa ke masa, dan tentunya
manhaj para ulama salaf kita tentang masalah ini –dan juga masalah yang
lainnya- lebih benar dan lebih selamat, semoga tulisan singkat ini bisa menjadi
benteng dari syubhat-syubhat yang bertebaran - wallalhu waliyu dzalika wal
qodiru alaih-.
وصلي
الله علي نبينا محمد وعلي آله وأصحابه ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين
[19] . Syarat-syarat hadits shahih adalah
bersambungnya sanad setiap rawi, rawinya 'adil [baik agamanya] dan dhaabith
[baik hafalannya], tidak ada cacat yang tersembunyi dan tidak menyelisihi
hadits lain yang lebih shohih.
[21] . Hal ini sebagaimana yang ditaqrir
oleh Imam Bukhari dalam shahih Bukharinya, Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam Fathul
Barinya, dan merupakan perkataan dari Ibnu 'Abbas, an-Nakha'ii, Mujahid dan
yang lainnya. Lihat Khabarul Ahad wa Hujjiyatuhu hal 153.
[29] . Lihat Mukhtashor Ibnu Hajib 2/58,
lihat pula Nihayatul Saul Fi Ushulul Fiqh karya Abu Ya'la 129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar