Tanya : Apakah benar bahwa atsar dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : ‘sebaik-baik
bid’ah adalah ini’ lemah ?
Jawab :
Atsar tersebut shahih. Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah
berkata :
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ،
أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى
الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ
لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ
عُمَرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ " فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ
كَعْبٍ، قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ
بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ، فَقَالَ عُمَرُ: " نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
..........
Dari Ibnu Syihaab[1], dari ‘Urwah
bin Az-Zubair[2], dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy[3], bahwasannya
ia berkata : “Aku pernah keluar bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab di bulan
Ramadlaan menuju masjid. Ternyata orang-orang shalat terpencar-pencar dalam
beberapa kelompok. Ada
orang yang shalat sendirian, ada pula orang yang shalat dengan diikuti
sekelompok orang. Lalu ‘Umar berkata : “Demi Allah, sesungguhnya aku memandang,
seandainya aku kumpulkan mereka di belakang satu imam, niscaya itu lebih
utama”. Akhirnya ia pun mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin Ka’b. Kemudian
aku (‘Abdurrahmaan) keluar bersamanya di malam yang lain dimana orang-orang shalat
di belakang satu imam mereka. Lalu ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah
adalah ini….” [Al-Muwaththa’, 1/476-477 no. 270].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 2010, Ibnu Wahb
dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99 no. 302, Al-Marwaziy dalam Qiyaamur-Ramadlaan
no. 25, Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 164-165, serta Al-Baihaqiy
dalam Al-Kubraa 2/493 dan dalam Fadlaailul-Auqaat no. 121;
semuanya dari jalan Maalik, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy.
Maalik mempunyai mutaba’ah dari :
1. Syu’aib bin Diinaar Al-Qurasyiy[4]; sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 166.
2.
Al-Laits bin Sa’d[5]; sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 152 dan Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’
1/98-99 no. 302.
5.
‘Uqail bin Khaalid[8]; sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/493 dalam Al-Ma’rifah 2/303-304.
6.
Yuunus bin Yaziid[9]; sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99 no. 302 dan dari jalannya Ibnu
Khuzaimah no. 1100.
Sanad riwayat ini shahih.
‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’
mempunyai syaahid dari As-Saaib bin Yaziid sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Syabbah dalam Taariikh Al-Madiinah no. 1182 : Telah menceritakan
kepada kami Abu Dzukair, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Yuusuf
Al-A’raj[10] menceritakan dari As-Saaib bin
Yaziid[11], dari ‘Umar radliyallaahu
‘anhu.
Seluruh perawinya tsiqaat kecuali
Abu Dzukair. Abu Dzukair atau Abu Zukair namanya adalah Yahyaa bin Muhammad bin
Qais Adl-Dlariir; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya [At-Taqriib,
hal. 1066 no. 7689]. Oleh karena itu, sanad riwayat ini dla’iif, namun
menjadi hasan (lighairihi) dengan keberadaan riwayat ‘Abdurrahmaan bin
‘Abd Al-Qaariy di atas.
Adapun alasan pelemahan atsar ini
dengan sebab Az-Zuhriy seorang mudallis pada tingkat ketiga, maka ini
tidak diterima.[12]
Pelemahan ini tertolak dengan
beberapa sebab :
1.
Istilah tadliis yang disifatkan para ulama kepada
Ibnu Syihaab kemungkinan besar maknanya adalah irsaal, bukan tadliis dalam
istilah khusus menurut muta’akhkhiriin.[13] di kalangan ulama mutaqaddimiin
dapat berarti irsaal. Maksudnya, riwayat Az-Zuhriy dari syaikhnya dengan
lafadh ‘an ditolak apabila diketahui bahwa Az-Zuhriy ini tidak pernah
bertemu atau mendengar riwayat dari syaikhnya tersebut. Apabila diketahui bahwa
Az-Zuhriy pernah bertemu atau mendengar riwayat dari syaikh-nya, maka ‘an’anah
Az-Zuhriy diterima.
Tidak ternukil pernyataan dari
kalangan mutaqaddimiin bahwa Az-Zuhriy melakukan tadlis dalam
makna khusus, bersamaan dengan kemasyhurannya di sisi ulama. Seandainya ia
memang suka menggugurkan perawi dan menyembunyikannya, niscaya akan ternukil
banyak perkataan tentang itu; sebagaimana hal itu terjadi pada para perawi yang
terkenal dengan sifat tadlis-nya (dengan makna khusus).
Adapun kritikan keras yang
teralamatkan kepada Az-Zuhriy dari mutaqaddimiin adalah dalam
permasalahan irsaal, sebagaimana dikatakan oleh Yahyaa bin Sa’iid, Ibnu
Ma’iin, dan Asy-Syaafi’iy. Bahkan Yahyaa bin Sa’iid mengatakan bahwa irsaal-nya
Az-Zuhriy lebih jelek dari irsal yang berasal selain dirinya [lihat
selengkapnya dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, 1/535].
Inilah yang masyhuur.
2.
Para
ulama dan imam menerima ‘an’anah Az-Zuhriy dari syaikhnya, jika
syaikhnya tersebut pernah ia temui dan/atau dengar riwayatnya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Al-‘Alaaiy rahimahullah :
ممد
بن شهاب الزهري الإمام العلم مشهور به ( أي بالتدليس ) وقد قبل الأئمة قوله (( عن
))
“Ibnu Syihaab Az-Zuhriy, seorang
imam, pemimpin, masyhuur dengannya (yaitu tadliis). Dan para imam telah
menerima perkataannya ‘an (dalam periwayatn hadits)” [Al-Jaami’ut-Tahshiil,
hal. 109].
Perkataan di atas juga diucapkan
oleh Al-‘Iraaqiy dalam Al-Mudallisiin (hal. 90 no. 60) dan As-Sabth
Al-‘Ajamiy dalam At-Tabyiin li-Asmaail-Mudallisiin (hal. 50 no. 64).
Al-Bukhaariy dan Muslim menerima ‘an’anah
Az-Zuhriy dalam kitab Shahih-nya.
Adapun Adz-Dzahabiy rahimahullah
berkata :
محمد
بن مسلم الزهري الحافظ الحجة كان يدلس في النادر
“Muhammad bin Muslim Az-Zuhriy, al-haafidh,
al-hujjah, ia jarang melakukan tadliis” [Miizaanul-I’tidaal,
no. 8171].
Oleh karena itu, pengelompokan
Az-Zuhriy oleh Ibnu Hajar rahimahumallah dalam tingkatan ketiga perawi mudallisiin
tidaklah diterima.
[Silakan baca pembahasan ‘an’anah
Az-Zuhriy ini dalam kitab Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih
Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwaad Al-Khalaf hal. 226-227 dan Manhajul-Mutaqaddimiin
fit-Tadliis oleh Dr. Naashir Al-Fahd, 1/51-53].
3.
Dalam sanad Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam no. 166,
Az-Zuhriy telah menyebutkan tashriih penyimakan riwayatnya[14] dari ‘Urwah bin Az-Zubair
Al-Anshaariy.
4.
Tidak ada satu pun imam yang melemahkan riwayat/atsar ini,
padahal riwayat atau atsar ini sangat mayshur di kalangan mereka. Bahkan
digunakan hujjah bagi mereka dalam beberapa permasalahan.[15]
Kesimpulan : Riwayat/atsar ini
shahih, dan klaim akan kedla’ifannya adalah klaim yang mengada-ada.
Ini saja yang dapat dituliskan.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo,
ngaglik, sleman, yogyakarta].
[1]
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin
Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang faqiih,
haafidh, dan disepakati akan kebesaran dan ke-itqaan-annya.
Termasuk thaqabah ke-4, wafat tahun 125 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 896 no. 6336].
[2]
‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwaam bin Khuwailid
Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih,
lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 94 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [At-Taqriib, hal. 674 no. 4594].
[3]
‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-1, dikatakan pernah melihat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, wafat tahun 88 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 589
no. 3963].
[4]
Syu’aib bin Abi Hamzah Diinaar Al-Qurasyiy, Abu Bisyr
Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, dan menurut Ibnu
Ma’iin : ‘Termasuk orang yang paling tsabt dalam hadits Az-Zuhriy’.
Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 162 H atau setelahnya. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 437 no. 2813].
[5]
Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fuhmiy, Abul-Haarits
Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, tsabt, faqiih, lagi imam.
Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93/94 H, dan wafat tahun 175 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 817 no. 5720].
[6]
Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah, tsabt, lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah
ke-7, lahir tahun 96 H, dan wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib,
hal. 961 no. 6857].
[7]
‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy
Ad-Dimasyqiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang yang tsiqah, jaliil,
lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 157 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [At-Taqriib, hal. 593 no. 3992].
[8]
‘Uqail bin Khaalid bin ‘Uqail Al-Ailiy, Abu Khaalid
Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-6,
wafat tahun 144 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 687 no. 4699].
[9]
Yuunus bin Yaziid bin Abin-Najjaad Al-Ailiy, Abu Yaziid
Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, kecuali dalam riwayat Az-Zuhriy
terdapat sedikit wahm (keraguan). Termasuk thabaqah ke-7, wafat
tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 1100 no. 7976].
[10]
Muhammad bin Yuusuf bin ‘Abdillah bin Yaziid Al-Kindiy, Abu ‘Abdillah
Al-Madaniy Al-A’raj; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah
ke-5, wafat tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy,
dan An-Nasaa’iy [At-Taqriib, hal. 911 no. 6454] .
[11]
As-Saaib bin Yaziid bin Sa’iid bin Tsumaamah bin Al-Aswad Al-Kindiy; salah
seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk thabaqah
ke-1, wafat tahun 91 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 364 no.
2215].
وصفه
الشافعي والدارقطني وغير واحد بالتدليس
“Asy-Syaafi’iy,
Ad-Daaruquthniy, dan yang lainnya menyifatinya dengan tadliis” [Thabaqaatul-Mudallisiin
hal. 109 no. 102].
أن يَرْوِيَ الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه
من غير أن يذكر سمعه منه.... ومعنى هذا التعريف أن تدليس الإسناد أن يروي الراوي
عن شيخ قد سَمِعَ منه بعض الأحاديث، لكن هذا الحديث الذي دلسه لم يسمعه منه ،
وإنما سمعه من شيخ آخر عنه ، فيٌسْقِطٌ ذلك الشيخَ ويرويه عنه بلفظ محتمل للسماع
وغيره ، كـ " قال " أو " عن " ليوهم غيره أنه سمعه منه ، لكن
لا يصرح بأنه سمع منه هذا الحديث فلا يقول : " سمعت " أو " حدثني
" حتى لا يصير كذاباً بذلك ، ثم قد يكون الذي أسقطه واحداً أو أكثر
“Jika
si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang
pernah ia dengar haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar
hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia
dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis-kan
tidak pernah ia dengar dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui
(perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi.
Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi
perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung
kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah
mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah
mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّثَنِي (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa
disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa
satu orang atau lebih” [Lihat : Taisiru
Mushthalahil-Hadiits oleh Dr.
Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu
Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar
Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ
كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الأَنْصَارِيُّ....
“Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsmaan bin
Katsiir bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku
‘Urwah bin Az-Zubair Al-Anshaariy……”
[15]
Sungguh menakjubkan bagi saya ketika membaca ‘dalih’ pelemahan atsar
‘Abdurrahmaan bin Abd Al-Qaariy :
Namun hanya Ibnu Syihab azzuhri yang suka
menyelinapkan perawi lemah yang menjelaskan dan meriwayatkan
hadis tentang sebaik – baik bid`ah adalah ini - salat taroweh berjamaah. Seolah
ada bid`ah yang baik, bukan semuanya sesat. Pada hal , kalau kita katakan
ada bid`ah yang baik akan bertentangan dengan banyak hadis sahih, bukan lemah
atau hasan .Jadi ini keganjilan yang nyata, bukan masalah biasa yang samar.
Begitu juga Abd Rahman al Qari perawi
hadis tsb , wafat tahun 88 Hijriyah.Usianya 78 tahun. Berarti dia lahir
pada tahun sepuluh hijriyah.
Lantas umar bin Khattah wafat pada tahun 23 H.[4] Ber
arti ketika Umar wafat Abd Rahman bin Abd al qari ini berumur 13 tahun .
Lalu ketika dia di ajak Umar pergi ke masjid untuk melihat sahabat menjalankan
salat malam sendirian , berapakah usianya , tidak ada keterangan
,pokoknya masih kecil sekali . Inilah yang membikin ganjil dalam benak saya.
Tafarrud periwayatan
‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy itu tidaklah dimulai dari Az-Zuhriy, namun
dimulai ‘Urwah bin Az-Zubair (yaitu, tidak ada yang meriwayatkan atsar tersebut
dari ‘Abdurrahmaan kecuali ‘Urwah bin Az-Zubair). Tafarrud periwayatan
shahabat oleh generasi tabi’iy tidaklah memudlaratkan sebagaimana
dimaklumi. Adapun riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sendiri
diriwayatkan dari dua jalur sebagaimana telah disebutkan di atas.
Tidak ada halangan
akan usia ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy dalam periwayatannya dari ‘Umar. Ia
seorang yang tsiqah yang menjelaskan kesaksiannya periwayatannya.
Riwayat perawi yang masih kecil yang kemudian ia sampaikan ketika dewasa adalah
diterima.
Dr. Mahmud
Ath-Thahhaan memberikan penjelasan sebagai berikut :
هل
لصحة سماع الصغير سن معينة ؟
أ)
حدد بعض العلماء ذلك بخمس سنين، وعليه استقر العمل بين أهل الحديث.
ب)
وقل بعضهم: الصواب اعتبار التمييز، فان فَهِمَ الخطاب، ورَدَّ الجواب، كان
مُمَيَّزا ً صحيح السمع وإلا فلا.
“Apakah ada ketentuan umur
tertentu bagi keshahihan penyimakan hadits seorang anak ?
Sebagian ulama menentukan
usia adalah mulai 5 tahun. Inilah yang ditetapkan oleh para ahli hadits.
Sebagian di antara mereka
berkata : Yang benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang anak telah mengerti percakapan dan bisa
menjawabnya, maka ia sudah mumayyiz dan penyimakan haditsnya shahih. Jika hal itu tidak
dijumpai pada seorang anak, maka tidak shahih” [Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan, hal. 122].
Perlu diketahui bahwa tidak dipersyaratkan usia baligh ketika mendengarkan hadits. Namun yang dipersyaratkan usia baligh adalah ketika
menyampaikan, sebagaimana terdapat dalam banyak hadits [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Prof. Dr. Mannaa Al-Qaththan rahimahullah].
Contohnya :
Dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :
بِتُّ
فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ إلى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ نَامَ
ثُمَّ قَامَ ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةٌُ تُشْبِهُهَا ثُمَّ
قَامَ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ فَصَلَّى خَمْسَ
رَكَعَاتٍِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيْطَهُ
أَوْ خَطِيْطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلى الصَّلاةِ
”Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits,
istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau berada
di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam melakukan
shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan
shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan
bertanya : “Apakah anak
laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?” atau
beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri
untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk
bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan
beliau. Beliau shalat lima
raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar
suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun,
lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [Muttafaqun ‘alaih].
Peristiwa di atas dialami dan disaksikan ketika Ibnu ‘Abas radliyallaahu ‘anhuma masih kecil. Terlihat dari pertanyaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut : “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur
?”(نَامَ الْغُلَيِّمُ). Kemudian Ibnu ‘Abbas menyampaikannya
apa yang ia alami/saksikan tersebut ketika ia telah dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar