Ahlul-bida’ tidak henti-hentinya membuat makar kepada Ahlus-Sunnah. Menshahihkan yang dla’if atau men-dla’if-kan yang shahih menjadi ciri khas dakwah mereka. Tidak luput dalam hal ini hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya. Hadits ini merupakan salah satu hujjah yang sangat kuat yang merontokkan ‘aqidah bid’ah mereka tentang keberadaan Allah ta’ala. Jalan sempit dan berlubang pun mereka tempuh demi meluluskan tujuan mereka untuk menolak hadits ini. Naas, ternyata lubang di jalan itu malah menenggelamkan mereka. Salah satu di antara yang terperosok di dalamnya adalah Hasan As-Saqqaaf. Risalah bid’ahnya telah mendapat sambutan oleh kolega-kolega bid’ahnya, tidak terkecuali di Indonesia. Ada orang yang senantiasa merelakan diri menampung pikiran-pikiran kotornya. Artikel berikut akan membahas bantahan singkat ulah As-Saqqaaf dan muqallid-nya dalam pendla’ifan hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam radliyallaahu ‘anhu
Al-Imam Muslim rahimahullah
berkata dalam Shahih-nya (no. 537) :
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح،
وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قالا: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن
حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة، عن عطاء بن يسار، عن
معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: ...... وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد
والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل
من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته
بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟"
قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Telah
menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah[1]
dan Abu Bakr bin Abi Syaibah[2] (yang keduanya berdekatan
dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata : Telah menceritakan
kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim[3], dari Hajjaaj Ash-Shawaaf[4],
dari Yahyaa bin Abi Katsiir[5], dari Hilaal bin Abi
Maimuunah[6],
dari ‘Athaa’ bin Yasaar[7], dari Mu’aawiyyah bin
Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang
menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari
aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing
yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah
sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya,
lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan.
Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau
menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu
kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada
budak wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?’.
Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau
adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita
beriman”.
Selain Muslim,
hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad 5/447, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
11/19-20 dan Al-Musnad no. 825, An-Nasaa’iy no. 1218, Abu Dawud no.
930 & 3276, Ibnu Hibbaan no. 165 & 2247, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy
no. 1398-1399, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 19/398-399, Ibnul-Jaaruud
no. 212, dan yang lainnya.
Hadits di atas
dianggap mudltharib oleh As-Saqqaaf dan muqallid-nya. Berikut
perkataan yang dibawakan muqallid-nya :
Hadis
ini mengidap illah/penyakit dan syudzûdz/keganjilan
dalam kandungannya, di mana dalam riwayat para muhaddis lain dan dengan jalur
yang shahih juga ia diriwayatkan dengan redaksi berbeda yang tidak mengandung
keganjilan itu. Ini artinya hadis Jâriyah dari riwayat Atha’ ibn Yasâr dari
Mu’awiyah ibn Hakam adalah muththarib!
Para ulama hadis di antaranya Abdurrazzâq ash
Shan’âni telah meriwayatkan pertanyaan Nabi saw. kepada si budak wanita
tersebut adalah demikian:
Perhatikan
riwayat Abdurrazzâq ash Shan’âni dalam Mushannaf-nya9/175: Ia
meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ibnu Juraij, ia
berkata, Athâ’ mengabarkan kepadaku, ”…..: (setelah menyebutkan kisah budak
wanita yang teledor dalam mengembalakan kambing tuannya yang berakhir dengan
ditempelangnya budak tersebut kemudian penyesalan tuannya yang akhirnya
bermaksud memerdekakannya. Nabi saw. Memintanya agar dihadirkan dan setelah ia
hadir, Nabi saw. bertanya kepada demikian):
قال: أَ تَشْهَدِيْنَ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ الله؟
قالتْ: نعم.
قال: : و أنَّ مُحَمًَّدًا رسولُهُ؟
قالتْ : نعمْ.
قال : وأنَّ الْموتَ و البَعْثَ حَقٌّ؟
قالتْ : نعمْ.
قال: وأنَّ الجْنَّةَ و النارَ حَقٌّ؟
قالتْ : نعمْ.
قال: فَاعْتِقْها.
“Nabi
bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau
saw. bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?”
Ia
menjawab, “Ya.”
Nabi
saw. bertanya, “Apakah engkau beriman bahwa kematian dan kebangkitan setelah
kematian haq?”
Ia
menjawab, “Ya.
Nabi
saw. bertanya lagi, ”Apakah engkau beriman bahwa surga dan nereka itu haq?”
Ia
menjawab, ”Ya.”
Maka
setelah selesai, Nabi saw. bersabda, “Merdekakan dia!”
Hadis
di atas adalah shahih sanadnya bahkan ia sangat tinggi/’âlin, karena
mata rantai periwayatannya singkat!
Saya
(Abul-Jauzaa’) berkata :
Perkataan di atas
lah yang sebenarnya berpenyakit dan mengandung keganjilan !
Hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq Ash-Shan’aaniy (9/175 no. 16815) adalah hadits
lain yang berbeda sanad dan matannya. ‘Abdurrazzaq berkata : Dari Ibnu
Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’ : Bahwasannya ada
seorang laki-laki yang mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan
kambingnya……dst.
1.
‘Athaa’
dalam sanad ‘Abdurrazzaaq bukanlah Ibnu Yasaar. Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal
(20/126-127) tidak menyebutkan satu pun murid dari ‘Athaa’ bin Yasaar bernama
Ibnu Juraij (‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy).
Begitu juga saat menyebut biografi Ibnu Juraij (18/339-344), tidak disebutkan
satu pun gurunya yang bernama ‘Athaa’ bin Yasaar. Adapun guru Ibnu Juraij
adalah ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ‘Athaa’ bin As-Saaib, dan ‘Athaa’
Al-Khurasaaniy. Ketiga ‘Athaa’ yang merupakan guru Ibnu Juraij tadi juga tidak
diketahui penerimaan dan penyimakan riwayatnya dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam
[lihat Tahdziibul-Kamaal 20/69-72, 87-88, 106-108].
Menurut Ibnu
Hajar, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah adalah seorang tabi’iy tsiqah, namun
banyak melakukan irsal[8] [Taqriibut-Tahdziib
hal. 677 no. 4623]. ‘Athaa’ bin As-Saaib adalah seorang tabi’iy yang shaduuq,
namun bercampur hapalannya [idem, hal. 678 no. 4625].[9]
‘Athaa’ Al-Khuraasaaniy adalah seorang tabi’iy yang shaduuq,
banyak keliru, melakukan irsal dan tadliis [idem, hal. 679
no. 4633].[10]
Sebagai catatan
kecil : Orang-orang yang meriwayatkan hadits dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam –
sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy – antara lain : ‘Athaa’ bin Yasaar,
Katsiir bin Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan.
2.
Tidak
disebutkan bahwa laki-laki dari shahabat tadi adalah Mu’aawiyyah bin Al-Hakam
As-Sulamiy. Lantas bagaimana bisa dipastikan bahwa ia adalah Mu’aawiyah bin
Al-Hakam As-Sulamiy ?. Tentu saja kita tidak membutuhkan jawaban : ‘pokoknya’
atau yang semisal.
Hadits mudltharib
dalam matan-nya itu dianggap jika ia punya pokok sanad yang sama,
sedangkan di sini tidak.
Tidak adanya
kepastian siapakah di antara tiga orang ‘Atha’ yang diambil riwayatnya oleh
Ibnu Juraij saja sudah merupakan catatan tersendiri. Lantas, bagaimana
bisa riwayat ini dianggap sebagai pen-ta’lil riwayat Mu’aawiyyah bin
Al-Hakam As-Sulamiy yang dibawakan oleh Al-Imam Muslim ?
Adapun dari sisi
matan hadits, maka ada perbedaan di antara keduanya. Perbedaan tersebut adalah
:
a.
Pada
riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan bahwa laki-laki yang ingin membebaskan budak
tersebut ingin menghadiahkan kambing kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, sedangkan dalam riwayat Muslim tidak.[11]
b.
Pada
riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan pilihan yang diberikan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam setelah beliau bertanya kepada budak wanita tersebut;
apakah ia akan membebaskannya atau mempertahankannya (tidak membebaskannya).
Adapun dalam riwayat Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak memberikan pilihan, namun memerintahkannya untuk
membebaskannya. Di sini, muqallid As-Saqqaaf telah melakukan tadlis dalam
penampilan riwayat. Saya tidak tahu apakah ia lakukan dengan sengaja atau
tidak.[12]
Beberapa hal yang
disebutkan di atas telah cukup untuk mengatakan bahwa hadits yang dibawakan
‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf berbeda sanad dan matannya dengan
hadits yang dibawakan Muslim dalam Shahih-nya.
Kemudian ia pun
berkata :
Selain
Abdurrazzâq, hadis di atas juga telah diriwayatkan oleh:
1. Imam
Ahmad dalam Musnad,3/452.
2. Al
Haitsami dalam Majma’ az Zawâid,4.244 dan seluruh perawinya adalah
perawi hadis shahih.
3. Al
Bazzâr dalam Kasyfu al Astâr,1/14.
4. Ad
Dârimi dalam Sunan,2/187.
5. Al
Baihaqi dalam Sunan,10/57.
6. Ath
Thabarâni, 12/27 dengan sanad yang shahih.
7. Ibnu
al Jârûd dalam al Muntaqâ:931.
8. Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf,11/20.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa riwayat Muslim itu diriwayatkan secara ma’nan
(tidak dengan redaksi asli sabda Nabi saw.) atau paling tidak diduga demikian!
Dan dengan adanya dugaan, ihtimâl, maka gugurlah ber-istidlâl/berhujjah
dengannya! Sebab bagaimana kita akan membangun sebuah keyakinan dasar di atas
pondasi hadis yang diduga mengalami perubahan?!
Berikut riwayat-riwayat
yang ia maksud :
1.
Riwayat
Ahmad dalam Al-Musnad 3/452.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد
الرزاق ثنا معمر عن الزهري عن عبيد الله بن عبد الله عن رجل من الأنصار أنه جاء
بأمة سوداء وقال : يا رسول الله إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمنة أعتقتها
فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أتشهدين أن لا إله إلا الله قالت نعم قال
أتشهدين إني رسول الله قالت نعم قال أتؤمنين بالبعث بعد الموت قالت نعم قال اعتقها
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ayahku :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaq : Telah menceritakan kepada kami
Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari laki-laki kalangan
Anshaar : Bahwasannya ia datang dengan membawa seorang budak perempuan yang
hitam dan berkata : “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak mukmin, jika
menurutmu ini adalah wanita yang beriman, maka aku akan membebaskannya”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak tersebut
: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah ?”. Ia menjawab : “Ya”.' (Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam) bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah
?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kembali bertanya : “Apakah engkau beriman
dengan kebangkitan setelah mati ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau bersabda : "Bebaskanlah
dia".
Hadits ini shahih
– walau sebagian ada yang men-dla’if-kannya seperti Al-Baihaqiy dengan
alasan irsaal antara ‘Ubaidullah dengan shahabiyyah.
Sama seperti
komentar sebelumnya, ini adalah hadits yang berbeda dengan Mu’aawiyyah bin
Al-Hakam As-Sulamiy radliyallaahu ‘anhu. Shahabat yang disebutkan oleh
‘Ubaidullah mubham. Taruhlah misal kita anggap bahwa shahabat
tadi Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, maka itu musykil. ‘Ubaidullah bin
‘Abdillah ini adalah Ibnu ‘Utbah bin ‘Abdillah bin Mas’uud. Ia tidak dikenal
mempunyai riwayat dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam. Begitu juga sebaliknya.
2.
“Riwayat”
Al-Haitsamiy dalam Majmaa’uz-Zawaaid 4/244.
Orang tersebut
mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’.
Pertanyaannya : Sejak kapan Al-Haitsamiy mempunyai periwayatan hadits dalam Al-Majma’
? Ini adalah kebodohan akan kutubus-sunnah. Al-Haitsamiy berkata :
عن رجل من الأنصار أنه جاء بأمة
سوداء فقال: يا رسول الله إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمنة فأعتقها.
فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أتشهدين أن لا إله إلا
الله؟". قالت: نعم. قال: "أتشهدين أني رسول
الله؟". قالت: نعم. قال: "أتؤمنين بالبعث بعد
الموت؟". قالت: نعم. قال: "أعتقها".
رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح.
“Dari laki-laki
kalangan Anshaar : Bahwasannya ia datang dengan membawa seorang budak perempuan
yang hitam dan berkata : “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak mukmin,
jika menurutmu ini adalah wanita yang beriman, maka aku akan membebaskannya”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak tersebut
: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah ?”. Ia menjawab : “Ya”.' (Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam) bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah
?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kembali bertanya : “Apakah engkau beriman
dengan kebangkitan setelah mati ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau bersabda : "Bebaskanlah
dia".
Diriwayatkan oleh
Ahmad dan para perawinya adalah perawi Ash-Shahiih” [selesai].
Shighah semacam ini
bukanlah shighah periwayatan sebagaimana dikenal dalam kutubus-sunnah.
Oleh karena itu, para ulama yang menukil hadits dari kitab Al-Majma’ ini
sering mengatakan : “Dibawakan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’……”.
Bukan ‘diriwayatkan’. Harap diperhatikan.
3.
Riwayat
Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 1/14.
Al-Bazzaar
membawakan hadits yang semisal dengan no. 1 & 2, namun dengan sanad :
حدثنا
محمد بن عثمان ثنا عبيد الله ثنا ابن أبي ليلى، عن المنهال بن عمرو، عن سعيد بن
جبير، عن ابن عباس، قال : .....(الحديث)....
Telah
menceritakan kepada kami Muhamad bin ‘Utsmaan : Telah menceritakan kepada kami
‘Ubaidullah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal
bin ‘Amru, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :
“…..(al-hadits)….” [Kasyful-Astaar, 1/14 no. 13].
Komentarnya sama
dengan sebelumnya, bahwa ini adalah hadits yang berbeda dengan hadits
Mu’aawiyyah bin Al-Hakam.
Selain itu, sanad
riwayat ini lemah dengan kelemahan yang terletak pada Ibnu Abi Lailaa. Ia
adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Lailaa, seorang yang faqiih, namun
jelek hapalannya.[13]
4.
Riwayat
Ad-Daarimiy dalam As-Sunan 2/187.
Ad-Daarimiy
membawakan hadits yang semisal, yaitu :
أخبرنا
أبو الوليد الطيالسي ثنا حماد بن سلمة عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن الشريد قال أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت إن
على أمي رقبة وإن عندي جارية سوداء نويبية أفتجزىء عنها قال ادع بها فقال أتشهدين
أن لا إله إلا الله قالت نعم قال اعتقها فإنها مؤمنة
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-Waliid Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan
kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah,
dari Asy-Syariid, ia berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku punya kewajiban
membebaskan budak, sementara aku memiliki budak wanita berkulit hitam, apakah
sah untuknya?" Beliau menjawab : "Panggillah ia!”. Kemudian
beliau bersabda : "Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah ?". Budak itu menjawab : "Ya”.
Beliau bersabda : "Bebaskan dia, sesungguhnya ia adalah wanita
mukminah" [Sunan Ad-Daarimiy no. 2348; sanadnya hasan].
Ini adalah bukti
yang jelas akan tadlis As-Saqqaaf yang kemudian diikuti orang
tersebut tanpa adanya check dan re-check. Bagaimana tidak ?
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim adalah hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam
As-Sulamiy, sedangkan hadits ini diriwayatkan oleh Asy-Syariid (bin Suwaid
Ats-Tsaqafiy – orang tua dari ‘Amru bin Syariid) radliyallaahu ‘anhu.
Selain itu dapat
kita lihat bahwa sebab pembebasan budak dalam hadits ini dikarenakan ibu
Asy-Syariid yang mempunyai kewajiban untuk itu; sedangkan hadits Mu’aawiyyah
disebabkan karena ia telah menampar budaknya yang ia anggap teledor dalam menggembalakan
kambing-kambingnya.
5.
Riwayat
Al-Baihaqiy dalam As-Sunan, 10/57.
Al-Baihaqiy
membawakan hadits yang lafadhnya semisal dengan no. 1, 2, dan 3 dengan sanad :
١٩٩٨٦ - أخبرنا أبو زكريا بن أبي
إسحاق و أبو أحمد بن الحسن قالا : ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب، أنبأ محمد بن عبد
الله بن الحكم أنبأ ابن وهب، أخبرني يونس بن يزيد، عن ابن شهاب، عن عبيد الله بن
عبد الله بن عتبة : أن رجلا من الأنصار.....
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq dan Abu Ahmad bin
Al-Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas
Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hakam :
Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus bin Yaziid,
dari Ibnu Syihaab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah : “Bahwasannya ada
seorang laki-laki dari kalangan Anshaar……”.
Hadits ini sama
dengan hadits no. 1 yang sanadnya bertemu pada Az-Zuhriy (Ibnu Syihaab). Komentar
selanjutnya sama dengan no. 1.
6.
Riwayat
Ath-Thabaraaniy, 12/27.
Muqallid tersebut berkata
: “dengan sanad yang shahih”.
Ath-Thabaraaniy
berkata :
١٢٣٦٩ - حدثنا محمد بن عبد الله
الحضرمي ثنا يحيى بن الحسن بن فرات ثنا علي بن هاشم عن ابن أبي ليلى عن المنهال بن
عمرو والحكم عن سعيد بن جبير عن ابن عباس : .........(الحديث).......
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy : Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Al-Hasan bin Furaat : Telah menceritakan
kepada kami ‘Aliy bin Haasyim, dari Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal bin ‘Amru
dan Al-Hakam, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas : “…..(al-hadits)….” [Al-Mu’jamul-Kabiir,
12/26-27].
Hadits ini
semisal dengan no. 3 yang sanadnya bertemu/berporos pada Ibnu Abi Lailaa;
sekaligus di sinilah letak kelemahan sanad hadits ini – sebagaimana telah
disebutkan. Lantas bagaimana bisa dikatakan : “dengan sanad shahih” ?.[14]
7.
Riwayat
Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa no. 931.
Riwayat yang
dibawakan Ibnul-Jaaruud ini sanad dan matannya sama dengan no. 1; dimana
keduanya berporos pada ‘Abdurrazzaaq. Komentar tentang riwayat ini sama dengan
sebelumnya.
8.
Riwayat
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/20.
Ibnu Abi Syaibah
berkata :
٣٠٩٨٠ - حدثنا علي بن هاشم، عن ابن
أبي ليلى، عن المنهال، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، عن الحكم يرفعه : أن
رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إن على أمي رقبة مؤمنة، وعندي رقبة
سوداء أعجمية، فقال : إئتِ بها. فقال : أتشهدين أن لا إله إلا الله، وأني رسول
الله ؟. قالت : نعم. قال : فأعتقها.
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Haasyim, dari Ibnu Abi Lailaa, dari
Al-Minhaal, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Al-Hakam
secara marfu’ : “Sesungguhnya ibuku punya kewajiban membebaskan budak,
sementara aku memiliki budak wanita berkulit hitam non ‘Arab". Beliau
menjawab : "Panggillah ia!”. Kemudian beliau bersabda : "Apakah
engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan
bahwasannya aku adalah Rasulullah ?". Budak itu menjawab : "Ya”.
Beliau bersabda : "Bebaskan dia".
Sanad riwayat ini
lemah, karena kelemahan Ibnu Abi Lailaa, sebagaimana telah disebutkan. Selain
itu, posisi Al-Hakam setelah Ibnu ‘Abbaas dalam sanad di atas adalah keliru.
Yang benar adalah : “Dari Al-Minhaal, dari Sa’iid bin Jubair dan Al-Hakam,
keduanya dari Ibnu ‘Abbaas” – sebagaimana terdapat dalam riwayat
Ath-Thabaraaniy. Dalam thabaqah ini ada dua nama Al-Hakam, yaitu
Al-Hakam bin ‘Abdillah bin Ishaaq Al-A’raj dan Al-Hakam bin Miinaa’
Al-Anshaariy. Keduanya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas, bukan sebaliknya !!
Kemungkinan besar ini disebabkan oleh jeleknya hapalan Ibnu Abi Lailaa.
Telah kita
perinci apa yang disebutkan oleh muqallid tersebut. Nampak bagi kita
bahwa hadits yang ia bawakan adalah hadits yang berbeda dengan hadits
Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy; sanad maupun matannya. Lantas – sekali
lagi - bagaimana bisa ia simpulkan sebagai hadits mudltharib ? Apakah
yang bersangkutan belum paham apa hadits mudltharib itu ? Jika telah
paham, mungkin saja yang bersangkutan tidak mengecek apa yang ditulisnya
sehingga menyandarkan begitu saja kepada perkataan As-Saqqaaf yang bathil itu.
Garbage in garbage out.
Kemudian dalam
tulisannya, muqallid tersebut membawakan hadits lain yang diriwayatkan
Maalik dalam Al-Muwaththa’, Abu Dawud dalam As-Sunan, Ibnu Hibbaan
dalam Ash-Shahih, dan yang lainnya; yang kesemuanya tidak terlalu
bermanfaat untuk dikomentari – karena kasusnya adalah sama dengan
riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas.
Kesimpulannya, muqallid
tersebut tidak paham akan ilmu riwayat dan dirayat hadits sehingga
pembahasannya tidak nyambung.[15] Salah alamat. Tidak ada idlthirab
dalam hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam sebagaimana tidak ada ulama mutaqaddimiin
yang mengatakan sebagaimana dikatakan muqallid tersebut. Adapun
perkataannya :
Penegasan
Para Huffâdz Dan Ulama Hadis Bahwa Hadis Jâriyah Adalah Muthtarib!
Setelah
Anda mengetahui definisi hadis muthtarib dan ia adalah menyebabkan lemahhnya
sebuah hadis, maka sekarang perhatikan keterangan dan keputusan para ulama
tentang status hadis Jâriyah.
1. Imam
al Hafidz al Baihaqi:
Al
Hafidz al Baihaqi telah menegaskan bahwa hadis itu muthtarib. Ia berkata:
وهذا صحيح قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث
الاوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية. وأظنه إنما تركها من
الحديث لاختلاف الرواة في لفظه ؟ وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف
معاوية بن الحكم في لفظ الحديث .
“Ini
adalah hadis shahih, Muslim telah mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan
memotong (tidak keseluruhan/total riwayat) dari hadis (riwayat) al Awza’i dan
Hajâj ash Shawwâf dari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah (budak
perempuan). Mungkin ia meninggalkan (menyebutnya) dalam hadis itu disebabkan
perselisihan para perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan
dalam kitab as Sunan pada bab adz Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi
Mu’awiyah ibn Hakam dalam redaksi hadis.”
Lebih
lanjut baca juga as Sunan al Kubrâ,7/388.
Dan
seperti Anda saksikan bahwa al Hafidz al Baihaqi secara tegas mengatakan
bahwa hadis Jâriyah itu muththarib karena perselisihan perawinya dalam
menukil redaksi yang sebenarnya. Dan juga bahwa hadis itu tidak termasuk
riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Dan anggap benar hadis itu ada
dalam Shahih Muslim ia tidak diragukan lagi adalah hadis muththarib, seperti
telah kami buktikan sebelumnya! Dan yang mendukung kebenaran penegasan al
Baihaqi bahwa Imam Muslim tidak menyebutkannya sama sekali dalam bab tentang
pemerdekaan budak tidak pula dalam bab tentang keimanan dan nazar!
Saya katakan :
Telah diketahui
bahwa tidak setiap perselisihan itu dihukumi idlthirab. Lantas bagaimana
ia menghukumi dengan idlthirab padahal Al-Baihaqiy sendiri telah menshahihkannya
! Dan dimana letak perkataan Al-Baihaqiy bahwa hadits itu mudltharib ?
Adapun perkataan
Al-Baihaqiy :
قد
أخرجه مسلم مقطعا من حديث الاوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة
الجارية
“Telah
diriwayatkan oleh Muslim secara munqathi’ (terputus) dari hadits
Al-Auzaa’iy dan Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir tanpa
menyertakan kisah Al-Jaariyyah”.
Inilah yang dinafikkan
oleh Al-Baihaqiy. Al-Baihaqiy sama sekali tidak menafikkan keshahihannya. Jika
dikatakan bahwa hadits dengan kisah Jaariyyah tidak termasuk riwayat Muslim
dalam Shahih-nya, maka ini keliru. Telah nyata – dipersaksikan oleh para
huffaadh – bahwa hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam dengan kisah jariyyah
itu ada di dalam Shahih Muslim. Bukankah ada kaidah ushul : al-mutsbitu
muqaddamun ‘alan-naafiy ? karena yang menetapkan itu mengandung ilmu ?
Al-Baghawiy
setelah membawakan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy secara lengkap
(termasuk kisah jaariyyah) berkata :
هذا
حديث صحيح، أخرجه مُسلم عن أبي بكر بن أبي شيبة، عن إسماعيل بن إبراهيم، عن حجاج.
“Ini adalah
hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakr bin Abi
Syaibah, dari Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj” [Syahus-Sunnah,
3/239, tahqiq/ta’liq/takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth & Zuhair Syaawiisy;
Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403].
Al-Baghawiy
(436-516 H) ini berdekatan masanya dengan Al-Baihaqiy (w. 458 H).
Adz-Dzahabiy
berkata saat mengomentari hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy radliyallaahu
‘anhu di atas :
هذا
حديث صحيح رواه جماعة من الثقات عن يحيى بن أبي كثير عن هلال بن أبي ميمونة عن
عطاء بن يسار عن معاوية السلمي. أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وغير واحد من الأئمة
في تصانيفهم، يمرونه كما جاء ولا يعترضون له بتأويل ولا تحريف.
“Hadits ini shahih,
diriwayatkan oleh jama’ah perawi tsiqah dari Yahyaa bin Abi Katsiir,
dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Thaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah
As-Sulamiy. Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasaa’iy, dan lainnya
dari kalangan para imam yang memuatnya pada karya-karya mereka. Semuanya
memberlakukannya sebagaimana datangnya, tidak ada yang coba-coba melakukan ta’wil
dan tahrif” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar, hal. 16-17,
tashhih : ‘Abdurrahman bin Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet.
2/1388].
2. Imam
al Hafidz al Bazzâr
Imam al
Hafidz al Bazzâr telah menegaskan kemuththariban hadis itu dalam
Musnad-nya. Setelah meriwayatkan hadis itu dari sebuah jalurnya, ia berkata:
وَهَذَا قَدْ رُوِيَ نَحْوُه بأَلْفاظٍ مُخْتَلِفَةٍ.
“Hadis
ini telah diriwayatkan hadis serupa dengannya dengan beragam redaksi.”
Tidakkah ia
membaca bahwa perkataan tersebut diucapkan untuk hadits Ibnu ‘Abbaas (no. 3) ?
Jadi salah alamat jika perkataan itu ditujukan pada riwayat Mu’aawiyyah bin
Al-Hakam.
NB : Sekali lagi,
darimana ia menyimpulkan bahwa Al-Bazzaar menghukumi hadits itu sebagai mudltharib
dari perkataan di atas ? Ini sama seperti kasus Al-Baihaqiy di atas.
Nampaknya, ia benar-benar tidak paham tentang istilah-istilah hadits : mukhtalif
dan mudltharib. Selamat belajar kembali….
3. Al
Hafidz Ibnu Hajar al Asqallâni
Ibnu
Hajar –penutup para hafidz- menegaskan vonis serupa, dalam kitab at Talkhîsh al Khabîr-nya, ia mengatakan:
.وفي اللفْظِ مخالفةٌ كثِيْرَة
“Dan
pada redaksinya terdapat pertentangan yang sangat banyak.”
Dan al
Hafidz Ibnu Hajar tegas sekali dalam akidahnya bahwa tidak dibenarkan
mengatakan untuk Allah di mana. Ia mengabaikan hadis ini kendati bisa saja
sanadnya shahih, karena ia adalah hadis yang muththarib. Karenanya ia
menegaskan dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:
فإن إدراك العقول لاسرار الربوبية قاصر فلا يتوجه على حكمه لم ولا كيف
؟ كما لا يتوجه عليه في وجوده أين.
“Kerena
sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau
pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya:
Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada
keberadaan Dzat-nya: Di mana?.”
Perkataan
Al-Haafidh bahwa hadits tersebut terdapat banyak perselisihan, sama sekali
tidak menunjukkan idlthirab sebagaimana telah lalu komentarnya. Apalagi
sampai menyimpulkan bahwa beliau ‘menegaskan’ adanya idlthirab dari
perselisihan itu. Tidak kita temui perkataan Al-Haafidh di atas tentang idlthirab
kecuali dari tulisan muqallid tersebut.
Adapun penukilan
tentang perkataan Ibnu Hajar selanjutnya, justru hadits Mu’aawiyyah bin
Al-Hakam menjadi hujjah bagi semua golongan manusia yang mengaku Muslim.
Bukan perkataan sebaliknya, perkataan manusia yang menghujjahi nash.
Perhatikan pula
riwayat berikut :
حدثنا
وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير
فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر :
لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء.
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika
‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu
di masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin,
jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar
dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah
kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan
tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
Atsar di atas
menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah ta’ala. Sifat ini dipahami
oleh ‘Umar sebagaimana dhahir/hakekatnya, sehingga ia menunjuk ke arah langit
dimana Allah ta’ala berada. Apakah muqallid tersebut akan
mengatakan bahwa ‘Umar (bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu) telah
salah dan dirinya benar ?
Mujaahid
Al-Makkiy ketika menjelaskan ayat istiwaa’ berkata :
علا
على العرش
“Tinggi di atas
‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy secara mu’allaq dengan shighah
jazm, 6/2698].
Perkataan
Mujaahid didasarkan atas pengetahuannya terhadap makna (hakiki/dhahir) istiwaa’.
Al-Bukhaariy
berkata :
وقال
ضمرة بن ربيعة عن صدقة سمعت سليمان التيمي يقول لو سئلت أين الله لقلت في السماء
فإن قال فأين كان عرشه قبل السماء لقلت على الماء فإن قال فأين كان عرشه قبل الماء
لقلت لا أعلم قال أبو عبد الله وذلك لقوله تعالى { ولا يحيطون بشيء من علمه إلا
بما شاء } يعني إلا بما بين
Telah berkata Dlamrah
bin Rabii’ah, dari Shadaqah : Aku mendengar Sulaimaan At-Taimiy berkata :
“Seandainya aku ditanya : ‘dimana Allah’, pasti akan aku menjawab : ‘di
langit’. Jika ia berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum
(diciptakan) langit ?’ ; akan aku jawab : ‘di atas air’. Jika ia
kembali berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) air ?’
; akan aku jawab : ‘aku tidak tahu’ [Khalqu Af’alil-‘Ibaad oleh
Al-Bukhaariy, 2/38 no. 64, tahqiq Fahd bin Sulaimaan Al-Fahiid; Daaru Athlas
Al-Khadlraa’, Cet. 1/1425. Riwayat ini shahih. Diriwayatkan juga oleh
Al-Laalika’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan
Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no.
194.].
Diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin
Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah yang keempatnya’ (QS.
Al-Mujaadalah : 7), ia (Muqaatil) berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di
atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad
dalam As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan
yang lainnya dengan sanad hasan – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw,
hal. 138 no. 124; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1401].
Ahmad (bin
Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adl-Dlahhaak tentang ayat (yang
artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan
Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah
: 7); maka Adl-Dlahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di
atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka” [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail
Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan
Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
Diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah
menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin
Naafi’, ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di
atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya
sesuatu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud
dalam Al-Masaail hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy
1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Mukhtashar
Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
Pengetahuan
pembedaan dua hal dari para imam (Muqaatil, Adl-Dlahhak, dan Maalik) yang
disebutkan dalam tiga riwayat di atas didasari oleh pengetahuan terhadap makna
(hakiki/dhahir) nash. Mereka mengetahui makna sifat al-‘ulluw Allah yang
dengan itulah mereka menetapkan ‘aqidah tentang sifat tersebut kepada Allah.
Yang bersama mereka adalah ilmu-Nya, sedangkan Dzat-Nya tetap tinggi berada
di atas ‘Arsy sebagaimana telah menjadi ijma’ kaum muslimin :
‘Utsmaan bin
Sa’iid Ad-Daarimiy berkata :
قد
اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سماواتة
“Sungguh kaum
muslimin telah bersepakat terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada
di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya” [Al-Arba’iin fii Shifaati
Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no.
17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy berkata :
وأجمعوا
. . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه
“Dan mereka
(ulama Ahlus-Sunnah) telah berijma’ ….. bahwasannya Allah berada di atas
langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, dan bukan di bumi-Nya” [Risaalah ilaa
Ahlits-Tsaghar hal. 75 – dinukil melalui perantaraan I’tiqaad
Ahlis-Sunnah Syarh Ashhaabil-Hadiits oleh Muhammad Al-Khumais, hal. 22;
Wizaaratusy-Syu’uun Al-Islaamiyyah wal-Auqaaf wad-Da’wah wal-Irsyaad, Cet. Thn.
1419].[16]
Keberatan yang
menimpa rekan muqallid kita ini tidak memberikan satu pun mafsadat
bagi keabsahan ‘aqidah tentang Allah ‘azza wa jalla ini.[17]
4. Al
Hafidz al ‘Irâqi
Dalam
kitab Amâli-nya, Al Hafidz al ‘Irâqi telah menghukumi hadis Jâriyah dengan
redaksi: Di mana Tuhanmu? sebagai hadis muththarib. (Lebih lanjut baca Tanqîh
al Fuhûm al Âliyah:13.)
Kasusnya hampir
serupa dari yang lalu, dan saya tidak berhajat memperpanjang pembicaraan
tentangnya. Adapun buku Tanqiihul-Fuhuum Al-‘Aaliyyah (تنقيح الفهوم العالية فيما صح ومالم يصح من حديث الجارية) adalah tulisan Hasan bin ‘Aliy As-Saqqaaf yang nampaknya
selalu ia taqlid-i. Musibah…..
Demikian artikel
kecil ini ditulis. Semoga ada manfaatnya bagi para Pembaca sekalian.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’,
banyak mengambil faedah dari kitab Ad-Difaa' 'an hadiits Al-Jaariyyah oleh
'Abdullah bin Fahd Al-Khaliifiy] - bersambung ke Artikel
Ini.
[1]
Ia adalah Muhammad bin Ash-Shabbaah Ad-Duulabiy, Abu Ja’far
Al-Baghdaadiy Al-Bazzaaz; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Syaikh kami, tsiqah”. Ibnu Ma’iin berkata :
“Tsiqah ma’muun”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Ya’quub bin
Syaibah berkata : “Tsiqah, shahibu hadiits”. Abu Haatim berkata :
“Tsiqah, termasuk orang yang haditsnya dijadikan hujjah. Ahmad bin
Hanbal dan Yahyaa bin Ma’iin meriwayatkan hadits darinya, dan Ahmad
mengagungkan dirinya”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu
Hajar berkata : “Tsiqah haafidh”.
[Lihat : Al-Jarh
wat-Ta’diil 7/289 no. 1569, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/241 no. 1609, Ats-Tsiqaat
9/78, Tahdziibul-Kamaal 25/388-392 no. 5298, dan Taqriibut-Tahdziib
hal. 855 no. 6004].
[2]
Ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan
Al-‘Absiy, terkenal dengan nama Ibnu Abi Syaibah, seorang imam tsqah
yang masyhur; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh, shaahibut-tashaanif (mempunyai
banyak karangan/tulisan)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3600].
[3]
Ia adalah Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy
Abu Bisyr Al-Bashri, dikenal dengan Ibnu ‘Ulayyah; perawi yang dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Syu’bah berkata : “Ibnu
‘Ulayyah adalah raihanah-nya para fuqahaa’”. Ia juga berkata :
“Ibnu ‘Ulayyah adalah pemuka/pemimpin (sayyid) para muhadditsiin”.
‘Abdurrahman bin Mahdiy berkata : “Ibnu ‘Ulayyah lebih tsabt daripada
Husyaim”. Yahyaa bn Sa’iid berkata : “Ibnu ‘Ulayyah lebih tsabt daripada
Wuhaib”. Khaalid bin AlHaarits berkata : “Kami menyamakan Ismaa’il bin ‘Ulayyah
dengan Yunus bin ‘Ubaid”. Yaziid bin Haaruun berkata : “Aku memasuki kota Bashrah, dan tidak
ada seorang pun yang melebihi/menandingi Ibnu ‘Ulayyah dalam hadits”. Ahmad bin
Hanbal berkata : “Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, padanya akhir/puncak sifat tsabt di
kota Bashrah”.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Tsiqah,
orang yang tsabt dalam hal-ihwal para perawi (rijaal)”. Abu Dawud
As-Sijistaaniy berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalangan muhadditsiin yang
tidak pernah keliru, kecuali Ismaa’iil bin ‘Ulayyaah dan Bisyr bin
Al-Mufadldlal”. An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah, tsabt”. Ibnu Hajar
berkata : “Tsiqah, haafidh”.
[Lihat : Al-Jarh
wat-Ta’diil 2/153-155 no. 513, Tahdziibul-Kamaal 3/23-33 no. 417,
dan Taqriibut-Tahdziib hal. 136 no. 420].
[4]
Ia adalah Hajjaaj bin Abi ‘Utsmaan Ash-Shawaaf, Abush-Shalt
atau Abu ‘Utsmaan Al-Kindiy; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Yahyaa Al-Qaththaan berkata : “Ia seorang yang cerdas, benar (shahih),
lagi pandai”. Al-Bukhaariy berkata : “Tsiqah di sisi ahlul-hadiits”.
Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah”. Al-Fasawiy berkat : “Tsiqah”.
At-Tirmidziy berkata : “Tsiqah, haafidh di sisi ahlul-hadits”. Ahmad
berkata : “Ia seorang yang tsabt”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”.
Ibnu Khuzaimah berkata : “Aku mendengar Muhammad bin Yahya berkata : ‘Hajjaaj
Ash-Shawaaf seorang yang kokoh (matiin)’ – maksudnya, ia tsiqah lagi
haafidh”. Abu Zur’ah dan Abu Haatim berkata : “Tsiqah”. Ibnu
Hajar berkata : “Tsiqah haafidh”.
[Lihat : Ma’rifatuts-Tsiqaat
1/287 no. 271, Al-Ma’rifatu wat-Taarikh 2/127, Tahdziibul-Kamaal 5/443-444
no. 1123, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/153-154 no. 797, dan Taqriibut-Tahdziib
hal. 224 no. 1139].
[5]
Ia adalah Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaa’iy; perawi yang
dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ayyuub berkata : “Aku
tidak mengetahui seorang pun setelah Az-Zuhriy yang lebih mengetahui hadits
penduduk Madinah dibandingkan Yahyaa bin Abi Katsiir. Syu’bah berkata : “Yahyaa
bin Abi Katsiir lebih baik dalam hadits daripada Az-Zuhriy”. ‘Abdurrahmaan bin
Al-Hakam bin Basyiir bin Salmaan berkata : “Syu’bah mendahulukan Yahyaa bin Abi
Katsiir daripada Az-Zuhriy”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, hasanul-hadiits”.
Abu Haatim berkata : “Seorang imam yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari
orang yang tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat.
Al-‘Uqailiy berkata : “Ia disebutkan dengan (pensifatan) tadliis”. Ahmad
berkata : “Yahyaa bin Abi Katsiir adalah orang yang paling tsabt. Ia
sebanding dengan Az-Zuhriy dan Yahyaa bin Sa’iid. Apabila Az-Zuhriy
menyelisihinya, maka yang dianggap (diunggulkan) adalah perkataan Yahyaa bin
Abi Katsiir”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Ma’ruuf dengan sifat tadliis”.
Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah tsabt, namun ia melakukan tadlis dan
irsal”.
[lihat : Al-Jarh
wat-Ta’diil 9/141-142 no. 599, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/357 no. 1994, Ats-Tsiqaat
7/591, Tahdziibul-Kamaal 31/504-
no. 6907, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/302-303
no. 4944, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 1065 no. 7682].
Catatan : Dalam
hadits ini, An-Nasaaiy telah membawakan lafadh tahdits dari Yahyaa bin
Abi Katsiir sehingga hilanglah keraguan akan tadlis yang ia lakukan.
An-Nasaa’iy berkata :
أخبرنا
عمرو بن علي قال حدثا يحيى قال حدثنا حجاج قال حدثني يحيى بن أبي كثير قال حدثني
هلال بن أبي ميمونة عن عطاء بن يسار عن معاوية بن الحكم السلمي قال :
.....(الحديث)....
Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata :
Telah menceritakan kepadaku Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar,
dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “….(al-hadits)…”.
Sanad ini shahih.
[6]
Ia adalah Hilaal bin ‘Aliy bin Usaamah, dikatakan juga :
Hilaal bin Abi Maimuunah dan Hilaal bin Abi Hilaal, Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy
Al-Madaniy; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Abu Haatim berkata : “Ditulis haditsnya, dan ia seorang syaikh”. An-Nasaa’iy
berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)”. Ibnu Hibbaan
memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Haakim berkata : “Telah menjadi satu
kesepakatan berhujjah atas riwayat-riwayat Hilaal bin Abi Hilaal – dan dikatakan
: Hilaal bin Abi Maimuunah, dikatakan : Ibnu ‘Aliy, Ibnu Usaamah, yang
kesemuanya itu adalah satu orang yang sama”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”.
Malik telah mengambil riwayat darinya dalam Al-Muwaththa’ – dan
sebagaimana telah dikenal di kalangan muhadditsiin bahwa hal itu
ekuivalen dengan pentsiqahan, sebagaimana perkataan Ahmad dan yang lainnya :
“Setiap orang yang diambil riwayatnya oleh Maalik, maka ia tsiqah (menurutnya)”.
Al-Fasawiy berkata : “Tsiqah, hasanul-hadiits”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah”.
[lihat : Al-Jarh
wat-Ta’diil 9/76 no. 300, Ats-Tsiqaat 5/505, Al-Mustadrak 1/208,
Al-Ma’rifatu wat-Taariikh 2/466, Tahdziibul-Kamaal 30/343-345 no.
6626, Mausuu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 709 no. 3756, dan Taqriibut-Tahdziib
hal. 1028 no. 7394].
Catatan :
As-Saqqaaf mengkritik secara tidak fair terhadap Hilaal bin Abi
Maimuunah ini dalam Tanqiihul-Fuhuum hal. 9 dimana ia menurunkan derajat
Hilaal dari seorang tsiqah menjadi shaduuq. Ikhwan sekalian dapat
menilai bagaimana pandangan para muhadditsiin terhadap Hilaal ini.
[7]
Ia adalah ‘Athaa’ bin Yasaar Al-Hilaaliy, Abu Muhammad
Al-Madaniy Al-Qaashsh, maula Maimuunah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam; perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tsiqah”.
An-Nasa’’iy juga mentsiqahkannya. Al-‘Ijliy berkata : “Tabi’iy tsiqah”.
Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah
faadlil”.
[lihat Al-Jarh
wat-Ta’diil 6/338 no. 1867, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/138 no. 1245, Ats-Tsiqaat
5/199, Tahdziibul-Kamaal 20/125-128 no. 3946, dan Taqriibut-Tahdziib
hal. 679 no. 4638].
[8]
Ia tidak mendengar hadits dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, Ibnu
‘Umar, Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, Ummu Salamah, Ummu Haani’, Ummu Kurz,
Jubair bin Muth’im, Abu Bakr Ash-Shiddiq, ‘Utsmaan bin ‘Affaan, Raafi’ bin
Khudaij, Usaamah bin Zaid, Mu’aadz, dan ‘Utbaan bin Usaid radliyallaahu
‘anhum ajma’in [Jaami’ut-Tahshiil oleh Al-‘Alaa’iy, hal. 237, no.
520].
[9]
Lihat ta’qib-nya dalam At-Tahriir 3/4-5 no.
4592.
[10]
Lihat ta’qib-nya dalam At-Tahriir 3/16-17 no. 4600.
[11]
Yaitu dalam lafadh :
وكانت له شاة صفي يعني عزيزة في غنمه تلك فأراد أن
يعطيها نبي الله صلى الله عليه و سلم
“Dan ia mempunyai
seekor kambing yang baik/bagus. Lalu ia ingin memberikannya kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam…”.
Dalam
penyajiannya, ia menyingkat hadits dengan perkataannya :
“(setelah
menyebutkan kisah budak wanita yang teledor dalam mengembalakan kambing tuannya
yang berakhir dengan ditempelangnya budak tersebut kemudian penyesalan tuannya
yang akhirnya bermaksud memerdekakannya. Nabi saw. Memintanya agar dihadirkan
dan setelah ia hadir, Nabi saw. bertanya kepada demikian)…..”
Tentu saja faktor
ini ikut andil dalam kaburnya esensi dirayah hadits yang sedang dibahas.
[12]
Dalam Al-Mushannaf (tahqiq : Habiibur-Rahmaan Al-A’dhamiy;
Al-Majlisul-‘Ilmiy, Cet. 1/1392) disebutkan :
...قالت
: نعم، وأن الجنة والنار حق ؟ قالت : نعم، فلما فرغ قال : أعتق أو أمسك ؟ ......
“….Budak itu
menjawab : ‘Benar’. (Beliau bersabda) : ‘Dan bahwasannya surga dan neraka
itu benar ?’. Ia menjawab : ‘Benar’. Ketika telah selesai, beliau bersabda
: ‘Engkau akan bebaskan ia atau tidak ?’……”.
Bandingkan dengan
nukilannya di atas !
[13]
Perinciannya adalah sebagai berikut :
Al-Bukhaariy
berkata : “Aku tidak meriwayatkan sedikitpun dari Ibnu Abi Lailaa”. Ia juga
berkata : “Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Lailaa jujur, namun tidak
diketahui mana yang shahih dan yang dla’iif dari haditsnya, maka
haditsnya sangat dilemahkan”.
Al-‘Ijliy berkata
: “Orang Kuffah yang jujur lagi tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Laki-laki
yang mulia/terhormat”. Abu Haatim berkata : “Ibnu Abi Lailaa jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdhi)”.
Al-Fasawiy berkata : “Faqiih, tsiqah, ‘adil. Namun dalam haditsnya ada
sebagian kritikan. Layyinul-hadiits”.
At-Tirmidziy
berkata : “Sebagian ulama telah memperbincangkan Ibnu Abi Lailaa dari sisi
hapalannya. Ahmad berkata : ‘Tidak boleh berhujjah dengan hadits Ibnu Abi
Lailaa”. Di bagian lain At-Tirmidziy juga berkata : “Ibnu Abi Lailaa shaduuq
faqiih, hanya saja ia keliru dalam (penyampaian) sanad”. Al-Bazzaar berkata
: “Tidak haafidh (laisa bi-haafidh)”.
An-Nasaa’iy
berkata : “Hakim kota
Kuffah, salah seorang di antara ahli fiqh, namun tidak kuat dalam hadits”.
Ad-Daaruquthniy
berkata : “Tsiqah, dalam hapalannya ada sesuatu”. Di lain tempat ia
berkata : “Jelek hapalan, banyak kelirunya (radi’ul-hifdh, katsiirul-wahm)”.
Di lain tempat ia juga berkata : “Jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdh)”.
Ahmad bin Hanbal
berkata : “Ia orang yang jelek hapalannya, mudltharibul-hadiits. Fiqh
Ibnu Abi Lailaa lebih kami sukai daripada haditsnya; dalam haditsnya idlthiraab”.
Di lain tempat ia berkata : “Ibnu Abi Lailaa dla’iif. Dalam periwayatan
dari ‘Athaa’, ia banyak salahnya”.
Ibnu Ma’iin
berkata : “Laisa bi-dzaaka”. Di lain tempat ia berkata : “Sangat jelek
dalam hapalannya”. Syu’bah berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih
jelek hapalannya daripada Ibnu Abi Lailaa”. Ahmad bin Yuunus berkata : “Zaaidah
tidak meriwayatkan hadits dari Ibnu Abi Lailaa, dan ia meninggalkan haditsnya”.
Pernah disebutkan Ibnu Abi Lailaa di sisi Zaaidah, lalu ia berkata : “Ia orang
yang paling faqih di antara penduduk dunia. Dan dalam hadits ‘Aliy (bin
Syihaab), ia adalah orang yang paling tahu tentang diri kami”.
Abu Haatim berkata
: “Tempatnya kejujuran. Namun ia seorang yang lemah hapalannya. Ia tersibukkan
dalam urusan pengadilan (karena profesinya sebagai qadliy), lalu menjadi
buruk hapalannya (di bidang hadits). Tidak tertuduh berdusta, hanya saja ia
diingkari karena banyaknya kesalahan (yang ia lakukan). Ditulis haditsnya,
namun tidak boleh berhujjah dengannya”.
Ibnu ‘Adiy berkata
: “Bersamaan dengan kelemahan hapalannya, ia ditulis haditsnya”. Abu
Ahmad Al-Haakim berkata : “Kebanyakan haditsnya terbalik (maqluubah)”.
As-Saajiy berkata : Ia seorang yang jelek hapalannya, tidak berdusta, dipuji
dalam hal keutamaanya. Adapun dalam hadits, ia tidak digunakan sebagai hujjah”.
Ibnu Khuzaimah berkata : “Tidak haafidh, meskipun ia seorang yang faqih
lagi ‘alim”. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, sangat jelek dalam
hapalan”.
[lihat : Al-Jarh
wat-Ta’diil 7/322-323 no. 1739, Tahdziibul-Kamaal 25/622-628 no.
5406, Tahdziibut-Tahdziib 9/301-303 no. 503, Taqriibut-Tahdziib,
hal. 871 no. 6121, dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/38-40].
[14] Saya
tidak mengingkari bahwa hadits itu dengan seluruh jalannya adalah shahih (lighairihi).
Namun mengatakan bahwa sanad hadits Ath-Thabaraaniy adalah shahih, maka ini
tidak benar. Dalam peristilahan hadits, beda antara istilah : ‘hadits
shahih’ dengan ‘hadits isnaduhu shahih’. Istilah pertama itu merujuk
pemenuhan keseluruhan syarat shahih, termasuk bebas ‘illat dan syudzudz
– sehingga ini harus diperhatikan jalur-jalur lainnya; sedangkan istilah kedua
merujuk pemenuhan keshahihan pada dhahir sanad hadits tersebut saja,
tanpa penyertaan bebas ‘illat dan syudzudz. Selain itu, hadits
shahih jika disebutkan secara mutlak bisa bermakna shahih lidzaatihi (yang
memenuhi semua persyaratan shahih) ataupun shahih li-ghairihi (hadits
yang terangkat karena penguat-penguat dari jalan yang lainnya).
[15] Aneh
bin ajaibnya, ia membawakan definisi idlthirab dalam ilmu mushthalah.
Yang jadi pertanyaan : “Pahamkah ia tentang yang ditulisnya ? Apakah hanya
sekedar memperbanyak perkataan serta memenuhi tulisan agar terkesan padat dan
ilmiah ?”. Dalam ilmu mushthalah ada tiga persyaratan satu hadits dapat
dikatakan mudltharib :
a. Adanya
perselisihan yang nyata.
b. Bersatunya/berkumpulnya
mukharrij; yaitu ada perawi yang menjadi poros berkumpulnya riwayat.
c. Tidak memungkinkan
adanya pentarjihan atau penjamakan dari jalan-jalan yang berselisihan tersebut
(karena sama kuat) sesuai dengan kaidah-kaidah yang dikenal oleh muhadditsiin.
[lihat penjelasan
ini dalam Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Syarh Al-Mandhuumah Al-Baiquniyyah,
hal. 334-337].
[16] Ada perkataan menarik
dari muqallid tersebut :
Keyakinan
bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam
habis Al Qur’an. Allah berfirman:
وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ
الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي
لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ
عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .
“Dan
berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi
supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat
melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah
dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi
dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa
kerugian.” (QS.Ghafir/Al Mu’min; 36-37)
Dalam
ayat di atas tegas-tegas dikatakan bahwa siapa yang menganggap Allah itu berada
di langit adalah telah terhalangi dari ma’rifah, mengenal Allah SWT dengan
sebenar arti pengenalan. Jadi penyakit kayakinan bahwa Allah berada di langit
atau ditempat tertentu adalah penyakit kronis. Semoga Allah menyelamatkan kita
dari keyakinan itu. Amîn.
Justru QS.
Al-Mukmin : 36-37 adalah dalil bagi kita untuk meng-hujjah-inya !
Perintah Fir’aun
kepada Hammaan untuk membuatkan bangunan yang tinggi agar ia bisa melihat Allah
mengandung pengertian bahwa Muusaa telah mendakwahinya untuk beriman kepada
Allah yang berada di atas langit. Dan ia (Fir’aun) mendustakannya !
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy (260-324 H) berkata :
وقال
تعالى حكاية عن فرعون لعنه الله: (يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب
السماوات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا) ، فكذب فرعون نبي الله موسى عليه
السلام في قوله : إن الله عز ولج فوق السموات .
“Allah ta’ala berfirman
saat menceritakan Fir’aun – semoga Allah melaknatnya - : ‘Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu,
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan
sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta’ ; Fir’aun telah mendustakan
Nabiyullah Muusaa ‘alaihis-salaam tentang perkataannya :
‘sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit-langit” [Al-Ibaanah,
hal. 33; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Abu ‘Utsmaan
Ismaa’iil Ash-Shaabuuniy (373-449 H) berkata saat mengomentari ayat tersebut :
وإنما
قال ذلك لأنه سمع موسى - عليه السلام - يذكر أن ربه في السماء، ألا ترى إلى قوله :
(وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا) يعني في قوله : إن في السماء إلها.
“Ia (Fir’aun
berkata seperti itu karena ia mendengar Muusaa bercerita bahwa Rabb-Nya ada di
atas langit. Cobalah perhatikan ucapannya : ‘Sungguh aku memandangnya
seorang pendusta…’. Yang dimaksud di sini adalah perkataan Muusaa bahwa di
langit itu ada tuhan (Allah)” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, hal.
37 no. 21, tahqiq : Badr Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet.
2/1415].
Pendustaan Allah
kepada Fir’aun dalam ayat di atas adalah pendustaan karena kesombongannya yang
menolak dakwah Muusaa yang kemudian ia memerintahkan Hammaan untuk membuat
bangunan yang tinggi agar bisa melihat Allah; padahal ia (sebenarnya) tahu apa
yang dilakukannya itu tidak akan bisa melihat Allah ‘azza wa jalla.
[17]
Sebagai tambahan referensi, bisa merujuk ke artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/at-tafwidl.html
, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/penjelasan-asy-syaikh-abdul-qadiir-al.html
, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar