Beberapa waktu lalu (tepatnya setahun yang lalu) saya pernah
menulis tentang ringkasan hukum-hukum seputar puasa Ramadlan. Tulisan ini
pernah saya sumbangkan di MyQ Forum yang dengan itu di forward di beberapa Blog
ikhwah. Pernah juga saya imel kan
ke milis salafyitb.
Setelah dibaca kembali, ternyata beberapa kekeliruan yang
terhimpun dalam tulisan tersebut; mulai salah pemberian nomor hadits,
ketidaktepatan terjemahan, salah tulis, salah nukil, dan yang lain sebagainya.
Oleh karena itu, beberapa hari yang lalu (yang sebenarnya sudah dicicil
waktu-waktu sebelumnya - kemudian terhenti) saya coba perbaiki apa yang menjadi
kekeliruan di tulisan sebelumnya. Semoga Allah mengampuni kesalahan saya.
Harapan saya, semoga tulisan ini menjadi amal baik bagi saya di sisi Allah dan
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amien......
Keutamaan-Keutamaan
Puasa
Allah ta’ala telah berfirman :
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ
وَالصّادِقِينَ وَالصّادِقَاتِ وَالصّابِرِينَ وَالصّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ
وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدّقِينَ وَالْمُتَصَدّقَاتِ والصّائِمِينَ والصّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِـظَاتِ وَالذّاكِـرِينَ اللّهَ كَثِيراً
وَالذّاكِرَاتِ أَعَدّ اللّهُ لَهُم مّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”
(QS. Al-Ahzab : 35).
Dalam ayat lain Allah juga telah
berfirman :
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لّكُمْ إِن
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 184).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah menjelaskan dalam sunnahnya bahwasannya puasa merupakan benteng
dari hawa nafsu syahwat, penangkal dari sambaran api neraka, dan Allah ta’ala
telah mengkhususkannya sebagai nama salah satu pintu surga. Beberapa keutamaan
tersebut adalah sebagai berikut :
- Puasa
Sebagai Perisai
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada orang yang diliputi nafsu birahi untuk menikah. Jika dia tidak mampu untuk melaksanakannya, maka ia diperintahkan berpuasa untuk mengekang nafsu syahwatnya. Sebab puasa bisa menahan gejolak anggota tubuh dengan kelemahannya sehingga dapat mengekangnya dari tindakan yang menyimpang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر
وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah
mampu (ba’ah), maka hendaknya dia menikah, karena menikah itu dapat menjaga
pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu untuk
menikah, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu bisa menjadi perisai
baginya” (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400
dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ; dan ini adalah lafadh Muslim).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh berbagai kesenangan syahwat. Oleh sebab itu, jelaslah kiranya bagi kita bahwa puasa itu dapat mementahkan syahwat dan menumpulkan ketajamannya yang bisa mendekatkan kepada api neraka, dan puasa itu bisa menjadi penyekat antara orang yang berpuasa dengan neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh berbagai kesenangan syahwat. Oleh sebab itu, jelaslah kiranya bagi kita bahwa puasa itu dapat mementahkan syahwat dan menumpulkan ketajamannya yang bisa mendekatkan kepada api neraka, dan puasa itu bisa menjadi penyekat antara orang yang berpuasa dengan neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
إنما الصيام جنة يستجن بها العبد من النار
“Puasa itu adalah perisai
yang dapat melindungi diri seorang hamba dari api neraka” (HR. Ahmad 3/396; shahih bisyawaahidihi sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh Al-Arna’uth).
Dan tentunya, hanya puasa yang ikhlash dan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya sajalah yang dapat menjadi perisai dari api neraka.
Dan tentunya, hanya puasa yang ikhlash dan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya sajalah yang dapat menjadi perisai dari api neraka.
- Puasa Dapat Memasukkan
Seseorang ke dalam Surga
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa puasa itu dapat menjauhkan diri dari api neraka, yang otomatis mendekatkan dapat pelakunya kepada surga, bi-idznillaah.
Diriwayatkan dari Abu Umamah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت مرني بأمر آخذه عنك
قال عليك بالصوم فإنه لا مثل له
"Aku pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam. Maka aku berkata kepada beliau : ”(Wahai Rasulullah), tunjukkan
kepadaku suatu amalan yang dapat aku ambil darimu”. Maka beliau menjawab : “Hendaknya
kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada tandingan (pahala)-nya” (HR.
An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2220, Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid
hal. 232, dan Al-Hakim no. 1533 dengan sanad shahih. Lafadh ini adalah milik
An-Nasa’i. Lihat Shahih Sunan An-Nasa’i 2/122).
- Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Pahala Tak Terhitung Nilainya.
- Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Dua Kebahagiaan.
- Bau Mulut Orang yang
Berpuasa Lebih Harum di Hadapan Allah Ta’ala daripada Bau Misk (Kesturi).
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Telah berfirman Allah ta’ala (merupakan hadits qudsi) :
كل عمل بن آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به والصيام جنة
فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث يومئذ ولا يسخب فإن سابه أحد أو قاتله فليقل إني
امرؤ صائم والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله يوم القيامة من ريح
المسك وللصائم فرحتان يفرحهما إذا أفطر فرح بفطره وإذا لقي ربه فرح بصومه
“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri
kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberi pahala
atasnya. Puasa itu adalah perisai, maka pada saat berpuasa hendaknya seseorang
diantara kamu tidak melakukan rafats (yaitu
: berjima’ dan berbicara keji - Pent.) dan tidak juga membuat kegaduhan.
Jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia
mengatakan,”Sesungguhnya aku berpuasa”. Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi
Allah daripada bau minyak kesturi di hari kiamat. Dan bagi orang yang berpuasa
itu mempunyai dua kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan
Rabbnya, ia gembira dengan puasanya” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim
no. 1151; dan ini lafadh Muslim).
- Puasa dan Al-Qur’an akan
Memberi Syafa’at Bagi Orang Yang Menjalankannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة يقول الصيام أي رب
منعته الطعام والشهوات بالنهار فشفعني فيه ويقول القرآن منعته النوم بالليل فشفعني
فيه قال فيشفعان
“Puasa dan Al-Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada
seorang hamba pada hari kiamat nanti. Puasa akan berkata : “Wahai Tuhanku, saya
telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat di waktu siang, karenanya
perkenankanlah aku untuk memberikan syafa’at kepadanya”. Dan Al-Qur’an berkata
: “Saya telah melarangnya dari tidur di malam hari, karenanya perkenankan aku
untuk memberi syafa’at kepadanya”. Beliau bersabda,”Maka syafa’at keduanya
diperkenankan” (HR. Ahmad 2/174, Al-Hakim no. 2088, dan Abu Nu’aim 8/161
dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ; hasan shahih. Lihat Shahihul-Jaami’
no. 3882).
- Puasa Sebagai Kaffarat
(Penebus Dosa)
Diantara keutamaan yang hanya dimiliki oleh ibadah puasa adalah bahwa Allah ta’ala telah menjadikan puasa sebagai penebus dosa bagi orang yang mencukur kepala dalam ihram karena ada halangan baginya, baik karena sakit atau karena gangguan yang terdapat pada kepala (lihat QS. Al-Baqarah : 196). Dan puasa juga dapat menjadi kaffarat (penebus) karena tidak mampu memotong hewan kurban (QS. Al-Baqarah : 196), membunuh seseorang yang berada dalam perjanjian karena kesalahan atau tidak sengaja (QS. An-Nisaa’ : 92), melanggar sumpah (QS. Al-Maaidah : 89), membunuh binatang buruan pada saat ihram (QS. Al-Maaidah : 95), dan dhihar [1] (QS. Al-Mujaadilah : 3-4).
Demikian halnya dengan puasa dan shadaqah, keduanya berperan serta dalam penebus pelanggaran dosa seseorang, baik di dalam keluarga, harta, atau tetangga. Dari Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
فتنة الرجل في أهله وماله وولده وجاره تكفرها الصلاة والصوم
والصدقة والأمر والنهي
“Fitnah (ujian) seseorang dalam keluarga (istri), harta,
anak, dan tetangganya dapat ditutupi dengan shalat, puasa, shadaqah, dan amar
ma’ruf nahi munkar” (HR. Al-Bukhari no. 525 dan Muslim no. 144; dan ini
lafadh Al-Bukhari).
- Ar-Rayyan Disediakan Bagi Orang-Orang yang Berpuasa
إن في الجنة بابا يقال له الريان يدخل منه الصائمون يوم
القيامة لا يدخل معهم أحد غيرهم يقال أين الصائمون فيدخلون منه فإذا دخل آخرهم
أغلق فلم يدخل منه أحد (من دخل شرب ومن شرب لم يظمأ أبدا)
“Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat satu pintu yang
diberi nama Ar-Rayyaan. Dari pintu tersebut orang-orang yang berpuasa akan
masuk di hari kiamat nanti dan tidak seorang pun yang masuk ke pintu tersebut
kecuali orang-orang yang berpuasa. Dikatakan kepada mereka : “Dimana
orang-orang yang berpuasa ?”. Maka mereka pun masuk melaluinya. Dan apabila
orang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu tersebut ditutup sehingga
tidak ada seorangpun yang masuk melalui pintu tersebut. (Barangsiapa yang
masuk, maka ia akan minum minuman surga. Dan barangsiapa yang minum minuman
surga, maka ia tidak akan haus selamanya)” (HR. Al-Bukhari no. 1896 dan
Muslim 1152, dan tambahan terakhir – di dalam kurung – adalah riwayat dari Ibnu
Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1902).
Keutamaan-Keutamaan
Bulan Ramadlan
- Bulan Al-Qur’an
Allah ta’ala telah menurunkan Kitab-Nya
yang mulia sebagai petunjuk bagi umat manusia, obat penyembuh bagi orang-orang
yang beriman, petunjuk kepada jalan yang lurus, penunjuk kepada jalan
kebajikan, dan menjadikan Lailatul-Qadar di bulan Ramadlan penuh dengan
kebaikan. Allah ta’ala berfirman :
شَهْرُ رَمَضَانَ الّذِيَ أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى
لّلنّاسِ وَبَيّنَاتٍ مّنَ الْهُدَىَ وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 185).
- Setan-Setan Dibelenggu, Pintu-Pintu Neraka Ditutup, dan Pintu-Pintu Surga Dibuka
Pada bulan yang penuh berkah ini, kejahatan di muka bumi ini
menjadi sedikit, karena jin-jin jahat dibelenggu dengan rantai dan diborgol sehingga
mereka tidak bisa melakukan pengrusakan terhadap umat manusia sebagaimana
mereka bisa melakukannya pada bulan-bulan selain Ramadlan. Karenanya kaum
muslimin menjadi lebih berkonsentrasi menjalankan puasa yang merupakan
pengekang hawa nafsu, dan juga mereka sibuk membaca Al-Qur’an dan berbagai
macam ibadah lainnya yang mampu mendidik sekaligus menyucikan jiwa.
Ditutup pintu Jahannam dan dibuka pintu-pintu surga karena
banyak amal shalih serta ucapan dan perkataan yang bagus dilakukan. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبواب النار وصفدت
الشياطين
“Jika bulan Ramadlan tiba, maka pintu-pintu surga dibuka
dan pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan pun dibelenggu” (HR.
Al-Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079; ini adalah lafadh Muslim).
- Lailatul-Qadr
Allah ta’ala telah memilih bulan Ramadlan dikarenakan pada
bulan tersebut Al-Qur’an diturunkan. Pada bulan tersebut terdapat
Lailatul-Qadar, malam penuh barakah yang lebih baik daripada seribu bulan.
Penjelasan selanjutnya akan diuraikan kemudian.
Dorongan Mengerjakan
Puasa Ramadlan
- Pengampunan
Dosa
Pembuat Syari’at yang Maha Bijaksana telah memotivasi untuk berpuasa di bulan Ramadlan seraya menjelaskan keutamaan dan ketinggian kedudukannya. Sekalipun orang yang menjalankan puasa itu memiliki tumpukan dosa bak buih di lautan, niscaya dosa-dosa itu akan diampuni dengan melaksanakan ibadah yang penuh berkah ini, yaitu ibadah puasa. Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan dengan penuh
keimanan dan mengharapkan pahala (ihtisaaban) [2],
niscaya akan diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 759).
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
الصلاة الخمس والجمعة إلى الجمعة كفارة لما بينهن ما لم تغش
الكبائر
“Shalat yang lima waktu, antara Jum’at ke Jum’at berikutnya,
antara Ramadlan ke Ramadlan berikutnya; bisa menghapuskan dosa-dosa yang
terjadi diantaranya, jika dosa-dosa besar dihindari” [3] (HR.
Muslim no. 233).
- Dikabulkannya Doa dan
Pembebasan dari Api Neraka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن لله عتقاء في كل يوم وليلة لكل عبد منهم دعوة مستجابة
“Sesungguhnya setiap hari Allah membebaskan (beberapa
hamba-Nya yang muslim dari api neraka) dari api neraka. Setiap muslim yang
berdoa (di waktu tersebut) pasti akan dikabulkan” (HR. Ahmad 2/254, Abu
Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/257, ; dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth dalam ta’liq-nya atas Musnad Ahmad).[4]
- Termasuk dalam Golongan Para Shiddiqiin dan Syuhadaa’
Dari ‘Amar bin Murrah Al-Juhhani bercerita :
جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت
إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول الله وصليت الصلوات الخمس وأديت الزكاة وصمت
رمضان وقمته فممن أنا قال من الصديقين والشهداء
Ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam seraya berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq untuk disembah melainkan Allah dan aku
bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, (dan aku) mengerjakan shalat lima
waktu, menunaikan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadlan dan shalat (tarawih) di
dalamnya; termasuk golongan siapakah aku ini?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam menjawab : “Termasuk golongan para shiddiqiin dan syuhadaa’ “
(HR. Ibnu Hibban dalam Mawaaridudh-Dham’aan hal. 36 dengan sanad
shahih).
Syarat Wajib dan Rukun
Puasa
- Syarat
Wajib Puasa Ada
Enam :
a. Islam
b. Baligh (Dewasa)
c. Berakal Sehat
d. Mukim
e. Berkesanggupan Puasa
f. Tidak dalam Keadaan Haidl dan Nifas - Rukun Puasa Ada Dua :
a. Niat (dalam Hati)
b. Meninggalkan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa (Makan, Minum, Jima’ di Siang Hari, dan Muntah yang Disengaja).
b. Meninggalkan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa (Makan, Minum, Jima’ di Siang Hari, dan Muntah yang Disengaja).
Larangan Berbuka dengan
Sengaja pada Bulan Ramadlan
Dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallaahu
‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
بينا انا نائم إذ أتاني رجلان فأخذا
بضبعي فأتيا بي جبلا وعرا فقالا لي اصعد حتى إذا كنت في سواء الجبل فإذا انا بصوت
شديد فقلت ما هذه الأصوات قال هذا عواء أهل النار ثم انطلق بي فإذا بقوم معلقين
بعراقيبهم مشققة اشداقهم تسيل اشداقهم دما فقلت من هؤلاء فقيل هؤلاء الذين يفطرون
قبل تحلة صومهم
“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang
laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal
seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak gunung. Tiba-tiba
aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan,”Suara apakah itu?”.
Salah satu dari mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni
neraka”. Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama
orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut
mereka robek, dan dari robekan itu mengalir darah. Kemudian aku
bertanya,”Siapakah mereka itu?”. Maka dikatakan, ”Mereka adalah orang-orang
yang berbuka (dengan sengaja) sebelum tiba waktunya”
(HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubra no. 3274, Ibnu
Hibban no. 7491, Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lafadh ini milik Ibnu
Hibban. Lihat Ta’liqatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban 10/456 no. 7448).
Cara Penentuan Bulan
Ramadlan
- Menghitung
Bilangan Hari di Bulan Sya’ban
Islam adalah agama yang mudah. Dalam penentuan awal Ramadlan, hendaknya umat Islam membiasakan diri untuk menghitung bilangan hari pada bulan Sya’ban. Dalam kalender Qamariyyah (kalender Islam), jumlah hari dalam satu bulan adalah 29 hari atau 30 hari. Kita diwajibkan berpuasa jika telah melihat bulan (hilal bulan Ramadlan). Dan jika tertutup oleh awan (bulan tidak terlihat), maka bulan Sya’ban kita genapkan menjadi 30 hari. Hal itu sangat sesuai dengan amalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya sebagaimana telah shahih dalam riwayat.
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
الشهر تسع وعشرون ليلة فلا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم
فأكملوا العدة ثلاثين
”Bulan itu ada 29 malam (hari). Janganlh kalian mulai
berpuasa hingga melihat bulan. Apabila ia tertutup dari pandangan kalian, maka
sempurnakanlah hitungan hari (dalam satu bulan) menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1907).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان
ثلاثين
“Berpuasalah jika kalian telah melihat bulan, dan
berbukalah jika kalian melihatnya pula. Dan apabila bulan tertutup (awan) dari
pandangan kalian, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) [5].
- Jika Ada Orang (Saksi) yang Telah Melihat Bulan, Maka Berpuasalah atau Berbukalah
Melihat bulan (hilal) awal Ramadlan ditentukan dengan
kesaksian dua orang saksi yang adil. Hal ini didasarkan oleh sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وانسكوا لها فإن غم عليكم فأكملوا
ثلاثين فإن شهد شاهدان فصوموا وأفطروا
“Berpuasalah jika kalian melihat bulan dan berbukalah
jika kalian melihatnya pula, serta menyembelihlah (pada bulan Dzulhijjah)
karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka
sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari. Dan jika ada dua orang yang
memberi kesaksian melihat bulan, maka berpuasalah dan berbukalah kalian”
(HR. Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2116, Ahmad 4/321, dan Ad-Daruquthni
3/120 no. 2193; lafadh ini milik An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Irwaaul-Ghalil no. 909).
- Barangsiapa yang Berpuasa di Hari Syakk (Meragukan), Maka Dia Telah Bermaksiat kepada Abul-Qasim (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam).
Dengan demikian, tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk
mendahului untuk berpuasa sebelum bulan Ramadlan, sehari atau dua hari – dengan
alasan untuk berhati-hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda :
لا يتقدمن أحدكم رمضان بصوم يوم أو يومين إلا أن يكون رجل كان
يصوم صومه فليصم ذلك اليوم
"Janganlah seseorang di antara kalian mendahului
puasa Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya; kecuali bagi
yang biasa berpuasa, maka tidaklah mengapa ia berpuasa pada hari itu” (HR.
Al-Bukhari no. 1815 dan Muslim no. 1082; lafadh ini adalah lafadh Al-Bukhari).
‘Ammar berkata :
من صام اليوم الذي يشك فيه الناس فقد عصى أبا القاسم صلى الله
عليه وسلم
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan (syak),
berarti dia telah mendurhakai Abul-Qasim (Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi
wasallam” (HR. Abu Dawud no. 2334, At-Tirmidzi no. 686 – dan ia berkata :
hasan shahih, Ibnu Majah no. 1645, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no.
2190, dan yang lainnya; ini adalah lafadh At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/52).
Imam An-Nawawi berkata :
فِيهِ التَّصْرِيح بِالنَّهْيِ عَنْ اِسْتِقْبَال رَمَضَان
بِصَوْمِ يَوْم وَيَوْمَيْنِ ، لِمَنْ لَمْ يُصَادِف عَادَة لَهُ أَوْ يَصِلهُ
بِمَا قَبْله ، فَإِنْ لَمْ يَصِلهُ وَلَا صَادَفَ عَادَة فَهُوَ حَرَام ، هَذَا
هُوَ الصَّحِيح فِي مَذْهَبنَا
“Hadits ini secara tegas melarang menyambut bulan Ramadlan
dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya bagi orang-orang yang tidak
memiliki kebiasaan berpuasa atau tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya.
Jika ia tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya atau ia tidak memiliki
kebiasaan berpuasa, maka itu diharamkan dan inilah pendapat yang benar dalam
madzhab kami” (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 789).
- Doa Ketika Melihat Hilal (Bulan Baru Hijriyah) Ramadlan
Apabila hilal telah terlihat yang menandakan tanda mulainya
Bulan Ramadlan (atau bulan-bulan yang lainnya), maka disunnahkan membaca doa :
اَللهُ أَكْـبَرُ، اَللّهُمَّ أَهِلَّـهُ عَلَيْـنَا
بِاْلأَمْـنِ وَاْلإِيْمـَانِ، وَالسَّلامَـةِ وَاْلإِسْلامِ، وَالتَّـوْفِيْـقِ
لِمَا تُحِـبُّ وَتَـرْضَـى، رَبُّنـَا وَرَبُّكَ اللهُ
[Alloohu akbar. Alloohumma ahillahu ‘alainaa bil-amni
wal-iimaan. Was-salaamati wal-islaami, wat-taufiiqi limaa tuhibbu wa tardloo.
Robbunaa wa robbukallooh]
“Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan bulan satu itu
kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan Islam serta
mendapat taufiq untuk menjalankan apa yang Engkau senang dan rela. Rabb kami
dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah” (HR. At-Tirmidzi no. 3451,
Ad-Daarimi no. 1730, dan Ibnu Hibban dalam Mawaridudh-Dham’an hal.
589. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/423).
Menetapkan Niat Puasa
Wajib menetapkan niat untuk puasa
fardlu (Ramadlan) pada malam harinya, yaitu sebelum terbit fajar shadiq. Yang
demikian itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام
له
“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar,
maka tidak sah puasa baginya” (HR. Abu Dawud no.
2454, Ibnu Khuzaimah no. 1933, Al-Baihaqi 4/202, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa
no. 2333, dan At-Tirmidzi no. 730. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/82).
من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام
له
“Barangsiapa tidak berniat atas puasanya di malam hari,
maka tidak sah puasa baginya” (HR. Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2331; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil no. 914).
Niat itu tempatnya di dalam hati,
karena niat itu maknanya adalah tujuan (al-qashdu) sebagaimana penjelasan An-Nawawi. Melafadhkan niat dalam
ibadah puasa Ramadlan tidak ada contohnya dan bukan merupakan bagian dari
sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Para imam seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan para imam kaum muslimin lainnya
tidak pernah melakukannya, apalagi mengajarkannya.
Kewajiban niat di malam hari/sebelum
fajar hanya berlaku pada puasa wajib. Adapun untuk puasa sunnah, niat boleh
dilakukan pada siang harinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
mendatangi ‘Aisyah di luar bulan Ramadlan seraya bertanya :
هل عندكم شيء فقلنا لا قال فإني إذن
صائم
“Apakah kamu punya persediaan makanan? Aisyah menjawab : Tidak ada. Maka beliau berkata : “Maka
aku akan berpuasa” (HR. Muslim no. 1154).
Waktu Berpuasa
Waktu untuk berpuasa adalah dimulai
dari terbitnya fajar shadiq (fajar kedua) sampai terbenamnya matahari.[6] Sebagai
permulaan waktu puasa, Allah ta’ala telah berfirman :
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتّىَ
يَتَبَيّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al-Baqarah
: 187).
Dan untuk berakhirnya waktu puasa,
yaitu tiba waktu berbuka puasa, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda :
إذا أقبل الليل من ها هنا وأدبر
النهار من ها هنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam telah tiba dari arah sini dan siang telah
berlalu dari arah sini serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa
sudah boleh berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1954 dan
Muslim 1100; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Sahur
- Hukum
Sahur
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
تسحروا فإن في السحور بركة
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu
terdapat barakah” (HR. Al-Bukhari no. 1923 dan Muslim
no. 1095).
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dalam hadits tersebut terdapat dorongan untuk melakukan sahur (sebelum puasa). Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban. Adapun barakah yang terdapat di dalamnya, maka secara dhahir maknanya menunjukkan bahwa sahur dapat menguatkan badan dan memantapkan seseorang untuk melaksanakan puasa, sehingga dapat menjadi sebab adanya pengharapan tambahan pahala dari puasa yang dilakukan. Juga, barakah itu ada karena menjadi ringannya kesulitan yang mungkin dialami oleh orang yang berpuasa. Dan inilah makna yang benar” (Syarah Shahih Muslim hal. 793).
Penganjuran sahur sangat ditekankan kepada kaum muslimin walau hanya dengan seteguk air, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dalam hadits tersebut terdapat dorongan untuk melakukan sahur (sebelum puasa). Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban. Adapun barakah yang terdapat di dalamnya, maka secara dhahir maknanya menunjukkan bahwa sahur dapat menguatkan badan dan memantapkan seseorang untuk melaksanakan puasa, sehingga dapat menjadi sebab adanya pengharapan tambahan pahala dari puasa yang dilakukan. Juga, barakah itu ada karena menjadi ringannya kesulitan yang mungkin dialami oleh orang yang berpuasa. Dan inilah makna yang benar” (Syarah Shahih Muslim hal. 793).
Penganjuran sahur sangat ditekankan kepada kaum muslimin walau hanya dengan seteguk air, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
السحور
أكله بركة فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله عز وجل وملائكته
يصلون على المتسحرين
“Sahur adalah makanan yang penuh barakah. Maka janganlah
kalian meninggalkannya sekalipun salah seorang diantara kalian hanya minum
seteguk air. Karena sesungguhnya Allah ’azza wa jalla dan para malaikat-Nya
bershalawat kepada orang yang makan sahur” (HR. Ahmad
no. 11101; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’ish-Shaghiir no. 3683).
- Keutamaan Sahur
a. Dalam sahur terdapat barakah.
b. Pujian Allah dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang makan sahur.
c. Menyelisihi puasanya ahlul-kitaab.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر
“Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab
terletak pada makan sahur” (HR. Muslim no. 1096).
- Waktu Sahur
Disunnahkan untuk mengakhirkan waktu makan sahur sampai menjelang terbit fajar, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur sampai menjelang shalat shubuh tiba. Telah diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata :
تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ثم قام إلى الصلاة قلت كم
كان بين الأذان والسحور قال قدر خمسين آية
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas)
berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab :
خمسين آية
(kira-kira bacaan lima
puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini
adalah lafadh Al-Bukhari).
- Bagaimana Jika Kita Sedang
Makan Sahur, Namun Adzan Telah Berkumandang ???
Sebagian masyarakat berpandangan, jika kita sedang makan sahur dan adzan telah berkumandang, maka kita wajib berhenti dari makan dan minum dan memuntahkan/membuang apa-apa yang ada di dalam mulut kita. Ini adalah pandangan yang keliru. Mari kita simak hadits berikut :
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته
منه
“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan)
sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya
hingga ia menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” (HR. Ahmad 2/510
dan Abu Dawud no. 2350; hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud 3/58).
أقيمت الصلاة والإناء في يد عمر قال أشربها يا رسول الله قال
نعم فشربها
“Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di
tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Dia bertanya kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : Apakah aku boleh meminumnya?”. Beliau menjawab
: “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya” (HR. Ibnu Jarir 3/527/3017 dengan
dua sanad darinya; shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 1394).
Bila ditaqdirkan adzan telah dikumandangkan sedangkan kita masih bersantap sahur, maka hendaklah kita selesaikan makan kita dengan tenang, tidak terburu-buru, baru kemudian shalat shubuh.
Namun perlu dipahami bahwa tidaklah yang dimaksud dalam pembahasan ini untuk menyengaja/membiasakan sahur persis menjelang akan adzan dikumandangkan [7]. Dengan adanya jam atau jadwal waktu sahur dan berbuka puasa (sebagaimana banyak dibagikan menjelang bulan Ramadlan), maka kita dapat mengatur waktu untuk mengakhirkan sahur sehingga kita dapat selesai sebelum adzan berkumandang yang dengan itu kita dapat berjalan dengan tenang melangkahkan kaki menuju masjid untuk menunaikan shalat shubuh.[8]
Bila ditaqdirkan adzan telah dikumandangkan sedangkan kita masih bersantap sahur, maka hendaklah kita selesaikan makan kita dengan tenang, tidak terburu-buru, baru kemudian shalat shubuh.
Namun perlu dipahami bahwa tidaklah yang dimaksud dalam pembahasan ini untuk menyengaja/membiasakan sahur persis menjelang akan adzan dikumandangkan [7]. Dengan adanya jam atau jadwal waktu sahur dan berbuka puasa (sebagaimana banyak dibagikan menjelang bulan Ramadlan), maka kita dapat mengatur waktu untuk mengakhirkan sahur sehingga kita dapat selesai sebelum adzan berkumandang yang dengan itu kita dapat berjalan dengan tenang melangkahkan kaki menuju masjid untuk menunaikan shalat shubuh.[8]
- Membangunkan Orang untuk
Sahur ?
Ada satu sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang ditinggalkan oleh banyak kaum muslimin tentang hal ini, dan mereka menggantinya dengan sesuatu yang lain (yang bukan berasal dari beliau). Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa sebagai berikut :
أن بلالا كان يؤذن بليل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم
كلوا واشربوا حتى يؤذن بن أم مكتوم فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر
“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu malam. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu
Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar
shadiq” [9] (HR. Bukhari no. 1918, 1919).
Dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا يمنعن أحدا منكم أذان بلال أو قال نداء بلال من سحوره فإنه
يؤذن أو قال ينادي بليل ليرجع قائمكم ويوقظ نائمكم
“Janganlah adzannya Bilal itu menghalangi salah seorang
di antara kalian dari sahurnya. Karena Bilal menyerukan adzan di malam hari
supaya orang-orang yang shalat malam kembali beristirahat sejenak dan orang
yang masih tidur segera bangun” (HR. Bukhari no. 621 dan Muslim no. 1093;
ini adalah lafadh Muslim).
Imam An-Nawawi menjelaskan maksud hadits (ويوقظ نائمكم) “membangunkan orang yang masih tidur” : “Yaitu untuk mempersiapkan diri menjelang waktu shubuh bagi seseorang yang ingin melakukan amal-amal (yang disyari’atkan) seperti shalat tahajjud ringan, shalat witir bagi mereka yang belum melaksanakan shalat witir, makan sahur bagi mereka yang ingin melaksanakan puasa, mandi, berwudlu’, atau yang lainnya dari apa-apa yang ingin dilaksanakan sebelum Fajar” (Syarh Shahih Muslim hal. 793).
Imam An-Nawawi menjelaskan maksud hadits (ويوقظ نائمكم) “membangunkan orang yang masih tidur” : “Yaitu untuk mempersiapkan diri menjelang waktu shubuh bagi seseorang yang ingin melakukan amal-amal (yang disyari’atkan) seperti shalat tahajjud ringan, shalat witir bagi mereka yang belum melaksanakan shalat witir, makan sahur bagi mereka yang ingin melaksanakan puasa, mandi, berwudlu’, atau yang lainnya dari apa-apa yang ingin dilaksanakan sebelum Fajar” (Syarh Shahih Muslim hal. 793).
- Tamr adalah Sebaik-Baik
Makanan untuk Sahur
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
نعم سحور المؤمن التمر
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr”
(HR. Abu Dawud no. 2345. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 2/55).
Tamr adalah kurma kering yang telah masak dan berwarna coklat tua (sebagaimana umum dijual di pasaran).
Tamr adalah kurma kering yang telah masak dan berwarna coklat tua (sebagaimana umum dijual di pasaran).
- Tidak Tidur Setelah Shalat
Shubuh
Para ulama telah menjelaskan tentang dibencinya tidur setelah shalat shubuh. Dalil yang mendasari itu adalah :
عن صخر الغامدي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم
بارك لأمتي في بكورها
Dari Sakhr Al-Ghamidi ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Ya Allah, berkahilah bagi umatku pada pagi
harinya” (HR. Abu Dawud no. 2606, At-Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no.
2236, Ad-Darimi no. 2479, dan Ibnu Hibban no. 4754. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/124).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata : “Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang-orang shalih – adalah tidur antara waktu shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa”. [10]
Hendaknya seorang muslim menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya di bulan Ramadlan. Setelah shalat shubuh, ia bisa menggunakannya untuk berdzikir, membaca Al-Qur’an, atau kegiatan positif lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata : “Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang-orang shalih – adalah tidur antara waktu shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa”. [10]
Hendaknya seorang muslim menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya di bulan Ramadlan. Setelah shalat shubuh, ia bisa menggunakannya untuk berdzikir, membaca Al-Qur’an, atau kegiatan positif lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من صلى الغداة في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم
صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تامة
تامة تامة
“Barangsiapa shalat Shubuh berjama’ah, kemudian duduk dan
berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari, kemudian ia shalat dua raka’at
(yaitu shalat Dluha/Isyraq), ia akan memperoleh pahala ibadah haji dan umrah,
sempurna, sempurna, sempurna” (HR. At-Tirmidzi nomor 586; hasan lighairihi).
Hal-Hal yang Membatalkan
Puasa
- Makan dan Minum dengan Sengaja
Allah ta’ala telah berfirman :
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتّىَ يَتَبَيّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمّ أَتِمّواْ الصّيَامَ
إِلَى الّليْلِ
“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
malam.” (QS. Al-Baqarah : 187).
Dari ayat tersebut bisa dipahami bahwa
puasa adalah menahan diri dari makan dan minum. Apabila orang yang berpuasa
makan dan minum, berarti ia telah berbuka. Jika ia lakukan dengan sengaja, maka
jelas hal ini membatalkan ibadah puasa. Adapun jika seseorang makan dan minum
karena tidak sengaja (lupa), maka hal ini tidak membatalkan puasa. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله
وسقاه
“Barangsiapa yang berpuasa, kemudian ia lupa makan dan
minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah
memberikan makan dan minum kepadanya” (HR. Al-Bukhari
no. 1933 dan Muslim no. 1155; ini adalah lafadh Muslim).
- Muntah dengan Sengaja
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من ذرعه قيء وهو صائم فليس عليه قضاء وإن استقاء فليقض
“Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam
keadaan berpuasa, maka tidak ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah
dengan sengaja, maka ia harus mengqadla (puasanya)” (HR. Abu Dawud no.
2380, At-Tirmidzi no. 720, Ibnu Majah no. 1676, dan Ahmad 2/498; ini adalah
lafadh Abu Dawud. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud 2/63).
- Haidl dan Nifas
Apabila wanita kedatangan haidl dan nifas di siang hari bulan
Ramadlan, baik di awal maupun di akhir, maka ia harus berbuka (batal puasanya)
dan mengqadlanya (menggantinya) di hari lain. Jika ia tetap puasa, maka
puasanya tidak sah.[11]
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
تمكث الليالي ما تصلي وتفطر في رمضان فهذا نقصان الدين
“Dia (wanita) berdiam diri beberapa malam tidak shalat,
dan berbuka puasa Ramadlan (karena haidl), maka inilah kekurangan agamanya”
(HR. Muslim 79).
Diriwayatkan dari Mu’adzah ia berkata :
سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة
فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء
الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Aku katakan,”Bagaimana
dengan wanita haidl, ia mengqadla puasa namun tidak mengqadla shalat?”. Aisyah
menjawab,”Apakah kamu seorang Haruriyyah (Khawarij)?”. Aku menjawab,”Aku bukan
Haruriyyah, tapi aku sekedar bertanya”. Aisyah berkata,”Kami pernah
mengalami begitu. Lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa dan kami tidak
diperintahkan untuk mengqadla shalat” (HR. Muslim no. 335).
- Infus Makanan
Yaitu memasukkan zat-zat makanan ke dalam tubuh seseorang
melalui infus sebagai pengganti makan kepada orang yang sakit. Ini termasuk
perkara yang membatalkan puasa; karena infus tersebut mengandung zat makanan[12]
yang dapat membuat badan tidak lemah sebagaimana keadaan orang yang sehat.
- Jima’ (Berhubungan Badan).
Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Imam
Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Ad-Darari Mudli’ah (2/22)
berkata,”Tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa jima’ membatalkan puasa,
apabila terjadi dengan sengaja. Apabila terjadi karena lupa, sebagian ulama’
mengkatagorikannya termasuk (dalam hukum) orang yang makan dan minum karena
lupa”.
Yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang
menyatakan tidak membatalkan puasa (jika jima’ tersebut dilakukan tanpa
sengaja/lupa).[13]
Dalil dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 187.
Adapun kaffaratnya (tebusannya) dijelaskan dalam Sunnah Rasululah shallallaahu
‘alaihi wasallam dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu :
جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال هلكت يا رسول الله
قال وما أهلكك قال وقعت على امرأتي في رمضان قال هل تجد ما تعتق رقبة قال لا قال
فهل تستطيع أن تصوم شهرين متتابعين قال لا قال فهل تجد ما تطعم ستين مسكينا قال لا
قال ثم جلس فأتي النبي صلى الله عليه وسلم بعرق فيه تمر فقال تصدق بهذا قال أفقر
منا فما بين لابتيها أهل بيت أحوج إليه منا فضحك النبي صلى الله عليه وسلم حتى بدت
أنيابه ثم قال اذهب فأطعمه أهلك
Seseorang pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam seraya berkata,”Aku telah binasa, wahai Rasulullah”. Beliau bertanya,”Apa
yang telah membinasakanmu?”. Ia menjawab,”Aku telah menggauli istriku di
(siang hari) bulan Ramadlan”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu
memerdekakan budak?”. Ia menjawab,”Tidak”. Beliau bertanya lagi,”Apakah
engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”. Ia
menjawab,”Tidak”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu memberi makan
enam puluh orang miskin?”. Ia menjawab,”Tidak”. Orang itu pun duduk. Lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dibawakan satu wadah kurma kemudian beliau
bersabda,”Sedekahkanlah dengan kurma ini”. Ia berkata,”Kepada orang
yang lebih miskin dari kami ? Tidak ada satu keluarga di tempat ini yang lebih
membutuhkan daripada kami”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga
nampak gigi taringnya. Beliau bersabda,”Ambillah, dan berikanlah sebagai
makanan untuk keluargamu” (HR. Al-Bukhari no. 1936, Muslim no. 1111,
At-Tirmidzi no. 724, dan lain-lain; ini adalah lafadh Muslim).
- Niat untuk Membatalkan Puasa.
Jika seseorang berniat dan bertekad untuk membatalkan puasa
secara sengaja dan dalam keadaan sadar bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya
batal walaupun ia belum makan ataupun minum. Hal itu didasarkan oleh sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لكل امرئ ما نوى
“Setiap orang hanya akan mendapatkan sesuai yang ia
niatkan” (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907, dan yang lainnya).
Ini adalah madzhab Asy-Syafi’i, dhahir madzhab Ahmad (bin
Hanbal), Abu Tsaur, Dhahiriyyah, dan Ashhaabur-Ra’yi.[14]
- Keluar dari Agama Islam (Murtad).
Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli
ilmu akan hal ini, bahwasannya siapa saja yang murtad dari Islam di tengah ia
menjalankan ibadah puasa, maka puasanya itu menjadi rusak dan batal. Ia harus
mengqadlanya jika ia kembali memeluk agama Islam. [15]
Hal-Hal yang Harus
Ditinggalkan oleh Orang yang Berpuasa
Untuk meraih kesempurnaan puasa, orang
yang berpuasa selayaknya tidak hanya menahan diri dari perkara-perkara yang
membatalkan puasa saja. Namun ia juga harus menahan diri dari akhlaq-akhlaq
yang tercela dan perbuatan dosa lainnya. Salah satu tujuan yang diinginkan oleh
seorang yang berpuasa adalah mencapai derajat taqwa, sebagaimana firman Allah
ta’ala :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ
تَتّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 183).
Beberapa hal yang harus ditinggalkan
oleh orang yang berpuasa diantaranya adalah :
- Perkataan
Dusta
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه
وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan
mengamalkannya, maka Allah tidak memerlukan (puasa orang itu yang) meninggalkan
makan dan minumnya” (HR. Bukhari no. 1903).
- Pembicaraan yang Tidak Bermanfaat
dan Kata-Kata Kotor
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ليس الصيام من الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث فإن
سابك أحد أو جهل عليك فلتقل إني صائم إني صائم
“Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja, tetapi
puasa itu (menahan diri) dari kata-kata tidak bermanfaat dan kata-kata kotor.
Oleh karena itu jika ada orang yang mencacimu atau membodohimu, maka katakanlah
kepadanya : “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang
berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1996 dan Al-Hakim no. 1571 dengan sanad
shahih; ini adalah lafadh Ibnu Khuzaimah).
- Ghibah (Menggunjing/Ngrumpi)
Ghibah adalah menceritakan keburukan seseorang dimana orang tersebut tidak suka jika hal itu diketahui oleh orang lain. Allah telah berfirman :
وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya “ (QS. Al-Hujuraat : 12).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما
يكره قيل فرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم
يكن فيه فقد بهته
“Apakah kalian tahu apa ghibah itu ? Mereka menjawab
: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu’. Beliau bersabda : ‘Jika kamu menyebut
saudaramu tentang apa yang ia benci, (maka kamu telah melakukan ghibah)’.
Beliau ditanya : ‘Bagaimana jika sesuatu yang aku katakan ada pada saudaraku?’
Beliau menjawab : Bila sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu
telah melakukan ghibah, dan apabila yang kamu bicarakan tidak ada maka kamu
telah membuat kebohongan atasnya “ (HR. Muslim no. 2589, At-Tirmidzi no.
1934, Malik no. 1998, dan Ahmad 2/384; ini adalah lafadh Muslim).
- Namimah (Mengadu Domba)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
لا يدخل الجنة نمام
“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba”
(HR. Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105; ini adalah lafadh Muslim).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa namimah itu lebih buruk daripada ghibah, karena ia merupakan satu oengkhianatan dan kehinaan yang kemudian akan berakhir dengan percekcokan dan pemutusan silaturahim.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa namimah itu lebih buruk daripada ghibah, karena ia merupakan satu oengkhianatan dan kehinaan yang kemudian akan berakhir dengan percekcokan dan pemutusan silaturahim.
- Mengumbar Syahwat
Fenomena yang hampir terjadi di setiap tempat di sekitar kita adalah banyaknya kaum muslimin yang menghabiskan waktu sehabis sahur dan menjelang berbuka untuk “nongkrong”, “mejeng”, berdua-duaan dengan lain mahram, dan yang semisalnya dengan alasan jalan sehat, cuci mata, atau ngabuburit. Alangkah meruginya mereka dengan perbuatan sia-sia dan maksiat itu. Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya :
قُلْ لّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضّواْ مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُواْ فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَىَ لَهُمْ إِنّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ* وَقُل لّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنّ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…. (QS. An-Nuur : 30-31).
عن جرير بن عبد الله قال سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن
نظر الفجاءة فأمرني أن أصرف بصري
Dari Jabir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
"Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari
pandangan tidak sengaja (terhadap sesuatu yang diharamkan), maka beliau
memerintahkan kepadaku untuk memalingkan pandanganku” (HR. Muslim no.
2159).
كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ
ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى،
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang
pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat
(yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan), zina
lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang
diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati
berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau
mendustakannya” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657, ini adalah
lafadh Muslim)
Oleh karena itu, muncul ancaman keras
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bagi orang-orang yang melakukan
keburukan-keburukan tersebut di atas. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع
ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan
rasa haus dan lapar dari puasanya” (HR. Ibnu Majah
no. 1690, Al-Hakim no. 1572, Ahmad 2/373, dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no.
8097; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahih
Sunan Ibni Majah 2/81 no. 1380 : Hasan shahih).
Hal ini dikarenakan orang yang berpuasa
tersebut tidak memahami hakikat puasa yang sebenarnya sebagaimana yang Allah
ta’ala telah perintahkan kepada kita……..sehingga Allah membalasnya dengan
mengharamkan pahala dan ganjaran puasanya.
Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang yang Berpuasa
- Bersiwak
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
لولا أن أشق على أمتي أو على الناس لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة
“Jika aku tidak takut menyulitkan umatku – atau
menyulitkan manusia – , niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap
hendak shalat” (HR. Al-Bukhari no. 887 dan Muslim no.
252; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak mengkhususkan hal itu hanya pada orang yang tidak berpuasa saja. Namun
secara umum berlaku untuk orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Dan
bahkan, bersiwak ini sangat dianjurkan……
- Masuk Waktu Fajar dalam Keadaan Junub (Belum Mandi).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bangun pagi ketika
fajar, sedangkan beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya,
lalu beliau mandi setelah terbit fajar dan kemudian berpuasa. Hal ini
berdasarkan hadits :
عن عائشة وأم سلمة - رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم كان يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati fajar
telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan
istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa” (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan
Muslim no. 1109; ini lafadh Al-Bukhari).
- Berkumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung (Ketika Wudlu’).
Hal ini karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa
berkumur dan memasukkan air ke hidung saat beliau berpuasa. Hanya saja beliau
melarang orang yang berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam melakukan kedua hal
tersebut. Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
... وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائماً
“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaaq
(memasukkan air ke dalam hidung saat berwudlu’) kecuali bila kalian berpuasa”
(HR. At-Tirmidzi no. 788, Abu Dawud no. 142, Ibnu Abi Syaibah no. 84, Ibnu
Majah no. 407, dan Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 87; dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Irwaa’ul-Ghalil no. 935).
- Bercumbu dan Berciuman Bagi Suami Istri yang Sedang Berpuasa
Hal ini ditegaskan oleh hadits berikut :
عن عائشة رضى الله تعالى عنها قالت كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقبل وهو صائم ويباشر وهو صائم ولكنه أملككم لإربه
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya ia berkata :
"Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mencium dan bercumbu
pada saat beliau sedang berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling kuat
menahan nafsunya diantara kalian” (HR. Al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no.
1106; ini adalah lafadh Muslim).
Hal itu dimakruhkan bagi orang yang masih muda dan tidak bagi
yang sudah tua. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash
radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم فجاء شاب فقال يا رسول الله
أقبل وأنا صائم قال لا فجاء شيخ فقال أقبل وأنا صائم قال نعم قال فنظر بعضنا إلى
بعض فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم قد علمت لم نظر بعضكم إلى بعض ان الشيخ
يملك نفسه
Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
tiba-tiba seorang pemuda mendekati beliau seraya berkata,”Wahai Rasulullah,
bolehkah aku mencium istriku sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?”. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,”Tidak boleh”. Kemudian datang
seorang yang telah tua seraya berkata,”Apakah aku boleh mencium (istriku)
sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?”. Beliau menjawab,”Boleh”.
Abdullah berkata,”Lalu kami saling berpandangan, kemudian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang sudah tua
tersebut mampu untuk menahan nafsunya” (HR. Ahmad 2/185 dan 2/220.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no.
1606).
- Tranfusi Darah dan Suntikan yang Tidak Dimaksudkan Sebagai Makanan.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin pernah ditanya tentang hukum suntikan
untuk pengobatan yang dilakukan di siang hari bulan Ramadlan bagi orang yang
berpuasa, maka beliau menjawab : ”Suntikan pengobatan ada dua : Pertama,
suntikan infus dimana dengan suntikan ini bisa mencukupi kebutuhan makan dan
minum. Maka dalam hal ini orang yang melakukannya termasuk dalam orang yang
telah berbuka (batal puasanya). Nash-nash syar’i bertemu dengan satu makna yang
mencakup satu bentuk dari keumuman bentuk-bentuk hukum dalam nash, maka hal itu
dihukumi dengan nash tersebut. Adapun jenis yang kedua adalah suntikan yang
tidak mengandung makanan dan minuman. Maka orang yang melakukannya ini bukan
termasuk orang yang berbuka (tidak batal puasanya). Hal itu disebabkan karena
suntukan tersebut tidak tercakup dalam konteks nash secara lafadh maupun makna.
Ia bukanlah termasuk cakupan makan dan minum. Bukan pula sesuatu yang mempunyai
makna makan dan minum. Hukum asal (seseorang yang melakukan puasa) adalah sah
puasanya hingga tetap adanya sesuatu yang menyebabkan rusaknya berdasarkan
dalil syar’i” (Fataawaa Ash-Shiyaam oleh Ibnu ’Utsaimin, hal. 58;
dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad).[16]
- Berbekam
Pada awalnya berbekam (canduk) termasuk perkara yang
membatalkan puasa sebagaimana hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
أفطر الحاجم والمحجوم
“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang
dibekam” (HR. At-Tirmidzi no. 774; Abu Dawud no. 2367, 2370,2371; Ibnu
Majah no. 1679; dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 2/68).
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum ini di-mansukh
(dihapuskan) sehingga berbekam tidaklah membatalkan puasa.[17] Hal ini terlihat dari
perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berbekam pada saat berpuasa,
sebagaimana hadits berikut :
عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم
احتجم وهو محرم واحتجم وهو صائم
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu anhuma bahwasannya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam saat beliau dalam keadaan ihram (haji)
dan pernah berbekam dalam keadaan berpuasa (HR. Bukhari no. 1938, 1939).
عن أبي سعيد الخدري قال : رخص للصائم في الحجامة والقبلة
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata : ”Telah diberikan
keringanan bagi orang yang berpuasa untuk berbekam dan mencium istrinya (tidak
menyebabkan batal)” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1969 dan Ad-Daruquthni no.
2262; ini adalah lafadh Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam
ta’liqnya atas Shahih Ibni Khuzaimah bahwa sanad hadits ini shahih).
- Mencicipi Makanan
Mencicipi makanan dibolehkan bagi orang yang berpuasa dengan
catatan tidak sampai masuk ke tenggorokan (tertelan). Hal tersebut didasarkan
atsar dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
لا باس أن يذوق الخل ، أو الشيء ما لم يدخل حلقه وهو صائم
“Tidak ada masalah untuk mencicipi cuka atau yang lainnya
selama tidak dimasukkan ke dalam kerongkongannya, sedangkan dia dalam keadaan
berpuasa” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 9369 dengan sanad hasan).
- Celak, Obat Tetes Mata, dan Semisalnya yang Dimasukkan ke dalam Mata
Memakai celak dan obat tetes mata tidak termasuk perkara yang
membatalkan puasa, baik pengaruh rasanya sampai tenggorokan maupun tidak.
Pendapat ini dikuatkan (ditarjih) oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di dalam
risalahnya Haqiiqatush-Shiyaam, dan juga oleh muridnya Ibnul-Qayyim
dalam Zaadul-Ma’aad.
Imam Bukhari berkata dalam Shahih-nya :
ولم ير أنس والحسن وإبراهيم بالكحل للصائم بأسا
”Anas, Al-Hasan, dan Ibrahim tidak mempermasalahkan celak
mata bagi orang yang berpuasa” (HR. Al-Bukhari 2/39 secara mu’allaq).[18]
- Membasahi Kepala dengan Air Dingin dan Mandi
Al-Bukhari dalam Shahih-nya bab Ightisal Ash-Shaaim,”Ibnu
Umar membasahi baju (dengan air) lalu memakainya, sedang dia berpuasa.[19]
Asy-Sya’bi masuk ke kamar mandi, sedang dia berpuasa. [20] Al-Hasan berkata,”Tidak
ada masalah dengan berkumur-kumur dan mendinginkan (badan) bagi orang yang
berpuasa”.[21] Dalam suatu hadits disebutkan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصب الماء على رأسه من الحر
وهو صائم
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
menyiramkan air di atas kepalanya, sedang dia berpuasa karena kepanasan”
(HR. Abu Dawud no. 2365 dan Ahmad 4/63, 5/376. Dishahihkan oleh Syaikh Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/61).
Hal-Hal yang Disunnahkan
di Bulan Ramadlan
- Memperbanyak
Membaca Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bulan Ramadlan merupakan bulan Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 185). Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan para ulama setelahnya telah memberikan keteladanan bagi kita dalam hal ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa membaca ulang Al-Qur’an/bertadarus di hadapan Jibril setiap malam bulan Ramadlan, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن
“Jibril biasa menemui beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam setiap malam di bulan Ramadlan untuk bertadarus Al-Qur’an” (HR. Bukhari no. 6).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
”Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan
mengajarkan Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no. 5027, Abu
Dawud no. 1452, At-Tirmidzi no. 2909, dan Ibnu Majah no. 211).
الماهر بالقرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن
ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para
malaikat yang mulia dan baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan
terbata-bata (tidak lancar – tapi tetap berkemauan keras), maka baginya dua
pahala” (HR. Al-Bukhari no. 4937, Muslim no. 798, Abu
Dawud no. 1454, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 4194, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Muslim).
مثل المؤمن الذي يقرأ القرآن كمثل الأترجة ريحها طيب وطعمها
طيب ومثل المؤمن الذي لا يقرأ القرآن كمثل التمرة لا ريح لها وطعمها حلو ومثل
المنافق الذي يقرأ القرآن مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر ومثل المنافق الذي لا
يقرأ القرآن كمثل الحنظلة ليس لها ريح وطعمها مر
“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an
bagaikan buah Utrujah, baunya wangi dan lezat rasanya. Sedangkan seorang mukmin
yang tidak membaca Al-Qur’an, maka ia seperti tamr (kurma), tidak berbau tetapi
manis rasanya. Permisalan seorang munafiq yang membaca Al-Qur’an seperti
raihan, baunya wangi akan tetapi rasanya pahit. Sedangkan permisalan seorang
munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, maka ia seperti buah handhalah, tidak
wangi lagi pahit rasanya” (HR. Al-Bukhari no. 5427
dan Muslim no. 797).
Selain membaca Al-Qur’an, kita juga dituntut untuk mentadaburi dan mengamalkannya.
Selain membaca Al-Qur’an, kita juga dituntut untuk mentadaburi dan mengamalkannya.
- Memperbanyak Shadaqah
Bershadaqah adalah satu kesempatan bagi kita untuk mencari keridlaan Allah serta maghfirah-Nya di bulan Ramadlan. Shadaqah yang kita berikan haruslah berasal dari harta yang halal untuk diberikan kepada faqir miskin, sanak kerabat, tetangga, anak-anak yatim piatu, dan kaum muslimin pada umumnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Bagus, Allah tidak akan
menerima kecuali yang baik (halal)” (HR. Muslim no. 1015).
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس وكان أجود ما
يكون في رمضان حين يلقاه جبريل وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن
فلرسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah orang
yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadlan pada
saat Jibril menemui beliau. Jibril biasa menemui beliau di setiap malam di
bulan Ramadlan untuk bertadarus Al-Qur’an. Maka pada saat itu, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang
berhembus” (HR. Al-Bukhari no. 6).
- Memberi Makanan Berbuka
kepada Orang yang Sedang Berpuasa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من فطر صائما كان له مثل أجرهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا
“Barangsiapa yang memberikan makanan berbuka kepada orang
yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut
tanpa mengurangi dari pahala orang berpuasa itu sedikitpun” (HR. Ahmad
4/114, At-Tirmidzi no. 807, dan Ibnu Majah no. 1746. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).
- Memperbanyak Do’a
Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa doa orang yang berpuasa sangat mustajab. Mari kita ambil kesempatan itu untuk banyak berdoa dengan hati yang ikhlash, mengikuti sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan berkeyakinan bahwa doa kita akan dikabulkan oleh Allah ta’ala. Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
ثلاث دعوات مستجابات : دعوة الصائم ودعوة المظلوم ودعوة
المسافر
“Ada tiga doa yang dikabulkan : Doa orang yang berpuasa,
doa orang yang dianiaya, dan doa orang yang bepergian (musafir)” (HR.
Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3324; dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 1797)
- I’tikaf
Yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadlan.
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : كان رسول الله صلى
الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان
Dari ‘Abdillah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan i’tikaf apabila masuk
malam-malam sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadlan” (HR.
Al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171).
- Melakukan ‘Umrah
Dalil yang menunjukkan keutamaan ber-‘umrah pada bulan Ramadlan adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang wanita Anshar yang tidak sempat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
فإذا جاء رمضان فاعتمري فإن عمرة فيه تعدل حجة
“Apabila datang bulan Ramadlan, maka ber-umrah-lah kamu,
sesungguhnya ‘umrah di bulan Ramadlan itu nilainya sama dengan ibadah haji”
(HR. Muslim no. 1256).
Melatih Anak-Anak untuk
Berpuasa
Melatih anak-anak sedini mungkin untuk
berpuasa (sesuai dengan kadar kesanggupannya) sangatlah penting untuk
menanamkan rasa cinta terhadap syari’at Islam. Selain itu, fisik mereka akan
terlatih di kemudian hari tahapan-demi tahapan sehingga pada satu waktu, si
anak dapat mengerjakan ibadah puasa secara sempurna (mulai fajar shadiq sampai
matahari terbenam). Ada
teladan yang cukup baik dari para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dalam hal ini :
عن الربيع بنت معوذ قالت أرسل النبي
صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار من أصبح مفطرا فليتم بقية يومه
ومن أصبح صائما فليصم قالت فكنا نصومه بعد ونصوم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من
العهن فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan
di suatu pagi hari ‘Asyuura (10 Muharram) di pedesaan kaum Anshar. Ia berkata :
Barangsiapa di waktu pagi tidak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa pada sisa
harinya. Dan barangsiapa di waktu pagi berpuasa, maka teruskanlah puasanya
itu”. Maka Rubayyi’ berkata : “Kami pun berpuasa dan menyuruh anak-anak kami
berpuasa. Kami memberikan boneka-boneka dari wol apabila mereka menangis karena
lapar dan haus. Hal itu terus berlangsung hingga waktu berbuka tiba” (HR. Al-Bukhari no. 1859).
Catatan kaki :
[1]
Dhihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya : anti ‘alayya ka-dhahri
ummiy (kamu bagiku seperti punggung ibuku). Maksudnya, engkau haram bagiku dan
aku tidak
halal menggaulimu. Perkataan ini adalah haram menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
ijma’.
[2]
Makna iimaanan
wah-tisaaban (إيمانا واحتسابا) berarti percaya sepenuhnya akan
kewajiban puasa tersebut serta mengharapkan pahalanya. Menjalankan puasa dengan
sepenuh jiwa tanpa adanya unsur keterpaksaan dan juga tidak merasa keberatan
untuk menjalaninya.
[3]
Pengampunan dosa-dosa tersebut hanya merupakan dosa-dosa kecil saja. Adapun
dosa-dosa besar akan diampuni oleh Allah apabila pelakunya bertaubat kepada
Allah ta’ala dengan taubat nashuha. Maka, di bulan Ramadlan ini, pergunakanlah
waktu yang mustajab ini untuk bertaubat meminta ampunan kepada Allah untuk
semua dosa yang pernah kita lakukan.
[4]
Syaikh Al-Arna’uth menukil perkataan Ibnu Hajar dalam Athraaful-Musnad (7/203) bahwasannya kandungan hadits ini terkait
bulan Ramadlan. Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar (962 – Kasyful-Astaar) dengan lafadh :
إن الله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم
وليلة - يعنى في رمضان - وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجاب له
“Sesungguhnya setiap hari
Allah ta’ala membebaskan (beberapa orang dari api neraka) yaitu pada bulan
Ramadlan, dan sesungguhnya bagi setiap orang muslim apabila memanjatkan doa,
maka pasti dikabulkan”.
Namun
sanad hadits Al-Bazzar di atas adalah dla’if dengan sebab rawi yang bernama
Abaan bin Abi ’Ayyaasy ---- (namun hadits tersebut adalah shahih dengan
keseluruhan jalannya sebagaimana penshahihan Syaikh ’Ali Al-Halaby dan Syaikh
Salim Al-Hilaly dalam kitab Shifat
Shaumin-Nabiy,
wallaahu a’lam).
Makna ’Utaqaa’ (عتقاء) dalam hadits ini adalah pembebasan dari siksa api
neraka dengan sebab maghfirah Allah (di bulan Ramadlan). [lihat ta’liq dan
takhrij selengkapnya dalam Musnad
Ahmad (12/421
no. 7450) dengan tahqiq, ta’liq, dan takhrij Syau’aib Al-Arna’uth dan ’Adil Mursyid;
dan syarah Ahmad Syakir atas kitab yang sama (7/250-251 no. 7443)].
[5]
Dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan Syawal, maka dalam Islam
hanya mengenal metode Ru’yatul-Hilal (melihat bulan) pada malam hari
tanggal 29. Bila ternyata bulan tidak terlihat, maka hitungan bulan
disempurnakanl menjadi 30 hari. Adapun metode hisab adalah metode baru (bid’ah)
dan selayaknya untuk dihindari oleh umat Islam. Dan inilah yang membuktikan
bahwa Islam adalah agama yang mudah.
- Fajar Kadzib : adalah warna putih di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
- Fajar Shadiq : adalah warna merah yang naik dan muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib), sehingga terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah bersabda :
الفجر فجران فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة
واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل الصلاة
“Fajar itu ada dua macam :
Adapun fajar yang pertama, tidak diharamkan makan dan tidak dibolehkan
mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan fajar yang kedua, diharamkan makan dan
dibolehkan mengerjakan shalat shubuh”
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; Al-Hakim no. 690-691; dan Ad-Daruquthni 3/116 no.
2186; shahih).
[8]
Perlu juga kami sampaikan bahwa kebiasaan masyarakat mengumandangkan waktu
imsak (dengan sirine, kentongan, bedug, atau ucapan) sekitar 15 menit sebelum
shubuh merupakan kebiasaan yang kurang tepat tanpa berlandaskan dalil. Mereka
melakukannya
dengan tujuan agar orang yang melakukan sahur menghentikan sahurnya karena akan
masuk waktu shubuh. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalani Asy-Syafi’iy rahimahullah
telah memperingatkan kebiasaan salah ini semenjak beratus-ratus tahun yang lalu
dimana beliau mengatakan :
(تنبيه) : من البدع المنكرة ما أحدث
في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان واطفاء
المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه
أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك الا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن صاروا
لا يؤذنون الا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فاخروا الفطر وعجلوا السحور
وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان
“(Peringatan)
: Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di jaman ini (yaitu
jamannya Ibnu Hajar) yakni adanya pengumandangan adzan kedua sekitar 1/3 jam (=
20 menit) sebelum waktu fajar bulan Ramadlan. Serta memadam lampu-lampu sebagai
pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa
keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itu
dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis
batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian, juga
menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari
terbenam beberapa saat agar lebih mantap lagi (menurut anggapan mereka).
Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka mempercepat waktu
sahur, dan suka menyalahi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan
kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan” (selesai – Fathul-Baari 4/199).
Hal di
atas merupakan imsak versi jaman Ibnu Hajar dengan pengumandangan adzan 20
menit sebelum fajar plus memadamkan lampu sebagai tanda berhentinya makan dan
minum. Selain tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan para shahabat, secara bahasa pun tidak dapat dibenarkan. Karena imsak
secara bahasa berarti menahan diri (untuk tidak makan dan minum). Sedangkan
dalam syari’at Islam, waktu imsak itu sendiri adalah dengan terbitnya fajar
(dikumandangkannya adzan shubuh). Adapun waktu 20 menit sebelum shubuh masih
merupakan waktu yang utama untuk melaksanakan makan sahur. Sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
[9]
Hadits ini menjelaskan pada kita bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam, adzan dilakukan dua kali. Adzan pertama dilakukan saat fajar kadzib tiba
(waktu utama melaksanakan sahur dimana orang-orang dibangunkan dari tidurnya –
sepertiga malam terakhir). Sedangkan adzan kedua dilakukan saat waktu shubuh
tiba (fajar shadiq).
Pada saat
adzan pertamalah dikumandangkan bacaan tatswib (ash-sholaatu khairum-minan-naum = “Shalat itu lebih baik
daripada tidur”). Ibnu ‘Umar meriwayatkan :
كان في الأذان الأول بعد الفلاح :
الصلاة خير من النوم مرتين
“Pada adzan pertama
setelah membaca Hayya ‘alal-Falah, hendaknya membaca Ash-Sholaatu
Khorum-Minan-Naum”
(HR. Al-Baihaqi 1/423 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/82 dengan sanad hasan sebagaimana dinyatakan oleh
Ibnu Hajar dalam At-Talkhiishul-Habiir 1/212 – lihat Tamaamul-Minnah oleh Al-Albani, hal. 146-147).
Ibnu
Ruslan menukil perkataan Imam Ibnu Khuzaimah ketika menshahihkan riwayat ini
dalam Takhrij Az-Zarkasyi li
Ahaadits Ar-Rafi’i
sebagai berikut :
فشرعية التثويب إنما هي في الأذان
الأول للفجر ، لأنه لإيقاظ النائم ، وأما الأذان الثاني فإنه إعلام بدخول الوقت ،
ودعاء إلى الصلاة
”Syari’at
(pengucapan) tatswib ini dilakukan dalam adzan awal
di Fajar untuk membangunkan orang yang tidur. Adapun adzan yang kedua (tanpa
tatswib), maka adzan ini merupakan pemberitahuan masuknya waktu (Shubuh) dan
panggilan untuk shalat” (lihat Tamaamul-Minnah hal. 147).
[10]
Madaarijus-Saalikiin 1/459 - dikutip melalui
perantaraan kitab : At-Tabarruk,
Anwa’uhu wa Ahkaamuhu karya Dr. Naashir bin ’Abdirahman bin Muhammad Al-Juda’i, hal.
309-310.
Jika seorang wanita haidl di tengah hari saat berpuasa, maka puasanya batal dan tidak perlu meneruskannya hingga maghrib. Sebaliknya, ia diperbolehkan berbuka, akan tetapi diusahakan agar tidak terlihat oleh orang yang sedang berpuasa.
Jika seorang wanita mengalami haidl di bulan Ramadlan lalu suci di siang hari, maka dia tetap boleh makan dan minum. Dan seandainya suaminya datang dari perjalanan (safar) dan tidak berpuasa, maka dia boleh berjima’ (berhubungan badan) dengan suaminya, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm, bab : Maa Yufthirush-Shaaimu was-Sahuuru wal-Khilaafu fiihi.
Jika wanita yang haidl itu telah suci sebelum fajar dan berniat berpuasa, maka puasanya sah, sekalipun ia menunda mandi besarnya hingga setelah fajar. Ini adalah pendapat jmhur ulama sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (4/192).
[12]
Lihat Haqiiqatush-Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah.
[13] Para ulama berbeda pendapat apakah permasalahan jima’ dapat diqiyaskan dengan makan minum apa tidak jika ia dilakukan dengan tidak sengaja (lupa). Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnya mengatakan bahwa jima’ membatalkan puasa meskipun dilakukan oleh orang yang tidak tahu atau lupa. Jika dilakukan pada siang hari pada bulan Ramadlan, maka ia wajib melakukan kaffarat. Ini termasuk pendapat tunggal yang ternukil dari Imam Ahmad. Pendapat ini terbangun dari pemahaman dalil bahwa hadits yang memberikan udzur (tidak batal) karena tidak sengaja/lupa hanyalah terbatas pada makan dan minum saja. Tidak dalam masalah jima’ (lihat kembali HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155 sebelumnya). Di samping itu – menurut mereka – sangat sulit rasanya orang yang melakukan melakukan jima’ karena lupa.
Adapun Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, Imam Dawud, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya menyatakan tidak batalnya puasa seseorang akibat jima’ yang dilakukan karena ketidaksengajaan (lupa). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, diantaranya adalah keumuman nash Al-Qur’an :
[13] Para ulama berbeda pendapat apakah permasalahan jima’ dapat diqiyaskan dengan makan minum apa tidak jika ia dilakukan dengan tidak sengaja (lupa). Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnya mengatakan bahwa jima’ membatalkan puasa meskipun dilakukan oleh orang yang tidak tahu atau lupa. Jika dilakukan pada siang hari pada bulan Ramadlan, maka ia wajib melakukan kaffarat. Ini termasuk pendapat tunggal yang ternukil dari Imam Ahmad. Pendapat ini terbangun dari pemahaman dalil bahwa hadits yang memberikan udzur (tidak batal) karena tidak sengaja/lupa hanyalah terbatas pada makan dan minum saja. Tidak dalam masalah jima’ (lihat kembali HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155 sebelumnya). Di samping itu – menurut mereka – sangat sulit rasanya orang yang melakukan melakukan jima’ karena lupa.
Adapun Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, Imam Dawud, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya menyatakan tidak batalnya puasa seseorang akibat jima’ yang dilakukan karena ketidaksengajaan (lupa). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, diantaranya adalah keumuman nash Al-Qur’an :
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
”(Mereka berdo`a):
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah” (QS.
Al-Baqarah : 286).
Juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
Juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
عفى لأمتي عن الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه
”Dimaafkan bagi umatku
karena kesalahan dan lupa, serta karena sesuatu yang dipaksakan kepadanya” (HR. Ibnu Majah no. 2045,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/178 no. 1675).
Mereka menjawab pendalilan Imam Ahmad bahwasannya pengaitan hukum jima’ dengan makan dan minum termasuk masalah penempatan hukum dengan sebutan, sehingga tidak menafikkan hal-hal yang lainnya. Pendapat terakhir inilah yang rajih, insyaAllah. (Lihat pembahasan ini dalam Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam oleh Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Aali Bassaam, 1/573-575 hadits no. 179).
[14] Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (2/106).
[15] Idem.
[16] Dinukil melalui perantaraan kitab Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fataawaa ’Ulamaa Al-Baladil-Haraam oleh Dr. Khalid Al-Juraisy, hal. 295-296.
[17] Ada ulama lain yang berusaha menjama’ (menggabungkan) beberapa hadits yang seakan-akan bertentangan dengan penjelasan bahwasannya berbekam saat puasa itu makruh bagi orang yang fisiknya lemah yang dengan ia berbekam bisa menjadi sebab batal puasanya. Namun sebaliknya, hal itu bukan menjadi satu kemakruhan bagi orang yang mempunyai fisik kuat dimana jika ia berbekam tidak menyebabkan badannya lemah yang dengan itu bisa membatalkan puasa. (Lihat penjelasan Asy-Syaukani dalam Nailul-Authaar 4/228)
Pembolehan berbekam saat berpuasa (dan tidak menyebabkan batal) ini merupakan pendapat yang dipegang oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Al-Hasan bin ’Ali, ’Urwah bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, dan imam yang tiga (kecuali Ahmad). Adapun Imam Ahmad berpendapat batalnya orang yang berpuasa karena berbekam atau membekam karena beliau men-ta’lil tambahan lafadh (واحتجم وهو صائم) ”dan berbekam dalam keadaan berpuasa”. Yang benar, tambahan lafadh tersebut adalah shahih. Silakan lihat Taudlihul-Ahkaam min-Buluughil-Maraam (2/489-493 – dalam kitab ini berbeda kesimpulan dengan apa yang kami sebutkan di sini).
[18] Atsar Anas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mendla’ifkannya dari jalan marfu’. Atsar Al-Hasan disambungkan sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan sanad shahih darinya. Adapun atsar Ibrahim, disambungkan sanadnya oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud dengan beberapa jalan darinya, dan riwayat tersebut berkualitas shahih. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 368-370).
[19] HR. Bukhari 2/603 secara mu’allaq. Disambungkan sanadnya oleh Al-Bukhari dalam At-Taarikh dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan ’Abdullah bin Abi ’Utsman bahwasannya ia melihat Ibnu ’Umar melakukan hal tersebut. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 359).
[20] Idem. Disambungkan sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih darinya. (Mukhtashar Shahih Al-Bukhari 1/560 no. 360).
[21] Idem. Disambungkan sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dengan lafadh yang semakna dengannya. Dikeluarkan juga oleh Malik dan Abu Dawud yang semisal dengannya secara marfu’. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 362).
Mereka menjawab pendalilan Imam Ahmad bahwasannya pengaitan hukum jima’ dengan makan dan minum termasuk masalah penempatan hukum dengan sebutan, sehingga tidak menafikkan hal-hal yang lainnya. Pendapat terakhir inilah yang rajih, insyaAllah. (Lihat pembahasan ini dalam Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam oleh Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Aali Bassaam, 1/573-575 hadits no. 179).
[14] Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (2/106).
[15] Idem.
[16] Dinukil melalui perantaraan kitab Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fataawaa ’Ulamaa Al-Baladil-Haraam oleh Dr. Khalid Al-Juraisy, hal. 295-296.
[17] Ada ulama lain yang berusaha menjama’ (menggabungkan) beberapa hadits yang seakan-akan bertentangan dengan penjelasan bahwasannya berbekam saat puasa itu makruh bagi orang yang fisiknya lemah yang dengan ia berbekam bisa menjadi sebab batal puasanya. Namun sebaliknya, hal itu bukan menjadi satu kemakruhan bagi orang yang mempunyai fisik kuat dimana jika ia berbekam tidak menyebabkan badannya lemah yang dengan itu bisa membatalkan puasa. (Lihat penjelasan Asy-Syaukani dalam Nailul-Authaar 4/228)
Pembolehan berbekam saat berpuasa (dan tidak menyebabkan batal) ini merupakan pendapat yang dipegang oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Al-Hasan bin ’Ali, ’Urwah bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, dan imam yang tiga (kecuali Ahmad). Adapun Imam Ahmad berpendapat batalnya orang yang berpuasa karena berbekam atau membekam karena beliau men-ta’lil tambahan lafadh (واحتجم وهو صائم) ”dan berbekam dalam keadaan berpuasa”. Yang benar, tambahan lafadh tersebut adalah shahih. Silakan lihat Taudlihul-Ahkaam min-Buluughil-Maraam (2/489-493 – dalam kitab ini berbeda kesimpulan dengan apa yang kami sebutkan di sini).
[18] Atsar Anas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mendla’ifkannya dari jalan marfu’. Atsar Al-Hasan disambungkan sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan sanad shahih darinya. Adapun atsar Ibrahim, disambungkan sanadnya oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud dengan beberapa jalan darinya, dan riwayat tersebut berkualitas shahih. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 368-370).
[19] HR. Bukhari 2/603 secara mu’allaq. Disambungkan sanadnya oleh Al-Bukhari dalam At-Taarikh dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan ’Abdullah bin Abi ’Utsman bahwasannya ia melihat Ibnu ’Umar melakukan hal tersebut. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 359).
[20] Idem. Disambungkan sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih darinya. (Mukhtashar Shahih Al-Bukhari 1/560 no. 360).
[21] Idem. Disambungkan sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dengan lafadh yang semakna dengannya. Dikeluarkan juga oleh Malik dan Abu Dawud yang semisal dengannya secara marfu’. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 362).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar