Senin, 18 Juni 2012

Pendapat ulama tentang sutrah dalam shalat


Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini, yang terbagi menjadi dua kelompok besar. Jumhur ulama mengatakan sunnah (bukan wajib) – bahkan Ibnu Rusyd [Bidaayatul-Mujtahid, 1/121; Daarul-Hadiits] mengutip adanya ijma’ akan ketidakwajiban ini - , sedangkan sebagian ulama mengatakan wajib.

Di antara mereka yang mengatakan sunnah antara lain : Abu Haniifah, As-Syaafi’iy, Ahmad, Ibnu Qudaamah, An-Nawawiy, Ibnu Rajab, Ibnu ‘Aabidin, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin, Lajnah Daaimah, dan yang lainnya.[1] Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :
Abu Haniifah rahimahullah berkata :
ولا بأس أن يترك السترة إذا أمن المرور ولم يواجه الطريق
“Tidak mengapa meninggalkan sutrah (ketika shalat) apabila aman dari orang lewat dan tidak menghadap ke jalan” [Al-Fatawaa Al-Hindiyyah, 3/344; Daarul-Fikr].
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata :
واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي والقبلة إذا صلى ، مفرداً كان أو إماماً
“Para ulama telah sepakat dengan ijma’ mereka tentang disukainya sutrah (yang diletakkan) antara orang yang shalat dan kiblat sewaktu shalat, baik shalat sendiri atau sebagai imam” [Bidaayatul-Mujtahid, 1/121].[2]
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
السترة ليست شرطاً في الصلاة وإنما هي مستحبة
“Sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Ia hanyalah disunnahkan saja” [Al-Mughniy, 4/6; Daarul-Fikr].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
يُستحبُ للمُصلي أن يكون بين يديه سترة من جداراً أو سارية أو غيرها ويدنو منها بحيث لا يزيدُ بينهما على ثلاثة أذرع
“Disunnahkan bagi orang yang shalat agar meletakkan sutrah di depannya, yang berupa tembok, tiang, atau yang lainnya dan mendekat kepadanya dengan jarak (antara dirinya dengan sutrah) tidak lebih dari tiga hasta” [Raudlatuth-Thaalibiin, 1/398; Al-Maktabah Al-Islaamiy].
Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة
“Shalat menghadap sutrah adalah sunnah muakkadah (yang sangat ditekankan), dan bukan kewajiban” [Tuhfatul-Ikhwaan bi-Ajwibati Tata’allaqa bi-Arkaanil-Islaam, hal. 81].
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
السترة في الصلاة سنة مؤكدة إلا للمأموم فإن المأموم لا يُسن له اتخاذ سترة اكتفاءً بسترة الإمام
“Sutrah dalam shalat hukumnya sunnah muakkadah, kecuali bagi makmun. Karena makmum tidak disunnahkan memakai sutrah, dimana mereka telah dicukupkan dengan sutrahnya imam” [Fataawaa Arkaanil-Islaam, hal. 343 soal no. 267].
Dalil utama yang mereka pakai adalah :
عن كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض أهله عن جده أنه : رأى النبي صلى الله عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهم والناس يمرون بين يديه وليس بينهما سترة
Dari Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya : Bahwasannya ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya (Nabi dengan Ka’bah)[Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Abu Daawud no. 2016, dan yang lainnya].
عن الفضل بن عباس قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة
Dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata : Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di gurun sahara dimana tidak ada di depan beliau sutrah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224, Abu Daawud no. no. 718, dan yang lainnya].
عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata :  “Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76, 493, 861, 1857, dan 4412].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قوله إلى غير جدار أي إلى غير سترة قاله الشافعي
“Perkataannya ‘tanpa menghadap tembok’; maksudnya adalah tanpa menghadap sutrah. Hal itu dikatakan oleh Asy-Syaafi’iy” [Fathul-Baariy, 1/171].
Adapun ulama yang mengatakan wajib antara lain : Ahmad dalam satu riwayatnya, Ibnu Hazm, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Asy-Syaukaaniy, Al-Albaniy, Al-Wadi’iy, dan yang lainnya. Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
فهذه الأخبار كلها صحاح قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم المصلي أن يستتر في صلاته وزعم عبد الكريم عن مجاهد عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى إلى غير سترة وهو في فضاء لأن عرفات لم يكن بها بناء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يستتر به النبي صلى الله عليه وسلم وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة وفي خبر صدقة بن يسار سمعت بن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصلوا إلا إلى سترة وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة فكيف يفعل ما يزجر عنه صلى الله عليه وسلم
“Semua khabar ini adalah shahih. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang yang melakukan shalat agar memakai sutrah dalam shalatnya. Dan telah berkata ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas : ‘Bahwasannya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat tanpa menghadap sutrah di tanah lapang’[3]. Hal ini dikarenakan ‘Arafah tidak mempunyai bangunan di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat bersutrah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shlat kecuali menghadap sutrah. Dalam hadits Shadaqah bin Yasaar (ia berkata) : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian shalat kecuali menghadap ke sutrah’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shalat kecuali menghadap sutrah; lantas bagaimana bisa beliau melakukan sesuatu yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri larang ?” [Shahih Ibni Khuzaimah, 2/27-28; Al-Maktab Al-Islaamiy].
Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata :
السترة واجبة عند جماعة من العلماء
“Sutrah adalah wajib menurut sekelompok ulama” [Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 2/141; Daarul-Fikr].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قوله فليُصلِ إلى سترة فيه أن اتخاذ السترة واجب
“Perkataan beliau ‘maka, hendaklah ia shalat menghadap sutrah’; padanya terdapat satu petunjuk bahwa mengambil sutrah (saat shalat) adalah wajib” [Nailul-Authaar, 3/5; Daarul-Hadiits].
Al-Wadi’iy rahimahullah berkata :
أما اتخاذ السترة فالصحيح الوجوب لقوله صلى الله عليه وسلم إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدنُ منها
“Adapun permasalahan mengambil sutrah (ketika shalat), maka yang benar hukumnya adalah wajib berdasaran sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka shalatlah menghadap ke sutrah dan mendekatlah kepadanya” [Dalam muhaadlarah beliau – As-ilah Al-Ikhwati min Amriikaa].
Ulama yang berpendapat wajib berpegang pada banyak dalil, sedikit di antaranya yang dapat disebutkan :
عن ابن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصل إلا إلى سترة ولا تدع أحدا يمر بين يديك فإن أبى فلتقاتله فإن معه القرين
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu (ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia bersama dengan qarin (syaithan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 800].
عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke sutrah dan mendekatlah padanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 698].
عن موسى بن طلحة، عن أبيه؛ قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل. ولا يبال من مر وراء ذلك".
Dari Muusaa bin Thalhah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian meletakkan sesuatu di depannya seukuran pelana kuda (untuk dijadikan sutrah), hendaknya ia shalat. Dan janganlah ia pedulikan orang-orang yang yang melintas di belakangnya (sutrah)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 241].
Hadits-hadits di atas – dan juga selainnya – berisi perintah. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa asal dari sebuah perintah menunjukkan akan wajibnya, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Dan dalam hal ini – menurut mereka - , tidak ada dalil shahih yang memalingkan asal kewajiban tersebut.
Pembahasan
Pembahasan dalam permasalahan hukum sutrah ini akan berputar pada pembahasan dalil yang dianggap memalingkan dari asal kewajiban dalam perintah. Atau dengan kata lain, adakah dalil shahih dan sharih (jelas) dari perkataan atau perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang tidak wajibnya sutrah ? Pernahkan beliau shalat tanpa menggunakan sutrah ?
Para ulama yang berpendapat sunnahnya telah membawakan beberapa dalilnya. Sekarang akan kita bahas secara ringkas apakah pendalilan tersebut berterima ataukah tidak.
1.        Hadits Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah radliyallaahu 'anhu.
حدثنا أحمد بن حنبل، ثنا سفيان بن عيينة، قال: حدثني كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض أهله، عن جده أنه رأى النبي صلى اللّه عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهمٍ والناس يمرون بين يديه، وليس بينهما سترة
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya : Bahwasannya ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399 dan Abu Daawud no. 2016].
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy no. 588, Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 2/702, Abu Ya’laa no. 7173, serta Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/461 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 7/23 no. 2607; semuanya dari jalan Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Katsiir bin Katsiir, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibbaan dalam Al-Mawaarid 2/119 no. 414 dari jalan Zuhair bin Muhammad Al-‘Anbariy, dari Katsii bin Katsiir, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad ini lemah karena mubham-nya perantara antara Katsiir bin Katsiir dengan kakeknya.
Sufyaan bin ‘Uyainah telah diselisihi oleh Ibnu Juraij dimana ia meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’, sebagaimana diriwayatkan oleh : Ahmad 6/399, Ibnu Maajah no. 2958, An-Nasaa’iy 2/67 & 5/235, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil-Aatsaar 7/23 no. 2608, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/289-290 no. 683.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 2387, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 814, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/25 no. 2609 dan Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/461, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/288 no. 680 & 20/289 no. 682 & 20/290-291 no. 685 & 687, Ibnu Hibbaan no. 2364, dan Ibnu Qaani’ 3/101; semuanya dari jalan Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Selain itu, Ibnu Juraij juga meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari beberapa pembesar (Bani) Al-Muthallib, dari Al-Muthallib sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 20/290 no. 684; akan tetapi ini tidak mahfudh sebagaimana dikatakan Al-Baihaqiy 2/273.
Sufyan bin ‘Uyainah pernah meng-cross check kebenaran riwayat Katsiir bin Katsiir dari ayahnya ini, kepada Katsiir bin Katsiir secara langsung.
قال سفيان وكان ابن جريج أنبأ عنه قال حدثنا كثير عن أبيه فسألته فقال ليس من أبي سمعته ولكن من بعض أهلي عن جدي : أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى مما يلي باب بني سهم ليس بينه وبين الطواف سترة
Telah berkata Sufyaan : “Ibnu Juraij telah memberitakan darinya : Telah menceritakan kepada kami Katsiir, dari ayahnya. Maka aku pun bertanya kepada Katsiir, dan ia berkata : ‘Bukan dari ayahku aku mendengar riwayat itu, akan tetapi dari sebagian keluargaku, dari kakekku : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Tidak ada sutrah antara beliau dengan orang-orang yang thawaf” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/23-24, dan Al-Baihaqiy 2/273].
Ringkasnya, riwayat Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah ini tidak shahih (dla’iif).
2.        Al-Fadhl bin Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حدثنا عبد الملك بن شعيب بن الليث قال حدثني أبي عن جدي عن يحيى بن أيوب عن محمد بن عمر بن علي عن عباس بن عبيد الله بن عباس عن الفضل بن عباس قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة وحمارة لنا وكلبة تعبثان بين يديه فما بالى ذلك
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari Yahyaa bin Ayyuub, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ‘Abbaas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbaas, dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata : Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di sahara dimana tidak ada di depan beliau sutrah. Sementara itu seekor keledai dan seekor anjing berman-main di depan beliau, dan beliau pun tidak menghiraukannya” [Diriwayatkan Abu Daawud no. 718].
‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits bin Sa’d Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah (w. 248 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 623 no. 4213].
Syu’aib bin Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abu ‘Abdil-Malik; seorang yang tsiqah, pandai, lagi faqiih (135-199 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 438 no. 2821].
Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abul-Haarits; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi imam (92/93/94-175/176/177 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 817 no. 5720].
Yahyaa bin Ayyuub Al-Ghaafiqiy, Abul-‘Abbaas Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun kadang keliru (w. 168 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslm dalam Shahih-nya [idem, hal. 1049 no. 7561].
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy; seorang yang shaduuq (w. setelah tahun 130 H) [idem, hal. 881 no. 6210].
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah seorang yang maqbuul (yaitu dalam mutaba’ah). Ibnu Hazm telah men-ta’lil hadits ‘Abbaas bin ‘Ubaidillah ini, karena ia tidak pernah bertemu dengan pamannya, Al-Fadhl bin ‘Abbaas. Apa yang dikatakan Ibnu Hazm ini disepakati Ibnu Hajar [Tahdziibut-Tahdziib, 5/123].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahawiy 1/460, Ath-Thabaraaniy 18/no. 756, Al-Baihaqiy 2/278, dan Al-Baghawiy no. 549; semuanya dari jalan Yahyaa bin Ayyuub, selanjutnya seperti hadits di atas.
Penghukuman riwayat ini adalah lemah (dla’if).
Dikatakan, hadits di atas mempunyai syaahid :
حدثنا أبو معاوية حدثنا الحجاج عن الحكم عن يحيى بن الجزار عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj, dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang, tidak ada sesuatu pun di depan beliau (yang menjadi sutrah) [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224].
Abu Mu’aawiyyah, ia adalah Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (113-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 840 no. 5878].
Al-Hajjaaj, ia adalah Ibnu Arthaah bin Tsaur bin Hubairah An-Nakha’iy; seorang yang hasan haditsnya lagi mudallis. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam kitab Man Tukullima fiihi Wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 159-160 no. 78. Al-Albaaniy menerima riwayatnya selain periwayatannya yang mudallas sebagaimana nampak pada Irwaaul-Ghaliil 7/330. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth menyimpulkan dirinya seorang yang shaduuq, hasan haditsnya, namun mudallis [Tahriirut-Taqriib, 1/250-251 no. 1119].
Al-Hakam, ia adalah Ibnu ‘Utaibah Al-Kindiy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (50-113/114/115 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 263 no. 1461]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua perawi mudallis, pada kitabnya Thabaqaatul-Mudallisiin no. 43.
Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Tahriirut-Taqriib, 4/80 no. 7519].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 1/278, Abu Ya’laa no. 2601, dan Al-Baihaqiy dari jalan Abu Mu’aawiyyah, selanjutanya seperti hadits di atas.
Riwayat ini juga lemah, karena Hajjaaj bin Al-Arthaah yang mudallis. Di sini ia membawakan dengan ‘an’anah. Selain itu, riwayat ini juga munqathi’ (terputus), karena Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu [lihat : Musnad Al-Imam Ahmad 1/291].
Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy dalam periwayatan dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Murrah sebagai berikut :
أخبرنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت يحيى بن الجزار عن بن عباس قال جئت أنا وغلام من بني هاشم على حمار فمررنا بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم فنزلنا وتركنا الحمار يأكل من بقل الأرض أو قال من نبات الأرض فدخلنا معه في الصلاة قال رجل لشعبة كان بين يديه عنزة قال لا
Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Aku dan seorang anak dari Bani Haasyim datang dengan mengendarai keledai. Lalu kami lewat di depan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami pun turun dan membiarkan keledai kami memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di bumi. Lalu kami masuk ikut shalat bersama beliau”. Seorang laki-laki bertanya kepada Syu’bah : “Apakah di depan beliau ada ‘anazah (sebagai sutrah) ?”. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh ‘Aliy bin Al-Ja’d dalam Musnad-nya no. 92, dan darinya Abu Ya’laa no. 2423].
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 436 no. 2805].
‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin Al-Haarits Al-Muradiy, Abu ‘Abdillah/’Abdirrahman Al-Kuufiy Al-A’maa; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 116/118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 745 no. 5147].
Al-Albaaniy menghukumi tambahan dialog antara laki-laki di atas dengan Syu’bah adalah syaadz, karena ini termasuk penyendirian ‘Aliy bin Ja’d [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/680].
Menurut kami, ketidakabsahan tambahan tersebut bukan karena faktor ‘Aliy bin Al-Ja’d (bin ‘Ubaid Al-Jauhariy Al-Baghdaadiy), karena ia seorang yang tsiqah lagi tsabat, dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 691 no. 4732]. Ketidakabsahan tambahan tersebut tidak lain karena riwayat ini lemah (munqathi’) sebagaimana riwayat sebelumnya.
Riwayat Yahyaa bin Al-Jazzaar dari Ibnu ‘Abbaas yang tersambung adalah melalui perantaraan Shuhaib Al-Mishriy, seorang yang shaduuq [Tahriirut-Taqriib, 2/144 no. 2956], sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 716-717, Ibnu Khuzaimah no. 836 & 882, Ibnu Ja’d no. 163, dan Abu Ya’laa no. 2749; semuanya dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Shuhaib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :  
جئت أنا وغلام من بني عبد المطلب على حمار، ورسول اللّه صلى الله عليه وسلم يصلي فنزل ونزلت، وتركنا الحمار أمام الصف فما بالاه، وجاءت جاريتان من بني عبد المطلب فدخلتا بين الصف فما بالى ذلك.
“Aku dan seorang anak dari Bani ‘Abdil-Muthallib datang dengan mengendarai keledai, sedangkan pada waktu itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Lalu anak itu turun, dan aku pun juga turun (dari keledai). Kami meninggalkan keledai di depan shaff, dan beliau tidak menghiraukannya. Lalu, datanglah dua orang budak perempuan dari Bani ‘Abdil-Muthallib yang masuk di antara shaf, dan beliau pun tidak menghiraukannya” [selesai – lafadh dari Abu Daawud].
Sanadnya hasan. Riwayat ini tidak ada tambahan keterangan ketidakadaan ‘anazah atau sutrah di depan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini menunjukkan bahwa tambahan lafadh ‘tidak ada sesuatu pun di depan beliau (yang menjadi sutrah)’ dalam jalur Yahyaa bin Al-Jazzaar adalah tidaklah mahfudh.
Dikuatkan lagi, Shuhaib ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/219, Ibnu Abi Syaibah 1/278 & 280, Muslim no. 504, Abu Daawud no. 715, Ibnu Maajah no. 947, An-Nasaa’iy 2/64, Abu Ya’laa no. 2382, Ibnu Khuzaimah no. 832, dan yang lainnya; semuanya dari Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي بعرفة. فجئت أنا والفضل على أتان. فمررنا على بعض الصف. فنزلنا عنها وتركناها. ثم دخلنا في الصف
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di ‘Arafah[4]. Lalu aku datang bersama Al-Fadhl dengan mengendarai keledai betina. Kami lewat di sebagian shaff. Lalu kami turun dan meninggalkan keledai itu, yang kemudian kami masuk ke dalam shaff” [selesai – lafadh Ibnu Maajah].
Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah (107-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
Az-Zuhriy, ia adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh, lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 896 no. 6336].
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi tsabat (w. 94/97 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahihnya [idem, hal. 640 no. 4338].
Riwayat ini shahih.
[catatan kecil : Ibnu ‘Uyainah dalam riwayat ini mempunyai mutaba’ah dari Maalik sebagaimana akan dibahas pada hadits no. 3 di bawah].
Ringkas kata, hadits yang dianggap sebagai syaahid tidaklah bisa dipergunakan sebagai syahiid (silakan lihat pada hadits no. 3 di bawah). Maka, hadits kedua ini pun masih tetap dengan kelemahannya.
Berbeda halnya dengan Al-Arna’uth yang menghukumi hadits kedua ini hasan li-ghairihi dengan adanya syaahid yang disebutkan di atas. Wallaahu a’lam.
3.        Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
حدثنا إسماعيل بن أبي أويس قال: حدثني مالك، عن ابن شهاب، عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة، عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Aus, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76].
Hadits ini juga tidak sharih (jelas) bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan sutrah. Dinding/tembok adalah salah satu jenis dari sutrah. Penafikkan sebagian tidaklah mengkonsekuensikan penafikan semuanya sebagaimana dimaklumi dalam ushul.
Ilustrasinya : Dony adalah salah satu anak dari tiga orang anak yang dimiliki oleh Pak Noto. Jika dikatakan : Dony tidak ada di rumah, maka apakah itu berkonsekuensi anak-anak Pak Noto yang lain juga tidak ada di rumah ?.
Mina/’Arafah pada waktu itu memang belum mempunyai bangunan. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ‘anazah (tombak kecil) yang ditancapkan di depannya yang beliau pergunakan sebagai sutrah.
Perhatikan hadits berikut :
حدثنا يزيد بن أبي حكيم حدثنا الحكم يعني ابن أبان قال: سمعت عكرمة يقول: قال ابن عباس قال : ركزت العنزة بيت يدي النبي صلى الله عليه وسلم بعرفات فصلى اليها والحمار يمر من وراء العنزة.
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Abi Hakiim : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam – yaitu Ibnu Abaan - , ia berkata : Aku mendengar ‘Ikrimah berkata : Telah berkata Ibnu ‘Abbaas : "Al-‘Anazah (tombak kecil) ditancapkan di depan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di ‘Arafah. Beliau shalat dengan menghadap ke arahnya sementara keledai melintas di belakang tongkat tersebut" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/243].
Yaziid bin Abi Hakiim Al-Kinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-‘Adniy; seorang yang shaduuq (w. setelah 220 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 1073 no. 7753].
Al-Hakam bin Abaan Al-‘Adniy, Abu ‘Iisaa; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 154 H pada usia 84 tahun) [idem, hal. 261 no. 1447].
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
Sanad riwayat ini hasan.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa nash-nash yang diangap sebagai pemalingan wajibnya sutrah kepada sunnah/penganjuran (saja) adalah lemah. Pendek kata, yang rajih, hukum memakai sutrah ketika shalat adalah wajib.
Apakah pendalilan dan perkataan ulama tentang permasalahan ini hanya yang tercantum di atas ? Tentu saja tidak. Masih banyak yang lain. Apa yang saya tuliskan – mungkin - hanya pengulangan atau penambahan dari artikel-artikel yang telah ada.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – nJakal, Jokja].





[1]        Adapun Maalik bin Anas rahimahullah mempunyai pendapat tersendiri :
ومن كان في سفر فلا بأس أن يصلِّي إلى غير سترة وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة
“Barangsiapa dalam keadaan safar, maka tidak mengapa ia shalat tanpa menggunakan sutrah. Adapun jika ia dalam keadaan hadir (tidak safar), maka tidak boleh ia shalat kecuali menghadap ke sutrah” [Al-Mudawwanah, 1/289].
[2]        Penukilan adanya ijma’ ini nampaknya disepakati oleh Dr. Wahbah Az-Zuhailiy. Ia berkata :
هي سنة مشروعة، لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا صل أحدكم فليصل إلى سترة، ولْيَدْن منها، ولا يدع أحداً يمر بين يديه، فإن جاء أحد يمر، فليقاتله، فإنه شيطان »  
وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه.........
“Ia (sutrah) merupakan sunnah yang disyari’atkan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka shalatlah menghadap sutrah, dan mendekatlah padanya. Dan jangan ia biarkan seorang pun untuk melintas di depannya. Apabila ada seseorang yang melintas, maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah syaithan’.
Sutrah itu bukan sesutau yang wajib menurut kesepakatan para fuqahaa’, karena perintah untuk menghadap sutrah itu adalah anjuran saja. Orang yang tidak menghadap shalat, maka batallah shalatnya; padahal sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Salaf tidak selalu menggunakan sutrah. Seandainya hal itu wajib, niscaya mereka akan selalu menggunakannya…..” [Al-Fiqhul-Islaamiy, 1/752; Daarul-Fikr].
Namun, apa yang diklaim sebagai ijma’ oleh Ibnu Rusyd ataupun Az-Zuhailiy ini tidak lah benar.
[3]        Hadits ini lemah; lihat Tamaamul-Minnah oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy hal. 305.
[4]        Sebagaian riwayat menyebutkan : ‘Mina’.

Tidak ada komentar: