Prof. Dr. Harun Nasution, Neo Mu’tazilah dan Paham Inkar Sunnah di Indonesia
Setelah tamat dari tingkat SMA di al-Azhar maka beliau
mlanjutkan studinya di Universitas al-Azhar di Fakultas Usuluddin hanya 2 tahun
karena ia kurang betah dengan system pelajaran al-Azhar yang klasik dan
mengandalkan hafalan, kemudian ia pindah ke Universitas Amerika di Cairo (AUC),
yang menurutnya mengagumkan dalam metode pengajaran dan system yang digunakan
hingga S1. Kemudian atas bantuan Prof. Dr H.M Rasyidi beliau mampu melanjutkan
pendidikan di Universitas Mc. Hill, Kanada. Dengan harapan agar Harun Nasution
menjadi Mahasiswa yang kritis dan cerdas terhadap apa yanag ia terima dari kaum
orientalis namun yang terjadi sebaliknya Harun justru menjadi murid yang
terpengaruh dengan pemikiran dan metode kaum orientalis dan sangat kagum dan
memuja mereka. Ketika kembali ke Indonesia ia membawa dan
menebarkan pemikiran kaum orientalis. Ia meninggalkan beberapa karya tulis yang
pada umumnya membahas masalah filsafat, rasionalis, dan tasawuf, sementara
semua hasil karyanya tidak lepas dari syubhat dan kesesatan sebagaimana yang
telah ditegaskan oleh Prof. Dr. Rasyidi dalam bukunya ”Koreksi Terhadap Harun
Nasution”. (Fenomena Sunnah di Indonesia, hal. 104-105 karya Dawud Rasyid).
Pokok-pokok Pemikirannya
- Harun mengingkari penulisan da penghafalan hadits pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak, dengan alasan Umar bin Khaththab yang mengurungkan niat menyusun hadits yang telah ia kumpulkan.
- Kondifikasi hadits baru dimulai pada abad kedua Hujriyah, sehinga sebelum periode itu, antara hadits shahih dan hadits palsu tidak dapat dibedakan disebabkan karena usaha pembukuan yang terlambat.
- Para Shahabat bersikap sangat ketat dalam menerima hadits, hal ini dibuktikan oleh sikap Abu Bakar yang meminta saksi terhadap kebenaran perawi dan Ali bin Abu Thalib yang menyuruh beberapa perawi bersumpah. Secara implisit dan tidak langsung Harun menganggap bahwa para Shahabat meragukan kejujuran para perawi hadits, karena banyak kasus pemalsuan hadits.
- Pembukuan dalam skala besar dilakukan di abad ketiga Hijriyah melalui para penulis Kutubus Sittah.
- Imam Bukhari menyaring 3.000 hadits dari 600.000 hadits yang telah ia kumpulkan.
- Tidak ada ijma kaum muslimin tentang keshahihan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Sebagai konsekwensinya, kedudukan Sunnah sebagai hujjah tidak sama dengan al-Qur’an.
- Yang disepakati tentang kehujahannya hanya hadits mutawatir saja. Adapun hadits masyur dan ahad keduanya masih diperselisihkan.
- Karena sibuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam, para Shahabat menerima segala macam hadits, sekalipun maudhu. (Fenomena Sunnah di Indonesia, hal. 28-29 karya Dawud Rasyid).
Benar apa yang ditegaskan Dr. Muhammad Abu
Syuhbah: ”Sesungguhnya kesalahan utama kaum orientalis dari kalangan Yahudi dan
para Pendeta Kristiani dalam mempelajari hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dengan sengaja mereka ingin
merusak agama Islam dan melucutinya aqidah kaum muslimin sehingga mereka tidak
percaya lagi terhadap kebenaran agama mereka. Dengan cara menghujat dua sumber
agama, al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka berharap memetik hasil yang dimaksud.
Gagasan yang digulirkan kaum orientalis asalnya bukan bertujuan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan penelitian Islam bahkan murni untuk sebuah
target politik dalam rangka menghancurkan Islam dan memalingkan kaum muslimin
dari agama mereka, karena mereka paham bahwa tidak akan mampu menguasai negeri
Islam kecuali dengan cara melemahkan ajaran jihad yang terukur indah dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika mereka mampu mendistrosi kedua sumber agama
tersebut terutama yang mengupas tentang ajaran jihad, maka kesemangatan kaum
muslimin dalam berjihad akan lemah dan akhirnya gampang ditaklukkan. (Difaaun
Anis Sunnah, hal.372 karya Dr.Muhammad Abu Syuhbah).
Disalin dari : Ensiklopedi Penghujatan
Terhadap Sunnah, hal 399-401 karya Zaenal Abidin Syamsudin, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar