Asy-Syaikh Dr. ‘Aliy Jumu’ah– semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan beliau – pernah mengatakan bahwa penolakan secara mutlak hadits dla’iif merupakan bid’ah yang diada-adakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah, yang tidak pernah dilakukan oleh seorang imam dari kalangan imam kaum muslimin. Tidak diragukan bahwa perkataan beliau ini mengandung kekeliruan yang amat fatal. Seandainya beliau mengatakan bahwa jumhur ulama menerima dan mengamalkan hadits dla’iif (dalam masalah fadlaailul-a’maal serta targhiib dan tarhiib) – tanpa mengisyaratkan adanya ijmaa’ - , tentu lebih selamat. Berikut akan dibawakan beberapa bukti ketidakvalidan tuduhan Asy-Syaikh ‘Aliy Jumu’ah tersebut.
Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata :
وإنما
ألزموا أنفسهم الكشف عن معايب رواة الحديث ، وناقلي الأخبار ، وأفتوا بذلك حين سئلوا
لما فيه من عظيم الخطر ، إذ الأخبار في أمر الدين إنما تأتي بتحليل أو تحريم أو
أمر أو نهي أو ترغيب أو ترهيب
“Mereka (para ulama) hanyalah menetapkan pada diri mereka
untuk menyingkap aib-aib para perawi hadits dan periwayat khabar, serta
berfatwa dengan hal tersebut ketika mereka ditanya, karena besarnya bahaya yang
ada padanya. Dikarenakan khabar termasuk perkara agama, maka ia datang dengan
penghalalan, pengharaman, perintah, larangan, targhiib, dan tarhiib”
[Muqaddimah Shahiih Muslim, hal. 31].
Madzhab Muslim sangat terlihat jelas dalam muqaddimah kitab
Shahiih-nya bahwasannya ia mencela para perawi dla’iif sekaligus
menolak penggunaan hadits dla’iif secara mutlak. Oleh karena itu, Ibnu
Rajab rahimahullah berkata :
وظاهر ما
ذكره مسلم في مقدمة كتابه يقتضي أنه لا يروي أحاديث الترغيب والترهيب إلا عمن تروى
عنه الأحكام
“Dan yang nampak dari yang disebutkan Muslim dalam muqaddimah
kitab-nya menunjukkan bahwa ia tidak meriwayatkan hadits-hadits targhiib
dan tarhiib, kecuali dari orang yang diriwayatkan darinya hadits-hadits ahkaam”
[Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 1/373].
Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy rahimahullah atau
yang lebih terkenal dengan nama Adz-Dzuhliy[3], berkata :
وَلا
يَجُوزُ الاحْتِجَاجُ إِلا بِالْحَدِيثِ الْمُوصَلِ غَيْرِ الْمُنْقَطِعِ، الَّذِي
لَيْسَ فِيهِ رَجُلٌ مَجْهُولٌ وَلا رَجُلٌ مَجْرُوحٌ
“Dan tidak boleh berhujjah kecuali dengan hadits maushul
(bersambung) yang bukan munqathi’ (terputus), serta tidak terdapat
padanya perawi majhuul dan perawi majruuh” [Al-Kifaayah,
hal. 56].
لا
يُكْتَبُ الْخَبَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى
يَرْوِيَهُ ثِقَةٌ عَنْ ثِقَةٍ، حَتَّى يَتَنَاهَى الْخَبَرُ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، وَلا يَكُونُ فِيهِمْ رَجُلٌ
مَجْهُولٌ، وَلا رَجُلٌ مَجْرُوحٌ، فَإِذَا ثَبَتَ الْخَبَرُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، وَجَبَ قَبُولُهُ
وَالْعَمَلُ بِهِ وَتَرْكُ مُخَالَفَتِهِ.
“Tidak boleh ditulis khabar dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam hingga diriwayatkan oleh perawi tsiqah dari perawi
tsiqah hingga berakhir pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dengan sifat ini. Tidak boleh ada dalam sanad khabar itu perawi majhuul
dan perawi majruuh. Apabila telah tetap khabar dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan sifat ini, wajib untuk menerima dan mengamalkannya
serta meninggalkan yang bertentangan dengannya” [idem].
Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata :
سَمِعْتُ
أَبِي، وَأَبَا زُرْعَةَ، يَقُولَانِ: " لَا يُحْتَجُّ بِالْمَرَاسِيلِ وَلَا
تَقُومُ الْحُجَّةُ إِلَّا بِالْأَسَانِيدِ الْصِّحَاحِ الْمُتَّصِلَةِ "،
وَكَذَا أَقُولُ أَنَا
“Aku mendengar ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu
Zur’ah berkata : ‘Tidak boleh berhujjah dengan hadits-hadits mursal, dan
tidaklah tegak hujjah kecuali dengan hadits dengan sanad yang shahih
lagi muttashil (bersambung)’. Dan demikian juga yang aku (Ibnu Abi
Haatim) katakan” [Al-Maraasiil no. 15].
Ibnu Hibbaan rahimahullah setelah menyebutkan
beberapa hadits tentang larang berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam[4], berkata :
فكل شاك
فيما يروي أنه صحيح أو غير صحيح داخل في ظاهر خطاب هذه الخبر
“Dan setiap orang yang ragu atas hadits yang ia riwayatkan
apakah shahih atau tidak shahih, masuk dalam dhahir khithaab hadits ini”
[Al-Majruuhiin, 1/17].
Dan setelah menyebutkan hadits : ‘cukuplah seseorang
berdosa apabila ia menceritakan semua yang ia dengar’, Ibnu Hibbaan rahimahullah
berkata :
في هذا
الخبر زجر للمرء أن يحدث بكل ما يسمع حتى يعلم على اليقين صحته، ثم يحدث به دون لا
يصح
“Dalam hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk
menceritakan segala yang ia dengar hingga ia mengetahui secara yakin akan
keshahihannya, kemudian ia menceritakannya – tanpa menceritakan yang tidak
shahih” [idem].
Saya cukupkan dengan sebagian ulama mutaqaddimiin
di atas yang membatalkan tuduhan Asy-Syaikh ‘Aliy Jumu’ah.
Pendapat para imam di atas sangatlah kuat, karena hadits dla’iif
hanyalah menghasilkan adh-dhannul-marjuuh (persangkaan yang lemah),
sedangkan dhann semacam ini telah dinafikkan oleh Allah ta’ala sebagai
jalan untuk mencapai kebenaran :
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ
شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai
kebenaran” [QS.
Yuunus : 36].
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka” [QS. Al-An’aam : 116].
Begitu juga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang mengikuti dhann seperti ini sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ
هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar,
dari Hammaam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda : “Jauhilah persangkaan, karena persangkaan
itu adalah sedusta-dusta perkataan….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
6064].
Selain itu, para ulama hadits sendiri telah
mengklasifikasikan hadits dla’iif dalam hadits marduud. Sungguh
aneh jika telah masuk klasifikasi hadits marduud masih dapat untuk
diamalkan.
Abu
Al-Jauzaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar