Senin, 18 Juni 2012

Meninggalkan shalat


Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ أَنَّ ابْنَ مُحَيْرِيزٍ الْقُرَشِيَّ ثُمَّ الْجُمَحِيَّ أَخْبَرَهُ وَكَانَ بِالشَّامِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ مُعَاوِيَةَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّ الْمُخْدَجِيَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي كِنَانَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ بِالشَّامِ يُكْنَى أَبَا مُحَمَّدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ الْوَتْرَ وَاجِبٌ فَذَكَرَ الْمُخْدَجِيُّ أَنَّهُ رَاحَ إِلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَذَكَرَ لَهُ أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ يَقُولُ الْوَتْرُ وَاجِبٌ فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid[1] : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa – yaitu Ibnu Sa’iid[2] - , dari Muhamad bin Yahyaa bin Habbaan[3] : Bahwasannya Ibnu Muhairiiz Al-Qurasyiy Al-Jumahiy[4] telah mengkhabarkannya saat berada di Syam – dan ia telah bertemu dengan Mu’aawiyyah - , lalu ia (Ibnu Muhairiiz) mengkhabarkannya bahwa Al-Mukhdajiy[5] – seorang laki-laki dari Bani Kinaanah – telah mengkhabarkannya : Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar di Syaam yang ber-kun-yah – Abu Muhammad[6] telah mengkhabarkannya bahwa shalat witir hukumnya wajib. Al-Mukhdajiy menyebutkan dirinya pergi menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, lalu ia menyebutkan kepadanya bahwa Abu Muhammad telah berkata shalat witir itu hukumnya wajib. ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : “Abu Muhammad telah berdusta. Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah tabaraka wa ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikitpun dan tanpa meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah tabaraka wa ta’ala yang akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya. Dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 5/315-316].


Takhrij :
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (2/296 & 14/235-236) dan dalam Al-Musnad (2/96), Ad-Daarimiy (no. 1618), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (no. 1029), dan Asy-Syaasyiy dalam Al-Musnad (no. 1281); dari jalan Yaziid bin Haaruun, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ (no. 290), ‘Abdurrazzaaq (3/5-6 no. 4575), Al-Humaidiy (no. 392), Abu Daawud (no. 1420), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (no. 1030), An-Nasaa’iy (1/230), Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (8/193-195 no. 3167-3168), Asy-Syaasyiy (no. 1284 & 1286), Ath-Thabaraaniy dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin (no. 2181-2183), Ibnu Hibbaan (no. 1732), Al-Baihaqiy (1/361 & 2/8, 467 & 10/217), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (4/103-104 no. 977), Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh (7/65 & 71/132), dan Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah (8/364-365 no. 447-449); semuanya dari jalan Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy, selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy (no. 392), Ath-Thabaraaniy dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin (3/246-249 no. 2182-2187), Ibnu Maajah (no. 1401), Ibnu Hibbaan (no. 1731 & 2417), Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar (no. 3169 & 3171), Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (1/468 no. 967), Asy-Syaasyiy (no. 1282-1283 & 1287); dari beberapa jalan (Muhammad bin ‘Ajlaan, ‘Abdur-Rabbihi bin Sa’iid, Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah, Naafi’ bin Abi Nu’aim, ‘Amru bin Yahyaa Al-Maaziniy, Sa’d bin Sa’iid, Muhammad bin Ibraahiim, dan ‘Uqail bin Khaalid), semuanya dari Muhammad bin Yahyaa bin Habbaan, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini dla’iif karena Al-Mukhdajiy seorang yang majhuul.
Akan tetapi Al-Mukhdajiy mempunyai mutaba’ah dari :
1.      Abu Idriis Al-Khaulaaniy.
Abu Daawud Ath-Thayaalisiy rahimahullah berkata :
حدثنا زمعة عن الزهري عن أبي إدريس الخولاني قال كنت في مجلس من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فيهم عبادة بن الصامت فذكروا الوتر فقال بعضهم واجب وقال بعضهم سنة فقال عبادة بن الصامت أما أنا فأشهد أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول أتاني جبرائيل صلى الله عليه وسلم من عند الله تبارك وتعالى فقال يا محمد إن الله عز وجل قال لك إني قد فرضت على أمتك خمس صلوات من وافى على وضوئهن ومواقيتهن وركوعهن وسجودهن فإن له عندي بهن عهدا أن أدخله بهن الجنة ومن لقيني قد انتقص من ذلك شيئا أو كلمة شبهها فليس له عندي عهدا إن شئت عذبته وإن شئت رحمته
Telah menceritakan kepada kami Za’mah[7], dari Az-Zuhriy[8], dari Abu Idriis Al-Khaulaaniy[9], ia berkata : Aku pernah berada di majelis para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit ada di antara mereka. Mereka memperbincangkan tentang shalat witir. Sebagian di antara mereka mengatakan hukumnya wajib, dan sebagian yang lain sunnah. ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : Adapun aku, maka aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jibriil shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dari sisi Allah tabaaraka wa ta’aalaa, lalu ia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allh ‘azza wa jalla telah berfirman kepadamu : ‘Sesungguhnya Aku telah mewajibkan bagi umatmu lima waktu shalat. Barangsiapa memenuhi wudlunya, waktunya, rukuknya, dan sujudnya, maka ada perjanjian baginya di sisi-Ku dengan hal tersebut untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barangsiapa yang menemui-Ku dengan mengurangi sesuatu dari hal itu – atau kalimat yang semisalnya - , maka ia tidak mempunyai perjanjian di sisi-Ku. Apabila mau, Aku akan mengadzabnya; dan bila mau, Aku akan merahmatinya” [Al-Musnad no. 374 – tahqiq : At-Turkiy].
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/12-127) dari jalan Ath-Thayaalisiy.
Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Zam’ah.
2.      ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ زَعَمَ أَبُو مُحَمَّدٍ أَنَّ الْوَتْرَ وَاجِبٌ فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ أَشْهَدُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلَّاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ فَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَسُجُودَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad[10] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif[11], dari Zaid bin Aslam[12], dari ‘Athaa’ bin Yasaar[13], dari ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy[14], ia berkata : Abu Muhammad mengatakan bahwa shalat witir hukumnya wajib. Lalu 'Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : “Abu Muhammad telah berdusta. Aku besaksi bahwasannya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Ada lima waktu shalat yang telah Allah wajibkan atas para hamba-Nya. Barangsiapa yang memperbagus wudlunya dan shalat pada waktunya, lalu menyempurnakan rukuknya, sujudnya, dan kekhusyu’annya, maka ia memiliki perjanjian dengan Allah agar Dia mengampuninya. Dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka ia tidak memiliki perjanjian di sisi Allah. Jika berkehendak, Allah akan mengampuninya; dan jika berkehendak, Allah akan mengadzabnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/317].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud (no. 425) Al-Baihaqiy (2/215 & 3/367), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (no. 978), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (5/56 no. 4658 & 9/12 no. 9315), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/130-131), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (2/955-956 no. 1034), Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Ghailaaniyyaat (hal. 284-285 no. 820), dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (23/291); dari jalan Zaid bin Aslam, selanjutnya sama seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat.
3.      Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit.
Asy-Syaasyiy rahimahullah berkata :
حدثنا عباس الدوري نا أبو نعيم نا النعمان عن عبادة بن الوليد عن أبيه الوليد بن عبادة بن الصامت عن عبادة قال : أشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم يقول : افترض الله خمس صلوات على خلقه من أداهن كما افترض عليه لم ينتقص من حقهن شيئا استخفافا به لقي الله وله عنده عهد، ومن انتقص من حقهن شيئا استخفافا لقي الله ولا عهد له. إن شاء عذبه وإن شاء غفر له.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas Ad-Duuriy[15] : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nu’aim[16] : Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nu’maan[17], dari ‘Ubaadah bin Al-Waliid[18], dari ayahnya Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit[19], dari ‘Ubaadah, ia berkata : Aku bersaksi bahwa sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda : ‘Allah telah mewajibkan shalat lima waktu atas makhluk-Nya. Barangsiapa yang menunaikannya sebagaimana yang telah diwajibkan kepadanya tanpa mengurangi sedikitpun hak-haknya dengan meremehkannya, ia akan bertemu Allah dengan mempunyai perjanjian di sisi-Nya (untuk dimasukkan ke dalam surga). Dan barangsiapa yang mengurangi hak-haknya dengan meremehkannya, ia akan bertemu Allah tanpa mempunyai perjanjian di sisi-Nya. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya; dan jika berkehendak, akan mengampuninya” [Musnad Asy-Syaasyiy, 3/117 no. 1177].
Diriwayatkan juga olehnya 3/199 no. 1285 dan Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (hal. 969-970 no. 1053) dari jalan Abu Nu’aim, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini lemah, karena An-Nu’maan majhuul.
4.      Al-Muthallib bin ‘Abdillah bin Al-Muthallib.
Asy-Syaasyiy rahimahullah berkata :
حدثنا أبو بكر الصغاني نا يحيى بن أبي بكير حدثني يعقوب القاري عن عمرو عن المطلب عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال : خمس صلوات كتبهن الله عز وجل على العباد، فمن أتى بهن قد حفظ حقهن فأن له عند الله عهدا أن يدخله الجنة ومن أتى بهن قد أضاع شيئا من حقهن استخفافا فإنه لم يكن له عند الله تعالى عهد إن شاء عذبه وإن شاء رحمه.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ash-Shaghaaniy[20] : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya bin Abi Bukair[21] : Telah menceritakan kepadaku Ya’quub Al-Qaariy[22], dari ‘Amru[23], dari Al-Muthallib[24], dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda : “Lima waktu shalat telah Allah ‘azza wa jalla wajibkan atas para hamba. Barangsiapa yang melaksanakannya dimana ia menjaga hak-haknya, maka ia mempunyai perjanjian di sisi Allah untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barangsiapa melaksanakannya dengan mengabaikan hak-haknya serta meremehkannya, maka ia tidak mempunyai perjanjian disisi Allah ta’ala. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya, dan apabila berkehendak, Allah akan merahmatinya” [Musnad Asy-Syaasyiy, 3/179-180 no. 1265].
Sanad hadits ini lemah, karena keterputusan antara Al-Muthallib dengan ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, sebagaimana dikatakan Abu Haatim dalam Al-Maraasiil (hal. 209).
‘Ubaadah bin Ash-Shaamit mempunyai syawaahid, antara lain :
1.      Abu Qataadah.
Ibnu Maajah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا ضُبَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السُّلَيْكِ أَخْبَرَنِي دُوَيْدُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ إِنَّ أَبَا قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِيٍّ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِي عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلَا عَهْدَ لَهُ عِنْدِي
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar Al-Himshiy[25] : Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin Al-Waliid[26] : Telah menceritakan kepada kami Dlubaarah bin ‘Abdillah bin Abis-Sulaik[27] : Telah mengkhabarkan kepadaku Duwaid bin Naafi’[28], dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah berkata Sa’iid bin Al-Musayyib[29] : Bahwasannya Abu Qataadah bin Rib'iy telah mengabarkan kepadanya : Bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allah azza wa jalla berfirman : ‘Aku telah mewajibkan atas umatmu shalat lima waktu. Dan Aku telah menetapkan sebuah perjanjian di sisi-Ku : Barangsiapa yang menjaganya sesuai waktunya, akan Aku masukkan ia ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka tidak ada perjanjian baginya di sisi-Ku" [As-Sunan, no. 1403].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud (no. 429) dari Abu Sa’iid Al-A’rabiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-Malik bin Yaziid Ar-Rawwaas – yang ber-kun-yah Abu Usaamah - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami Haiwah bin Syuraih Al-Mishriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Baqiyyah, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini lemah, karena Baqiyyah bin Al-Waliid dan Dlubaarah. Riwayat Baqiyyah dari perawi dla’iif adalah dla’iif, sedangkan Dlubaarah majhuul.
2.      Ka’b bin ‘Ujrah
Ahmad bin Hanbal rahimahulah berkata :
حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُسَيَّبِ الْبَجَلِيُّ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدِي ظُهُورِنَا إِلَى قِبْلَةِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةُ رَهْطٍ أَرْبَعَةٌ مَوَالِينَا وَثَلَاثَةٌ مِنْ عَرَبِنَا إِذْ خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الظُّهْرِ حَتَّى انْتَهَى إِلَيْنَا فَقَالَ مَا يُجْلِسُكُمْ هَاهُنَا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ قَالَ فَأَرَمَّ قَلِيلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ مَنْ صَلَّى الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَحَافَظَ عَلَيْهَا وَلَمْ يُضَيِّعْهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا فَلَهُ عَلَيَّ عَهْدٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ لِوَقْتِهَا وَلَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا وَضَيَّعَهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا فَلَا عَهْدَ لَهُ إِنْ شِئْتُ عَذَّبْتُهُ وَإِنْ شِئْتُ غَفَرْتُ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Haasyim[30] : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy[31], dari Asy-Sya’biy[32], dari Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata : Saat aku duduk di dalam masjid Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan menyandarkan punggung ke kiblat masjid, dan jumlah kami waktu itu tujuh orang dengan empat orang pembantu dan tiga orang Arab dusun. Tiba-tiba Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam keluar ke tempat kami untuk menunaikan shalat dhuhur hingga selesai. Lalu beliau bertanya : "Apa tujuan kalian duduk-duduk di sini ?". Kami menjawab :  "Wahai Rasulullah, kami sedang menunggu shalat". Kemudian beliau diam sejenak, lalu mengangkat kepalanya seraya bersabda : "Apakah kalian tahu apa yang difirmankan oleh Rabb kalian 'azza wa jalla ?". Kami menjawab : "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui". Beliau bersabda : "Sesungguhnya Rabb kalian 'azza wa jalla berfirman : 'Barangsiapa menunaikan shalat pada waktunya, kemudian ia menjaganya, tidak melalaikannya karena meremehkan haknya, maka ia mempunyai janji atas-Ku agar Aku memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa shalat tidak pada waktunya, dan tidak pula menjaganya serta melalaikannya karena meremehkan haknya, maka ia tidak memiliki perjanjian. Apabila mau, Aku akan mengadzabnya; dan apabila mau, Aku akan mengampuninya" [Al-Musnad, 4/244].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (no. 4764), dalam Al-Kabiir (19/142 no. 311), dan dalam Majma’ul-Bahrain (no. 556)  : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Al-Husain Ash-Shaabuuniy[33], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuraiq bin As-Sukht[34], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku[35] Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Sanad hadits ini lemah karena kelemahan ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy.
‘Iisaa mempunyai mutaba’ah dari Abu Hushain sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (no. 3174) dari jalan Abu Umayyah[36], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Saabiq[37], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Maalik – yaitu Ibnu Mighwal[38] - , dari Abu Hushain[39], dari Asy-Sya’biy, dari Ka’b, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Sanad hadits ini hasan.
Ada mutaba’ah lain sebagaimana diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (19/142-143 no. 312-313); dari As-Sirriy bin Isma’iil dan Miskiin bin Shaalih, keduanya dari Asy-Sya’biy, dari Ka’b bin ‘Ujrah. Namun sanad hadits ini sangat lemah.
Asy-Sya’biy mempunyai mutaba’ah dari Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir (1/387), ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab (no. 371), Ad-Daarimiy (no. 1262), dan Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (8/199-200 no. 3173); dari jalan Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan[40] : Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Sa’d bin Ka’b bin ‘Ujrah[41], dari ayahnya[42], dari Ka’b bin ‘Ujrah.
Sanad hadits ini lemah karena kelemahan ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan dan jahalah dari Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah (lihat catatan kaki no. 42).
Walhasil, hadits ini secara keseluruhan adalah shahih. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy, Al-Arna’uth, dan Basyar ‘Awwad. Dihasankan juga oleh Mushthafa bin Al-‘Adawiy.
Sebagian Fiqh Hadits
Hadits ini dijadikan dalil bagi jumhur ulama tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas (dengan tetap mengakui kewajibannya tanpa mengingkarinya). Sangat sharih (jelas) penunjukkan hadits tersebut bahwa kedudukan orang yang tidak menjaga shalatnya (shalat tidak pada waktunya, tidak menjaga kekhusyukannya, atau  bahkan tidak mengerjakannya) masih dalam masyi’ah (kehendak) Allah ta’ala. Jika Allah kehendaki, maka ia akan diampuni; dan jika Allah kehendaki, maka ia akan diadzab di neraka dengan adzab yang sangat pedih.
Para ulama Ahlus-Sunnah[43] berbeda pendapat mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja karena malas (dengan tetap mengakui kewajibannya tanpa mengingkarinya). Jumhur ulama mengatakan tidak kafir, namun ia telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam dengan adzab neraka; sedangkan sebagian ulama lain mengatakan kafir.
Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
   وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.[44]
Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allah subhaanahu  tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84, tahqiq & takhrij & ta’liq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy; Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423].
Begitu juga yang dikatakan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmuu’ Al-Fataawaa (7/609).
Kembali pada bahasan hukum meninggalkan shalat sebagaimana di singgung di awal sub bab ini. Ibnu Nashr Al-Marwadziy rahimahullah menyanggah pendalilan jumhur dengan hadits yang telah ditakhrij di atas dengan perkataannya :
فإن قوله : "لم يأت بهن" إنما يقع معناه على أنه لم يأت بهن على الكمال، إنما أتى بهن ناقصات من حقوقهن نقصانا، لا يبطلهن ولم يقل ذلك.
“Lalu sabda beliau (shalallaahu ‘alaihi wa sallam) : ‘tidak mengerjakannya (shalat lima waktu)’, maka maknanya hanyalah bahwa ia tidak mengerjakannya secara sempurna. Orang tersebut mengerjakannya secara kurang (sempurna) dalam pelaksanaan hak-haknya, tanpa menggugurkannya, dan tanpa ia mengatakannya” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 968, tahqiq & takhrij : Dr. ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Jabbaar Al-Fariiwaaiy; Maktabah Ad-Daar, Cet. 1/1406].
ومن حقوق الصلاة : الطهارة من الأحداث، وطهارة الثياب التي تصلي فيها، وطهارة البقاع التي تصلي عليها، والمحافظة على مواقيتها التي كان يحافظ عليها النبي صلى الله عله وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، والخشوع فيها من ترك الالتفات، والعبث، والحديث النفس، وترك الفكرة فيما ليس من أمر الصلاة، وإحضار القلب، واشتغاله بما يقرأ، ويقول بلسانه، وإتمام الركوع والسجود، فمن أتى بذلك كله كاملا على ما أمر به، فهو الذي له العهد عند الله تعالى بأن يدخله الجنة، ومن أتى بهن، لم يتركهن، وقد انتقص من حقوقهن شيئا، فهو الذي لا عهد له عند الله، إن شاء عذبه وإن شاء عفر له، فهذا بعيد الشبه من الذي يتكها أصلا لا يصليها.
“Dan termasuk hak-hak shalat adalah : suci dari hadats, sucinya pakaian yang akan dipakai dalam shalat, sucinya tempat yang akan dipakai shalat di atasnya, menjaga waktu-waktunya dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum menjaganya. Juga khusyu’ dengan meninggalkan iltifat (menoleh ketika shalat), sendau-gurau, dan perbincangan; serta meninggalkan pikiran yang bukan termasuk perkara shalat, menghadirkan hati, menyibukkan diri/berkonsentrasi dengan apa yang sedang dibaca, mengucapkan (bacaan shalat) dengan lisannya, menyempurnakan rukuk dan sujud. Barangsiapa yang melakukan semua itu secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, maka ia lah orang yang mempunyai perjanjian di sisi Allah ta’ala dimana Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang mengerjakannya tanpa meninggalkannya, namun ia mengurangi sesuatu dari hak-haknya, maka ia lah orang yang tidak mempunyai perjanjian di sisi Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya; dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya” [idem, hal. 971].
Akan tetapi sanggahan Al-Marwadziy rahimahullah ini kurang bisa diterima. Bagaimana bisa diterima untuk dikatakan tidak kafir hukumnya bagi orang yang sengaja (dan bahkan membiasakan) mengakhirkan shalat sehingga keluar dari waktunya, namun di sisi lain mengkafirkan orang yang tidak shalat ? Makna keluar dari waktunya ini pun juga luas, tidak sekedar keluar sedikit dari waktu yang ditentukan.[45]
Selain itu, dalam sebagian lafadh telah disebutkan : ‘Dan barangsiapa shalat tidak pada waktunya, dan tidak pula menjaganya’ ; maka ini mencakup dua hal sekaligus, yaitu shalat tidak pada waktunya dan tidak menjaga aktifitas shalat itu sendiri alias ia tidak melazimkan amalan shalat.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
فكان في حديث عبادة : إن لم يأت بهن، يعني : الصلاوات الخمس.
“Dan dalam hadits ‘Ubaadah : ‘jika ia tidak mengerjakannya’, yaitu : (tidak mengerjakan) shalat lima waktu” [Syarh Musykilil-Aatsaar, 8/200, tahqiq & takhrij & ta’liq : Syu’aib Al-Arna’uth; Muasasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1415].
Maksudnya, orang yang tidak mempunyai perjanjian di sisi Allah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu tersebut. Inilah makna dhahir yang terambil dari hadits – sebagaimana tersurat dalam penjelasan Ath-Thahawiy.
Pendapat jumhur ulama ini kemudian disokong juga oleh hadits berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ عَنِ الْحَسَنِ وَابْنِ سِيرِينَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ فَلَمَّا احْتُضِرَ قَالَ لِأَهْلِهِ انْظُرُوا إِذَا أَنَا مِتُّ أَنْ يُحْرِقُوهُ حَتَّى يَدَعُوهُ حُمَمًا ثُمَّ اطْحَنُوهُ ثُمَّ اذْرُوهُ فِي يَوْمِ رِيحٍ فَلَمَّا مَاتَ فَعَلُوا ذَلِكَ بِهِ فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللَّهِ فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ قَالَ أَيْ رَبِّ مِنْ مَخَافَتِكَ قَالَ فَغُفِرَ لَهُ بِهَا وَلَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil[46] : Telah menceritakan kepada kami Hammaad[47], dari Tsaabit[48], dari Abu Raafi’[49], dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari beberapa orang, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Ada seorang laki-laki pada masa sebelum kalian. Dia tidak pernah beramal satu kebaikkan pun selain tauhid. Maka ketika ajal menjemputnya, dia berkata kepada keluarganya : 'Perhatikanlah, jika aku mati, hendaklah mereka membakarnya dan membiarkannya sehingga menjadi arang. Kemudian hendaklah mereka menghancurkannya (menjadi abu hitam) dan membuangnya ke udara terbuka (sehingga abu itu berterbangan karena tertiup angin)'. Maka ketika ajal benar-benar telah menjemputnya, mereka melaksanakan wasiat tersebut. Ketika Allah telah menggenggamnya, Allah ‘azza wa jalla berfirman : 'Wahai anak Adam apa yang mendorongmu untuk berbuat begitu ?’. Dia menjawab : 'Wahai Rabb, aku melakukan begitu karena rasa takutku kepada-Mu'". Nabi bersabda : "Lalu Allah mengampuninya karena rasa takut tersebut, padahal ia tidak pernah melakukan perbuatan baik kecuali tauhid" [Musnad Ahmad, 2/304; shahih].
Hadits di atas menunjukkan bahwa Allah mengampuni orang tersebut dengan rahmatnya, meskipun orang tersebut tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun kecuali tauhid.
Jika dikatakan bahwa hadits tersebut menceritakan kaum sebelum kita yang tidak dibebani syari’at shalat sehingga tidak ada sisi pendalilan padanya (untuk mengatakan ketidakkafiran orang yang meninggalkan shalat), maka alasan ini juga tidak bisa diterima. Telah banyak tertera dalam hadits-hadits bahwa umat-umat sebelum kita juga dibebani syari’at shalat. Bahkan hal itu tergambar jelas pada hadits tentang dialog antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Muusaa ‘alaihis-salaam pada peristiwa mi’raj.
Jika dikatakan bahwa hadits tersebut di-takhshish dengan hadits yang menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, maka alasan ini juga terolak. Istitsnaa’ (pengecualian) tidak menerima keberadaan takhshish (pengkhususan). Istitsnaa’ dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu sendiri.
Kemudian, dikuatkan lagi oleh hadits syafa’at yang panjang :
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ
“Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong dari amal” [Fathul-Majiid, hal. 48, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Mathba’ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Cet. 7/1377].
Sebagian ada yang mengatakan bahwa hadits di atas di-takhshish dengan hadits yang menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sehingga maknanya adalah : Orang yang tidak pernah berbuat amal kebaikan tersebut adalah amal kebaikan selain shalat. Pemaknaan semacam ini – selain janggal – bertentangan dengan dhahir hadits. Telah disebutkan secara jelas bahwa keadaan orang tersebut tanpa amalan yang pernah mereka amalkan (بغيرِ عَمَل عمِلُوه) dan tanpa kebaikan yang mereka lakukan sebelumnya (وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ) sewaktu hidup di dunia. Apakah shalat bukan termasuk amalan dan kebaikan ?
Adapun klaim bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat merupakan ijma’ di kalangan shahabat[50], maka ini perlu dikritisi. Perhatikan riwayat berikut :
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنْ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ وَلَا صِيَامٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنْ النَّارِ ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “(Ajaran) Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah dan apa itu sedekah, dan akan ditanggalkan Kitabullah di malam hari, sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun. Yang tersisa adalah beberapa kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah', maka kami mengucapkannya". Shilah berkata kepadanya : " Apakah perkataan Laa ilaaha illallaah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji, dan shadaqah?". Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzifah menjawab : “Wahai Shilah, kalimat itu (laa ilaaha illallaah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkan itu sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan Al-Haakim 4/473, shahih].
Hadits ini menunjukkan bahwa Hudzaifah berpendapat bahwa orang yang tidak melakukan shalat bermanfaat untuk menyelamatkannya dari kekekalan neraka. Jawaban yang diberikan Hudzaifah adalah jawaban yang bersifat umum. Seandainya kalimat tauhid secara asal tidak memberikan manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat, dan haji itu – sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang bertanya – niscaya Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata : “Benar wahai Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum tersebut” – atau yang semakna.
Dan yang lainnya.
Banyak hal yang dapat didiskusikan antara dua pendapat di kalangan ulama Ahlus-Sunnah ini.
Sengaja saya tuliskan hujjah jumhur ulama saja. Hal itu dikarenakan, semula, tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan bantahan terhadap orang-orang yang pendek pikirannya yang punya angan-angan bahwa khilaf ini bukan khilaf mu’tabar. Bukan khilaf yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah. Terutama bagi orang  yang tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat, sehingga digolongkan sebagai Murji’ah. Dapat kita lihat bahwa ini merupakan bahasan ilmiah klasik yang telah dilakukan oleh salaf kita semenjak beratus-ratus tahun lalu. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita bersikap bijak menghadapi perselisihan ini dengan tidak mengeluarkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Apalagi jika perbedaan pendapat itu terletak pada khilaf fiqhiyyah mu’tabarah. Dan jujur, bukan hal yang mudah untuk memberikan tarjih pada salah satu pendapat karena masing-masing mempunyai dalil yang cukup kuat.
Itu saja yang dapat dituliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa].



[1]      Yaziid bin Haaruun bin Zadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ahli ibadah (117-206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842 dan Mu’jam Syuyuukh Al-Imaam Ahmad fil-Musnad hal. 394 no. 283].
[2]      Yahyaa bin Sa’iid bin Qais bin ‘Amru Al-Anshaariy An-Najaariy; seorang yang tsiqah lagi tsabt (w. 143/144/146 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1056 no. 7609].
[3]      Muhammad bin Yahyaa bin Munqidz Al-Anshaariy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 121 H dalam usia 74 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 90 no. 6421].
[4]      ‘Abdullah bin Muhairiz bin Junaadah bin Wahb Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Abu Muhairiiz Al-Makkiy; seorang yang tsiqah (w. 99 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 544 no. 3629].
[5]      Abu Rufai’ Al-Mukhdajiy Al-Kinaaniy Al-Filasthiiniy; seorang yang majhuul. Tidak ada yang men-tsiqah-kannya kecuali Ibnu Hibbaan [Ats-Tsiqaat, 5/570]. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul” [At-Taqriib, hal. 1146 no. 8160]. Adz-Dzahabiy berkata : “Telah di-tsiqah-kan” [Al-Kaasyif, 2/426 no. 6624].
[6]      Namanya : Mas’uud bin Zaid bin Subai’ Al-Anshaariy, salah seorang shahabat [lihat Usudul-Ghaabah 5/155-156 no. 4885, Ats-Tsiqaat  3/396, dan Tajriid Asmaaush-Shahaabah 2/73 no. 815].
[7]      Zam’ah bin Shaalih Al-Janadiy Al-Yamaaniy Abu Wahb; seorang yang dla’iif [idem, hal. 340 no. 2046].
[8]      Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh, lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 896 no. 6336].
[9]      Ia adalah ‘Aaidzullah bin ‘Abdillah bin ‘Amru Abu Idriis Al-Khaulaaniy; seorang yang tsiqah (w. 80 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 479 no. 3132].
[10]     Husain bin Muhammad bin Bahraam At-Tamiimiy Al-Marruudziy; seorang yang tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 250 no. 1354, dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imam Ahmad hal. 162 no. 56].
[11]     Muhammad bin Mutharrif bin Daawud Al-Laitsiy Abu Ghassaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 897 no. 6345].
[12]     Zaid bin Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aalim, namun sering meng-irsal-kan riwayat (w. 136). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 350 no. 2129].
[13]     ‘Atha’ bin Yasaar Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 103/104). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 679 no. 4638].
[14]     ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy, ini keliru. Yang benar – wallaahu a’lam – adalah Abu ‘Abdillah Ash-Shunaabihiy, ‘Abdurrahmaan bin ‘Usailah; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 591 no. 3977].
[15]     ‘Abbaas bin Muhammad bin Haatim bin Waaqid Ad-Duuriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (185-271 H) [idem, hal. 488 no. 3206].
[16]     Ia adalah Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (129/130-218 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 782 no. 5436].
[17]     An-Nu’maan bin Daawud bin Muhammad bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang majhuul haal [Mishbaahul-Ariid, 3/340 no. 28277].
[18]     ‘Ubaadah bin Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 485 no. 3178].
[19]     Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1038 no. 7480].
[20]     Ia adalah Muhammad bin Ishaaq bin Ja’far Abu Bakr Ash-Shaaghaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 270 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 824 no. 5758].
[21]     Yahyaa bin ‘Abdillah bin Bukair Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah (154/155-231 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1059 no. 7630].
[22]     Ya’quub bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin ‘Abdillah Al-Qaariy; seorang yang tsiqah (w. 181 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1088 no. 7878].
[23]     ‘Amru bin Abi ‘Amru maula Al-Muthallib Abu ‘Utsmaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 742 no. 5118].
[24]     Al-Muthallib bin ‘Abdillah bin Al-Muthallib bin Hanthab bin Al-Haarits Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan irsaal [Tahriirut-Taqriib, 3/386 no. 6710].
[25]     Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar Al-Himshiy; seorang yang tsiqah (w. 255 H) [Tahriirut-Taqriib, 4/94-95 no. 7604].
[26]     Baqiyyah bin Al-Waliid bin Shaaid bin Ka’b Al-Kalaa’iy; seorang yang shaduuq namun banyak melakukan tadlis taswiyyah (110-197 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya untuk mutaba’ah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 174 no. 741].
[27]     Dlubaarah bin ‘Abdillah bin Maalik bin Abis-Saliil Abu Syuraih Al-Himshiy; seorang yang majhuul [idem, hal. 457 no. 2978].
[28]     Duwaid bin Naafi’ Al-Umawiy Abu ‘Iisaa Asy-Syaamiy; seorang yang hasan haditsnya [Tahriirut-Taqriib 1/381 no. 1832 dan Silsilah Adl-Dla’iifah 4/405].
[29]     Sa’iid bin Al-Musayyib bin Hun bin Abi Wahb bin ‘Amru Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang telah disepakati ketsiqahan dan keimamannya (w. 93/94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2409].
[30]     Haasyim bin Al-Qaasim bin Muslim Abun-Nadlr Al-Laitsiy Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (134-205/207 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1017 no. 7305 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad hal. 361 no. 254].
[31]     ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif [Lisaanul-Miizaan, 6/280-281 no. 5950].
[32]     Ia adalah ‘Aamir bin Syaraahiil Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, masyhuur, faqiih, lagi mempunyai keutamaan (w. 103/104/105/106/107/110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 475-476 no. 3109].
[33]     ‘Abdurrahmaan bin Al-Husain Abu Mas’uud Ash-Shaabuuniy At-Tusturiy; seorang yang shaduuq [Irsyaadul-Qaashiy wad-Daaniy, hal. 354 no. 533].
[34]     Zuraiq bin As-Sukht Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang lurus haditsnya (mustaqiimul-hadiits) [Ats-Tsiqaat, 8/259].
[35]     Tashriih penyimakan Asy-Sya’biy dari Ka’b bin ‘Ujrah ini membatalkan perkataan Ibnu Ma’iin yang mengatakan bahwa Asy-Sya’biy tidak mendengar riwayat dari Ka’b, namun melalui perantaraan ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa [At-Taariikh, 1/379 no. 2561].
[36]     Ia adalah Muhammad bin Ibraahiim bin Muslim bin Saalim Al-Khuzaa’iy Abu Umayyah Ath-Thurthuusiy; seorang yang shaduuq (w. 273) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 820 no. 5736 dan Tahriirut-Taqriib 3/207 no. 5700].
[37]     Muhammad bin Saabiq At-Tamiimiy; seorang yang shaduuq (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 846 no. 5934].
[38]     Maalik bin Mighwal bin ‘Aashim Al-Bajaliy Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 157/158/159 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 917 no. 6492].
[39]     Ia adalah ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain Abu Hushain Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 128/129/132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 664 no. 4516].
[40]     ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan bin Ma’bad bin Haudzah Al-Anshaariy Abun-Nu’maan Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif [Silsilah Adl-Dla’iifah 3/75 dan Tahriirut-Taqriib 2/353 no. 4029].
[41]     Ishaaq bin Sa’d bin Ka’b bin ‘Ujrah. Asy-Syaikh Muqbil dalam At-Tatabbu’ (2/248) mengatakan bahwa penamaan ini keliru, dan yang benar adalah Sa’d bin Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah sebagaimana dikatakan oleh Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (2/221-222 no. 765). Adapun Sa’d bin Ishaaq, maka ia seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 368 no. 2242].
[42]     Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah; seorang yang majhuul haal [Taqriibut-Tahdziib, hal. 131 no. 384].
[43]     Sebagian kalangan muta’akkhiriin yang bodoh dan ghuluw telah menganggap perselisihan tentang masalah ini adalah perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Ahlul-Bida’ !
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” [QS. Yuunus : 36].
[44]     Shahih : Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), namun dengan lafadh :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.
[45]     Misalnya seseorang yang sengaja mengakhirkan shalat Dhuhur hingga masuk waktu ‘Isya’. Atau sengaja mengakhirkan shalat ‘Isya’ hingga waktu Dhuhur hingga keesokan harinya. Oleh karena itu, sengaja mengakhirkan pelaksanaan – dan bahkan membiasakan – shalat hingga keluar dari waktu sebenarnya tidaklah lebih ringan daripada tidak shalat itu sendiri. Allah ta’ala telah berfirman :
الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
[46]     Namanya adalah Mudhaffar bin Mudrik Al-Khurasaaniy Abu Kaamil; seorang yang tsiqah lagi mutqin (w. 207 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 950 no. 6768].
[47]     Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 167 H). Dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-29 no. 1507].
[48]     Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 185 no. 818].
[49]     Nufai’ Ash-Shaaigh Abu Raafi’ Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1008 no. 7231].
[50]     At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Al-Jaami’, no. 2622; shahih].

Tidak ada komentar: