Senin, 25 Juni 2012

MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH DAN AL-SALAFIYAH


Ahlussunnah maupun Salafiya biasa digunakan oleh ulama ahlul hadits untuk menyebut orang-orang yang diselamatkan Allah dari Neraka. Karena itu disebut juga al-Firqotun Najiyah “Kelompok yang Selamat”. Nama-nama itu memang berbeda dan secara bahasa mempunyai arti yang tidak sama.  Yang jelas setiap istilah mempunyai dalil, dan hakikatnya adalah satu yaitu :
“Orang yang mengikuti kami dan sahabat kami.”
 Terkenal ungkapan yang mereka usung: kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits/al-Sunnah sesuai pemahaman para Sahabat/generasi Salaf. Mengapa tidak cukup berdasarkan al-Quran dan al-Hadits saja ? Karena bila tidak berdasarkan pemahaman sahabat bisa terjadi kesalahan dalam memahaminya. Al-Quran dan al-Hadits memang sebagai dasar pijakan umat islam. Lantas apakah setiap orang boleh memahami sekehendaknya ? Kalau ini terjadi tentu setiap orang akan mempunyai pemahaman masing-masing, sebanyak kepala orang.

Karena itulah Islam yang lurus dan benar adalah Islam yang berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah sesuai dengan  yang dipahami para Sahabat. Kemudian mengapa pemahaman Sahabat ? Karena para Sahabat hidup pada zaman Nabi dan sekaligus menjadi murid langsung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, mereka tentu lebih mengetahui apa yang dimaksud dalam al-Quran dan al-Hadits. Kemudian para Sahabat mempunyai murid yang disebut dengan tabi’in. Tabi’in ini pun mempunyai murid, yang disebut tabi’ut-tabi’in. Demikian seterusnya mereka melahirkan murid-murid unggulan, yaitu para imam Ahlussunnah. Di antaranya yang  baru saja meninggalkan kita adalah Syaikh al-Albani, Syaikh Bin Baz, dan Syaikh Utsaimin, rahimahumullah.

Ahlussunnah atau salafus-shalih tidak bisa diklim hanya milik secara terbatas oleh kelompok, golongan, atau partai tertentu. Seperti muncul gejala sehari-hari Ahlussunnah wal Jama’ah atau Salafiyah seakan-akan milik NU (Nahdhatul Ulama), sementara Ahlussunnah seakan-akan milik Muhammadiyah. Ahlussunnah atau Salafiyah adalah suatu pemahaman yang sesuai dengan pemahaman para Sahabat, baik dalam berakidah (yaitu selalu menjauh dari kesyirikan), dalam bersyari’at (yaitu selalu menjauh dari hal-hal yang bid’ah), dalam berakhlak (yaitu berusaha selalu dengan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), fan tentunya dalam berdakwah (sesuai dengan dakwah para Rasul dan para Sahabat yaitu selalu menekankan tauhid dan menjelaskan tentang syirik). Kalu tidak seperti itu berarti sama saja omong kosong.

Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada surat Ali Imran ayat ke-106 disebutkan:
”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram..”
Yang dimaksud muka yang putih berseri adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara yang dimaksud muka yang hitam muram adalah Ahli bid’ah. Ini adalah penafsiran Ibnu Abbas sebagaimana tercantum dalam Tafsir al-Baghawi Juz II hal. 97 dan Fathul Qadir Juz II hal.10. Ibnu Abbas adalah seorang sahabat muda usia yang didoakan oleh Rasulullah menjadi ahli tafsir.

Dari keterangan tersebut tampak jelas tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah dan Salafiyah.

Perlu diketahui bahwa Ahlussunnah secara umum adalah lawan dari Syi’ah, dan secara khusus Ahlussunnah adalah lawan daripada Ahli Bid’ah.

Imam al-Syathibi berkata, ”Sunnah adalah lawan bid’ah. Dikatakan fulan berada di atas Sunnah apabila perbuatannya sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di katakanlah fulan di atas bid’ah apabila perbuatannya menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Asas Manhaj Salaf dalam Da’wah ila Allah hal.25).

Karena itu oula Ahlussunnah disifati sebagai al-Ghuraba’ dan Al-Firqatun Najiyah. Mengapa? Jawabannya adalah :

1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
”Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali lagi menjadi asing. Niscaya beruntunglah orang-orang yang asing.” (Shahih Muslim no.208).

Disini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang asing karena kebanyakan orang meninggalkan Sunnah dan sedikit saja yang sudi menegakkan Sunnah. Karena amat sedikitnya orang yang berpegang pada Sunnah itulah orang yang berpegang pada Sunnah (Ahlussunnah) dikatakan terasing.

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberikan berita akan terjadinya
Perpecahan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi 73 golongan disebabkan bid’ah dan hawa nafsu. Allah menetapkan Ahlussunnah sebagai yang selamat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Ingatlah! Sesungguhnya kaum sebelum kalian, dari kalangan Ahli Kitab, telah berpecah menjadi 72 millah. Dan sungguh umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya masuk neraka, sementara yang satu berada di dalam surga. Merekalah al-Jama’ah”. (Sunan Abi Dawud no.3981).

Syaikh al-Sa’di berkata, ”Mengapa Ahlussunnah berhak menerima pertolongan? Karena Ahlusunnah wal Jama’ah dan Ahlulhadits telah menolong agama Allah, Kitab-Nya, dan sunnah rosul-Nya. (Asas Manhaj Salaf dalam Da’wah ila Allah hal.26).

Apabila Ahlussunnah dan Salafiyah disifati dengan banyaknya nama nyalah perbedaan dari sisi penyebutan atau istilah. Mereka, semua, hakekatnya satu, setiap nama tidak m engurangi isi dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Tidak dibenarkan apabila perbedaan nama penyebutan tersebut menjadikan munculnya perbedaan akidah, manhaj,, atau syariat, karena madzhab Salaf adalah madzhab Sahabat. Dalam praktik kehidupan sehari-hari bisa saja sebagian kalangan/kelompok/jamaah/yayasan yang mengatasnamakan Salaf mengalami penyimpangan dari para Sahabat. Itu artinya mereka memang telah menyelisihi madzhab Salaf dan menganut madzhab yang diikutinya, yakni manusia, sementara manusia jelas bisa salah di samping juga bisa benar, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) para Sahabat adalah ma’shum.

Syaikh al-Albani pernah ditanya, apakah Salafiyah itu manhaj atau jamaah?

Syaikh al-Albani memjawa, ”Salafiyah adalah manhaj (jalan/metodologi) bukan jamaah dan bukan tanzhim (organisasi), jadi bukan seperti anggapan sebagaian orang. Menyandarkan kepada manhaj salaf-shalih, baik dalam masalah iman, aqidah, fikih, pemahaman, ibadah, akhlak, pendidikan dan tazkiyah/penyucian jiwa”.

Berkata Syaikh al-Albani, ”Kami terang-terangan memerangi hizbiyah, karena dalam hizbiyah akan terjadi gejala sebagaimana tersebut dalam surat a-Rum ayat ke-32:
”Setiap kelompok akan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka”

Sedangkan hizb (partai) dalam islam hanya ada satu yaitu hizbullah jamaaturrasul. Dengan begitu kita harus mengikuti manhaj Sahabat. Inilah yang diminta oleh Allah, al-Quran, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh al-Albani ditanya, apa hakikat as-salafiyah?.
Beliau menjawab, “Takkala kita menyebutkan as-salaf sesungguhnya yang dimaksud adalah sebaik-baik golongan yang ada di muka bumi ini setelah para nabi dan rasul. Siapakah mereka itu? Mereka adalah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup pada abad pertama (setelah nabi) kemudian zaman tabi’in yang hidup pada abad kedua, kemudian tabi’ut-tabi’in yang hidup pada abad ketiga setelah nabi”. (Al-Manhaj al-Salafi ’inda Syaikh al-Albani karya Amru Abdulmun’im Sulaim hal. 13).

Menurut Syaikh al-Albani tiga qurun (abad) di atas tersebut, secara mutlak, merupakan sebaik-baik zaman dan merekalah sebaik-baik umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau kita intima’ (loyal) kepada Salaf berarti kita intima’ (loyal) kepada sebaik-baik zaman, bukan kepada person atau jama’ah. Kalau person atau jama’ah semuanya bisa salah atau sesat; sebagian atau semuanya.

Syaikh al-Albani berkeyakinan bahwa mengikuti manhaj Salaf adalah dharuri (keharusan) baik amalan dan i’tiqad. Sementara itu menyandarkan nama kepada Salaf –contoh klaim kami beraqidah Salaf atau bermanhaj Salaf- tanpa bukti pengamalan, berarti omong-kosong, seperti nama tanpa sifat. (Tidak berbeda orang yang bernama atau menamakan diri muttaqin tetapi perbuatannya jauh dari nilai taqwa).

Syaikh al-Albani berkata, ”Semua firqoh selain fiqah najiyah –sebagaimana disebut dalam hadits (perpecahan umat)- mengatakan telah berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, entah kelompok Jahmiyah, Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah dan selainnya. Kelompok-kelompok ini pada umumnya mengaku intima’ (loyal) dan mengklaim berdasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi setelah dicek dilihat dengan betul ternyata justru menyelisihi Alussunnah (tidak melaksanakan sunnah), bahkan melakukan bid’ah, menyelisihi Sahabat & imam Ahlussunnah dan menyelisihi jalan kaum Muslimin”. (Al-Manhaj al-Salafi ’inda Syaikh al-Albani karya Amru Abdulmun’im Sulaim hal. 16).

Syaikh al-Albani, ”Tidaklah tercela orang yang menampakkan atau mengumumkan madzhab Salaf, menyandarkan kepadanya, dan mengagungkannya, bahkan wajib diterima karena madzhab Salaf adalah madzhab yang benar”.

Syaikh al-Albani berkata, ”Sebagian orang menyangka bahwa kata Salf tidak ada berasal dari nabi dan dia berkata bahwa seorang muslim tidak boleh mengatakan saya ’muslim salafi’. Seakan-akan dia melarang orang muslim berkata saya mengikuti salafusshalih dalam akidah, ibadah, dan akhlak”.

Tidak diragukan bahwa orang yang mengingkari Salaf tidak ubahnya seperti mengilzamkan atau menyuruh orang untuk bara’ (berlepas diri) dari Islam yang benar yaitu Islam salafus-shalih yang imannya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam hadits yang sahih :
Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka”. Shahih al-Bukhari no.2458.

Kata Salaf sudah dikenal baik dari segi bahasa atau istilah/syariat, sebagaimana tersebut dalam hadits shahih dari nabi bahwa menjelang wafatnya beliau pernah berkata Sayyidah Fathimah,
Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik salaf/pe ndahulu bagimu adalah saya”. (Al-Manhaj as-Salafi ’insa Syaikh al-Albani karya Amru Abdulmun’im Sulaim hal.17).

Islam tidaklah melarang orang mengikuti madzhab dari berbagai madzhab yang ada, baik dalam akidah maupun fikih seperti zaman ini. Yang tidak bolah ada sikap ta’ashub (fanatik buta madzhab/kelompok) terhadap imamnya seperti dalam masalah fikih madzhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki, atau dalam berakidah dengan madzhab Asy’ari atau Maturidiyah.

Semua imam Ahlussunnah berwasiat kepada murid-murudnya, ambillah hadits yang shahih dan tinggalkanlah perkataan yang menyelisihinya. Yang jelas selama masih menjadi manusia tidak akan ma’shum tapi kalau umat Islam berpegang pada manhaj Salaf berarti berpegang pada manhaj yang ma’shum. Untuk itulah para imam, termasuk imam madzhab yang empat, tidak mengajarkan kepada orang sikap kefanatikan terhadap pendapatnya.

Imam Malik berkata, ”Setiap orang bisa diambil pendapatnya bisa pula ditolak pandangannya, kecuali orang yang berada di dalam kubur ini [maksudnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam]”.

Imam Syafi’i, ”Jika ada hadits yang sahih, itulah madzhabku (pendapatku)”.

”Hendaklah kalian memperhatikan Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang Rasyid setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham (pegang prinsip itu kuat-kuat)”. (Tuhfatul Ahwadzi juz II hal. 57).

Demikian harapan kami semoga dengan tulisan ini bisa mengubah sikap perilaku kita baik dalam akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj menjadi lebih baik lagi.

 Al-Ustadz al-Fadhil Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc

Tidak ada komentar: