Tanya : Bagaimana status hadits : Kita kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar ? Apakah shahih ? Jawab : Hadits tersebut tidak ada asalnya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al-Furqaan Baina Auliyaair-Rahmaan wa Auliyaaisy-Syaithaan. Beliau berkata :
فلا
أصل له ولم يروه أحد من أهل المعرفة بأقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله
وجهاد الكفار من أعظم الأعمال
”Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak
pernah diriwayatkan oleh satupun ahli ma’rifah (ulama) dari perkataan atau
perbuatan Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam. Adapun jihad melawan orang-orang kafir merupakan amal
yang paling besar (dalam Islam)” [selesai]. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah benar, karena berkesesuaian dengan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam :
رأس
الأمر الإسلام وعموده الصلاة وذروة سنامه الجهاد
“Pokok urusan adalah Islam, tiangnya
adalah shalat, dan puncak tertingginya adalah jihad” [HR. Ahmad 5/237 no. 22121, At-Tirmidzi no. 2616,
dan Ibnu Majah no. 4044; shahih
lighairihi]. Kata “jihad” di sini disebut secara mutlak tanpa taqyid sifat-sifat tertentu. Maka jihad yang dimaksud adalah jihad dengan pedang fii sabiilillah meninggikan kalimat Allah melawan kuffar.
Adapun Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini (yaitu hadits : Kita kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar) hanyalah perkataan Ibrahim bin ’Ablah saja.
Sebagai satu peringatan, Al-Ghazali telah membawakan hadits tersebut dalam kitabnya : Ihyaa ’Uluumiddin dengan menyandarkan pada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (marfu’) (3/7 dan 3/66). Ia (Al-Ghazali) berkata : ”Dan telah bersabda Nabi kita shallallahu ’alaihi wasallam kepada satu kaum yang baru datang dari peperangan :
مرحباًَ
بكم ! وقدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر. قيل : يا رسول الله، وما الجهاد
الأكبر؟ قال : جهاد النفس
”Selamat datang ! Kalian telah datang
dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar”. Dikatakan kepada beliau : ”Wahai Rasulullah , apa
itu jihad yang besar ?”. Beliau menjawab : Jihadun-Nafs
(Jihad melawan hawa nafsu)”. Ini adalah salah satu contoh beberapa kesalahan Al-Ghazaly dalam kitab Al-Ihyaa’ yang banyak memuat hadits dla’if, palsu, bahkan tidak ada asalnya (la ashla lahu) [1]. Al-Ghazaly sendiri mengakui bahwa pengetahuannya di bidang hadits adalah minim sebagaimana perkataannya :
بِضَاعَتِيْ
فِيْ عِلْمِ الْحَدِيْثِ مُزْجَاةٌُ
”Pemahamanku di dalam ilmu hadits adalah
sedikit” [Qanun Ta’wil hal. 16].
Semoga Allah merahmati dan memaafkan semua kesalahan beliau. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa'
Catatan kaki :
[1] Telah berkata berberapa ulama Ahlus-Sunnah (ahlul-hadits) mengenai Al-Ghazaly dan kitab Al-Ihyaa’-nya :
·
Al-Mazari (w.
536 H) berkata : ”Dan di dalam kitab Al-Ihyaa’
sangat banyak terdapat riwayat-riwayat yang lemah. Kebiasaan orang-orang yang
berhati-hati, tidak akan mengatakan Imam Malik telah bekata atau Imam
Asy-Syafi’i telah berkata dalam pekara-perkara yang tidak shahih dari mereka.
Dia (Al-Ghazaly) juga menganggap baik banyak perkara berdasarkan apa-apa yang
tidak ada hakekatnya......” [Siyaaru
A’laamin-Nubalaa’ juz 19 hal. 340].
·
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata : ”Abu Hamid (Al-Ghazaly) tidaklah mempunyai
ilmu tentang atsar-atsar (hadits-hadits) Nabi dan (riwayat-riwayat)
As-Salafush-Shalih seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang ahli dalam bidang
ini. Yaitu orang-orang yang dapat memisahkan antara yang shahih dan yang
dla’if. Oleh karenanya dia menyebutkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang
palsu dan dusta di dalam kitab-kitabnya. Seandainya dia mengetahui bahwa itu
merupakan kedustaan, niscaya dia tidak akan menyebutkannya” [Dar’ut-Ta’arudl juz 8 hal 149].
·
Ibnu Katsir
(w. 774 H) berkata : ”Dalam masa ini ini, dia (Al-Ghazaly) menyusun kitab Ihyaa’ ’Ulumiddin. Sebuah kitab yang
mengherankan, memuat banyak ilmu-ilmu syar’i, dan dicampuri dengan banyak
perkara-perkara bagus dari tashawwuf
dan amalan-amalan hati. Tetapi dalam kitab ini terdapat banyak hadits yang
aneh, munkar, dan palsu...” [Al-Bidaayah
wan-Nihaayah juz 12 hal. 174].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar