TAHDZIR
ULAMA KIBAR (SENIOR) TERHADAP JAMA’AH YANG GEMAR MENGHAJR DAN MENTABDI
Tahdzir Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin
Baz
A
|
l-Allamah, al-Mufti
al-’alim, Samahatus
Syaikh Abdil Aziz bin Abdullah bin Bazz – rahimahullahu- berkata,
sebagaimana termuat dalam harian al-Jazirah,
ar-Riyadh, asy-Syirqul Awsath, Sabtu 22/6/1412 H, sebagai berikut :
“Telah merebak di zaman ini tentang banyaknya orang-orang yang menisbatkan diri kepada ilmu
(tholibul ‘ilm, pent.) dan terhadap dakwah kepada kebajikan (da’i, pent.) yang
mencela kehormatan kebanyakan saudara-saudara mereka para du’at yang masyhur dan memperbincangkan
kehormatan (menjelekkan, pent.) para thullabul ‘ilm (penuntut ilmu), para du’at dan khatib (penceramah). Mereka
melakukannya secara sirriyah
(sembunyi-sembunyi) di dalam majelis-majlis mereka, dan bisa jadi ada yang
merekamnya di kaset-kaset kemudian disebarkan kepada manusia. Terkadang pula
mereka melakukannya secara terang-terangan di dalam muhadharah ‘am (ceramah umum) di masjid-masjid. Cara ini menyelisihi dengan apa-apa yang diperintahkan
Allah dan rasul-Nya, dengan beberapa alasan :
Pertama.
Hal ini merusak hak-hak kaum muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da’i yang mengerahkan segenap usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta penulisan buku-buku yang bermanfaat.
Hal ini merusak hak-hak kaum muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da’i yang mengerahkan segenap usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta penulisan buku-buku yang bermanfaat.
Kedua.
Hal ini memecah belah persatuan kaum muslimin dan memporak porandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola (perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat. Khususnya kepada du’at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid’ah dan khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para penyeru bid’ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan) di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du’at), melainkan akan memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan ahli bid’ah serta kesesatan.
Hal ini memecah belah persatuan kaum muslimin dan memporak porandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola (perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat. Khususnya kepada du’at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid’ah dan khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para penyeru bid’ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan) di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du’at), melainkan akan memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan ahli bid’ah serta kesesatan.
Ketiga.
Sesungguhnya perbuatan ini (yaitu mencela para du’at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor akan permusuhannya terhadap para du’at islam dan terkenal akan pengadaan kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du’at) bukanlah hak dalam persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul ‘ilmi dan para du’at.
Sesungguhnya perbuatan ini (yaitu mencela para du’at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor akan permusuhannya terhadap para du’at islam dan terkenal akan pengadaan kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du’at) bukanlah hak dalam persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul ‘ilmi dan para du’at.
Keempat.
Hal ini akan menyebabkan rusaknya hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka menghancurkan kaum mu’minin.
Hal ini akan menyebabkan rusaknya hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka menghancurkan kaum mu’minin.
Kelima.
Sesungguhnya kebanyakan perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta’ala berfirman.
Sesungguhnya kebanyakan perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta’ala berfirman.
“Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari purbasangka, karena
sesungguhnya sebagaian purbasangka itu adalah dosa.” [Al-Hujurat : 11-12]
Selayaknyalah bagi seorang muslim membawa
ucapan saudaranya seislam pada sebaik-baik tempat (kepada makna yang paling
baik). Sebagian Salaf berkata, “Janganlah
engkau berprasangka buruk terhadap perkataan yang dilontarkan saudaramu
sedangkan engkau dapat membawa perkataan tersebut pada makna yang baik.”
Keenam.
Apa yang didapatkan dari ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mu’minin. Jika hal ini tidak memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang perkara ini, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??[1]‘”
Apa yang didapatkan dari ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mu’minin. Jika hal ini tidak memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang perkara ini, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??[1]‘”
(selesai)
Tahdzir Syaikh Al-Allamah
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
B
|
erkata Syaikh
kami yang mulia, al-Muhaddits
al-Ashr al-Mujaddid al-Faqih Muhammad Nashirudin al-Albani -Rahimahullah- di dalam kaset Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shouthiyah
no 784 side A, sebagai berikut :
“Syuf (perhatikan) wahai
saudaraku! Aku menasehatkanmu dan para pemuda lainnya yang berada di jalan
munharif (menyeleweng) sebagaimana tampak pada kami, wallahu a’lam, untuk tidak
membuang-buang waktumu untuk mencela satu dengan lainnya dan sibuk dengan
mengatakan fulan
begini dan fulan
berkata begitu. Dikarenakan, pertama, hal ini tidaklah termasuk ilmu sama sekali,
dan yang kedua, uslub (cara) ini akan merasuk ke dada dan menyebabkan
kedengkian serta kebencian di dalam hati.
Wajib atasmu
menuntut ilmu!!! Karena ilmulah yang akan menyingkapkan apakah perkataan ini
yang mencela Zaid atau fulan
dari manusia dikarenakan dirinya memiliki banyak kesalahan, apakah berhak bagi
kita untuk menyebutkan shohibul bid’ah
atau mubtadi’ ataukah
tidak?? Apa yang harus kita lakukan dengan mendalami perkara ini?? Aku tidak
menasehatkanmu untuk mendalami seluruh perkara ini dengan benar-benar, karena
hakikatnya kita sekalian sedang mengeluhkan perpecahan ini yang terjadi di
tengah-tengah orang-orang yang berintisab (menisbatkan
diri) pada dakwah Al-Kitab dan
As-Sunnah, atau
sebagaimana kita menyebutnya, Dakwah Salafiyah.!!!
Perpecahan ini,
wallahu a’lam,
penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan
(an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran.
Inilah nasehatku. karena telah sering aku ditanya, ‘apa pendapatmu tentang fulan?’, dan aku langsung faham
bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. dan terkadang orang yang
ditanyakan adalah diantara saudara-saudara kita terdahulu yang dikatakan dia
menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan
terhadap fulan dan fulan??
Berlaku
luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau
akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang shalih, mana yang bathil dan mana yang haq!!! Kemudian janganlah engkau
ini mendengki terhadap saudara seislam dikarenakan ia jatuh kepada beberapa
kesalahan. Kami tidak mengatakan salah, namun kami katakan ia menyimpang dalam
satu, dua atau tiga perkara, dan perkara lainnya ia tidak menyimpang.
Kita dapati
para Imam Ahli Hadits yang menerima haditsnya (orang yang menyimpang) dan
disebutkan di dalam riwayatnya ia khariji atau murji`i atau lainnya. Ini semua
adalah aib dan kesesatan, namun diperoleh pada timbangan tersebut yang mereka
berpegang teguh padanya. Kita tidak menimbang beratnya keburukannya dari
kebaikan-kebaikannya atau dua atau tiga keburukannya terhadap banyaknya
kebaikannya, dan yang terbesar adalah syahadat Laa ilaaha illa Allah wa Muhammad Rasulullah.”
Syaikh juga
berkata tentang definisi siapakah mubtadi’
itu di dalam kaset Silsilah Huda
wa Nur ash-Shouthiyah no 785 side B, sebagai berikut :
“Atsar Abu Hurairah Radhiallahu
‘anhu bermanfaat untuk menunjukkan contoh dari terjatuhnya seorang ‘alim kepada bid’ah tidaklah serta merta
menjadikannya mubtadi’
dan jatuhnya seseorang kepada perbuatan haram, dengan pernyataan memperbolehkan
apa-apa yang diharamkan secara ijtihad,
tidak serta merta menjadikannya sebagai pelaku keharaman.
Saya katakan, atsar Abu Hurairah Radhiallahu
‘anhu ini menunjukkan bahwasanya ia dulu berdiri menasehati manusia pada hari
Jum’at sebelum sholat, berfaidah untuk menunjukkan contoh yang shahih, bahwa bid’ah yang terkadang terjatuh
kepada seorang ‘alim,
tidaklah dengan demikian ia menjadi seorang mubtadi’.
Sebelum masuk
ke jawaban yang lengkap, aku katakan, al-Mubtadi’
adalah berawal dari kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam agama, dan tidaklah orang yang
mengada-adakan bid’ah,
walaupun ia mengamalkannya bukan karena ijtihadnya,
namun dari hawa nafsunya, tidak serta merta dikatakan dia mubtadi’!!
contoh
terjelas yang paling dekat dengan perkara ini adalah, seorang hakim yang zh’alim yang terkadang berlaku
adil pada sebagian hukum-hukumnya, tidaklah bisa disebut hakim adil,
sebagaimana pula seorang hakim yang adil yang terkadang melakukan kezh’aliman di sebagian
hukum-hukumnya, tidaklah dinamakan dirinya hakim zh’alim.
Hal ini
berkaitan erat dengan kaidah fiqh islami yang menyatakan bahwasanya seorang
manusia dilihat dari banyaknya kebaikan atau keburukannya. Jika kita telah
mengetahui hakikat ini, maka kita dapat mengetahui siapakah mubtadi’ itu. maka, dengan
demikian disyaratkan bagi mubtadi’
dua hal, yaitu pertama, dia bukanlah seorang mujtahid namun hanyalah pengikut
hawa nafsu dan kedua, dia menjadikan bid’ahnya
sebagai kebiasaan dan agamanya.”
(selesai)
Tahdzir Syaikh Al-Allamah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
S
|
yaikh al-Imam Faqihuz Zaman, al-Allamah Muhammad bin Sholih
al-Utsaimin -Rahimahullahu-
berkata saat Liqo`ul Babil Maftuh
(Pertemuan terbuka) no 1322, sebagai berikut :
“Salafiyah adalah ittiba’ terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah
mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap
mereka adalah salafiyah.
Adapun menjadikan salafiyah
sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menvonis sesat orang-orang yang
menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan
lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyah!!!
Kaum salaf
seluruhnya menyeru kepada Islam dan bersatu di atas Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
mereka tidak menvonis sesat orang-orang yang menyelisihinya karena perkara ta’wil/penafsiran yang berbeda, Allahumma, kecuali dalam perkara
aqidah, dikarenakan mereka berpandangan bahwa siapa-siapa yang menyelisihinya
dalam perkara aqidah, maka telah sesat.
Akan tetapi,
sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan manhajnya
dengan menvonis sesat setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran
besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan hal ini sebagai manhaj hizbiyah sebagaimana
manhaj-manhaj hizbi
lainnya yang memecah belah Islam.
Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh
ditetapkan. Dikatakan, ‘lihatlah kepada madzhab as-Salaf ash-Shalih, apa yang mereka perbuat di
dalam jalan mereka dan kelapangan dada mereka pada perkara khilaf yang memang diperbolehkan
ijtihad di dalamnya,
sampai pada taraf mereka berselisih di dalam perkara aqidah dan ilmu.
Engkau dapati mereka, misalnya, mengingkari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
melihat Rabbnya dan
sebagian lagi menetapkannya, ada lagi yang berpendapat yang ditimbang pada hari
kiamat nanti adalah amal dan sebagiannya berpendapat lembaran-lembaran amal-lah
yang ditimbang.
Engkau dapati pula mereka berselisih di dalam masalah fiqhiyah, baik dalam masalah
nikah, faraidh, iddah,
jual beli dan lain-lain. Walaupun demikian, mereka tidak saling menvonis
sesatkan satu dengan lainnya.
Jadi, salafiyah
yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka
membeda-bedakan dan menvonis sesat selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk
salafiyah
sedikitpun!!! Dan adapun salafiyah
yang ittiba’ terhadap
manhaj salaf baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan, perselisihan, persatuan,
cinta kasih dan kasih sayang sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
‘Permisalan kaum mu’minin satu dengan lainnya dalam hal
kasih sayang, tolong menolong dan kecintaan, bagaikan tubuh yang satu, jika
salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasa demam atau
ikut sakit.’ [Hadits Riwayat Muslim]
Maka inilah salafiyah
yang hakiki!!!”
Tahdzir Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad
S
|
yaikh al-Allamah
Abdul Muhsin al-Abbad -hafizhahullahu-
ditanya saat pelajaran (durus)
Sunan Abu Dawud, malam hari, 26 Shafar 1423 H., sebagai berikut :
Pertanyaan :
Jika seandainya ada seorang syaikh berbicara mengenai
seseorang dan menganggapnya mubtadi’,
apakah harus seorang pelajar (tholib) mengambil tabdi’ ini? Ataukah harus mengetahui sebab-sebab tabdi’ terlebih dahulu,
dikarenakan terkadang tabdi’
ini dimutlakkan atas seseorang walaupun ia multazim
dengan sunnah?
Jawaban :
Tidak setiap orang diterima perkataannya dalam perkara
ini. Jika datang perkataan dari orang yang semisal Syaikh Ibnu Bazz atau Syaikh
Ibnu Utsaimin, iya, mungkin untuk mempercayai ucapannya (mengambilnya, pent.).
Adapun dari orang-orang yang ‘merangkak dan merayap’ (gemar menyebarkan
desas-desus dan sembrono, pent.), maka tidak diambil perkatannya.
Pertanyaan :
Masalah lain, tentang menerima khobar (berita) tsiqoh (orang yang terpercaya),
apakah diterima perkataannya secara mutlak tanpa tatsabut? Misalnya dikatakan, fulan tersebut mencela dan
memaki shahabat, sebagai contoh, apakah wajib bagiku menerima perkataan ini
(langsung) dan menghukuminya (sebagai pencela sahabat, pent.) ataukah aku harus
tatsabut (cek dan
ricek)?
Jawaban :
(Anda) harus tatsabut!!!
Pertanyaan :
Walaupun yang berkata demikian adalah salah seorang masyaikh?
Jawaban :
Harus tatsabut!!!
Orang yang berkata jika ia menisbatkan
kepada kitabnya dan kitabnya eksis (maujud),
sehingga memungkinkan ummat untuk meruju’
kepada kitab ini.
Adapun perkataan belaka yang kosong dari pokok (asas)
yang disebutkan tentangnya terutama jika orang-orang tersebut masih hidup.
Adapun jika ia termasuk dari para pendahulu kita dan dia memang dikenal dengan
kebid’ahannya atau
termasuk penghulu bid’ah,
maka hal ini semua orang telah mengetahuinya, yaitu seperti Jahm bin Shofwan,
dan demikianlah tiap-tiap orang yang berkata ia mubtadi’, maka sesungguhnya perkataannya benar, yaitu
mengatakannya mubtadi’.
Adapun terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan sedangkan dia memiliki
kesungguhan yang luar biasa dalam berkhidmat terhadap agama, kemudian dia
tergelincir, maka seharusnya ummat ini menghukumi terhadapnya pada kesalahannya
saja.
Pertanyaan :
Jika didapatkan pada seorang ‘alim perkataan yang mujmal (global) di dalam suatu
perkara, dan terkadang perkataan mujmal tersebut secara dhohirnya menunjukkan
kepada suatu perkara yang salah, dan didapatkan lagi padanya perkataan yang
lain yang mufashshol
(terperinci) pada perkara yang sama tentang manhaj salaf, apakah dibawa
perkataan seorang ‘alim
yang mujmal tersebut kepada perkara yang mufashshol?
Jawaban :
Iya, dibawa kepada mufashshol, selama perkara tersebut
adalah sesuatu yang masih samar, dan perkara yang jelas dan teranglah yang
dianggap.
(selesai)
Tahdzir Syaikh Al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan
Tahdzir Syaikh Al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan
A
|
sy-Syaikh al-Allamah
Sholih Fauzan al-Fauzan -hafizhahullahu-
berkata saat pengajian tentang Aqidah
dan Dakwah (III/69) sebagai berikut :
“Diantara kerusakan-kerusakan perpecahan yang demikian
ini adalah mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, disebabkan
disibukkannya mereka satu dengan lainnya dengan mentajrih (mencela) dengan
gelar-gelar yang buruk. Tiap-tiap mereka menghendaki memenangkan diri mereka
dari yang lainnya dan merekapun menyibukkan kaum muslimin dengan perihal
mereka. Yang mana hal ini menjadi melebihi mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Sesungguhnya banyak dan banyak dari para penuntut ilmu yang bertanya sampai
kepada kami bahwa semangat dan kesibukan mereka hanyalah memperbincangkan
manusia dan kehormatan mereka, baik di majelis-majelis maupun perkumpulan
mereka, sembari menyalahkan ini dan membenarkan itu, memuji ini dan menyatakan
itu sesat… Tidaklah mereka ini disibukkan melainkan hanya memperbincangkan
manusia..”
Syaikh al-Allamah
ditanya saat pengajian tentang Aqidah
dan Dakwah (III/57) sebagai berikut :
Pertanyaan :
“Apa pendapat yang mulia tentang merebaknya celaan-celaan
baik yang tertulis maupun yang didengar yang merebak di kalangan para ulama??
Tidakkah Anda memandang bahwa duduknya mereka untuk diskusi adalah lebih
mulia?? Karena betapa banyak aturan-aturan islam yang rusak karena hal ini!!”
Jawaban :
“Para ulama yang mu’tabar
(dikenal keilmuannya) tidak ada pada diri mereka sedikitpun dari apa yang
disebutkan dalam pertanyaan. Mungkin hal ini terjadi diantara para penuntut
ilmu dan pemuda yang bersemangat, kami memohon hidayah dan taufiq Allah untuk
mereka. Kami menyeru mereka untuk meninggalkan perbuatan tercela ini dan supaya
mereka saling bersaudara di atas kebajikan dan ketakwaan, serta mengembalikan
kepada para ulama terhadap perkara-perkara yang mereka sulit menentukan
kebenarannya, dan agar mereka -para ulama- menjelaskan kepada mereka mana yang
benar, dan supaya mereka tidak memberikan pengaruh pada fikiran dengan syubuhat sehingga mereka
berpaling dari manhaj yang benar. Namun, janganlah difahami dari hal ini,
meninggalkan bantahan terhadap kesalahan dan penyimpangan yang terdapat di
sebagian buku-buku termasuk bagian nasehat bagi ummat.”
Syaikh hafizhahullahu
ditanya pula saat pengajian Aqidah
dan Dakwah (III/332) sebagai berikut :
Pertanyaan : “
Syaikh yang mulia, apakah nasehatmu bagi para pemuda yang
meninggalkan menuntut ilmu syar’i
dan berdakwah kepada Allah dengan menceburkan dirinya ke dalam masalah
perselisihan diantara pada ulama tanpa ilmu dan bashirah??
Jawaban:
“Aku nasehatkan kepada seluruh saudara-saudaraku dan
khususnya para pemuda penuntut ilmu agar mereka menyibukkan diri dengan
menuntut ilmu yang benar, baik di Masjid, sekolah, ma’had maupun di
perkuliahan. Agar mereka sibuk dengan pelajaran-pelajaran mereka dan apa-apa
yang bermashlahat bagi mereka. Dan supaya mereka meninggalkan menceburkan diri
kepada perkara ini -perselisihan ulama-, dikarenakan tidak ada kebaikannya dan
tidak bermanfaat masuk ke dalamnya… hanya membuang-buang waktu saja dan
merisaukan fikiran…
Hal ini termasuk penghalang amal shalih, termasuk mencela
kehormatan dan menghasut kaum muslimin. Wajib bagi kaum muslimin umumnya dan
para penuntut ilmu khususnya, supaya meninggalkan perkara ini dan agar mereka
mengupayakan perdamaian (ishlah)
semampu yang mereka bisa. Allah Ta’ala berfirman,
‘Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah
kedua golongan saudara kalian tersebut, bertakwala’h kepada Allah semoga engkau
dirahmati.” (al-Hujurat : 10).
Terhadap orang-orang yang anda lihat melakukan kesalahan,
maka wajib bagi anda menasehatinya dan menjelaskan kesalahnnya secara empat mata,
dan memohon kepadanya agar ia mau ruju’
(kembali) kepada kebenaran. Inilah yang dibutuhkan nasehat.
Syaikh Hafizhahullahu
berkata saat pengajian Zhahiratut
Tabdi’ wat Tafsiq wat takfir wa Dhawabithuha, sebagai berikut :
“Oleh karena itu, wajib bagi para pemuda Islam dan
penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dari sumbernya dan dari
ahlinya yang dikenal akan keilmuannya. Kemudian setelah itu, mereka akan tahu
bagaimana berbicara dan bagaimana meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena Ahlus Sunnah dulu maupun
sekarang mampu menjaga lisannya dan mereka tidaklah berucap melainkan dengan
ilmu..”
(selesai)
Tahdzir Fadhilatus Syaikh Nashir Abdul Karim al-Aql
A
|
sy-Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql -hafizhahullahu-
berkata saat pengajian Syarh
Mujmal I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai berikut :
“Orang-orang beriman seluruhnya adalah wali Allah dan bagi seluruh mukmin
diberikan wala’
(loyalitas) sebatas tingkat keimanannya, demikian pula sebaliknya (diberikan baro’ah (kebencian/berlepas
diri) sebatas tingkat kemaksiatannya, pent.).
Orang-orang kafir, seluruhnya adalah wali Syaithan dan tidak ada wala’ sedikitpun bagi orang
kafir. Akan tetapi, mukmin yang bermaksiat, diberikan baro’ah kepadanya menurut kadar
kemaksiatannya, demikian pula para pelaku bid’ah
dari kaum muslimin, diberikan baro’ah
menurut tingkat kebid’ahannya,
dan bagi mereka wala’
sebatas keimanannya. Oleh karena itu, sesungguhnya orang kafir tidak terkumpul
padanya wala’ dan baro’ sekaligus.
Seorang mukmin yang kholish
(murni) yang berjalan di atas As-Sunnah,
baginya wala’ dan
kecintaan yang sempurna. Jika ditemukan padanya kemaksiatan atau kebid’ahan maka terkumpul padanya
dua perkara: yaitu kita berwala’
terhadap kebaikan dan iman yang dimilikinya dan kita membenci terhadap
kemaksiatan dan kebid’ahannya.
Dengan demikian, mayoritas kaum mu’minin
pelaku kemaksiatan dan kebid’ahan
yang tidak sampai mengeluarkan dari agama… mayoritas mereka… bahkan seluruhnya
dari para pelaku kemaksiatan dan bid’ah
yang kecil, bagi mereka kecintaan dan wala’
sebatas keimanan dan amal shalih yang ada pada mereka serta baro’ dan kebencian sebatas
kemaksiatan dan kebid’ahan
mereka.
Kaidah ini jarang dipegang oleh kebanyakan orang-orang yang lemah ilmunya
dan dangkal pemahaman agamanya serta bodoh dengan manhaj salaf, sampai-sampai
sebagian orang yang mengaku sebagai salafiy
juga jatuh kepada hal ini, yaitu mereka memusuhi bid’ah dengan permusuhan yang kamil (sempurna), walaupun
terkadang bid’ahnya
tidak sampai tingkatan mengeluarkan pelakunya dari agama, dan terkadang pula kebid’ahan tersebut hanya sebagian
kecil saja tidak menyeluruh pada seseorang. Sebagaimana pula mereka memusuhi
kemaksiatan dengan permusuhan sempurna, atau memusuhi suatu penyelewengan dan
kesalahan dengan permusuhan yang sempurna.
Sekarang kita perhatikan dampak dari penerapan perilaku ini, yang marak
terjadi di tengah-tengah Ahlus
Sunnah, yang menimbulkan keprihatinan dan percekcokan di dalam
permasalahan agama, perkara Ijtihadiyah
dan seputar dakwah kepada Allah. Kita dapatkan mereka saling berselisih tentang
hal ini dan menerapkan kepada musuh dan lawan mereka sesama Ahlus Sunnah, baro’ah yang sempurna, sampai
mereka membenci mereka, memperbolehkan menjelekkan mereka, menyebarkan aib
mereka, mereka berniat karena Allah mendakwahi lawan mereka namun mereka
menyebarkan aib mereka dan mentahdzir
mereka.
Hal ini menyelisihi ushul
(pokok) syariat. Iya memang, jika mereka melakukan kesalahan diperingatkan
kesalahan-kesalahannya, namun tetap dengan mengakui keutamaan dan kemampuan yang
mereka miliki. Ini adalah perkara dharuri (yang wajib dilakukan) atau jika
tidak, akan timbul fitnah
di tengah-tengah kaum muslimin.
Demikian pula seorang yang menyimpang, wajib diberitahukan padanya, bahwa
dirimu selaras dengan kebenaran dalam perkara yang memang benar dan dirimu
menyelisihi kebenaran dalam perkara yang memang menyelisihi kebenaran. Dan
janganlah mengobarkan kebencian di dada-dada kaum muslimin satu dengan lainnya
sebagaimana cara yang dilakukan oleh orang-orang bodoh tadi. Bahkan saya
katakan, (hal ini) tidak terlarang, di sini aku contohkan sedikit… termasuk
tabiat dan adab islami jika anda berselisih dengan salah seorang saudara anda
dan anda memandang ia melakukan kesalahan atau kebid’ahan yang cukup besar, anda memberikannya udzur setelah anda tidak mampu
lagi memuaskan dirinya (dengan dalil),
dan senantiasa berwala’
seraya mengatakan ‘aku mencintaimu karena Allah terhadap kebaikan dan kelurusan
yang anda miliki’… (hal ini) tidak terlarang!!!
saudara-saudaraku yang kucintai karena Allah, hingga sampai-sampai jika
ditemukan padanya kesalahan… (maka tidak apa-apa melakukan sebagaimana contoh di di
atas, pent.)… yang dengan cara ini akan mendamaikan hati dan menghilangkan
kebencian dan kedengkian yang dimiliki kaum mu’minin
satu dengan lainnya. Sampai-sampai orang-orang bodoh tadi melupakan baro’ kepada orang kafir dan
pelaku bid’ah yang
berat, dimana mereka palingkan nash-nash tentang baro’ kepada saudara-saudara mereka. Aku takut
mereka akan ditimpa -jika mereka tidak mau taubat dan kembali kepada kebenaran
dan manhaj yang lurus- sebagaimana yang disifatkan nabi kepada salah satu
kelompok ahli bid’ah,
‘yang mereka ini memerangi ahlul islam dan membiarkan ahlul awtsan (penyembah
berhala)’ yang datang dari hadits shahih ketika mensifatkan sebagian kelompok ahli bid’ah.
Tentu saja, baro’
yang kamil (sempurna) merupakan jalan kepada peperangan. Seorang manusia yang baro’ kepada saudaranya muslim
dengan baro’ yang
sempurna berimplikasi terhadap penghalalan darahnya. Walaupun tidak terjadi saat
ini saat ini, namun wajib bagi kita untuk berhati-hati dari sikap yang dapat
mengeruhkan keadaan ini.
Kita perlu tahu bahwa Ahlus
Sunnah terkadang berselisih diantara mereka, terkadang ditemukan
pada sebagian Ahlus Sunnah
kesalahan pada manhajnya, akan tetapi tanpa maksud/kesengajaan -dikarenakan ijtihad-, terkadang pula
ditemukan pada mereka ketergelinciran yang besar, akan tetapi tanpa kesengajaan
yang tidak menyebabkan mereka berpecah belah, dan terkadang pula didapatkan
pada sebagian Ahlus Sunnah
suatu kebid’ahan,
namun tidak banyak dan tidak termasuk bid’ah
yang kategori berat.
Namun, tetap wajib bagi kita menyalahkan terhadap kesalahan yang ada pada
mereka, namun kita harus tetap menganggap mereka, mencintai dan berwala’ terhadap mereka dari
perkara-perkara yang benar jika mereka termasuk Ahlus Sunnah.
Wallahu
a’lam. Semoga Sholawat senantiasa tercurahkan
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya.”
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
[1] Isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah
Radhiyallahu ‘anha ketika berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika
menyampaikan sesuatu tentang seseorang beliau tidak berkata, ‘mengapa fulan berkata demikian’, namun
beliau berkata, ‘mengapa ada kaum yang
berkata demikian dan demikian?’.’ Hadits Shahih diriwayatkan Abu
Dawud dalam bab al-Idznu wal Isti’dzan
(izin dan meminta izin), lihat Silsilah
ash-Shahihah no 2064.
Share this:
Like this:
Be the first to like
this post.
INILAH HADDADIYAH…!!! (bagian 3)
KARAKTERISTIK NEO
HADDADIYAH
(Menyingkap Karakter Haddadiyah Yang
Tersembunyi Pada Pengaku-ngaku Salafiyah Yang Hakikatnya Adalah Hizbiyah Yang
Membinasakan)
Oleh : Ustadz Abu
Salmah al-Atsari
diantara karakteristik mereka :
2. Bodoh terhadap Aqidah Salafiyah dan Manhaj Salaf
Ini adalah karakter yang menonjol dari mereka, yaitu bodoh terhadap aqidah
salafiyah dan manhaj salaf, walaupun mereka mengaku dan mengklaim berada di
atasnya. Pengaku-ngakuan mereka hanyalah isapan jempol belaka dan angan-angan
melayang yang dibawa pergi seekor burung di angkasa. Diantara kebodohan mereka
ini adalah :
a. Tidak bisa membedakan antara mentazkiyah dan menukil
Menurut mereka, menukil dari ahli bid’ah, atau yang mereka tuduh bid’ah,
maka sama artinya mentazkiyah (memuji)
ahli bid’ah. Apabila kita perhatikan tulisan-tulisan mereka yang dimuat di
sebuah website antik, yang modalnya hanyalah makian, celaan, fitnah dan dusta,
maka akan didapatkan ucapan-ucapan kebodohan mereka. Mereka menuduh Ustadz
Arifin Baderi telah mentazkiyah
Abduh Zulfidar Akaha hanya karena menukil buku yang ditulisnya bersama Hartono
A. Jaiz (”Bila Kyai Dipertuhankan”), mereka juga menuduh al-Akh Abu Hannan
hanya karena menukil tulisan M. Ihsan dalam masalah kasus Lebanon dan menukil
dari Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi hafizhahullahu
yang dituduh mereka ”Tablighi”, dan lainnya…
Ini menunjukkan bagaimana bodohnya orang-orang ini, padahal apabila mereka
menelaah kitab-kitab para ulama, niscaya mereka akan mendapatkan
nukilan-nulilan dari ulama-ulama yang bukan ahlus sunnah. Perhatikanlah ucapan
Ma’ali Syaikh Sholih Alu Syaikh berikut ini :
وهذا منهج عام لإقامة الحجة وإيضاح المحجة في أبواب الدين كله؛ وهو
أنه لا يلزم من نقل الناقل عن كتاب أنه يزكيه مطلقا،
وقد ينقل عنه ما وافق فيه الحق تأييدا للحق، وإن كان خالف الحق في غير ذلك فلا
يعاب على من نقل من كتاب اشتمل على حق وباطل إذا نقل ما اشتمل عليه من الحق. وأيضا
تكثير النقول عن الناس على اختلاف مذاهبهم هذا يفيد في أن الحق ليس غامضا؛ بل هو
كثير شائع بيِّن.
”Dan hal ini termasuk manhaj yang umum di dalam menegakkan hujjah dan
menerangkan pusat sasaran di semua bab-bab permasalahan agama, yaitu bahwasanya
tidaklah melazimkan seseorang yang menukil dari sebuah buku bahwa
ini artinya ia mentazkiyahnya secara mutlak. Ia terkadang
menukil darinya yang selaras dengan kebenaran dalam rangka menyokong kebenaran,
walaupun (di dalam buku itu) ada yang menyelisihi kebenaran, namun tidaklah
tercela bagi orang yang menukil dari buku yang mengandung kebenaran dan
kebatilan apabila ia menukilkan bagian yang benar darinya. Dan juga,
memperbanyak nukilan-nukilan dari manusia tentang perbedaan madzhab-madzhab
mereka, hal ini membuahkan faidah bahwa kebenaran itu tidaklah samar, namun ia
banyak tersebar luas dan terang.”[1]
Apakah mereka memahai qo’idah ’aamah (kaidah umum) ini?!! Padahal
di dalam risalah di atas, penjelasan ini termasuk ke dalam qo’idah ’aamah yang seharusnya thullabul ’ilmi pemula memahaminya.
Apabila kaidah umum seperti ini saja mereka tidak faham, lantas atas dasar apa
mereka menulis bantahan-bantahan kejinya kepada para du’at dan thullabul ’ilmi ahlis sunnah?!! La haula wa laa quwwata illa billah.
b. Tidak faham
bedanya mencari ilmu dengan menerima ilmu
Kaidah ini berhubungan
dengan kaidah di atas, yaitu mereka benar-benar tidak faham bedanya antara
mencari/menuntut ilmu dari ahli bid’ah dengan menerima kebenaran darinya.
Menurut mereka, seakan-akan apa yang keluar hanya dari mereka saja itulah yang
benar dan yang keluar dari selain mereka semuanya salah walaupun pada
realitanya ucapan lawan mereka ini benar.
Mereka tidak
segan-segan mencela dan mengumpat siapa saja dari kalangan salafiyin misalnya, yang menerima
ucapan tokoh-tokoh hizbiyyin
yang selaras dengan al-haq, karena menurut mereka ini sama saja dengan tazkiyah atau merekomendasi kaum hizbiyyin dan segala kesesatan mereka.
Padahal hakikatnya tidak mutlak demikian, dan inilah letak kebodohan mereka.
Ma’ali Syaikh Shalih
bin ’Abdil ’Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu
berkata :
فيقبل الحق ممن جاء به
ولو كان كافرا، كما قبل الحق من الشيطان في قصة أبي هريرة مع الشيطان في صدقة
الفطر المعروفة؛ حيث جاء يأخذ فمسكه أبو هريرة، ثم جاء يأخذ فمسكه، ثم جاء يأخذ
فمسكه، ثم قال له: ألا أدلك على كلمة إذا قلتها كنت في أمان أو عصمتك ليلتك كلها
اقرأ آية الكرسي كل ليلة فإنه لا يزال عليك من الله حافظ حتى تصبح. فأخبر النبي
عليه الصلاة والسلام بذلك فقال عليه الصلاة والسلام «صدقك
وهو كذوب» سلم بهذا التعليم وأخذ به مع أنه من الشيطان.
”Kebenaran
diterima dari mana saja datangnya walaupun dari seorang kafir, sebagaimana
diterimanya kebenaran dari Syaithan di dalam kisah Abi Hurairoh
bersama Syaithan di dalam kisah penjagaan gudang beras yang berisi beras fithri
yang telah ma’ruf. Dimana
Syaithan datang (hendak mencuri) namun Abu Hurairoh menangkapnya, ia datang
lagi ditangkap lagi, kemudian ia datang lagi dan ditangkap lagi, kemudian
Syaithan berkata kepadanya : “maukah engkau aku tunjukkan sebuah kalimat yang
apabila engkau mengucapkannya maka engkau akan menjadi aman atau terjaga
seluruh malammu, yaitu bacalah ayat kursi setiap malan karena sesungguhnya
engkau akan senantiasa terjaga oleh penjagaan Alloh sampai datangnya waktu
pagi.” Kemudian Abu Hurairoh mengabarkan hal ini kepada Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam, lalu Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam menukas : “Dia telah jujur padamu padahal dia adalah pendusta.”
Beliau menerima pengajaran ini dan mengambilnya padahal pengajaran ini datang
dari Syaithan.”[2]
Namun sayang, mereka yang mengaku-ngaku sebagai salafiy
ahlus sunnah sejati ini tidak faham dan jahil
akan kaidah seperti ini. Semoga hal ini bisa menjadi cambukan dan nasehat bagi
mereka, agar mereka kembali kepada manhaj yang benar dan meninggalkan karakter ghuluw dan haddadiyahnya yang membinasakan. Allohul Muwafiq ila sawa’is sabiil.
c. Tidak memahami kaidah bahwa tidak setiap
orang yang jatuh kepada kebid’ahan otomatis menjadi mubtadi’.
Ini adalah diantara kebodohan mereka yang kesekian
kalinya, karena mereka bodoh terhadap kaidah dasar ahlus sunnah ini. Seringkali
kita melihat, mendengar atau membaca tulisan-tulisan mereka yang penuh dengan
makian, umpatan, cercaan dan hujatan, bahkan tidak segan-segan mereka
memberikan label-label yang merupakan salah satu bentuk tabdi’ mu’ayan (vonis bid’ah secara
spesifik) kepada orang-orang tertentu. Padahal tidak setiap orang yang jatuh
kepada bid’ah maka oromatis menjadi ahli bid’ah, yang harus digempur dengan
makian, cercaan, celaan dan umpatan keji lainnya.
Lihatlah bagaimana mereka menuduh Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza`iri sebagai Tablighiy,
menuduh Syaikh Ahmad as-Surkati dengan beraneka tuduhan, mulai dari Aqlaniy, Mubtadi’, penyeru kesesatan
Pan Islamisme sampai menuduh aqidah beliau dengan tuduhan antek Belanda. Wal’iyadzubillah. Belum lagi kepada
para du’at salafiyyin, maka
gelar al-Hizbi, as-Sururi, al-kadza wa
kadza merupakan mainan mereka sehari-hari. Karena mereka telah
termakan oleh manhaj Haddadiyah yang menyatakan bahwa “setiap orang jatuh
kepada kebid’ahan maka otomatis menjadi ahli bid’ah”.
ingatlah ucapan al-Imam al-Albani rahimahullahu di dalam kaset Haqiqotul Kufr wal Bida’ :
ليس كل من وقع في البدعة وقعت البدعة عليه وليس من وقع في الكفر وقع الكفرعليه
“Tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka
otomatis dengan serta merta dia menjadi mubtadi’
dan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran maka dengan serta mertia
menjadi menjadi kafir.”
Adakah mereka memahami kaidah dan prinsip dasar seperti
ini?
Perhatikan pula ucapan Ma’ali Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullahu berikut ini :
من الذي يحكم بالبدعة : البدعة حكم شرعي, والحكم
على من قامت به بأنه مبتدع هذا حكم شرعي غليظ, لأن الأحكام الشرعية تبع الأشخاص: الكافر,
ويليه المبتدع, ويليه الفاسق. وكل واحدة من هذه إنما يكون الحكم بها لأهل العلم, لأنه لا تلازم بين الكفر والكافر, فليس كل من قام به كفر فهو كافر, ثنائية غير متلازمة, وليس كل من قامت به بدعة فهو مبتدع,
وليس كل من فعل فسوقا فهو فاسق بنفس الامر
“Siapakah (yang layak) dihukumi dengan bid’ah? Bid’ah
itu merupakan hukum syar’i, dan menghukumi orang yang mengamalkan suatu bid’ah
merupakan hukum syar’i yang sangat berat. Karena hukum syar’i yang ditujukan
kepada seseorang sebagai kafir, mubtadi’
dan fasiq, maka salah satu
dari setiap hukum ini adalah haknya ahli ilmu (ulama). Karena tidaklah mesti
kekufuran itu menyebabkan pelakunya kafir, dan tidaklah setiap orang yang
melakukan kekafiran maka ia (dengan serta merta) menjadi kafir. Suatu tsana’iyah (pasangan) itu tidaklah
saling mengharuskan. Tidaklah setiap
orang yang melakukan kebid’ahan maka ia menjadi mubtadi’ dan tidaklah pula
setiap orang yang melakukan kefasikan ia dengan serta merta menjadi fasiq.”[3]
Aduhai, orang-orang bodoh ini tidak faham kaidah
mendasar seperti ini, lantas mengapa dengan begitu mudahnya mereka menvonis ini
sesat, ini mubtadi’, ini sururi, ini… dan itu… Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
d. Gegabah di dalam tabdi’ (menvonis bid’ah)
seseorang dan menempatkan diri sebagai ulama
Ini merupakan lanjutan dari kaidah sebelumnya.
Dikarenakan mereka tidak faham kaidah bahwa tidak setiap orang yang jatuh
kepada kebid’ahan tidak otomatis menjadikannya mubtadi’, maka mereka dengan mudahnya dan lancangnya
menempatkan diri sebagai ulama bahkan seorang mufti yang berhak menvonis ini sesat
dan itu bid’ah… mereka melompati kapasitas diri mereka yang dikatakan sebagai
penuntut ilmu pemula saja belum bisa. Karena modal utama mereka bukanlah ilmu
namun tahdzir sana sini dengan
kejahilan dan kedustaan.
Perhatikan ucapan Syaikh Shalih Alu Syaikh nafa’allahu bihi ketika menjelaskan hak
seseorang yang boleh melakukan vonis bid’ah (tabdi’).
Beliau hafizhahullahu berkata
:
فالحكم بالبدعة وبأنّ قائل هذا القول مبتدع و أنّ هذا القول بدعة ليس لآحد من عرف السنة,
وإنما هو لأهل العلم, لأنه
لا يحكم بذلك إلا بعد وجود الشرائط وانتفاء الموانع, وهذه
المسألة راجعة إلى أهل الفتوى وأنّ اجتماع الشروط وانتفاء الموانع من صنعة المفتي.
“Menghukumi suatu bid’ah dimana orang yang berkata
dengan perkataan ini (divonis sebagai) mubtadi’ atau perkataan itu sendiri
sebagai suatu bid’ah bukanlah hak
setiap orang yang mengetahui sunnah, namun sesungguhnya hal ini merupakan hak
ahli ilmu (ulama). Dikarenakan (seseorang) tidak dihukumi
dengan bid’ah melainkan setelah terwujudnya syarat-syarat dan dihilangkannya
penghalang-penghalang (jatuhnya vonis bid’ah). Dan masalah ini dikembalikan
kepada ahli Fatwa (mufti) yang mana mewujudkan syarat-syarat dan menghilangkan
penghalang adalah termasuk tugas seorang mufti.”[4]
Namun karena berhubung mereka ini merasa sok alim, sok
menjadi mufti dan sok ahli jarh wa ta’dil,
maka mereka ambil peran dan tugas para ulama atau thullabatul ‘ilmi yang mutamakkin
(mumpuni) dan mereka terapkan ke sana
kemari secara serampangan dan asal-asalan. Dan akibatnya adalah, fitnah kesana
kemari dan larinya manusia dari dakwah al-haq ini. Allohumaa.
e. Berprinsip : “Barangsiapa yang membela
ahli bid’ah maka otomatis ia adalah mubtadi’”
Prinsip ini dilariskan oleh pembesar Haddadiyah zaman
ini, Falih bin Nafi’ al-Harbi yang dulu mereka puja puji, yang mereka sebut
dengan Mujahid, Ahli Jarh wa Ta’dil, manusia yang
paling faham tentang kesesatan hizbiyah,
dan pujian-pujian selangit lainnya. Bahkan, saya pernah berdiskusi dulu dengan
salah satu pembebeknya –sebelum Syaikh Falih ditahdzir-, dan saya mengatakan
padanya bahwa tidak setiap ucapan beliau ini harus diterima, karena banyak
ulama lain yang berbeda pendapat dengannya di dalam menvonis seseorang. Namun,
si pembebek ini dengan serta merta marah dan menuduh saya telah mencela kibarul ulama’.
Lalu saya bawakan padanya ucapan al-‘Allamah ‘Abdul
Muhsin al-‘Abbad dari sebuah mukalamah
hatifiyah (percakapan via telepon) antara beliau dengan seorang
da’i Eropa dari QSS (Qur’an Sunnah Society) atau Jum’iyah Ahlil Qur’an was Sunnah di Toronto Kanada, dimana
ketika da’i ini bertanya pada Syaikh ‘Abdul Muhsin tentang Syaikh Falih
al-Harbi, apakah ia termasuk kibarul ulama, maka Syaikh ‘Abdul Muhsin menjawab
: “Abadan Abadan.” (sama
sekali bukan! Sama sekali bukan!), saya juga membawakan ucapan Syaikh Muqbil
bin Hadi yang telah berfirasat sebelum wafatnya akan perihal Syaikh Falih
dengan mengatakan : “Falih ghoyru Falih”
(Si Falih yang tidak beruntung). Namun, si ikhwan ini malah marah-marah dan
memaki-maki saya dan menuduh saya sebagai hizbiy
karena mencela ulama.
Namun, setelah buku al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullahu keluar, yang berjudul Al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah keluar
dan mentahdzir Falih dengan menyebutnya : “rangkingnya dia ketika masih kuliah
dulu adalah 104 dari 119
siswa.”, beliau juga mengatakan : “wa
huwa ghoyru ma’ruf bil isytighol bil ‘ilmi, wa laa a’rifu lahu duruusan
‘ilmiyyan musajjalatan, wa laa mu’allafan fil ‘ilmi shogiiron walaa kabiiron,
wa jullu bidho’atihi at-Tajriih wat Tabdii’ wat Tahdziir min Katsiiriina min
Ahlis Sunnah…”
(Orang ini tidak dikenal menyibukkan diri dengan ilmu, aku tidak mengetahui dia
memiliki pelajaran ilmiah yang direkam, dia juga tidak memiliki tulisan-tulisan
di dalam masalah ilmu baik kecil maupun besar, dan modal utamanya adalah
mencela, menvonis bid’ah dan mentahdzir mayoritas ahlis sunnah…) [lih. Al-Hatstsu hal. 64], setelah tahdzir dari al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin
ini maka mayoritas ulama ahlis sunnah turut mentahdzirnya juga, namun ikhwan ini tidak pernah menyatakan
kesalahannya dulu atas pembelaan fanatiknya kepada Falih al-Harbi, namun ia
mencuci tangan dengan turut mengkritiknya walaupun ia masih mengadopsi
manhajnya. Allahul Musta’an.
Diskusi ini sebenarnya berawal ketika saya membawakan
ucapan-ucapan Masyaikh Yordania raghmun
unufihim, namun ia dengan serta merta membawakan ucapan Syaikh
Falih yang mentahdzir masyaikh Yordania tersebut (masyaikh dari Markaz al-Imam
al-Albani) dengan mengatakan : “manhaj mereka lemah setelah wafatnya al-Albani,
dan mereka sekarang bergabung dengan hizbiyyun
di dalam halaqoh dan dauroh-dauroh hizbiyyun,
mereka sekarang berada di atas manhaj ha`ula’i
hizbiyyin…” demikian nukilan
yang diberikan oleh di ikhwan ini
dari website berbahasa Inggris “salafitalk” yang menukilnya dari “sahab.net”
(dulu sebelum mereka juga akhirnya mendepaknya keluar) dari percakapan telepon
antara Falih al-Harbi dengan seorang dari al-Jaza`iri.
Falih al-Harbi berargumentasi : man dafa’a saqith fahuwa saqith (barangsiapa
yang membela orang yang keliru maka ia juga keliru), lalu ia menyatakan pula : man dafa’a mubtadi’ fahuwa mubtadi’, man dafa’a hizbiy fahuwa hizbiy… dan
inilah kaidah yang saya maksudkan, yaitu barangsiapa yang membela seorang yang
tersalah maka ia juga tersalah. Perhatikanlah sekarang mereka yang terpengaruh
oleh manhaj ini, mereka mengatakan bahwa membela Syaikh Ahmad Surkati di dalam
perkara yang haq dari beliau, maka sama saja dengan membela kesesatan-kesesatan
dan penyimpangan-penyimpangan beliau, oleh karena itu pembelanya layak disebut
sebagai Surkatiyyun, Irsyadiyyun
atau tuduhan-tuduhan semisal.
Ini jelas-jelas merupakan salah satu kebodohan mereka
dan atsar (bekas) dari manhaj
Haddadiyah yang ditinggalkan
Ja’far Umar Thalib dan Falih al-Harbi beserta cs.-nya semisal Fauzi al-Bahraini
kepada mereka, telah merasuk dan menancap sangat kuat hingga ke sanubari dan
menjadikannya sebagai ciri khas manhaj mereka yang utama.
f. Menguji manusia dengan perseorangan
Ini merupakan bentuk bid’ah yang dimunculkan kembali
hari ini yang telah diwanti-wanti oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad
al-Badr hafizhahullahu di
dalam buku beliau, al-Hatstsu ‘ala
ittiba`is Sunnah, terutama pada bab Bid’atu imtihaani an-Naas bil Askhosh (Bid’ah menguji
manusia dengan perseorangan).
Maksudnya adalah, ada beberapa oknum segolongan kecil
atau fi`atun qoliilah
–demikianlah sebutan yang diberikan oleh al-‘Allamah al-‘Abbad kepada mereka-
yang menyibukkan diri dengan tattabu’
al-Aktho’ (mencari-cari
kesalahan) dan tajassus (memata-matai)
para du’at da ulama. Mereka
setiap kali bertemu dengan orang, bertanya : “Bagaimana pandangan antum dengan
Syaikh atau ustadz Fulan?” Apabila orang tersebut menjawab dengan jawaban yang
sama, maka ia dipuji dan dijadikan sebagai sahabatnya. Namun, apabila orang
tersebut menjawab yang berlainan dengannya, atau tawaqquf (berdiam diri) karena ketidaktahuannya akan
hakikat sebenarnya, maka mereka akan memaksanya untuk berpendapat dengan
pendapatnya, apabila tidak maka ia akan turut ditahdzir, dihajr
(dikucilkan), dicela, dimaki dan dijelek-jelekkan.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullahu wa atholallohu umurahu
berkata :
ومن البدع المنكرة ما
حدث في هذا الزمان من امتحان بعض من أهل السنَّة بعضاً بأشخاص، سواء كان الباعث
على الامتحان الجفاء في شخص يُمتحن به، أو كان الباعث عليه الإطراء لشخص آخر، وإذا
كانت نتيجة الامتحان الموافقة لِمَا أراده الممتحِن ظفر بالترحيب والمدح والثناء،
وإلاَّ كان حظّه التجريح والتبديع والهجر والتحذير…
“Dan termasuk diantara bid’ah munkarah yang terjadi di zaman ini adalah menguji
sebagian ahlis sunnah dengan ahlus sunnah lainnya dengan perseorangan tertentu.
Sama saja, baik orang yang berkecimpung dalam pembahasan pengujian manusia ini
adalah orang yang merendahkan orang yang diuji tersebut atau yang
menyanjung-nyanjungnya individu lainnya. Apabila hasil pengujian ini selaras
dengan yang dikehendaki oleh penguji maka akan membuahkan pujian dan sanjungan
padanya, namun apabila tidak maka ia akan dijarh,
ditabdi’, dihajr dan ditahdzir…”[5]
Pembahasan lebih lengkap silakan dirujuk langsung kepada
kitab tersebut, insya Alloh banyak faidah yang bisa dipetik darinya, dan inilah
nasihat emas yang mengalir dari ulama senior ahli hadits zaman ini yang
seharusnya kita jadikan sebagai cambukan untuk muhasabah dan mengevaluasi diri kita atas kesesuaian kita
dengan manhaj as-Salaf ash-Shalih.
g. Tidak berihtimam dengan ilmu namun
lebih menyibukkan diri dengan tabdi’, tafsiq dan tadhlil.
Apabila para pembaca budiman membaca artikel dan uraian
para pemuda yang terpengaruh manhaj Haddadiyah
ini, mereka seringkali menyebut diri mereka sebagai “orang awam”,
“orang yang bodoh”, “si miskin ini”, “bocah ingusan ini” dan ucapan-ucapan yang
merendahkan diri lainnya. Alhamdulillah,
dari sini sebenarnya mereka faham bahwa mereka ini adalah orang-orang bodoh
yang miskin ilmu. Namun
anehnya, ketika mereka menyadari hal ini, mereka bukannya menyibukkan diri
dengan ilmu dan berihtimam
dengannya namun malah menyibukkan diri dengan vonis-vonis yang bukanlah
merupakan hak orang yang bodoh, miskin, bocah ingusan dan yang semisalnya
seperti mereka.
Apabila ada diantara para pembaca budiman yang pernah
membuka website gelap yang tak jelas pengelolanya, yang tidak jelas dimana
alamat mereka, berapa nomor telepon yang bisa dihubungi atau siapa penanggung
jawabnya yang dapat dikontak, maka akan mendapatkan tulisan-tulisan yang
kesemuanya 100% adalah bantahan, tahdzir,
tanfir, jarh, makian, umpatan, cacian dan
semisalnya yang dibalut dengan kedustaan, fitnah, iftiro’, ikhtiro’ dan segala bentuk investigasi dan
manipulasi lainnya, dan tidak akan menemukan artikel-artikel ilmiah lainnya
yang ummat bisa lebih beristifadah
dengannya, semisal masalah fiqh, aqidah, apalagi masalah adab dan akhlaq. Pun,
di website-website lainnya yang ilmiah, tidak pernah kita dengar kontributor
mereka semisal Abdul Ghafur misalnya, atau Abdul Hadi, atau Ibrahim, atau
siapapun namanya, menuliskan artikel ilmiah seputar masalah fiqh misalnya, atau
masalah aqidah misalnya, atau bantahan ilmiah terhadap para hizbiyun yang mencela dakwah
salafiyyah, atau bahasan ilmiah lainnya. Seakan-akan menunjukkan bahwa jullu bithonatihim (modal utama mereka)
adalah tajrih, tahdzir, tahjir
dan yang semisalnya.
Hal ini semakin meyakinkan bahwa mereka memang jahil dan
bukan seorang thullabul ‘ilmi,
namun lebih tepatnya disebut thullabul
fitan. Karena tidaklah keluar dari orang-orang semisal mereka
melainkan hanya fitnah, kedustaan, sumpah serapah dan segala bentuk
sampah-sampah lisan dan pemikiran mereka, wal’iyadzubillah.
Aduhai, alangkah lebih baik apabila mereka juga menyibukkan diri dengan ilmu
syar’i, bahasan ilmiah seputar fikih, aqidah ataupun manhaj, atau rudud-rudud ilmiyah kepada hizbiyun atau harokiyun yang mencela dan menuduh
dakwah salafiyah dengan tuduhan-tuduhan dusta. Bukannya malah, membantu kaum hizbiyun untuk membenarkan
tuduhan-tuduhan mereka, menyokong hizbiyun
dengan menunjukkan bahwa dakwah salafiyyah ini adalah dakwahnya munaffirin (orang-orang yang melarikan
manusia dari al-Haq), atau malah membenarkan tuduhan-tuduhan mereka sebagaimana
tuduhan Halawi Makmun yang menuduh bahwa perbedaan salafiyin bukanlah
dikarenakan perbedaan pendapat, namun lebih karena perbedaan PENDAPATAN. Dan
tuduhan semisal ini bukannya malah dicounter
oleh mereka, namun malah dibenarkan dan dijadikan sarana untuk menyerang sesama
ahlis sunnah. Allohu Akbar!!
Apabila kita lihat lagi di forum-forum internet semisal di MyQuran,
ketika salafiyyun dibantah
oleh kaum hizbiyyun, mereka
bukan malah mengcounternya,
namun malah menbuka celah bagi hizbiyyun
untuk lebih getol menyerang dakwah salafiyyah ini. Mereka nukil tulisan-tulisan
sampah di sebuah website gelap tersebut lalu dipastekannya ke forum-forum di
internet yang esensinya tidak ada bantahan ilmiah sama sekali di dalamnya,
namun hanyalah investigasi-investigasi ala agen rahasia yang orang kafir pun
mampu melakukannya. Mereka ini pada hakikatnya tidak faham dengan thoriqotus salafiyyah dan manhaj salaf,
dan mereka menisbatkan apa-apa yang bukan dari manhaj salaf sebagai bagian dari
manhaj salaf karena kebodohan semata.
Al-‘Allamah Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
berkata :
فإذا أردت أن تتبع
السلف لا بد أن تعرف طريقتهم ، فلا يمكن أن تتبع السلف إلا إذا عرفت طريقتهم
وأتقنت منهجهم من أجل أن تسير عليه ، وأما مع الجهل فلا يمكن أن تسير على طريقتهم
وأنت تجهلها ولا تعرفها ، أو تنسب إليهم ما لم يقولوه ولم يعتقدوه ، تقول : هذا
مذهب السلف ، كما يحصل من بعض الجهال – الآن –
الذين يسمون أنفسهم (سلفيين) ثم يخالفون السلف ،ويشتدون ويكفرون ، ويفسقون ويبدعون
. السلف ما كانوا يبدعون
ويكفرون ويفسقون إلا بدليل وبرهان ، ما هو بالهوى أو الجهل
“Apabila kamu telah tahu bahwa meneladani salaf itu
mengharuskanmu untuk mengetahui jalan mereka, maka tidaklah mungkin kamu bisa
meneladani salaf kecuali apabila kamu mengetahui jalan mereka dan memahami
manhaj mereka supaya kamu dapat meniti di atas jalan itu. Adapun dengan
kebodohan maka tidak mungkin kamu dapat meniti di atas jalan mereka sedangkan
kamu bodoh terhadapnya dan tidak mengetahuinya, atau kamu menyandarkan kepada
mereka apa-apa yang tidak mereka ucapkan dan yakini, lantas kamu berkata : “ini
madzhab salaf”, sebagaimana yang
tengah terjadi saat ini pada sebagian orang-orang bodoh, yang menamakan diri
mereka dengan salafiyin, namun mereka menyelisihi salaf, mereka bersikap
arogan dan mengkafirkan, menfasikkan dan membid’ahkan (siapa saja yang
menyelisihi mereka). Para
salaf, mereka tidak pernah membid’ahkan, mengkafirkan dan menfasikkan melainkan
dengan dalil dan burhan
(bukti yang terang), bukannya dengan hawa nafsu dan kebodohan.”[6]
h. Lebih senang menyerang sesama ahlus
sunnah dan menyibukkan diri dengan mencela mereka
Ini merupakan karakter mereka yang sangat tampak sekali.
Mereka lebih senang menyibukkan diri dengan sesama ahlus sunnah daripada membantah ahli bid’ah yang
jelas-jelas akan kesesatan dan penyimpangannya. Mereka lebih terobsesi untuk
menjelek-jelekkan sesama ahlis sunnah daripada selainnya. Perilaku inilah yang
menyebabkan dakwah salafiyah semakin dijauhi dan dakwah hizbiyyah semakin digandrungi, kaum hizbiyun dan ahli bid’ah bertepuk
tangan berbahagia melihat percekcokan diantara sesama ahlus sunnah ini, karena
dengan sibuknya antara sesama ahlus sunnah, maka mereka kaum hizbiyyun akan selamat dari kritikan
dan tahdzir ahlus sunnah
kepada mereka.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad sendiri telah
mewanti-wanti masalah ini, semenjak beliau menulis Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah hingga risalah beliau al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah.
Mereka para pemuda yang terpengaruh manhaj rusak haddadiyah ini, tidak sedikitpun mengambil ifadah dari nasehat-nasehat dari para
ulama semisal Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad ini. Bahkan mereka mencela buku
beliau ini dan melakukan penolakan besar-besaran. Padahal, mereka sendiri telah
mengetahui latar belakang penulisan buku Rifqon
Ahlas Sunnah ini.
Berikut ini adalah ulasan Syaikh di dalam Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah bab
Fitnatut Tajrih wal Hajr min Ba’dhi Ahlis Sunnah fi Hadzal Ashr
(Fitnah sikap saling mencela dan mengisolir diantara sebagian ahlus sunnah di
zaman ini)
حصل
في هذا الزمان انشغال بعض أهل السنة ببعض تجريحاً وتحذيراً، وترتب على ذلك التفرق
والاختلاف والتهاجر، وكان اللائق بل المتعين التواد والتراحم بينهم، ووقوفهم صفاً
واحداً في وجه أهل البدع والأهواء المخالفين لأهل السنة والجماعة…
“Telah terjadi di zaman ini, sibuknya sebagian ahlus
sunnah dengan sebagian lainnya dengan tajrih
(saling mencela) dan tahdzir,
dan implikasi dari hal ini menyebabkan terjadinya perpecahan, perselisihan dan
saling mengisolir. Padahal sepantasnya bahkan seharusnya bagi mereka untuk saling
mencintai dan berkasih sayang terhadap sesama mereka, dan menyatukan barisan
mereka di dalam menghadapi ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi
ahlus sunnah wal jama’ah…”
Saya bertanya kepada mereka yang menolak risalah Rifqon Ahlas Sunnah ini, apakah ucapan
Syaikh di atas tidak benar dan tidak ada waqi’
(realita)-nya? Apabila mereka mengatakan iya, maka fasubhanalloh, ini adalah celaan kepada Syaikh ‘Abdul
Muhsin al-‘Abbad karena seakan-akan beliau ini bodoh dengan waqi’ ummat dan beliau menulisnya di
atas kebodohan. Apabila mereka mengatakan tidak, dan fenomena yang disebutkan
syaikh adalah benar, maka kepada siapakah syaikh memaksudkan ucapannya?! Apakah
mereka tidak sadar akan karakter mereka yang mudah mencela, mentahdzir, memaki
dan mengumpat orang lain sesama ahlis sunnah inilah yang dimaksud oleh Syaikh
al-‘Abbad?!! Sehingga mereka tidak mau introspeksi dan menerima nasehat Syaikh hafizhahullahu?!! Jika benar demikian,
maka begitu sombongnya mereka.
Bukankah mereka tahu bahwa Syaikh ‘Abdul Muhsin
al-‘Abbad menuliskan nasehatnya tersebut di dalam Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah adalah untuk kalangan ahlus sunnah salafiyyin saja yang saat
ini tengah terjadi percekcokan dan perselisihan di antara mereka?!! Sebagaimana
klarifikasi beliau berikut :
و الكتاب الذي كتبتة
أخيراَ….لا علاقة للذين ذكرتهم في مدارك النظر بهذا
الذي هو :رفقاَ أهل السنة بأهل
السنة لا يعني الإخوان
المسلمين , ولا يعني المفتونين بسيد قطب و غيرهم من الحركيين,
و لا يعني أيظاً المفتونين بفقه الواقع و النيل من الحكام و كذلك التزهيد في العلماء لا يعني هؤلاء لا من قريب و لا من
بعيد و إنما يعني أهل السنة فقط حيث يحصل بينهم الإختلاف
فينشغل بعضهم ببعض تجريحاَ و هجراَ و ذماً
“Buku yang aku tulis terakhir ini yaitu Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah
tidaklah ada korelasinya dengan yang telah aku sebutkan di dalam Madarikun Nazhar. Risalahku Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah
tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin tidak pula dimaksudkan untuk
orang-orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb dan selainnya dari para harokiyyin. Tidak pula dimaksudkan
untuk orang-orang yang terfitnah dengan fiqh
waqi’, para pencela penguasa dan orang-orang yang merendahkan para
ulama, tidak dimaksudkan untuk mereka baik yang dekat maupun jauh. Sesungguhnya, risalahku ini aku peruntukkan untuk
Ahlus Sunnah saja!!! Mereka yang berada di atas jalan Ahlus Sunnah yang tengah
terjadi di tengah mereka ini sekarang perselisihan dan sibuknya mereka antara
satu dengan lainnya dengan tajrih, hajr (mengisolir) dan mencela.”[7]
Siapakah ahlus sunnah yang saat ini tengah terjadi
perselisihan dan tersibukkannya mereka antara satu dengan lainnya dengan tajrih, hajr dan caci maki?!!
Ataukah mereka telah menvonis bahwa kami ini adalah hizbiyyun harokiyyun yang tidak layak
risalah Rifqon beliau
ditujukan kepada kami?! Jika demikian, aduhai benar sekali bahwa mereka ini
telah dimakan oleh manhaj haddadiyah
yang mudah mengeluarkan orang dari lingkaran ahlis sunnah tanpa ilmu dan bashiroh. Apakah mereka pernah melihat
kami terfitnah oleh pemikiran Sayyid Quthb ataukah justeru kami mentahdzir
darinya?!! Apakah pernah mereka melihat kami mencela penguasa kaum muslimin
ataukah justeru kami yang menjelaskan bahwa mencela penguasa adalah diantara
manhaj khowarij?! Bukankah dulu mereka yang terjatuh kepada pencelaan kepada
penguasa, khuruj dari
ketaatan dan melakukan muzhoharoh
(demonstrasi) dan pengumpulan massa
ala hizbiyyin?! Lantas
mengapa begitu mudahnya mereka melupakannya, mencuci tangan dan menuduh
kedustaan kepada orang lain yang mereka terbebas darinya. Allohumma sallimna!!!
i. Menerapkan Hajr secara serampangan
Ini adalah bentuk kebodohan mereka yang kesekian
kalinya, mereka tidak faham apa itu hajr,
bagaimana cara dan syarat-syaratnya, oleh karena itulah sering sekali para
masyaikh ahlus sunnah menjelaskan masalah ini, diantaranya adalah Syaikh ‘Abdul
Muhsin al-‘Abbad di dalam Rifqon Ahlas
Sunnah bi Ahlis Sunnah, lalu juga Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili, Syaikh
‘Ali Hasan al-Halabi dan selain mereka hafizhahumullah
di dalam dauroh-dauroh mereka.
Kepada setiap orang yang mereka nilai sesat dan
menyimpang, maka dengan serta merta mereka menghajrnya, tidak mau salam dengannya, tidak mau duduk
bermajlis dengannya walaupun dalam rangka mendakwahinya, tidak mau bermuka
masam kepada kaum muslimin dan sikap-sikap buruk lainnya yang menyebabkan
manusia semakin lari dari dakwah al-Haq ini, hanya karena disebabkan
orang-orang juhala’ semisal
mereka ini.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad berkata di dalam Rifqon Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah (hal.
52-53) :
والهجر
المفيد بين أهل السنة ما كان نافعاً للمهجور، كهجر الوالد ولده، والشيخ تلميذه،
وكذا صدور الهجر ممن يكون له منزلة رفيعة ومكانة عالية، فإن هجر مثل هؤلاء يكون
مفيداً للمهجور، وأما إذا صدر الهجر من بعض الطلبة لغيرهم، لا سيما إذا كان في
أمور لا يسوغ الهجر بسببها، فذلك لا يفيد المهجور شيئاً، بل يترتب عليه وجود
الوحشة والتدابر والتقاطع
“Hajr yang bermanfa’at di kalangan Ahlus Sunnah adalah apa yang dapat memberikan
manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua mengucilkan anaknya, dan seorang Syeikh
terhadap muridnya, dan begitu juga pengucilan yang datang dari seorang yang mempuyai
kehormatan dan kedudukan yang tinggi, karena sesungguhnya pengucilan mereka
sangat
berfaedah
bagi orang yang dikucilkan. Adapun apabila hal itu dilakukan oleh
sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi bila disebabkan oleh
persoalan yang tidak sepantasnya ada hal pengucilan dalam persoalan tersebut, maka yang demikian ini tidak
akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan akan berakibat terjadinya
pertikaian, sikap saling membelakangi dan pemutusan hubungan.”
j. Memikulkan
kesalahan seseorang kepada orang lain
Ini adalah kesesatan
pemikiran mereka yang paling tampak nyata, mereka akan memikulkan kesalahan
yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya.
Pemikiran ini seperti aqidah nashrani yang meyakini adanya dosa ’warisan’ dan
dan shufiyah yang meyakini bahwa amal perbuatan seseorang bisa ditanggung oleh
orang lain.
Sebagaimana apa yang
mereka lakukan kepada para du’at ahlus
sunnah berupa celaan dan makian, mereka mencela seorang Ustadz
hanya karena ada ustadz kenalannya yang melakukan suatu kesalahan. Alkisah ada
seorang ustadz yang melakukan kesalahan yang menurut mereka sangat fatal
–padahal belum tentu demikian-, maka mereka dengan serta merta bergembira ria
atas kesalahan ustadz ini, mereka luangkan waktu untuk mentranskrip ucapan
ustadz ini yang dipandang salah, namun tidak berakhir sampai di sini, mereka
generalisir kesalahan ustadz ini kepada ustadz-ustadz lainnya yang tidak
berbuat, dan mereka timpakan kesalahan yang sama kepada ustadz-ustadz lainnya
yang kebetulan hanyalah mengenal ustadz yang tersalah ini. Dan masih banyak
lagi contoh kasus lainnya, sehingga dengan ”aqidah” sesat seperti inilah salah seorang
dari mereka berani menyematkan label ”al-Kadzdzab” kepada salah seorang ustadz
yang pernah memberikan ceramah di hadapan masyaikh
dan thullabul ’ilmi di Markaz
al-Imam al-Albani Yordania.
Alloh Ta’ala telah mengabarkan di dalam
firman-Nya yang mulia :
أَلاَّ
تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنَّ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Bahwasanya seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia
tidak akan mendapatkan selain apa yang ia usahakan.” (QS an-Najm : 38)
Alloh Ta’ala juga
berfirman di tempat yang lain :
وَلاَ
تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى
”Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.” (QS al-Israa` :
15; lihat pula QS az-Zumar : 7, Fathir : 35 dan Al-An’am : 164)
Al-’Allamah Nashir as-Sa’di rahimahullahu ketika
menafsirkan QS an-Najmi di atas dengan :
أي: كلّ عامل
له عمله الحسن والسيئ فليس له من عمل عيره وسعيهم شيء ولا يحتمل أحد عم أحد ذنبا
”Setiap orang yang melakukan maka baginya sendiri amal baik atau buruknya,
dan dia tidak memikul apa yang dilakukan oleh selainnya dan sedikitpun dari
hasil usaha mereka, dan seseorang tidak memikul dosa orang selainnya.”[8]
Namun aduhai, sungguh
amat disayangkan sekali. Seorang yang mengaku-ngaku sebagai ahlus sunnah, bisa
terjatuh kepada kesalahan semisal ini. Apakah hanya karena kebencian yang telah
mendarah daging sehingga mereka menghalalkan segala cara hanya untuk memenuhi
ambisi dan obsesi menjatuhkan kehormatan seorang muslim?!!
k. Mencela para
ulama ahlus sunnah yang jatuh kepada kesalahan atau yang tidak sefaham dengan pemahaman
mereka
Apabila pengekor Falih
al-Harbi dulu gencar mencela para ulama dan menuduh mereka bermacam-macam,
seperti menuduh Syaikh ’Abdurrazaq al-’Abbad, Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan
selain mereka dengan tuduhan tamyi’,
menuduh masyaikh Yordania sebagai hizbiyyun
dan pembela hizbiyyun,
Syaikh Bakr Abu Zaed sebagai takfiri
quthbi, Syaikh Jibrin sebagai ikhwani
dan semisalnya, mereka pun sekarang juga masih tetap meniru metode
Falih yang merupakan dampak dari pemahaman haddadiyah
bahwa setiap orang yang jatuh pada kebid’ahan maka otomatis ia menjadi bid’ah.
Masih segar di ingatan
kita ucapan salah seorang jahil dari kalangan mereka yang mencela Syaikh Abu
Bakr al-Jazairi sebagai tablighi,
merajuk-rajuk kepada masyaikh Yordania dengan perkataan : ”wahai syaikh, anda
salah hadir di pertemuan mereka…” yang intinya mengatakan bahwa masyaikh salah
dan saya yang benar!!! Menuduh syaikh Ahmad Surkati sebagai Mu’tazili Aqlani, bahkan dikatakan
sebagai mubtadi’, penyeru
kesesatan, agen kuffar
Belanda dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.
Mereka tidak memahami
bedanya ucapan : ”pada diri fulan ada pemahaman Asy’ariyah”, ”pada diri Alan ada pemahaman aqlaniyah”, ”Syaikh Fulan terjatuh pada
kesalahan ini dan itu” atau ucapan-ucapan semisal yang tidak mengharuskan
kesalahan-kesalahan mereka itu divonis bid’ah dan sesat. Mereka tidak cukup
dengan metode seperti ini, karena hasrat dan ambisi mereka yang terbakar ghirah jahiliyah, hawa nafsu dan
kedengkian yang membuncah, mengharuskan mereka untuk mencela dan menjatuhkan
individu-individu dari para ulama tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
ليس
منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
“Bukanlah termasuk
golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda dan mengenal hak orang alim kita.” (HR
Ahmad dan Hakim, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 4319).
Imam Ibnu Asakir rahimahullahu
berkata di dalam Tabyin
Kadzibil Muftari :
واعلم يا أخي! وفقنا
الله وأياك لمرضاته وجعلنا ممن يخشاه ويتقيه حق تقاته أنّ لحوم العلماء وحمة الله
عليهم مسمومة وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة.
“Ketahuilah saudaraku, semoga Allah menunjuki kami dan
kalian kepada keridhaan-Nya dan semoga Dia menjadikan kita orang-orang yang
takut kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, bahwasanya daging
para ulama –rahmatullahu ‘alaihim-
adalah beracun dan merupakan kebiasaan Allah (sunnatullah) merobek tabir
kekurangan mereka pula.”
Imam adz-Dzahabi di dalam Siyaru A’laamin Nubala’ (XIV/33) berkata :
ولو أن كلما أخطأ إمام في
اجتهاده في آحاد مسائل خطأ مغفورا له قمنا عليه وبدعناه وهجرناه منا سلم معنا لا
ابن نصر ولا ابن منده ولا من هو أكبر منهما والله هو هادي الخلق إلى الحق وهو أرحم
الراحمين فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة
“Kalau seandainya setiap kali seorang imam bersalah di
dalam ijtihadnya pada suatu masalah dengan kesalahan yang terampuni, kemudian
kita menvonisnya bid’ah dan menghajrnya,
maka tak ada seorangpun yang selamat dari kita, tidak Ibnu Nashr (al-Marwazi),
tidak pula Ibnu Mandah, ataupun yang lebih senior dari mereka berdua. Dan
Allohlah Dia yang memberi petunjuk hamba-Nya kepada kebenaran dan Dia adalah
yang paling penyayang. Kita memohon perlindungan dari hawa nafsu.”
Oleh karena itu, seharusnya mereka menjaga lisan dan
diri mereka dari berkata buruk kepada ulama, apalagi yang telah wafat
mendahului mereka, yang mana amal para ulama ini –insya Alloh- jauh melebihi mereka, bahkan mungkin
menjangkau mata kakinya saja mereka tidak sampai. Apabila seseorang melihat ada
kesalahan pada mereka, maka seharusnya ia menjaga dirinya dari berburuk sangka
kepadanya, menjaga lisannya dari mencela, mengumpat, menghujat apalagi sampai
melaknat dan menvonisnya sebagai ahli bid’ah dan kesesatan tanpa disertai burhan dan bashirah, karena apabila mereka ini mau bermuhasabah (introspeksi) niscaya
kesalahan mereka akan lebih banyak dan besar daripada mereka (para ulama ini).
l. Lebih memprioritaskan dan menyibukkan
diri dengan tahdzir daripada masalah pembenahan aqidah
ummat
Al-Imam al-Albani rahimahullahu
memiliki sebuah risalah yang sangat indah, yang merupakan transkrip rekaman
ceramah beliau yang berjudul Tauhid
Awwalan ya Du’atal Islaam (Tauhid dulu wahai para da’i islam!),
demikian pula dengan Syaikh al-Qor’awi yang memiliki risalah Tauhid awwalan lau kaanuu ya’lamuun
(Tauhid lebih dulu apabila mereka mengetahuinya), dan masih banyak lagi para
ulama yang menjelaskan akan keutamaan dan prioritas tauhid dibandingkan
lainnya.
Saya yakin, mereka semua faham bahwa dakwah yang
diserukan awal mula dan pertama kali oleh para Nabi dan Rasul adalah seruan
tauhid dan aqidah. Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam ketika mengutus Mu’adz, beliau memerintahkan agar
Mu’adz menyeru kepada tauhid terlebih dahulu, baru menyerukan hukum-hukum Islam
lainnya. Tidak ada yang mengingkari kewajiban pertama dan utama ummat Islam
adalah memahami masalah aqidah dan tauhid ini.
Sekarang, apakah kaum muslimin di Indonesia ini,
mayoritas mereka bertauhid dan beraqidah yang shahihah ataukah tidak?! Pasti kita semua mengetahui bahwa
mayoritas ummat di Indonesia
-dan negara lainnya- tidak faham aqidah yang benar dan makna tauhid yang shahih. Fenomena kesyirikan semisal tabarruk di kuburan, meminta dan
berdo’a kepada mayyit, beritsighotsah
kepada orang-orang yang telah meninggal, bertawassul
dengan hak-hak wali dan orang mati, dan segala bentuk kesyirikan lainnya yang
dipenuhi oleh takhayul, khurofat
dan bid’ah.
Namun sungguh aneh, mengetahui fenomena semisal ini, mereka
–para oknum juhala’ ini-
lebih mementingkan dan mendahulukan tahdzir,
tahdzir dan tahdzir. Bukannya tahdzir kepada kesyirikan, kekufuran
dan kebid’ahan yang tengah melanda ummat, namun mereka mentahdzir para du’at ahlus sunnah yang mengerahkan tenaga dan
waktunya untuk berdakwah dan menyerukan tauhid. Mereka larikan ummat ini dari
kebenaran yang disampaikan sehingga seakan-akan kebenaran itu hanyalah milik
sendiri yang tidak boleh orang lainnya mendapatkannya. Ma’adzallohu!!!
Apakah ini pengejawantahan dakwah salafiyah yang hakiki
wahai ghulat?! Apakah
gembor-gembor dan syiar anda yang berisi makian, cacian, umpatan, fitnah,
celaan, kedustaan, manipulasi, kebodohan dan segala bentuk kejelekan lainnya
sebagai salah satu bentuk dakwah salafiyyah?! Pembelaan atasnya dengan
mengkambinghitamkan ilmu jarh wa ta’dil?!!
Allohumma, alangkah rusaknya
kalian ini…!!!
m. Menyibukkan diri dengan metode
investigasi ala kuffar untuk mencari-cari
kesalahan dan menyandarkannya sebagai bagian dari manhaj salaf
Mereka sibukkan diri dengan metode investigasi ala agen
rahasia atau CIA atau semisalnya, mereka browsing
ke internet mencari informasi yang bisa mereka jadikan sarana untuk menghantam
saudara mereka, mereka ikuti berita-berita di media-media massa baik majalah
dan selainnya, mereka ikuti kaset-kaset ceramah para du’at bukannya untuk beristifadah darinya namun untuk
mencari-cari kesalahan. Informasi-informasi sepenggal-sepenggal yang terkadang
‘gak nyambung’ mereka satukan bagaikan anak kecil yang bermain ‘jigshaw puzzle’, menggabungkan
potongan-potongan gambar teka-teki menjadi satu bagian utuh. Namun bedanya,
para ‘pengangguran’ ini menyatukan potongan-potongan yang tidak utuh dengan
imajinasi dan fantasi mereka sendiri.
Dari potongan-potongan informasi yang mereka dapatkan
itu, mereka susun sebuah gambaran kacau yang disertai dengan imajiner dan
manipulatif, lalu mereka gabung-gabungkan antara satu dengan lainnya, lalu
mereka mengambil konklusi darinya. Dengan metode ini, mereka menghantam dan
menghajar pada du’at yang
kebanyakan tidak mengetahui apa yang mereka susun itu, lalu mereka saling
silangkan, korelasikan dan generalisir kesalahan-kesalahan yang mereka dapatkan
kepada orang yang tidak tahu apa-apa.
Mereka menyatakan, lihatlah website alirsyad.or.id yang
memuat tulisan tentang Safar Hawali atau foto-foto atau… atau… lalu dengan
enaknya dan mudahnya mereka timpakan pula kepada Ma’had Ali Al-Irsyad yang
tidak tahu menahu tentang masalah ini, dengan alasan kesamaan nama. Aduhai,
alangkah bodohnya pola pikir mereka, alangkah rusaknya metode berfikir mereka
dan alangkah jauhnya tuduhan mereka dengan hakikat sebenarnya. Apabila mereka
hendak mencari kejelasan, maka mereka haruslah mengambil yang muhkam dari pendapat orang atau ma’had
yang mereka tuduh, bukannya menggambil yang samar dan tidak jelas.
Sebagai contoh, misalnya ada ustadz Fulan, dia
menjelaskan sikapnya yang jelas kepada hizbiyyah,
ia mentahdzir darinya, bahkan
ia terangkan dengan sejelas-jelasnya, maka ucapan ustadz ini adalah ucapan yang
muhkam, yang tafshil dan yang sharih yang harusnya dipegang. Bukannya
malah mencari-cari celah yang samar, yang mana mereka bertakalluf untuk mencari-cari
kesalahannya dengan bukti-bukti dan argumentasi yang samar, mujmal dan tidak terang. Seakan-akan
mereka ini tidak senang apabila ada orang selain mereka yang melakukan
kebenaran, dan mereka lebih menghendaki orang atau ustadz tersebut salah, agar
mereka bisa melemparkan tuduhan-tuduhan keji dan fitnah-fitnahnya. Dan cara
yang mereka gunakan adalah investigasi-investigasi informasi ala CIA atau
semisalnya, yang mana orang kuffar
atau ahli bid’ah pun bisa melakukan hal yang sama dengan mereka. Tidakkah
mereka mengetahui artikel yang berjudul : “Indonesia Backgrounder : Why Salafism dan Terrorism mostly don’t mix”
oleh ICG (International Crisis Group) yang metode pengumpulan beritanya dari
internet dan mereka banyak sekali melakukan kesalahan di dalamnya. Kemudian
metode para hizbiyyun
pembenci dakwah salafiyyah
yang menyusun bantahan-bantahan dengan penukilan-penukilan dan penghimpunan
informasi dari internet yang sepatahg-sepatah dan sepotong-sepotong. Bahkan,
apabila mereka melihat tulisan yang menyerang Syaikh Rabi’ bin Hadi, yang
berjudul “Syaikh Rabi’ bin Hadi fil Mizan”
maka metode mereka pada hakikatnya sama dengan mereka-mereka ini. Yaitu asmot (asal comot) dari sana sini kemudian
ditambah dengan gosip (digosok semakin sip).
Dan ini bukanlah metode dan manhaj salaf, karena manhaj
salaf di dalam menilai pemikiran seseorang dari ahlus sunnah adalah dengan tahqiq dan verifikasi yang jelas,
menelusuri sumbernya secara jelas dan bertabayun
dan tatsabut atas
berita yang sampai, serta membawa ucapan-ucapan yang mujmal kepada yang tafshil, membawa perkataan yang samar
kepada yang muhkam, dst.
Apabila mereka mendapatkan kesalahan maka mereka nasehati dulu kesalahan
tersebut, dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka meminta tolong kepada
yang mampu untuk menjelaskannya.
Tahdzir Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin
Baz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar