Senin, 18 Juni 2012

Dialog Bersama Takfiriy


Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Di Wajahnya
Oleh : Muhammad Arifin Baderi 
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan setiap orang yang menjalankan sunnahnya hingga hari qiyamat.

Amma ba’du :
Sebagai pembuka, saya ingin mengingatkan kepada pembaca yang budiman, akan sebuah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang harus selalu tertanam di dalam jiwa setiap muslim, sehingga dalam setiap ucapan, perbuatan dan sikap, ia menjadikannya sebagai tolok ukur, dan pedoman, agar ia tidak terjerumus kedalam kubang kehinaan dan kenistaan, yaitu sabda beliau :
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن مما أدرك النَّاس من كلام النبوة: إذا لم تستحي فاصنع ما شئت) رواه البخاري وغيره.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud[1][1] radliyallaahu 'anhu, ia menuturkan : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya diantara ucapan kenabian adalah : Bila engkau tidak merasa malu, maka silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”. (HR Bukhori dll).[2][2]
Dan karena teringat akan makna hadits ini, saya mencantumkan judul tulisan ini seperti tersebut di atas, karena saya melihat bahwa rasa malu telah hilang dan bahkan sengaja dibuang oleh Aman Abdur Rahman. Setelah terbukti manipulasi terhadap fatwa dan ucapan para ulama’, ia tidak malu untuk menuliskan bantahan terhadap penjelasan yang saya buat, seakan-akan ia tidak memperdulikan akan perilakunya yang terbukti sangat memalukan bagi orang yang berakal. Sebelumnya, saya berpraduga bahwa dengan tersebarnya tulisan saya, Aman akan mengurung diri di rumahnya, dan malu untuk keluar, kecuali pada malam hari atau dengan mengenakan topeng, akan tetapi sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,”Bila engkau tidak merasa malu, maka silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”.
Pada awalnya, saya berbaik sangka kepada Aman, bahwa ia akan berhenti dan menyadari kesalahannya, tatkala ia membaca tulisan saya yang pertama, akan tetapi prasangka ini menjadi sirna ketika saya mendapatkan berita bahwa, ia menuliskan bantahan terhadap tulisan saya. Karena itulah; saya memohon bantuan dari Allah Ta’ala untuk menuliskan bantahan secara terperinci, terhadap tulisan gelap Aman Abdur Rahman, dan pada tulisan ini saya berusaha untuk tidak mengulang apa yang telah saya sebutkan dalam tulisan pertama.
Pertama :
Pada catatan kaki no: 1 pada halaman: 1, Aman mengatakan : Hal ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah. Kita harus memberikan penjelasan yang sesuai porsinya untuk setiap masalah. Hal ini, merupakan metode yang dijalani oleh generasi salaf umat ini. Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq. Lihat pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santerm karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya, dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam pembahasannya. Dan ini namanya adil di dalam membahasa setiap permasalahan. Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan mulai membabat syari’at”.
Pada perkataan Aman ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Ia menyamakan antara pembahasan masala syirik dalam uluhiyyah dengan pembahasan masalah takfir (pengkafiran) orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah. Hal ini merupakan bukti paling besar akan kebodohan Aman tentang manhaj salaf, bahkan agama islam secara umum, betapa tidak, permasalahan syirik dalam uluhiyyah (peribadatan) dari zaman dahulu, zaman Nami Nuh ‘alaihis-salaam hingga Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, merupakan pokok dan misi utama pada Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
] وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [ سورة النحل 36
“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap ummat seorang utusan (Rasul), (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. (Surat An Nahl 36).
Syeikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Wahhab berkata tentang tauhid uluhiyyah :
وهذا التوحيد هو أول الدين وآخره، وباطنه وظاهره، وهو أول دعوة الرسل وآخرها، وهو معنى قول: لا إله إلا الله….فهو أول واجب وآخر واجب، وأول ما يدخل به الإسلام وآخر ما يخرج به من الدنيا.
“Dan tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) yang merupakan awal dan akhir, batin dan lahirnya agama ini, dan tauhid inilah permasalahan pertama dan yang terakhir diserukan oleh para rasul, dan tauhid inilah makna dari persaksian LA ILAHA ILLALLAH, …. Sehingga dengan demikian, tauhid uluhiyyah adalah kewajiban paling pertama, dan paling terakhir, dan hal paling awal yang menjadikan seseorang masuk agama islam, dan hal yang paling akhir yang harus ia pegangi tatkala meninggalkan dunia ini (mati). (lihat Taisir Al Aziz Al Hamid 36-37).
Untuk lebih membuktikan akan kebodohan Aman, mari kita bersama-sama mendengarkan wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Mu’adz bin Jabal, tatkala beliau mengutusnya untuk berdakwah ke daerah Yaman :
(إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله) وفي رواية :( أن يوحدوا الله) وفي رواية ( عبادة الله).
“Sesungguhnya engkau kan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya hal pertama yang engkau serukan mereka kepadanya adalah persaksian LA ILAHA ILLALLAH”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl “agar mereka mengesakan Allah”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl “Beribadah kepada Allah”. (Hr Muttafaqun ‘Alaih).[3][3]
Sangat jelas bahwa, pada wasiat ini beliau memerintahkan Muadz agar memulai dakwahnya dengan tauhid uluhiyyah. Nah sekarang mari kita banding wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan apa yang dikatakan oleh Aman, ia mengatakan: “Hal ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah”.
Lisanul hal (secara tidak langsung) Aman pada perkataannya ini, seakan-akan ingin mengucapkan kepada kita semua, bahwa wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz diatas, sudah tidak berlaku untuk zaman kita, karena sekarang telah muncul syirik baru, yaitu syirik dalam rububiyyah, terutama dalam hal tahkim qowanin.
Saya ingin bertanya kepada Aman, dan kepada orang yang sepemikiran dengannya: orang-orang yaman, yang Muadz bin Jabal radliallahu 'anhu, diutus untuk berdakwah disana, apakah mereka bertahkim (berhukum) dengan hukum Allah, ataukah dengan hukum lain? Bahkan orang-orang quraisy pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah, apakah mereka bertahkim dengan hukum Allah, atau tidak?
Bila engkau katakan, mereka berhukum dengan hukum Allah, maka itulah kebodohan paling bodoh, dan kalau engkau katakan mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, maka apakah engkau hendak mengaku sebagi nabi baru, sehingga engkau menyelisihi wasiat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam?!!
2. Pada ucapan Aman : Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq”. Kenapa engkau katakan bahwa pembahasan: apakah Al Qur’an kalamulah atau makhluq, tidak begitu santer pada zaman sahabat? Padahal yang benar, permasalahan tersebut tidak pernah ada seorangpun yang membicarakannya pada zaman sahabat, apalagi sampai santer dibicarakan. Sebagai buktinya, mari kita simak bersama-sama salah satu perdebatan antara Imam Ahmad bin Hambal dengan Ibnu Abi Du’ad:
Ibnu Abi Du’ad berkata: Wahai syeikh, apa pendapatmu tentang Al Qur’an?, maka Imam Ahmad berkata: Engkau tidak adil, biarkan aku yang bertanya, maka Ibnu Abi Du’ad berkata: Silahkan bertanya:, maka Imam Ahmad berkata: Apa pendapatmu tentang Al Qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui. Maka Imam Ahmad berkata: Subhanallah, sesuatu yang belum pernah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak diketahui oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan juga Khulafa’ Ar Rasyidun, dan engkau ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad merasa malu, dan kemudian berkata: Kalau demikian maafkan aku, dan kita mulai pertanyaannya dari awal. Maka Imam Ahmad menjawab: Baiklah, apa pendapatmu tentang Al qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang sudah mereka ketahui, akan tetapi mereka tidak pernah menyeru manusia kepadanya. Maka Imam Ahmad menjawab : Kenapa engkau tidak diam, sebagaimana mereka diam?. (lihat Manaqib Imam Ahmad oleh Ibnul jauzi 432).[4][4]
Inipun salah satu bukti akan jauhnya Aman dari manhaj salaf, bahkan merupakan isyarat bahwa Aman sebenarnya dalam tulisannya tersebut hanyalah membeo, dan taqlid, tanpa mengerti apa yang ia ucapkan.
3. Aman berkata : Lihat pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santer karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya”. Ini bukti ketiga akan kebodohan Aman, seandainya ia membaca sejarah kehidupan masyarakat arab, terutama di jarirah arab pada zaman Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab, -sebelum berdirinya kerajaan Saudi Arabia- niscaya ia tidak akan mengatakan demikian.
Orang yang pernah membaca sejarah Jazirah Arab pada zaman beliau, akan tahu dan akan mengatakan bahwa perkataan Aman ini tak ubahnya sekedar igauan di siang bolong; karena sebelum berdirinya kerajaan saudi Arabia, Jazirah Arab dikuasai oleh kabilah-kabilah setempat, masing-masing berhukum dengan hukum kobilah tersebut, dan bukan dengan hukum Islam. Dinasti Utsmany –kala itu- hanya menguasai kota Makkah, Madinah, Ahsa’, Yaman, dan Kuwait, adapun selainya dibawah kekuasaan masing-masing kabilah.
Dan kalau diperhatikan dengan seksama, kita akan dapatkan bahwa situasi pada zaman beliau tidaklah jauh beda dengan apa yang sedang kita alami sekarang ini. Bahkan Dinasty Utsmany, satu-satunya khilafah islamiyyah yang ada pada zaman itu, memerangi dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, memerangi tauhid dan sunnah, karena khilafah Utsmaniyyah –pada saat itu- berdiri atas aqidah asy’ariyyah, dan menganut ajaran sufi. Bukan hanya pada awal dakwah syeikh, akan tetapi sampai setelah berdirinya kerajaan Saudi pertama. Kerajaan Saudi pertama hancur karena diserang pasukan khilafah Utsmaniyyah yang datang dari Mesir, begitu juga halnya kerajaan Saudi kedua, untuk lebih jelasnya silahkan baca buku “’Unwanul Majd Fi Tarikhi An Najed”.. Nah kalau kita lihat dengan pembagian Aman terhadap negara-negara yang ada, maka akan kita simpulkan bahwa Khilafah Utsmaniyyah, bukan negara islam lagi, akan tetapi negara kafir, dan kalau demikian, maka tidak ada lagi negara yang –menurut Aman- sebagai negara islam, sehingga hal ini membuktikan bahwa Aman bertentangan dengan dirinya sendiri. Ini juga sebagai bukti bahwa Aman tidak memahami apa yang ia tuliskan sendiri, kenapa demikian? Jawabannya tak lain dan tak bukan, karena Aman hanya menerjemahkan dan meringkas, kemudian menyebarkan, artinya ia hanya membeo.
Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya dengan tauhid, dan bukan dengan usaha-usaha merebut kekuasaan, agar bisa menerapkan hukum Allah, karena beliau benar-benar faham dan mengerti bahwa cara dakwah yang seperti itulah yang dijalani dan diajarkan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Adapun cara yang digariskan dan diajarkan oleh Aman, pada hakikatnya adalah caranya orang-orang khowarij, bukan caranya Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
4. Aman mengatakan :Dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam pembahasannya”. Saya katakan: wahai Aman, ucapanmu benar, sehingga saking meratanya perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah, sampai-sampai (saya kira) dirumah bapakmu-pun tidak diterapkan hukum Allah, juga dirumah paman, dan karib kerabatmu, oleh karenanya, pada saat ini, saya ingin bertanya kepadamu wahai Aman: Sudahkah engkau memvonis mereka semua, sebagaimana engkau menvonis pemerintahan yang ada?
Wahai Aman, engkau harus menyadari bahwa kewajiban berhukum kepada hukum Allah bukan hanya atas pemerintah saja, akan tetapi kewajiban semua orang muslim, sebagaimana pemerintah diharamkan untuk berhukum kepada hukum selain Allah, kita sebagai masyarakat, juga diharamkan untuk mendatangi pengadilan atau meminta untuk diadili dengan hukum selain hukum Allah.
Bahkan berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban setaip orang yang memiliki kekuasaan, baik kekuasaan umum, atau kekuasaan khusus, untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan bersama sebab turunnya ayat 44 Surat Al Maidah:
Yaitu ketika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yahudi -yang telah menikah- berzina, dihukumi oleh kaumnya dengan dilumuri wajahnya dengan arang dan kemudian diarak keliling, padahal dalam kitab At Taurat mereka hukuman zina adalah rajam. Dan ketika hal ini sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepada mereka: Dalam kitab At Taurat kalian, apa hukuman orang yang berzina: mereka menjawab: Kami mempermalukan mereka dihadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat Abdullah bin Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhnya dalam At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat, lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya diatas ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdullah bin Salam memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat tentang rajam, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kedua orang yahudi tersebut dirajam.[5][5]
Dari kisah sebab turunnya ayat tersebut, kita bisa simpulkan bahwa berhukum kepada hukum Allah bukan hanya kewajiban pemerintah atau kholifah saja, akan tetapi merupakan kewajiban seluruh manusia, sebab orang-orang yahudi tersebut tidaklah memiliki negara, akan tetapi hanya sebuah kobilah, ditambah lagi kontek ayat tersebut umum, tidak ada batasan dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa yang mengatakan bahwa ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau kholifah, maka ia harus mendatang dalil.
Untuk lebih memperjelas kesimpulan ini mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :
(فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)
“Maka demi Tuhammu, mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Nah, sekali lagi saya bertanya: Sudahkah di rumah bapakmu, dan karib kerabatmu diterapkan hukum Allah?, kalau belum, sudahkan engkau memvonis mereka?
Bahkan dirimu, apakah belum menerapkan hukum Allah dengan baik, buktinya engkau telah berdusta dan dengan sengaja berbohong atas nama Syeikh Ibnu Baz, sebagaimana yang telah saya buktikan pada tulisan pertama, sudahkah engkau memvonis dirimu sendiri?
5. Aman mengatakan : Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan mulai membabat syari’at”. Ucapan ini adalah bukti keempat akan kebodohan Aman, yang benar adalah : Para ulama’ telah membahas permasalahan tahkim, dan pelurusan pemahaman masalah pengkafiran orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, semenjak nenek moyang Aman muncul dalam bentuk kelompok untuk pertama kali, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu, tatkala orang-orang khowarij mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya dianggap telah berhukum kepada selain hukum Allah. Mari kita simak bersama penggalan kisah mereka :
Ibnu Abbas mengkisahkan kisah mereka: “Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul didaerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu: Wahai Amirul mikminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat dluhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka.
Maka Ali berkata : Aku takut atas dirimu.
Aku menjawab : Tidak akan terjadi apa-apa. Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan merekapun sepontan menjawab: Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari? Aku berkata kepada mereka : Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menantunya, atas merekalah Al Qur’an diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorangpun diantara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan / yakini, dan hendaknya kalianpun menyampaikan apa yang kalian katakan / yakini. Lalu aku berkata kepada mereka : Apakah yang kalian benci dari sahabat Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan anak pamannya? Mereka menjawab : Ada tiga hal. Aku berkata : Apakah itu? Mereka menjawab : Adapun yang pertama : karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam urusan Allah, padahal Allah telah berfirman :
] إن الحكم إلا لله [
Artinya: “Tiadalah hukum / keputusan, kecuali hukum Allah”, apa urusan manusia dalam hukum Allah?……….Aku berkata kepada mereka : Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Qur’an, yang menyatakan bahwa Allah telah menyerahkan hukumnya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Allah memerintakan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Allah berfirman :
] يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم [
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalan keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumanya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian”. (Surat Al Maidah 95), maka atas nama Allah Ta’ala, apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian diantara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia? Mereka menjawab: Tentau keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama. -Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
] وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما[
Artinya: “Dan bila kalian khawatir ada persengketan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada keduanya”. (Surat An Nisa’ 35). Maka, atas nama Allah, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah diantara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan kalian? Mereka menjawab : Ya……dst. (riwayat At Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll).[6][6]
Ini adalah salah satu usaha Aman, untuk menyesatkan ummat, yaitu menutupi sejarah awal mula munculnya pemahaman khowarij, dan ia kesankan, bahwa permasalahan ini muncul pada zaman Tatar. Dan setelah saya pikirkan, saya berpraduga bahwa Aman melakukan hal ini, untuk menutupi hubungannya dengan khowarij yang ada pada zaman Ali bin Abi Tholib. Akan tetapi usahanya ini, tidaklah mendatangkan hasil seperti yang dia impi-impikan. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas pada pembahasan kesepuluh.
Kedua :
Aman mengatakan : ”Padahal tentang tahkim, merupakan hal serius yang perlu kejelasan ungkapan dan lontaran, bukan kalimat yang samar atau justru mengaburkan dan menyesatkan”.
Saya tidak tahu, apakah yang dimaksud oleh aman dengan kalimat yang samar dan justru mengaburkan dan menyesatkan, adalah fatwa-fatwa, penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan oleh para ulama’ kita, dari semenjak nenek moyang khowarij muncul pertama kali dalam wujud sebuah kelompok, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib, hingga zaman kita, yang kita dapatkan dalam karya-karya mereka, ataukah yang lainnya. Sebab permasalahan bertahkim / berhukum kepada selain hukum Allah bukanlah permasalahan yang baru, akan tetapi permasalahan yang telah tuntas dibahas oleh para ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Yang menjadi permasalahan pada zaman kita, adalah orang-orang khowarij model milineum –Aman salah satu dari mereka-, yang berusaha menampilkan pemikiran mereka yang telah usang dan runtuh, dalam wujud baru, dan dengan penyampaian yang berbeda. Mereka dengan berbagai cara, berusaha mencocokkan keterangan para ulama’ dengan aqidah khowarij mereka, kadang kala dengan memotong perkataan, lain kesempatan dengan merubah kontek perkataan, memegangi perkataan yang mutlak (umum), dan berusaha menyembunyikan perkataan yang terperinci, dan itulah yang dilakukan oleh pahlawan tanpa jasa kita, Aman Abdur Rahman dalam tulisannya yang berjudulkan vonis ulama-ulama Ahlis Sunnah Terhadap Hukumah pembabat Syari’at, dan Fatwa-Fatwa Ulama Ahissunnah Tentang Perbuatan Syirik Karena Jahil”, sebagaimana telah saya buktikan hal tersebut pada tulisan saya yang pertama.
Betapa sombongnya engkau wahai Aman, dan betapa besarnya kepalamu, sehingga seluruh penjelasan ulama’ sebelummu engkau anggap kabur, samar, dan bahkan menyesatkan, Na’uzubillah minal hawa.
Ia merasa –dengan tulisan gelapnya- telah melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ sebelumnya, dari semenjak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Betapa hebatnya dan betapa luasnya ilmu Aman, sehingga ia mengatakan hal tersebut.
Ketiga :
Aman mengatakan : Khowarij adalah firqoh sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (berlebihan), sedangkan Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith (meremehkan), bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya dari yang lainnya. Ibrahim An Nakha’i rahimahullah berkata :
لفتنتهم –يعني المرجئة- أخوف على هذه الأمة من فتنة الأزارقة
“Sungguh, fitnah mereka –maksudnya Murji’ah- lebih ditakutkan atas ummat ini, daripada fitnah Azariqah (khawarij). Ini tidak mengherankan, karena Murji’ah merupakan pendorong pembabat syari’at”.[7][7]
Para ulama’ mengatakan murji’ah lebih bahaya dibanding khowarij, dikarenakan kesalahan murji’ah lebih tersembunyi dibanding kesalahan khowarij, dan demikianlah selanjutnya, semakin suatu kesalahan atau bid’ah terselubung, sehingga tidak semua orang bisa mengetahuinya, bid’ah tersebut dikatakan lebih berbahaya.
Dan pada kesempatan ini, saya katakan: bahwa kesesatan Aman yang ia selubungi dengan nukilan-nukilan yang telah direkayasa dari para kibarul ulama’, lebih berbahaya dari kesalahan khowarij yang ada pada zaman dahulu; karena Aman mengesankan kepada pembaca, bahwa ia adalah seorang salafi, yang mengikuti pemahaman para ulama’ salaf, akan tetapi pada hakikatnya ia tak ubahnya bagaikan musang berbulu domba.
Keempat :
Aman mengatakan : Kedua kelompok tersebut sudah tentu tidak akan mengaku diri mereka termasuk kelompok bid’ah/sesat (menyimpang), bahkan mereka merasa memerangi kelompok bid’ah dan mengaku paling berada di atas sunnah. Sehingga orang murji’ah pada masa sekarang mengaku dirinya yang paling sesuai dengan sunnah, dan orang yang bertentangan dengan mereka di dalam masalah tahkim ini, mereka vonis sebagai Khawarij, padahal orang yang mereka vonis Khawarij itu adalah Ahlus Sunnah”.
Pada ucapannya ini, benar-benar Aman sedang mensifati dirinya sendiri, ia merasa bahwa ia sebagai pahlawan (pahlawan tanpa jasa), yang mengaku bahwa ia dan kelompoknya sedang menjelaskan dan menghilangkan kesamaran dan kekaburan yang ada pada penjelasan Ulama’ Ahlis Sunnah dalam masalah tahkim.
Yang lebih memilukan lagi, dalam penggalan perkataannya ini, ia mengaku telah menyelamatkan orang-orang Ahlis Sunnah dari tuduhan yang tidak benar. Dan pada kesempatan ini, saya menantang Aman : Wahai Aman sang pahlawan (pahlawan tanpa jasa), sebutkan contoh barang satu saja, orang yang dituduh sebagai khowarij, padahal ia adalah ahlis sunnah, siapa yang dituduh, dan siapa yang menuduh?
Bila engkau hanya berani beranggapan tanpa bukti, dan melemparkan perkataan tanpa ada kenyataan, maka itulah sifat dan kebiasaan ahlil bid’ah.
Kelima :
Aman berkata : Bila suatu negara menegakkan hukum islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim, serta kebijakan ada ditangan mereka, maka negara tersebut adalah negara islam, meskipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir, dan bila pemerintah itu adalah menegakkan hukum islam dengan benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil…..dst”.
Ini adalah macam pertama dari tiga macam pemerintah menurut pembagian Aman. Dan pada bagian pertama ini saya memiliki beberapa komentar :
1. Pemerintahan macam ini tidaklah ada, kecuali pada zaman khulafa’ur rasyidin, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut, dan seperti yang Aman katakan sendiri pada tulisannya ini.
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا عاضّاً، فيكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا جبريّاً، فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت.
“Kenabian akan berada di tengah-tengah kalian selama yang Allah kehendaki untuk berada ditengah kalian, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah kehendaki untuk mengangkatnya, kemudian akan ada khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian (khilafah nubuwwah), dan akan berlangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang melakukan kedloliman, dan akan belangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang diktator, dan akan belangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia menghendakinya, kemudian akan ada khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian, kemudian beliau diam.[8][8]
Khilafah nubuwwah berakhir dengan terjadinya perdamaian antara Al Hasan bin Ali dengan Mu’awiyyah, dan Al Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyyah, dan semenjak itulah dimulai masa yang disebut oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai kerajaan yang melakukan kedloliman.
2. Aman mensifati, bila pemerintah tersebut menerapkan hukum islam dengan benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil, akan tetapi kenapa aman tidak menyebutkan dalam pemerintahan macam pertama ini, bila pemerintah tersebut ternyata dalam menerapkan hukum islam pandang bulu, atau berbuat kedloliman?. Sehingga Aman dalam pembagiannya ini tidak sistimastis, dan ini menunjukkan akan kebodohannya dalam membagi permasalahan.
3. Saya ingin bertanya: Bila pemerintah macam pertama ini, ternyata meyakini bolehnya berhukum dengan hukum selain hukum Allah, atau bahkan hukum selain hukum Allah sama atau lebih baik dari pada hukum Allah, walaupun ia sendiri tetap menerapkan seluruh hukum Allah tanpa terkecuali, dan tidak pernah ada pelanggaran sama sekali, apakah pemerintahan yang seperti ini masih juga engkau katakan sebagai pemerintah muslimah?? Bila engkau katakan sebagai pemerintah muslimah, maka itu membuktikan engkau orang bodoh, tidak pantas untuk berbicara dalam masalah besar seperti ini,; karena ulama’ telah sepakat, bahwa barang siapa yang menghalalkan sesuatu yang haram –yang sudah jelas keharamannya- maka ia kafir, dan kalau engkau katakan bukan pemerintah muslimah, maka ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan pada penerapan secara keseluruhan, akan tetapi pada penghalalan, dan ini membuktikan bahwa engkau bodoh dalam membuat definisi dan membagi permasalahan.
Pembagian macam ini, dinamakan dengan pembagian yang menyebar ( تقسيم منتشر ) dan ini menunjukkan akan kebathilan pembagian ini, karena pembagian akan dikatakan benar bila mencakup seluruh permasalahan yang ada di dalamnya tanpa terkecuali, atau yang dinamakan dengan pembagian yang membatasi ( تقسيم حاصر ), hal ini sebagaimana diketahui dengan baik oleh setiap orang yang tahu tentang ilmu ushul fiqh.
4. Ia berpegangan dengan keterangan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, padahal telah saya buktikan dalam tulisan saya yang pertama, bahwa fatwa beliau berhubungan dengan negara Bahrain dan Iraq yang kala itu masih dibawah kekuasaan penjajah Inggris, - ini salah satu dari praktek manipulasi Amman Abdur Rahman -; sehingga Aman dalam pembagiannya ini tidak berdasarkan pada keterangan ulama’ atau dalil, akan tetapi ia datangkan dari koceknya sendiri. Dan hal ini tidak mengherankan dari Aman, karena ia telah menganggap dirinya sebagai pahlawan yang mampu melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ sebelumnya.
Keenam :
Aman mengatakan : Bila syariat islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan hukum negri itu, dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini, serta dia masih meyakini hukum islam itu adalah yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dlalim atau muslim fasiq atu kufrun duna kufrin menurut Ahlus sunnah, sedangkan menurut firqah khawarij, hakim/ pemerintah itu adalah kafir”
Pada penggalan perkataan ini saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Perkataan ini menunjukkan aman bodo dalam ilmu ushul fiqih, betapa tidak, dia tidak tahu bahwa pembagiannya ini tidak jelas, karena ia tidak menyebutkan batasan kasus tertentu tersebut, apakah itu hanya satu kali pelanggaran, atau dua atau sepuluh atau seratus.
2. Pembagian ini menunjukkan akan kebodohannya tentang manhaj Ahlis Sunnah dalam pengkafiran, karena perbuatan kekafiran tidak ada bedanya, dilakukan sekali atau berkali-kali, misalnya sujud kepada berhala, tidak ada bedanya antara ia sujud sekali atau berkali-kali.
3. Pembagian ini tidak bermakna sama sekali, karena akhirnya ia mengakui bahwa yang menghalalkan perbuatan berhukum kepada hukum selain hukum Allah, walau hanya sekali saja, ia dianggap telah kafir. Sehingga kalau permasalahannya tergantung dengan penghalalan, maka tidak ada bedanya antara satu kasus dengan dua kasus, atau lebih.
4. Pembagian ini, menjadikan kita bertanya kepada Aman: Negara manakah yang engkau anggap sebagai negara yang muslimah, dan bukan negara kufrun duna kufrin?
5. Aman dalam pembagiannya ini tidak menyebutkan ulama’ siapa yang pernah melakukan pembagian serupa, bahkan saya berani memastikan bahwa tidak ada seorang ulama’ pun yang melakukan hal ini. Sehingga dengan demikian Aman memiliki manhaj tersendiri yang tidak pernah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya, dan Aman telah menobatkan dirinya sebagai seorang mujtahid muthlaq abad ke-21.
Ketujuh :
Aman berkata: Bila suatu negara membabat hukum islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan (qawaniin wadl’iyyah/ undang-undang buatan manusia), baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris, atau yang lainnya, maka pemerintah itu adalah pemerintah kafir dan negaranya adalah negara kafir, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Sholat, shaum, zakat dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut, ataupun nama islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka telah kafir lagi murtad, dan negaranya adalah negara kafir.”
Pada penggalan perkataan Aman ini saya memiliki beberapa tanggapan:
1. Aman mengesankan bahwa pembagian yang demikian ini ia dapatkan dari Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, dan Abdul Aziz ibni Baz, dan Muhammad Hamid Al Faqy, padahal, perkataan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy telah saya buktikan berhubungan dengan Bahrain dan Iraq pada masa penjajahan Inggris, sehingga tidak ada hubungannya dengan permasalahan kita.
Adapun perkataan Syeikh Ibni Baz, maka perkataan beliau disampaikan dalam rangka membantah seruan sebagian pemimpin negri-negri arab untuk bersatu atas dasar ras arab, bukan atas dasar islam, dalam menghadapi musuh-musuh islam (israel cs). Ditambah lagi, di dalam ungkapan beliau yang ia nukilkan, ada satu kata yang tidak dicermati oleh Aman, yang pada hakikatnya menghancurkan keyakinan Aman sendiri, yaitu kata ( ولا ترضاه “Dan tidak rela / ridlo), mari kita amati bersama ungkapan beliau :
وكل دولة لا تحكم بشرع الله ولا تنصاع لحكم الله ولا ترضاه فهي دولة جاهلية كافرة ظالمة فاسقة بنص هذه الآيات المحكمات …
“Dan setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah, dan tidak tunduk kepada hukum Allah, serta tidak ridlo dengannya, maka itu adalah negara jahiliyyah, kafirah, dholimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini….”.[9][9]
Tidak ridlo, artinya membenci, dan orang yang membenci penerapan hukum islam, tidak diragukan lagi akan kekufurannya; sehingga Aman dalam pembagian ini benar-benar tidak mengikuti ulama’, akan tetapi mengikuti wangsit atau ilham yang ia terima dari qorinnya dari kalangan orang-orang khowarij yang sedang gentayangan di rimba.
2. Saya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Aman, dengan kata-kata (membabat hukum islam, dan menyingkirkannya), apakah yang ia maksud, negara tersebut tidak menerapkan sama sekali, walau hanya dalam satu permasalahan, ataukah yang ia maksud negara tersebut dalam kebanyakan hukumnya tidak menerapkan hukum islam.
Bila yang ia maksud adalah yang pertama, maka saya tidak tahu, apakah ada sebuah negara yang pemimpinnya mengaku muslim, melakukan hal itu, sebab yang saya tahu dan yang ada, tidaklah ada sebuah negara yang pemimpinnya seorang muslim, kecuali menerapkan hukum islam dalam beberapa permasalahan, misalnya dalam hal warisan, pernikahan, membangun masjid, membentuk departemen agama yang mengatur pelaksanaan haji dll.
Dan kalau yang ia maksud adalah yang kedua, maka Aman tidak menyebutkan berapa batasannya, sehingga bisa dibedakan negara yang tergolong dalam macam ketiga ini, dan negara yang tergolong dalam macam kedua. Dan saya bisa memastikan Aman tidak bisa memberikan batasan, sebab ia membuat pembagian ini dengan seenak perutnya, bukan mengikuti penjelasan ulama’ Ahlis Sunnah.
3. Kemudian Aman –seperti yang pernah saya ungkapkan- berusaha menjadikan perkataan Syeikh Ibni Baz yang muthlak ini sebagai hujjahnya, dan enggan menyebutkan perkataan beliau yang terperinci, sebagaimana yang telah saya sebutkan pada tulisan saya yang pertama. Inilah sifat Ahlil Bid’ah, selalu berusaha mengikuti dan berpegangan dengan hal-hal yang mutasyabih (samar) atau umum, atau muthlak, dan meninggalkan yang terperinci.












Tidak ada komentar: