Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Di Wajahnya
Oleh : Muhammad Arifin Baderi
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan setiap orang
yang menjalankan sunnahnya hingga hari qiyamat.
Amma ba’du :
Sebagai pembuka, saya
ingin mengingatkan kepada pembaca yang budiman, akan sebuah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang
harus selalu tertanam di dalam jiwa setiap muslim, sehingga dalam setiap
ucapan, perbuatan dan sikap, ia menjadikannya sebagai tolok ukur, dan pedoman,
agar ia tidak terjerumus kedalam kubang kehinaan dan kenistaan, yaitu sabda
beliau :
عن ابن مسعود رضي
الله عنه قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : (إن مما أدرك النَّاس من كلام النبوة: إذا لم
تستحي فاصنع ما شئت) رواه البخاري وغيره.
Diriwayatkan
dari sahabat Ibnu Mas’ud[1][1] radliyallaahu
'anhu, ia menuturkan : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya
diantara ucapan kenabian adalah : Bila engkau tidak merasa malu, maka silahkan
engkau lakukan apa yang engkau suka”. (HR Bukhori dll).[2][2]
Dan
karena teringat akan makna hadits ini, saya mencantumkan judul tulisan ini
seperti tersebut di atas, karena saya melihat bahwa rasa malu telah hilang dan
bahkan sengaja dibuang oleh Aman Abdur Rahman. Setelah terbukti manipulasi
terhadap fatwa dan ucapan para ulama’, ia tidak malu untuk menuliskan bantahan
terhadap penjelasan yang saya buat, seakan-akan ia tidak memperdulikan akan
perilakunya yang terbukti sangat memalukan bagi orang yang berakal. Sebelumnya,
saya berpraduga bahwa dengan tersebarnya tulisan saya, Aman akan mengurung diri
di rumahnya, dan malu untuk keluar, kecuali pada malam hari atau dengan
mengenakan topeng, akan tetapi sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,”Bila engkau
tidak merasa malu, maka silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”.
Pada
awalnya, saya berbaik sangka kepada Aman, bahwa ia akan berhenti dan menyadari
kesalahannya, tatkala ia membaca tulisan saya yang pertama, akan tetapi
prasangka ini menjadi sirna ketika saya mendapatkan berita bahwa, ia menuliskan
bantahan terhadap tulisan saya. Karena itulah; saya memohon bantuan dari Allah Ta’ala untuk menuliskan bantahan secara
terperinci, terhadap tulisan gelap Aman Abdur Rahman, dan pada tulisan ini saya
berusaha untuk tidak mengulang apa yang telah saya sebutkan dalam tulisan
pertama.
Pertama
:
Pada
catatan kaki no: 1 pada halaman: 1, Aman mengatakan : “Hal
ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang, sebagaimana
pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah. Kita harus memberikan penjelasan
yang sesuai porsinya untuk setiap masalah. Hal ini, merupakan metode yang
dijalani oleh generasi salaf umat ini. Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah
pada zaman shahabat pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu
santer, karena pada saat itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai
kalamullah bukan makhluq. Lihat pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad
Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat
santerm karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya, dan sekarang, selain
syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah
tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi
yang lebih besar didalam pembahasannya. Dan ini namanya adil di dalam membahasa
setiap permasalahan. Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini
muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk
islam dan mulai membabat syari’at”.
Pada
perkataan Aman ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Ia menyamakan antara pembahasan masala syirik dalam uluhiyyah dengan pembahasan masalah takfir (pengkafiran) orang-orang yang
berhukum kepada selain hukum Allah. Hal ini merupakan bukti paling besar akan
kebodohan Aman tentang manhaj salaf, bahkan agama islam secara umum, betapa
tidak, permasalahan syirik dalam uluhiyyah
(peribadatan) dari zaman dahulu, zaman Nami Nuh ‘alaihis-salaam hingga Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, merupakan pokok dan misi utama pada
Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
]
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [ سورة النحل 36
“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap ummat
seorang utusan (Rasul), (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut”. (Surat An Nahl 36).
Syeikh
Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Wahhab berkata tentang tauhid
uluhiyyah :
وهذا
التوحيد هو أول الدين وآخره، وباطنه وظاهره، وهو أول دعوة الرسل وآخرها، وهو معنى
قول: لا إله إلا الله….فهو أول واجب وآخر واجب، وأول ما يدخل به الإسلام وآخر ما
يخرج به من الدنيا.
“Dan
tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) yang merupakan awal dan akhir, batin dan
lahirnya agama ini, dan tauhid inilah permasalahan pertama dan yang terakhir
diserukan oleh para rasul, dan tauhid inilah makna dari persaksian LA ILAHA
ILLALLAH, …. Sehingga dengan demikian, tauhid uluhiyyah adalah kewajiban paling
pertama, dan paling terakhir, dan hal paling awal yang menjadikan seseorang
masuk agama islam, dan hal yang paling akhir yang harus ia pegangi tatkala
meninggalkan dunia ini (mati). (lihat Taisir
Al Aziz Al Hamid 36-37).
Untuk
lebih membuktikan akan kebodohan Aman, mari kita bersama-sama mendengarkan
wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam kepada sahabat Mu’adz bin Jabal, tatkala beliau mengutusnya untuk
berdakwah ke daerah Yaman :
(إنك تأتي قوما من أهل
الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله) وفي رواية :( أن
يوحدوا الله) وفي رواية ( عبادة الله).
“Sesungguhnya engkau kan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab,
maka hendaknya hal pertama yang engkau serukan mereka kepadanya adalah
persaksian LA ILAHA ILLALLAH”, dan dalam
riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl “agar
mereka mengesakan Allah”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl
“Beribadah kepada Allah”. (Hr Muttafaqun ‘Alaih).[3][3]
Sangat
jelas bahwa, pada wasiat ini beliau memerintahkan Muadz agar memulai dakwahnya
dengan tauhid uluhiyyah. Nah sekarang mari kita banding wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan
apa yang dikatakan oleh Aman, ia mengatakan: “Hal ini merupakan masalah yang
sangat penting pada masa sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik
didalam Uluhiyah”.
Lisanul hal (secara
tidak langsung) Aman pada perkataannya ini, seakan-akan ingin mengucapkan
kepada kita semua, bahwa wasiat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz diatas, sudah tidak berlaku untuk zaman
kita, karena sekarang telah muncul syirik baru, yaitu syirik dalam rububiyyah, terutama dalam hal tahkim qowanin.
Saya
ingin bertanya kepada Aman, dan kepada orang yang sepemikiran dengannya: orang-orang
yaman, yang Muadz bin Jabal radliallahu 'anhu, diutus untuk berdakwah disana,
apakah mereka bertahkim (berhukum) dengan hukum Allah, ataukah dengan hukum
lain? Bahkan orang-orang quraisy pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berdakwah di kota
Makkah, apakah mereka bertahkim dengan hukum Allah, atau tidak?
Bila
engkau katakan, mereka berhukum dengan hukum Allah, maka itulah kebodohan
paling bodoh, dan kalau engkau katakan mereka tidak berhukum dengan hukum
Allah, maka apakah engkau hendak mengaku sebagi nabi baru, sehingga engkau
menyelisihi wasiat Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam?!!
2. Pada ucapan Aman : ”Lihatlah, masalah
Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini santer atau tidak?
Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu ummat seluruhnya iman akan
setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq”. Kenapa
engkau katakan bahwa pembahasan: apakah Al Qur’an kalamulah atau makhluq, tidak begitu santer pada zaman
sahabat? Padahal yang benar, permasalahan tersebut tidak pernah ada seorangpun
yang membicarakannya pada zaman sahabat, apalagi sampai santer dibicarakan.
Sebagai buktinya, mari kita simak bersama-sama salah satu perdebatan antara
Imam Ahmad bin Hambal dengan Ibnu Abi Du’ad:
Ibnu
Abi Du’ad berkata: Wahai syeikh, apa pendapatmu tentang Al Qur’an?, maka Imam
Ahmad berkata: Engkau tidak adil, biarkan aku yang bertanya, maka Ibnu Abi
Du’ad berkata: Silahkan bertanya:, maka Imam Ahmad berkata: Apa pendapatmu
tentang Al Qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka
Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum
pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang
belum pernah mereka ketahui. Maka Imam Ahmad berkata: Subhanallah, sesuatu yang belum pernah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, juga
tidak diketahui oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan juga Khulafa’ Ar
Rasyidun, dan engkau ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad merasa malu, dan kemudian
berkata: Kalau demikian maafkan aku, dan kita mulai pertanyaannya dari awal.
Maka Imam Ahmad menjawab: Baiklah, apa pendapatmu tentang Al qur’an? Maka Ibnu
Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah
hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun,
ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab:
Ini adalah sesuatu yang sudah mereka ketahui, akan tetapi mereka tidak pernah
menyeru manusia kepadanya. Maka Imam Ahmad menjawab : Kenapa engkau tidak diam,
sebagaimana mereka diam?. (lihat Manaqib
Imam Ahmad oleh Ibnul jauzi 432).[4][4]
Inipun
salah satu bukti akan jauhnya Aman dari manhaj salaf, bahkan merupakan isyarat
bahwa Aman sebenarnya dalam tulisannya tersebut hanyalah membeo, dan taqlid,
tanpa mengerti apa yang ia ucapkan.
3. Aman berkata : ”Lihat pula pada pada
zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid
Uluhiyah dan syirik, sangat santer karena mayoritas umat terjerumus di
dalamnya”. Ini bukti ketiga akan kebodohan Aman, seandainya
ia membaca sejarah kehidupan masyarakat arab, terutama di jarirah arab pada
zaman Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab, -sebelum berdirinya kerajaan Saudi Arabia- niscaya ia tidak akan mengatakan demikian.
Orang
yang pernah membaca sejarah Jazirah Arab pada zaman beliau, akan tahu dan akan
mengatakan bahwa perkataan Aman ini tak ubahnya sekedar igauan di siang bolong;
karena sebelum berdirinya kerajaan saudi Arabia, Jazirah Arab dikuasai oleh
kabilah-kabilah setempat, masing-masing berhukum dengan hukum kobilah tersebut,
dan bukan dengan hukum Islam. Dinasti Utsmany –kala itu- hanya menguasai kota Makkah, Madinah, Ahsa’, Yaman, dan Kuwait, adapun selainya dibawah
kekuasaan masing-masing kabilah.
Dan
kalau diperhatikan dengan seksama, kita akan dapatkan bahwa situasi pada zaman
beliau tidaklah jauh beda dengan apa yang sedang kita alami sekarang ini.
Bahkan Dinasty Utsmany, satu-satunya khilafah islamiyyah yang ada pada zaman
itu, memerangi dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, memerangi tauhid dan
sunnah, karena khilafah Utsmaniyyah –pada saat itu- berdiri atas aqidah
asy’ariyyah, dan menganut ajaran sufi. Bukan hanya pada awal dakwah syeikh,
akan tetapi sampai setelah berdirinya kerajaan Saudi pertama. Kerajaan Saudi
pertama hancur karena diserang pasukan khilafah Utsmaniyyah yang datang dari
Mesir, begitu juga halnya kerajaan Saudi kedua, untuk lebih jelasnya silahkan
baca buku “’Unwanul Majd Fi Tarikhi An
Najed”.. Nah kalau kita lihat dengan pembagian Aman terhadap negara-negara
yang ada, maka akan kita simpulkan bahwa Khilafah Utsmaniyyah, bukan negara
islam lagi, akan tetapi negara kafir, dan kalau demikian, maka tidak ada lagi
negara yang –menurut Aman- sebagai negara islam, sehingga hal ini membuktikan
bahwa Aman bertentangan dengan dirinya sendiri. Ini juga sebagai bukti bahwa
Aman tidak memahami apa yang ia tuliskan sendiri, kenapa demikian? Jawabannya
tak lain dan tak bukan, karena Aman hanya menerjemahkan dan meringkas, kemudian
menyebarkan, artinya ia hanya membeo.
Syeikh
Muhammad Bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya dengan tauhid, dan bukan dengan
usaha-usaha merebut kekuasaan, agar bisa menerapkan hukum Allah, karena beliau
benar-benar faham dan mengerti bahwa cara dakwah yang seperti itulah yang
dijalani dan diajarkan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Adapun cara yang
digariskan dan diajarkan oleh Aman, pada hakikatnya adalah caranya orang-orang
khowarij, bukan caranya Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
4. Aman mengatakan : “Dan sekarang, selain
syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah
tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi
yang lebih besar didalam pembahasannya”. Saya katakan: wahai
Aman, ucapanmu benar, sehingga saking meratanya perbuatan berhukum kepada
selain hukum Allah, sampai-sampai (saya kira) dirumah bapakmu-pun tidak
diterapkan hukum Allah, juga dirumah paman, dan karib kerabatmu, oleh
karenanya, pada saat ini, saya ingin bertanya kepadamu wahai Aman: Sudahkah
engkau memvonis mereka semua, sebagaimana engkau menvonis pemerintahan yang
ada?
Wahai
Aman, engkau harus menyadari bahwa kewajiban berhukum kepada hukum Allah bukan
hanya atas pemerintah saja, akan tetapi kewajiban semua orang muslim,
sebagaimana pemerintah diharamkan untuk berhukum kepada hukum selain Allah,
kita sebagai masyarakat, juga diharamkan untuk mendatangi pengadilan atau
meminta untuk diadili dengan hukum selain hukum Allah.
Bahkan
berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban setaip orang yang memiliki
kekuasaan, baik kekuasaan umum, atau kekuasaan khusus, untuk lebih jelasnya,
mari kita renungkan bersama sebab turunnya ayat 44 Surat Al Maidah:
Yaitu
ketika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yahudi -yang telah menikah-
berzina, dihukumi oleh kaumnya dengan dilumuri wajahnya dengan arang dan
kemudian diarak keliling, padahal dalam kitab At Taurat mereka hukuman zina
adalah rajam. Dan ketika hal ini sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepada mereka:
Dalam kitab At Taurat kalian, apa hukuman orang yang berzina: mereka menjawab:
Kami mempermalukan mereka dihadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat
Abdullah bin Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhnya
dalam At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat,
lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya diatas
ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdullah bin Salam memerintahkannya untuk
mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat tentang rajam, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar kedua orang yahudi tersebut dirajam.[5][5]
Dari
kisah sebab turunnya ayat tersebut, kita bisa simpulkan bahwa berhukum kepada
hukum Allah bukan hanya kewajiban pemerintah atau kholifah saja, akan tetapi
merupakan kewajiban seluruh manusia, sebab orang-orang yahudi tersebut tidaklah
memiliki negara, akan tetapi hanya sebuah kobilah, ditambah lagi kontek ayat tersebut
umum, tidak ada batasan dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa
yang mengatakan bahwa ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau
kholifah, maka ia harus mendatang dalil.
Untuk
lebih memperjelas kesimpulan ini mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :
(فَلا وَرَبِّكَ
لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)
“Maka demi Tuhammu, mereka tidaklah beriman,
hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Nah,
sekali lagi saya bertanya: Sudahkah di rumah bapakmu, dan karib kerabatmu
diterapkan hukum Allah?, kalau belum, sudahkan engkau memvonis mereka?
Bahkan dirimu, apakah belum menerapkan hukum Allah dengan baik,
buktinya engkau telah berdusta dan dengan sengaja berbohong atas nama Syeikh
Ibnu Baz, sebagaimana yang telah saya buktikan pada tulisan pertama, sudahkah
engkau memvonis dirimu sendiri?
5. Aman mengatakan : ”Dan ulama kita telah
melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum
muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan mulai membabat syari’at”.
Ucapan ini adalah bukti keempat akan kebodohan Aman, yang benar adalah :
Para ulama’ telah membahas permasalahan tahkim,
dan pelurusan pemahaman masalah pengkafiran orang yang berhukum kepada selain
hukum Allah, semenjak nenek moyang Aman muncul dalam bentuk kelompok untuk
pertama kali, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu, tatkala orang-orang khowarij mengkafirkan Ali
dan Mu’awiyah, karena keduanya dianggap telah berhukum kepada selain hukum
Allah. Mari kita simak bersama penggalan kisah mereka :
Ibnu
Abbas mengkisahkan kisah mereka: “Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij)
telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul
didaerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata
kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu
'anhu: Wahai Amirul mikminin, aku
mohon engkau menunda pelaksanaan sholat dluhur, karena aku hendak mendatangi
mereka dan menasehati mereka.
Maka
Ali berkata : Aku takut atas dirimu.
Aku
menjawab : Tidak akan terjadi apa-apa. Lalu aku berangkat menuju kepada mereka,
dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur
siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan merekapun sepontan
menjawab: Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu
datang kemari? Aku berkata kepada mereka : Aku datang kepada kalian dari sisi
para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan menantunya, atas merekalah Al Qur’an diturunkan, sehingga mereka
lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorangpun
diantara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan
menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan / yakini, dan
hendaknya kalianpun menyampaikan apa yang kalian katakan / yakini. Lalu aku
berkata kepada mereka : Apakah yang kalian benci dari sahabat Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan anak
pamannya? Mereka menjawab : Ada
tiga hal. Aku berkata : Apakah itu? Mereka menjawab : Adapun yang pertama :
karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim
(berhakim) dalam urusan Allah, padahal Allah telah berfirman :
] إن الحكم إلا لله [
Artinya:
“Tiadalah hukum / keputusan, kecuali
hukum Allah”, apa urusan manusia dalam hukum Allah?……….Aku berkata kepada
mereka : Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang
manusia dalam urusan Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al
Qur’an, yang menyatakan bahwa Allah telah menyerahkan hukumnya kepada manusia
dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Allah memerintakan agar
mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Allah berfirman :
] يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم
متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم [
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalan keadaan
berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumanya
adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan
yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian”. (Surat Al
Maidah 95), maka atas nama Allah Ta’ala,
apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang
buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan
perdamaian diantara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Allah
menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan
(hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia?
Mereka menjawab: Tentau keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian
lebih utama. -Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang
istri dengan suaminya, Allah Azza wa
Jalla berfirman:
] وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن
يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما[
Artinya:
“Dan bila kalian khawatir ada
persengketan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga
laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya
menghendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada keduanya”. (Surat An Nisa’ 35). Maka,
atas nama Allah, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka
dan mencegah terjadinya pertumpahan darah diantara mereka lebih utama ataukah,
keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil
menjawab tuduhan kalian? Mereka menjawab : Ya……dst. (riwayat At Thabrani, Al
Hakim, Al Baihaqi dll).[6][6]
Ini
adalah salah satu usaha Aman, untuk menyesatkan ummat, yaitu menutupi sejarah
awal mula munculnya pemahaman khowarij, dan ia kesankan, bahwa permasalahan ini
muncul pada zaman Tatar. Dan setelah saya pikirkan, saya berpraduga bahwa Aman
melakukan hal ini, untuk menutupi hubungannya dengan khowarij yang ada pada
zaman Ali bin Abi Tholib. Akan tetapi usahanya ini, tidaklah mendatangkan hasil
seperti yang dia impi-impikan. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas pada
pembahasan kesepuluh.
Kedua :
Aman mengatakan : ”Padahal tentang tahkim, merupakan hal serius yang perlu kejelasan
ungkapan dan lontaran, bukan kalimat yang samar atau justru mengaburkan dan
menyesatkan”.
Saya tidak tahu, apakah
yang dimaksud oleh aman dengan kalimat yang samar dan justru mengaburkan dan
menyesatkan, adalah fatwa-fatwa, penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan
oleh para ulama’ kita, dari semenjak nenek moyang khowarij muncul pertama kali
dalam wujud sebuah kelompok, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib, hingga zaman
kita, yang kita dapatkan dalam karya-karya mereka, ataukah yang lainnya. Sebab
permasalahan bertahkim / berhukum kepada selain hukum Allah bukanlah
permasalahan yang baru, akan tetapi permasalahan yang telah tuntas dibahas oleh
para ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Yang menjadi permasalahan pada
zaman kita, adalah orang-orang khowarij model milineum –Aman salah satu dari
mereka-, yang berusaha menampilkan pemikiran mereka yang telah usang dan
runtuh, dalam wujud baru, dan dengan penyampaian yang berbeda. Mereka dengan
berbagai cara, berusaha mencocokkan keterangan para ulama’ dengan aqidah
khowarij mereka, kadang kala dengan memotong perkataan, lain kesempatan dengan
merubah kontek perkataan, memegangi perkataan yang mutlak (umum), dan berusaha
menyembunyikan perkataan yang terperinci, dan itulah yang dilakukan oleh
pahlawan tanpa jasa kita, Aman Abdur Rahman dalam tulisannya yang berjudulkan “vonis ulama-ulama Ahlis Sunnah Terhadap Hukumah
pembabat Syari’at, dan Fatwa-Fatwa Ulama Ahissunnah Tentang Perbuatan Syirik
Karena Jahil”, sebagaimana telah saya buktikan hal tersebut
pada tulisan saya yang pertama.
Betapa sombongnya engkau wahai
Aman, dan betapa besarnya kepalamu, sehingga seluruh penjelasan ulama’
sebelummu engkau anggap kabur, samar, dan bahkan menyesatkan, Na’uzubillah minal hawa.
Ia merasa –dengan tulisan
gelapnya- telah melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’
sebelumnya, dari semenjak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Betapa hebatnya
dan betapa luasnya ilmu Aman, sehingga ia mengatakan hal tersebut.
Ketiga :
Aman mengatakan : ”Khowarij adalah
firqoh sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (berlebihan), sedangkan
Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith (meremehkan),
bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya dari yang lainnya. Ibrahim An Nakha’i
rahimahullah berkata :
لفتنتهم –يعني المرجئة- أخوف على هذه الأمة من فتنة
الأزارقة
“Sungguh, fitnah mereka –maksudnya Murji’ah- lebih
ditakutkan atas ummat ini, daripada fitnah Azariqah (khawarij). Ini tidak
mengherankan, karena Murji’ah merupakan pendorong pembabat syari’at”.[7][7]
Para ulama’ mengatakan murji’ah
lebih bahaya dibanding khowarij, dikarenakan kesalahan murji’ah lebih
tersembunyi dibanding kesalahan khowarij, dan demikianlah selanjutnya, semakin
suatu kesalahan atau bid’ah terselubung, sehingga tidak semua orang bisa
mengetahuinya, bid’ah tersebut dikatakan lebih berbahaya.
Dan pada kesempatan ini, saya
katakan: bahwa kesesatan Aman yang ia selubungi dengan nukilan-nukilan yang
telah direkayasa dari para kibarul ulama’,
lebih berbahaya dari kesalahan khowarij yang ada pada zaman dahulu; karena Aman
mengesankan kepada pembaca, bahwa ia adalah seorang salafi, yang mengikuti
pemahaman para ulama’ salaf, akan tetapi pada hakikatnya ia tak ubahnya
bagaikan musang berbulu domba.
Keempat :
Aman mengatakan : “Kedua kelompok tersebut sudah tentu tidak akan
mengaku diri mereka termasuk kelompok bid’ah/sesat (menyimpang), bahkan mereka
merasa memerangi kelompok bid’ah dan mengaku paling berada di atas sunnah.
Sehingga orang murji’ah pada masa sekarang mengaku dirinya yang paling sesuai
dengan sunnah, dan orang yang bertentangan dengan mereka di dalam masalah
tahkim ini, mereka vonis sebagai Khawarij, padahal orang yang mereka vonis
Khawarij itu adalah Ahlus Sunnah”.
Pada ucapannya ini, benar-benar Aman sedang mensifati dirinya sendiri,
ia merasa bahwa ia sebagai pahlawan (pahlawan tanpa jasa), yang mengaku bahwa
ia dan kelompoknya sedang menjelaskan dan menghilangkan kesamaran dan kekaburan
yang ada pada penjelasan Ulama’ Ahlis Sunnah dalam masalah tahkim.
Yang lebih memilukan lagi, dalam
penggalan perkataannya ini, ia mengaku telah menyelamatkan orang-orang Ahlis
Sunnah dari tuduhan yang tidak benar. Dan pada kesempatan ini, saya menantang
Aman : Wahai Aman sang pahlawan (pahlawan tanpa jasa), sebutkan contoh
barang satu saja, orang yang dituduh sebagai khowarij, padahal ia adalah ahlis
sunnah, siapa yang dituduh, dan siapa yang menuduh?
Bila engkau hanya berani
beranggapan tanpa bukti, dan melemparkan perkataan tanpa ada kenyataan, maka
itulah sifat dan kebiasaan ahlil bid’ah.
Kelima :
Aman berkata : ” Bila suatu negara
menegakkan hukum islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh
orang-orang muslim, serta kebijakan ada ditangan mereka, maka negara tersebut
adalah negara islam, meskipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir, dan bila
pemerintah itu adalah menegakkan hukum islam dengan benar, tanpa pandang bulu,
maka itu adalah pemerintah muslim yang adil…..dst”.
Ini adalah macam pertama dari tiga macam pemerintah menurut pembagian
Aman. Dan pada bagian pertama ini saya memiliki beberapa komentar :
1. Pemerintahan macam ini tidaklah ada, kecuali pada zaman khulafa’ur rasyidin, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits berikut, dan seperti yang Aman katakan sendiri pada
tulisannya ini.
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها
الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن
تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا عاضّاً، فيكون ما شاء الله أن
تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا جبريّاً، فتكون ما شاء الله
أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت.
“Kenabian akan berada di tengah-tengah kalian
selama yang Allah kehendaki untuk berada ditengah kalian, kemudian Allah
mengangkatnya ketika Allah kehendaki untuk mengangkatnya, kemudian akan ada
khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian (khilafah nubuwwah), dan
akan berlangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah
mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang
melakukan kedloliman, dan akan belangsung selama kurun waktu yang Allah
kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian
akan ada kerajaan yang diktator, dan akan belangsung selama kurun waktu yang
Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia menghendakinya,
kemudian akan ada khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian, kemudian beliau diam.[8][8]
Khilafah
nubuwwah berakhir dengan terjadinya
perdamaian antara Al Hasan bin Ali dengan Mu’awiyyah, dan Al Hasan menyerahkan
kekuasaannya kepada Mu’awiyyah, dan semenjak itulah dimulai masa yang disebut
oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
sebagai kerajaan yang melakukan kedloliman.
2. Aman mensifati, bila pemerintah tersebut menerapkan hukum islam dengan
benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil, akan
tetapi kenapa aman tidak menyebutkan dalam pemerintahan macam pertama ini, bila
pemerintah tersebut ternyata dalam menerapkan hukum islam pandang bulu, atau
berbuat kedloliman?. Sehingga Aman dalam pembagiannya ini tidak sistimastis,
dan ini menunjukkan akan kebodohannya dalam membagi permasalahan.
3. Saya ingin bertanya: Bila pemerintah macam pertama ini, ternyata
meyakini bolehnya berhukum dengan hukum selain hukum Allah, atau bahkan hukum
selain hukum Allah sama atau lebih baik dari pada hukum Allah, walaupun ia
sendiri tetap menerapkan seluruh hukum Allah tanpa terkecuali, dan tidak pernah
ada pelanggaran sama sekali, apakah pemerintahan yang seperti ini masih juga
engkau katakan sebagai pemerintah muslimah?? Bila engkau katakan sebagai
pemerintah muslimah, maka itu membuktikan engkau orang bodoh, tidak pantas
untuk berbicara dalam masalah besar seperti ini,; karena ulama’ telah sepakat,
bahwa barang siapa yang menghalalkan sesuatu yang haram –yang sudah jelas
keharamannya- maka ia kafir, dan kalau engkau katakan bukan pemerintah
muslimah, maka ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan pada penerapan
secara keseluruhan, akan tetapi pada penghalalan, dan ini membuktikan bahwa
engkau bodoh dalam membuat definisi dan membagi permasalahan.
Pembagian
macam ini, dinamakan dengan pembagian yang menyebar ( تقسيم منتشر ) dan ini menunjukkan akan kebathilan pembagian
ini, karena pembagian akan dikatakan benar bila mencakup seluruh permasalahan
yang ada di dalamnya tanpa terkecuali, atau yang dinamakan dengan pembagian
yang membatasi ( تقسيم حاصر ), hal ini sebagaimana diketahui dengan baik oleh setiap orang
yang tahu tentang ilmu ushul fiqh.
4. Ia berpegangan dengan keterangan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, padahal
telah saya buktikan dalam tulisan saya yang pertama, bahwa fatwa beliau
berhubungan dengan negara Bahrain dan Iraq yang kala itu masih dibawah
kekuasaan penjajah Inggris, - ini salah satu dari praktek manipulasi Amman
Abdur Rahman -; sehingga Aman dalam pembagiannya ini tidak berdasarkan pada
keterangan ulama’ atau dalil, akan tetapi ia datangkan dari koceknya sendiri.
Dan hal ini tidak mengherankan dari Aman, karena ia telah menganggap dirinya
sebagai pahlawan yang mampu melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh
ulama’ sebelumnya.
Keenam :
Aman
mengatakan : ”Bila syariat islam masih menjadi
acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari
ketentuan yang berlaku di dalam kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih
menjadi landasan dan hukum negri itu, dan dia juga mengetahui bahwa dirinya
menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini, serta dia masih meyakini hukum
islam itu adalah yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dlalim
atau muslim fasiq atu kufrun duna kufrin menurut Ahlus sunnah, sedangkan
menurut firqah khawarij, hakim/ pemerintah itu adalah kafir”
Pada
penggalan perkataan ini saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Perkataan ini menunjukkan aman bodo dalam ilmu ushul fiqih, betapa
tidak, dia tidak tahu bahwa pembagiannya ini tidak jelas, karena ia tidak
menyebutkan batasan kasus tertentu tersebut, apakah itu hanya satu kali
pelanggaran, atau dua atau sepuluh atau seratus.
2. Pembagian ini menunjukkan akan kebodohannya tentang manhaj Ahlis Sunnah
dalam pengkafiran, karena perbuatan kekafiran tidak ada bedanya, dilakukan
sekali atau berkali-kali, misalnya sujud kepada berhala, tidak ada bedanya
antara ia sujud sekali atau berkali-kali.
3. Pembagian ini tidak bermakna sama sekali, karena akhirnya ia mengakui
bahwa yang menghalalkan perbuatan berhukum kepada hukum selain hukum Allah,
walau hanya sekali saja, ia dianggap telah kafir. Sehingga kalau
permasalahannya tergantung dengan penghalalan, maka tidak ada bedanya antara
satu kasus dengan dua kasus, atau lebih.
4. Pembagian ini, menjadikan kita bertanya kepada Aman: Negara manakah
yang engkau anggap sebagai negara yang muslimah, dan bukan negara kufrun duna
kufrin?
5. Aman dalam pembagiannya ini tidak menyebutkan ulama’ siapa yang pernah
melakukan pembagian serupa, bahkan saya berani memastikan bahwa tidak ada
seorang ulama’ pun yang melakukan hal ini. Sehingga dengan demikian Aman
memiliki manhaj tersendiri yang tidak pernah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya,
dan Aman telah menobatkan dirinya sebagai seorang mujtahid muthlaq abad
ke-21.
Ketujuh
:
Aman
berkata: “Bila suatu negara membabat hukum islam
dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan (qawaniin wadl’iyyah/
undang-undang buatan manusia), baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris,
atau yang lainnya, maka pemerintah itu adalah pemerintah kafir dan negaranya
adalah negara kafir, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.
Sholat, shaum, zakat dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para
penguasa tersebut, ataupun nama islam yang mereka sandang itu tidak ada
manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka
telah kafir lagi murtad, dan negaranya adalah negara kafir.”
Pada
penggalan perkataan Aman ini saya memiliki beberapa tanggapan:
1. Aman mengesankan bahwa pembagian yang demikian ini ia dapatkan dari
Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, dan Abdul Aziz ibni Baz, dan Muhammad Hamid Al
Faqy, padahal, perkataan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy telah saya buktikan
berhubungan dengan Bahrain dan Iraq pada masa penjajahan Inggris, sehingga
tidak ada hubungannya dengan permasalahan kita.
Adapun
perkataan Syeikh Ibni Baz, maka perkataan beliau disampaikan dalam rangka
membantah seruan sebagian pemimpin negri-negri arab untuk bersatu atas dasar
ras arab, bukan atas dasar islam, dalam menghadapi musuh-musuh islam (israel cs).
Ditambah lagi, di dalam ungkapan beliau yang ia nukilkan, ada satu kata yang
tidak dicermati oleh Aman, yang pada hakikatnya menghancurkan keyakinan Aman
sendiri, yaitu kata ( ولا ترضاه “Dan tidak rela / ridlo), mari kita amati bersama ungkapan
beliau :
وكل دولة لا تحكم بشرع الله ولا تنصاع لحكم الله ولا ترضاه فهي
دولة جاهلية كافرة ظالمة فاسقة بنص هذه الآيات المحكمات …
“Dan
setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah, dan tidak tunduk
kepada hukum Allah, serta tidak ridlo dengannya, maka itu adalah negara
jahiliyyah, kafirah, dholimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat
ini….”.[9][9]
Tidak
ridlo, artinya membenci, dan orang yang membenci penerapan hukum islam, tidak
diragukan lagi akan kekufurannya; sehingga Aman dalam pembagian ini benar-benar
tidak mengikuti ulama’, akan tetapi mengikuti wangsit atau ilham yang ia terima
dari qorinnya dari kalangan orang-orang khowarij yang sedang gentayangan di
rimba.
2. Saya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Aman, dengan kata-kata (membabat
hukum islam, dan menyingkirkannya), apakah yang ia maksud, negara tersebut
tidak menerapkan sama sekali, walau hanya dalam satu permasalahan, ataukah yang
ia maksud negara tersebut dalam kebanyakan hukumnya tidak menerapkan hukum
islam.
Bila
yang ia maksud adalah yang pertama, maka saya tidak tahu, apakah ada sebuah
negara yang pemimpinnya mengaku muslim, melakukan hal itu, sebab yang saya tahu
dan yang ada, tidaklah ada sebuah negara yang pemimpinnya seorang muslim,
kecuali menerapkan hukum islam dalam beberapa permasalahan, misalnya dalam hal
warisan, pernikahan, membangun masjid, membentuk departemen agama yang mengatur
pelaksanaan haji dll.
Dan
kalau yang ia maksud adalah yang kedua, maka Aman tidak menyebutkan berapa
batasannya, sehingga bisa dibedakan negara yang tergolong dalam macam ketiga
ini, dan negara yang tergolong dalam macam kedua. Dan saya bisa memastikan Aman
tidak bisa memberikan batasan, sebab ia membuat pembagian ini dengan seenak
perutnya, bukan mengikuti penjelasan ulama’ Ahlis Sunnah.
3. Kemudian Aman –seperti yang pernah saya ungkapkan- berusaha menjadikan
perkataan Syeikh Ibni Baz yang muthlak ini sebagai hujjahnya, dan enggan
menyebutkan perkataan beliau yang terperinci, sebagaimana yang telah saya
sebutkan pada tulisan saya yang pertama. Inilah sifat Ahlil Bid’ah, selalu
berusaha mengikuti dan berpegangan dengan hal-hal yang mutasyabih (samar) atau umum, atau muthlak, dan meninggalkan yang
terperinci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar