Keutamaan
Memakai Sorban Ketika SholatMemakai
sorban adalah sunnah dan ciri khas kaum muslimin, baik dalam sholat maupun di
luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun, tak ada
satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan tertentu memakai sorban saat sholat,
kecuali haditsnya lemah atau palsu, seperti hadits berikut:
رَكْعَتَانِِ
بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بَلَا عِمَامَةٍ
“Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik
dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban“. [HR. Ad-Dailamiy
dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam
Al-Jami’ Ash-Shoghir ()]
Hadits
ini maudhu’ (palsu), sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(128), “Hadits ini palsu”. Selanjutnya, beliau juga komentari ulang hadits ini
dalam Adh-Dho’ifah (5699).
Sujud
Menyentuh Tanah
Seorang
ketika sujud dalam sholat, boleh ia memakai alas. Menyentuhkan telapak tangan,
dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada keutamaan tertentu
baginya. Adapun hadits berikut:
إِذَا
سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُبَاشِرْ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ عَسَى اللهُ أَنْ يَفُكَّ
عَنْهُ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika seorang diantara kalian bersujud, maka hendaknya
ia menyentuhkan kedua telapak tangannya ke tanah, semoga Allah melepaskan belenggu
darinya pada hari kiamat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath
(6/58), cet. Dar Al-Haromain]
Hadits
ini adalah dho’if (lemah), tak bisa dijadikan hujjah, karena di dalamnya ada rowi
bermasalah: Ubaid bin Muhammad, seorang rowi yang memiliki hadits-hadits munkar
[Lihat Al-Majma’ (2/311/no.2764)].Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy menggolongkan
hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624)
Jangan
Shalat, Jangan Bicara
Jika
khatib telah berada di atas mimbar dan muadzin berkumandang, maka seorang yang
melaksanakan shalat tahiyyatul masjid atau shalat sunat muthlaq, ia terus dalam
shalatnya, tanpa harus membatalkan shalatnya berdasarkan hadits-hadits yang
shahih. Bahkan ia boleh berbicara dengan temannya dalam kondisi itu, jika ada
hajat mendesak. Adapun hadits di bawah ini yang menjelaskan tentang tidak
bolehnya shalat dan bicara dalam kondisi tersebut maka hadits ini batil.
Berikut perinciannya:
إِذَا
صَعِدَ الْخَطِيْبُ الْمِنْبَرَ ؛ فَلاَ صَلَاةَ وَلَا كَلاَمَ
“Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi
shalat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits
ini batil
karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy
dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun perlu diketahui bahwa jika adzan sudah selesai
ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk berkhutbah, maka seorang tidak
boleh lagi berbicara dan melakukan aktifitas apapun selain shalat tahiyatul
masjid agar seluruh jama’ah memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah.
Berdzikir
dengan Tasbih
“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih.
Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah
dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana
dalam Mukhtashar-nya)]
Berdzikir
adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan mutaba’ah (keteladanan)
kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya seorang tidak dianjurkan
menggunakan alat tasbih ketika ia berdzikir sebab tidak ada contohnya dari Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdzikir dengannya, tapi beliau hanya
berdzikir dengan jari-jemarinya. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits
palsu, tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya berdzikir dengan
alat tasbih
نِعْمَ
الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ وَإِنَّ
أَفْضَلَ
مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ الْأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih.
Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah
dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98-
sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Hadits
ini adalah hadits yang palsu sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (83), karena adanya rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini
secara makna adalah batil, sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-.
Menuntut
Ilmu di Masa Muda
Keutamaan
menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun hadits-hadits
shahih. Bahkan sampai di dalam hadits yang dho’if dan palsu, seperti berikut,
أَيُّمَا
نَاشِئٍ نَشَأَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ حَتَّى يَكْبُرَ وَهُوَ
عَلَى ذَلِكَ أَعْطَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوَابَ اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ
صِدِّيْقًا
“Anak muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu,
dan ibadah sampai ia menjadi tua, sedangkan dia masih tetap di atas hal itu,
maka Allah akan memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin“.
[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm
(1/82)].
Namun hadits
ini derajatnya adalah dho’if jiddan
(lemah sekali), bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di
dalamnya ada rawi yang bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang
mungkarul hadits. Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa
berdusta atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini
dho’if jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
Bersedihlah
Ketika Membaca Al-Qur’an!
Ketika
membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai hasil renungan
dan tadabbur makna-makna ayat sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah. Adapun
hadits di bawah ini, sekalipun sebagian maknanya benar, namun ia bukan hujjah
dalam hal ini, karena kelemahan hadits ini. Nash haditsnya:
اِقْرَؤُوْا
الْقُرْآنَ بِحُزْنٍ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ
“Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia
turun dengan kesedihan“. [HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf
(20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam
sanadnya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah seorang
yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi
yang bernama Ismail bin Saif, dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits, dan
meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang yang tsiqoh. Tak heran jika
Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if
jiddan (lemah sekali)
dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).
Kekasih
Allah
Orang yang
bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi Allah berdasarkan
dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hadits berikut ini, maka dia
adalah hadits yang palsu, tidak ada asalnya:
التَّائِبُ
حَبِيْبُ اللهِ
“Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah.”
Hadits ini
adalah hadits yang bukan berasal dari nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . tak
ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab
mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
, padahal hadits ini adalah hadits palsu,
tidak ada asalnya! Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95)
karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
Ikhlas
40 Hari
Ikhlash
adalah sifat orang mukmin. Keutamaan ikhlash telah dimaklumi baik dalam hadits
yang shohih, maupun hadits yang lemah. Namun kita tak butuh kepada hadits
dho’if seperti di bawah ini, karena itu bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam-. Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
من
أخلص لله أريعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة على لسانه
“Barang siapa yang ikhlash karena Allah selama 40
hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada lisannya“. [HR. Abu
Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)]
Hadits
ini dho’if (lemah), karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu
Ayyub Al-Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah
seorang mudallis, dan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang seorang
mudallis jika meriwayatkan hadits secara mu’an’anah (dengan memakai kata
“dari”), maka haditsnya dho’if (lemah). Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy
melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (38)
Dunia
dan Hakikatnya
Banyak
sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Ada yang keliru maknanya, dan ada yang bagus
maknanya, seperti hadits ini:
أََََوْحَى
اللهُ إِلَى الدُّنْيَا أَنِ اخْدِمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَأَتْعِبِيْ مَنْ
خَدَمَكِ
“Allah wahyukan kepada dunia, “Layanilah orang yang
melayani-Ku, dan capekkanlah orang yang melayanimu“. [HR.
Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum
Al-Hadits (hal.101)]
Hadits
ini palsu,
karena Al-Husain bin DawudAl-Balkhiy yang banyak meriwayatkan naskah hadits
palsu dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan hadits ini dalam
deretan hadits-hadits palsu dalam Adh-Dho’ifah
Hak
Anak atas Orang Tua
Seyogyanya
orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya, dan mendidik akhlaknya
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu‘alaihi wasallam- danpara
sahabatnya. Adapun hadits yang berbunyi :
حَقُّ
الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهَ وَيُحَسِّنَ أَدَبَهُ
“Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua
memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“. [HR. Abu Muhammad
As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu, karena ada dua
orang rawi : Muhammad Al-Fadhl adalah seorang pendusta, dan Muhammad bin Isa
adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits
ini dalam Adh-Dho’ifah (199)
Jum’at
Hajinya Orang Fakir
Ibadah
haji adalah ibadah yang dicita-citakan oleh setiap orang sehingga setiap orang
berusaha mengumpulkan harta demi ibadah itu. Namun sebagian diantara manusia
ada yang tidak sempat melaksanakannya sehingga ia bersedih. Tapi kesedihan itu
hilang karena ia mendengarkan sebuah hadits berikut :
الدَّجَاجُ
غَنَمُ فٌقَرَاءِ أُمَّتِيْ وَاْلجُمُعَةُ حَجُّ فُقَرَائِهَا
“Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan
umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir mereka” .[HR. Ibnu
Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Tapi
ternyata sayangnya hadits ini palsu
sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan mengamalkannya. Dia palsu
karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid An-Naisaburiy. Dia
adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (192)
Nabi
Ilyas dan Khidir Bersaudara Kandung
Ketika
seseorang membaca kisah para nabi di luar Al-Qur’an, maka seorang harus
berhati-hati, karena di sana
banyak hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu yang berbicara tentang kehidupan
para nabi. Oleh karena itu seorang harus yakin betul bahwa hadits ini shahih
berdasarkan keterangan para ulama, baru setelah itu dia yakini. Diantara hadits
lemah yang menyebutkan kisah para nabi, hadits berikut ini:
إِلْيَاسُ
وَالخَضِرُ أَخَوَانِ أَبُوْهُمَا مِنَ الفُرْسِ وَأُمُّهُمَا مِنَ الرُّوْمَ
“Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara.
Bapak mereka dari Persia,
dan ibunya dari Romawi“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus
(1/2/124)]
Hadits
ini palsu,
karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin
Ghalib, dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena itu, Syaikh
Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (2257).
Penduduk
Surga
Banyak
sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang maknanya
lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits palsu berikut:
أَهْلُ
الْجَنَّةِ جَرَدٌ إِلَّا مُوْسَى بْنَ عِمْرَانَ فَإِنَّ لَهُ لِحْيَةً إِلَى
سُرَّتِهِ
“Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin
Imron, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“.[HR.Al-Uqoiliy
dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam
Al-Fawa’id (6/111/1)].
Hadits
ini adalah hadits batil yang palsu. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan
hadits, yaitu Syaikhnya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila
syaikh Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).
Amalan
Sedikit, tapi Bermanfaat
Bermalas
malasan dalam beribadah sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya rasa takutnya kepada
Allah masih kurang, keimanan terhadap Hari Pembalasan masih minim, dan ada juga
yang malas karena mungkin beramal dengan hadits di bawah ini.
قَلِيْلُ
العَمَلِ ينَْفَعُ مَعَ العِلْمِ، وَكَثيِْرُ العَمَلِ لَايَنْفَعُ مَعَ الجَهْلِ
“Amalan yang sedikit akan bermanfaat, jika disertai
oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak akan bermanfaat, jika disertai
kejahilan“. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa
Fadhlih (1/145)]
Hadits
ini dhoif, bahkan palsu, disebabkan adanya 3 rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran
Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2] Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang
dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3] Abbad bin
Abdush Shomad. Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami
dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”.Al-Albaniy
berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)]
Kencing
di Lubang
Kencing di
lubang adalah perkara yang boleh, kecuali jika di dalamnya ada makhluk seperti
semut, maka hendaknya kita jangan kencing di tempat itu demi menyayangi makhluk
Allah yang kecil ini. Adapun hadits yang berikut, maka haditsnya dho’if:
Abdullah
bin Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِيْ الْجُحْرِ
“Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang kencing
di lubang“. [HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits
ini adalah hadits yang lemah, karena adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin
Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- . selain itu, Qotadah juga adalah seorang yang
mudallis. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy men-dho’ifkan hadits ini dalam
Al-Irwa’ (55)
Solusi
Terakhir ….
Talaq
adalah solusi terakhir ketika terjadi cekcok yang parah antara suami-istri
setelah melalui proses yang panjang berupa nasihat, dan usaha perbaikan
lainnya. Jadi talaq adalah perkara yang halal yang tidak dibenci oleh Allah,
jika dilakukan pada tempatnya. Adapun hadits yang menjelaskan bahwa talaq
adalah perkara yang dibenci dalam segala hal, maka haditsnya dho’if sebagaimana
perinciannya berikut ini:
أَبْغَضُ
الْحَلَالِ إِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ الطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa
Jalla- adalah talaq“. [HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini
adalah hadits yang mudhtharib
(goncang) sanadnya sebagaimana yang anda bisa lihat penjelasannya dalam
Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
Do’a
Keluar WC
Ada sebuah hadits yang menyebutkan do’a
keluar WC. Do’a ini banyak disebarkan dan dimasyurkan di TPA dan TQA. Ternyata
haditsnya lemah sebagaimana dalam penjelasan berikut ini:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّيَ الْأَذَى وَعَافَانِيْ
” Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan
dariku gangguan (kotoran) ini, dan telah menyehatkan aku”. [HR.
Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]
Hadits
ini adalah hadits yang dho’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ismail
bin Muslim Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang
dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari
riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun hadits ini juga
lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya, yaitu Al-Faidh. Hadits
ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53).
Ketentuan
dan Taqdir Allah
Ketentuan
dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits
lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا
أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ الْعُقُوْلِ
عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
“Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan
taqdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang
memiliki pikiran sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada
mereka“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy
dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan
(2/332)]
Hadits
ini lemah, bahkan boleh jadi palsu , karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian
ahlul hadits menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh
Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)
Taubat
yang Benar
Seorang
ketika telah bertaubat dari suatu dosa, hendaknya ia berusaha dengan sekuat
tenaga meninggalkan dosa itu sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ kita.
Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits dho’if (lemah):
التَّوْبَةُ
مِنَ الذَّنْبِ أَنْ لَا تَعُوْدَ إِلَيْهِ أَبَدًا
“Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya
selama-lamanya“. [HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min
Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits
ini lemah ,
karena dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hijriy;
dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya). Selain itu, juga
ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur), tapi memiliki beberapa
kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (2233)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar