Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dlalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba
menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imam
Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun
sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar
yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan
bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ
بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ
حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ
ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ
مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus
Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat
orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka
mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi
kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka
kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang
memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang
memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang
memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak
ada keimanan sebesar biji sawipun”
[HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin
Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا :
إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا
الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ
وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ
قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ
الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ !
فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ
زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ
عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata
pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah,
dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka
hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil,
orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu
akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku
padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga
aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah
kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena
sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku
peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena
seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang
hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud
no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud
3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ
: الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin
Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia
berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh
dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114,
Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم
والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن
أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع
أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم
فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin
Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan
kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut
disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang
sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah
kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian.
Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil,
baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah
orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka,
dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan
mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah
hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka
insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no.
222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا
فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ
وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia
berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat
bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah
sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid,
1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ :
”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir,
dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara
nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan
apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah
dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak
pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah
(baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan
Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu
’anhaa :
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ
أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ
بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang
menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh
ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah
telah berfirman : ”Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no.
177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah
bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah
sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad
no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah
no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan
perbuatan salafunash-shaalih di
bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال
الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول
الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على
كل حال
Dari Nafi’ : Bahwasannya
ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah
was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi
Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah.
Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan
: “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal”
(Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim
4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada
Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari
oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah
bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan
alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam).
Oleh karena itu, Al-Imam
Malik rahimahullah – pemimpin ulama
Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun
mengatakan :
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في
الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ،
لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم
دينا"
”Aku mendengar Imam Malik
berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya
baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah
telah berfirman : ”Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu
hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya
masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini
bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham
oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah.
Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari
kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi
gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ
فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang
menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat
syari’at” [Al-Mankhuul oleh
Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’
oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil
perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :
معناه أنه ينصب
من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang
yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil
syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal.
240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
إِنَّمَا
الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan
baik (al-istihsan) hanyalah menuruti
selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal.
507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang
indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).
Perkataan-perkataan di
atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah
hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu
beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa
dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila
kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar
Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan
jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita
rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa
bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah
Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على
العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما
دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان
عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما
خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ
(مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang
ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya
tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa
yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan,
dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan
itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut
pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang
menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah
membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa
Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
Lantas bagaimana riwayat
yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian
bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya
meriwayatkan :
سمعت الإمام
الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما
وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam
Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata
: ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang
tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang)
terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang)
tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu
Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali
Al-Halabiy hafidhahullah telah
menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam
Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah
dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi
yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121;
Daarur-Raayah, Cet. 2/1417].
Ini saja yang dapat
dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Abu Al-Jauzaa’ – Ciomas Permai, 2 Jumadits-Tsaaniy 1430
Tidak ada komentar:
Posting Komentar