Bagi seorang wanita mukminah, pernikahan adalah salah satu perwujudan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sarana untuk mencapai keridlaan-Nya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ
فَلَيْسَ مِنِّىْ وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأمَمَ وَمَنْ
كَانَ ذَا طُوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ
فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Nikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain di hari kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki modal, hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu penekan hawa nafsunya” [HR. Ibnu Majah no. 1832; shahih].
Jika seseorang meniatkan di awal pernikahannya sebagai satu niat untuk beribadah kepada-Nya, meninggalkan zina, dan mendekatkan diri kepada-Nya; maka dia akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan itu. Sebaliknya, jika ia mempunyai niat di awal pernikahannya hanya sekedar untuk mencari harta, pangkat, kedudukan, atau popularitas; maka ia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Bahkan dosa jika yang ia niatkan tersebut merupakan maksiat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَةِ وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا
نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan seseorang
hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang niatkan” [HR. Bukhari no.
6689 dan Muslim no. 1907]. Sungguh bahagia siapa saja di antara wanita muslimah yang bisa merealisasikannya.
Tema rumah tangga sakinah adalah satu tema yang cukup luas pembahasannya yang tidak mungkin diselesaikan dalam satu sampai dua jam pertemuan. Hal itu disebabkan karena pembahasan ini akan dimulai dari awal terbentuknya rumah tangga sampai dengan berakhirnya rumah tangga alias kedua pasangan suami istri tersebut meninggal dunia.
Satu hal yang tidak dicapai secara keseluruhan tidaklah ditinggalkan secara keseluruhan. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas secara ringkas tiga pokok permasalahan yaitu :
- Tanggung jawab istri pada diri sendiri.
- Tanggung jawab istri pada suami.
- Tanggung jawab istri pada anak.
Tanggung Jawab Istri pada Diri Sendiri
Diantara tanggung jawab istri kepada diri sendiri diantaranya adalah :
1. Menuntut
ilmu syar’i
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”
[HR. Ibnu Majah no. 224; shahih].
Yaitu :
- Ilmu tentang prinsip-prinsip ‘aqidah dan keimanan
(Rukun Iman)
- Ilmu tentang apa-apa yang diwajibkan dalam rukun
Islam, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
- Ilmu-ilmu penunjang yang bermanfaat lainnya.
Seorang ibu rumah tangga wajib mengetahui tentang
pembatal-pembatal syahadat, wajib mengetahui bagaimana cara thaharah dan shalat
yang benar, dan yang lain sebagainya. Tidak boleh terjadi pada seorang ibu
bahwa ia tidak mengetahui tentang hukum-hukum haidl, padahal haidl adalah
sesuatu yang rutin mendatanginya.
Bagaimana seorang ibu rumah tanga bisa menuntut
ilmu di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga ? Hal yang pertama bahwa
ia harus menumbuhkan perasaan butuh dan cinta kepada ilmu. Jika seseorang telah
mampu menumbuhkan perasaan itu pada dirinya, maka ia akan memanfaatkan semua
kesempatan dimana ia bisa memperoleh ilmu, baik dalam majelis-majelis ilmu atau
membaca buku-buku. Dalam seminggu, usahakanlah untuk dapat bermajelis ilmu
minimal satu kali. Bisa ia menghadiri majelis-majelis ilmu secara khusus, atau
bermajelis dengan suaminya untuk saling membacakan satu pembahasan dalam buku
agama. Selain itu, ia bisa memanfaatkan beberapa waktu luang dengan membaca
buku agama saat kesibukan belum menderanya seperti :
o 15 – 20 menit menit sebelum shalat shubuh;
o 15 – 20 menit setelah ‘isya’ di saat anak-anak telah tidur di pembaringannya.
o 15 – 20 menit setelah ‘isya’ di saat anak-anak telah tidur di pembaringannya.
2. Mengamalkan
ilmu yang telah diperoleh.
Adalah menjadi hal yang mutlak lagi wajib untuk
mengamalkan ilmu. Amal adalah buah ilmu. Barangsiapa yang berilmu namun tidak
beramal, ia laksana tumbuhan yang tidak memberikan manfaat bagi makhluk hidup
di sekitarnya. Ilmu bisa menjadi pembela atau malah jadi bencana bagi diri kita
sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
الْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ
عَلَيْكَ
“Al-Qur’an itu bisa menjadi pembela bagimu atau
menjadi bencana bagimu” [HR. Muslim no. 223].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata
:
وعليك إن لم تعمل به، وكذلك يكون
العمل بما صح عن النبي صلى الله عليه وسلم بتصديق الأخبار وامتثال الأحكام
"Menjadi pembela bagimu jika engkau
mengamalkannya dan akan menjadi bencana jika engkau tidak mengamalkannya.
Demikian pula pengamalan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahih
dilakukan dengan cara membenarkan berita dan menjalankan hukum-hukumnya" [Kitaabul-‘Ilm
hal. 32 ; Daaruts-Tsurayaa].
Contoh mudah yang bisa kita lakukan adalah ketika
kita tahu bagaiamana cara wudlu yang benar dari penjelasan Ustadz atau hasil
membaca buku; maka dengan tidak menunda-nunda kita praktekkan pada diri kita
jikalau mau melaksanakan shalat. Jika kita tahu tentang bahaya syirik, maka
dengan segera kita bersihkan diri dan rumah tangga kita dari hal-hal yang
berbau syirik seperti membuang segala macam jimat, rajah, gambar makhluk hidup,
atau benda pusaka keramat peninggalan leluhur (yang tentunya harus
dikomunikasikan secara bijaksana dengan suami). Dan yang lain sebagainya.
Tanggung Jawab Istri pada Suami
Tanggung jawab istri kepada suami terkait erat dengan pemenuhan hak-hak suami oleh istri. Harus menjadi satu pemahaman bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Seorang suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya di rumahnya. Allah berfirman :
الرّجَالُ قَوّامُونَ عَلَى النّسَآءِ بِمَا فَضّلَ اللّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَىَ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنْفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka)" [QS. An-Nisaa’ : 34]. Pada ayat di atas, Allah telah menegaskan kepemimpinan seorang laki-laki atas wanita dalam segala aspek kehidupan karena dua hal :
·
Kekhususan yang telah diberikan Allah kepada
laki-laki yang tidak diberikan kepada wanita.
Sebab ini merupakan sebab syar’iyyah yang mutlak
merupakan kehendak Allah tanpa kita diwajibkan untuk mengetahui « kenapa ».
Allah berkehendak sesuai dengan rububiyyah-Nya, ilmu-Nya, hikmah-Nya, dan
hukum-Nya yang kauni. Kekhususan ini tercermin pada beberapa hal dimana Allah
membebani beberapa kewajiban khusus kepada laki-laki dan tidak bagi wanita
seperti kewajiban berjihad, shalat Jum’at dan yang lainnya.
·
Kekhususan dengan sebab nafkah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menggambarkan
keagungan hak suami yng harus dipenuhi oleh istrinya dengan sabdanya :
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ
قُرْحَةٌ فَلَحِسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
"Gambaran hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya adalah
seandainya pada kulit suaminya itu ada borok (luka), lalu dia (istri)
menjilatinya, maka dia belum benar-benar memenuhi hak suaminya" [HR.
Ibnu Abi Syaibah 4/2/303 no. 17407; hasan – Daarul-Kiblah, Cet. 1/1427].
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
"Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud
kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud
kepada suaminya" [HR. At-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Hibban no. 41621,
dan Al-Baihaqi 7/291 ; shahih lighairihi]. Ketaatan istri kepada suaminya merupakan salah satu faktor yang akan membawanya masuk surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَصُنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شَاءَتْ
"Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa di
bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan
dikatakan kepadanya : ‘Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang
engkau sukai" [HR. Ibnu Hibban no. 4163 ; shahih]. Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi kepada suaminya antara lain adalah :
- Patuh kepada perintah suami
Hushain bin Mihshan mengkisahkan : Bahwasannya
bibinya pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam untuk satu
keperluan. Setelah menyelesaikan keperluannya, maka Nabi berkata kepadanya :
‘Apakah engkau bersuami ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau melanjutkan :
‘Bagaimana sikapmu terhadapnya ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak pernah
membantahnya/menolaknya kecuali pada perkara yang tidak sanggup aku lakukan’.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا
هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
"Maka perhatikanlah sikapmu terhadapnya,
karena sesungguhnya dia (suamimu) adalah surga dan nerakamu" [HR.
Ahmad 4/341; An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 8963, 8964, 8967, 8968,
8969; Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 25/448, 449, 450 dan Al-Ausath
no. 532; Al-Hakim 2/189; Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 8729-8731;
dan no. 19025. Hadits ini hasan – dari takhrij hadits Al-Arna’uth terhadap Musnad
Imam Ahmad 31/341 no. 19003].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah ditanya tentang model wanita yang paling baik, maka beliau menjawab :
الَّتِيْ تُطِيْعُ إِذَا أَمَرَ
وَتَسُرُّ إِذَا نَظَرَ وَتَحْفَظُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Dia dalah seorang wanita yang patuh saat
suaminya menyuruhnya, menarik saat suaminya memandangnya, menjaga kemuliaan
suami dengan memelihara kehormatannya sendiri, dan mengurus harta suami”
[HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 8961; shahih].
Catatan : Taat ini dengan syarat : Hanya dalam hal
yang ma’ruf bukan dalam kemaksiatan.
لا طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَّةِ اللهِ
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perbuatan maksiat
kepada Allah. Ketaatan hanya boleh dilakukan dalam kebaikan” [HR. Bukhari
no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain.]
Maka, seorang istri tidak boleh taat kepada
suaminya jika ia menyuruh untuk membuka jilbab, menemani seorang laki-laki yang
bukan mahram tanpa ada suaminya, berbohong, dan lain-lain. Namun bukan pula
berarti ia membatalkan ketaatannya secara keseluruhan. Ia tetap wajib taat pada
hal-hal yang mubah dan yang disyari’atkan.
2. Tetap
tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali setelah mendapat ijin dari
suami.
Allah berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ وَلاَ
تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ الْجَاهِلِيّةِ الاُولَىَ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di
rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyyah dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33].
Tinggal di dalam rumah adalah hukum asal bagi
seorang wanita. Ia tidak boleh keluar melainkan dengan sebab dan syarat.
Sebabnya adalah karena hajat, dan syaratnya adalah ijin dari suami, berpakaian
syar’i, tidak memakai wangi-wangian, dan yang lainnya (yang akan dijelaskan
kemudian).
Untuk hal-hal yang sifatnya rutinitas dimana ia
telah mendapatkan ijin dari suami secara umum, maka ia boleh keluar tanpa
seijin suaminya (walau meminta ijin tetap lebih baik). Misalnya : keluar rumah
untuk belanja di warung, menyapu halaman, dan lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah menjelaskan salah satu sebab mengapa wanita tinggal di dalam rumah :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ
اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar
rumah, maka akan dibanggakan oleh syaithan” [HR. At-Tirmidzi no. 1173,
Ibnu Khuzaimah no. 1685-1687, Ibnu Hibban no. 5598-5599, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir
no. 10115, dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/1259; shahih].
Hingga dalam permasalahan ibadah (shalat di
masjid), rumah tetap lebih baik bagi seorang wanita sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ
الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke
masjid; akan tetapi shalat di rumah adalah lebih baik bagi mereka” [HR.
Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya;
shahih lighairihi].
3. Menerima
ajakan suami.
Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا دَعَا الرَجُلُ امْرَأَتِهِ
إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلائكَةُ حَتَى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke
tempat tidurnya, namun istrinya tersebut menolak (tanpa udzur yang dibenarkan
syari’at) maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh tiba”
[HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436].
4. Tidak
memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dengan seijin suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لا
يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَداً تَكْرَهُوْنَهُ
“Sesungguhnya kalian (para suami) memiliki hak
yang harus dipenuhi mereka (para istri), agar mereka tidak mengijinkan
seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang tidak kamu sukai” [HR.
Muslim no. 1218].
وَلا تَأْذَنُ فِيْ بَيْتِهِ وَهُوَ
شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ
“Dan janganlah seorang wanita mengijinkan
seseorang masuk ke dalam rumah suaminya sementara dia (suami) ada di sana, kecuali dengan ijin
suaminya tersebut” [HR. Muslim no. 1026].
Larangan ini berlaku untuk orang-orang yang memang
suaminya tidak meridlainya. Namun bila orang tersebut termasuk orang-orang yang
diridlai – semisal kaum kerabat -, maka ia diperbolehkan menerimanya masuk ke
rumahnya dengan tetap menjaga kehormatan dirinya. Jika orang/tamu tersebut
laki-laki bukan termasuk mahram (semisal : teman kerja suami atau tetangga),
maka ia diperbolehkan untuk menerima dengan catatan aman dari fitnah dan
menghindari khalwat (berdua-duaan). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
إِلا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan
dengan wanita kecuali bersama mahramnya” [HR. Al-Bukhari no. 5233 dan
Muslim no. 1341].
Namun lebih baik, wanita tersebut tidak menerimanya
dan menyuruhnya kembali setelah suaminya datang [1].
5. Tidak
bersedekah dengan harta suami kecuali mendapat ijin darinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
لا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئاً مِنْ
بَيْتِ زَوْجِهَا إِلا بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu
dari rumah suaminya kecuali seijin suaminya tersebut” [HR. Abu Dawud no.
3565, At-Tirmidzi no. 670, dan Ibnu Majah no. 2295; shahih].
6. Berterima
kasih kepada suami dan tidak mengingkari kebaikannya, serta memperlakukan suami
dengan baik.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
لا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لا
تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang
tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia tidak mungkin lepas dari
ketergantungan padanya” [HR. Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 9135;
shahih].
Berterima kasih ini tidak hanya sebatas lisan, tapi
terwujud pada penampakan rasa bahagia dan nyaman selama mendampingi suami dan
melayani kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, tidak mengabaikannya, tidak
mengeluh dengan segala kondisi yang dialami bersamanya, dan yang lainnya.
7. Tidak
mengungkit-ungkit kebaikannya kepada suami, jika kebetulan dia menafkahi suami
dan anak-anaknya.
Adakalanya seorang suami diberi cobaan berupa
sakit, cacat, atau yang semisalnya sehingga ia tidak bisa memberi nafkah
sebagaimana mestinya; yang dengan itu istri menjadi tulang punggung keluarga
untuk mencari nafkah. Haram hukumnya mengungkit-ungkit kebaikannya itu. Allah
telah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنّ وَالأذَىَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima)” [QS. Al-Baqarah : 264].
8. Selalu
menjaga keutuhan rumah tangga dan tidak menuntut cerai tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ
زَوْجَهَا طَلاَقاً مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang menuntut cerai kepada
suaminya tanpa ada masalah yang berarti (menurut kacamata syari’at), maka
diharamkan baginya wangi bau surga” [HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud
no. 2209, Ibnu Majah no. 2055, Ahmad 5/277; shahih].
9. Dan
lain-lain.
Dan ingatlah wahai para wanita bahwa engkau telah Allah jadikan salah satu
perhiasan dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ
الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita
shalihah” [HR. Muslim no. 1467]. Tanggung Jawab Istri pada Anak
1. Menyusui
anak hingga usia dua tahun.
Allah berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلاَدَهُنّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمّ الرّضَاعَةَ
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan” [QS. Al-Baqarah : 233].
2. Mengasuh,
memperhatikan, dan memelihara anak dengan nafkah yang diberikan oleh suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah memerintahkan kepada Hindun radliyallaahu ‘anhaa :
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah dengan baik (dari harta suamimu)
sebatas mencukupi keperluanmu dan anakmu” [HR. Bukhari no. 5364 dan Muslim
no. 1714].
Hadits ini mengandung faedah bahwasanya
pemeliharaan anak adalah dilakukan oleh ibu dari harta (nafkah) yang diberikan
oleh suami.[2]
3. Mendidik
anak dengan pendidikan yang baik dan Islamy.
Hal pertama dan utama yang harus diberikan dan
diperhatikan adalah pendidikan agama, sebab pendidikan ini merupakan dasar yang
akan membentuk tingkah laku anak di kemudian hari. Penanaman aqidah tauhid yang
kuat adalah mutlak diberikan. Anak harus tahu kewajiban dan tugas mengapa ia
dilahirkan di muka bumi, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata tanpa
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.[3] Juga dengan penanaman
prinsip-prinsip keimanan dalam rukun iman. Kemudian diikuti dengan
penanaman kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam yang lain seperti shalat,
zakat, puasa, dan haji. Dari konsep pembangunan anak yang beriman dan beramal
shalih, tentu saja harapan kita kelak ia menjadi sesuatu yang berharga yang dapat
bermanfaat bagi kita di akhirat. Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :
إذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia maka
terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu : shadaqah jariyyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim no. 1631].
Bukan menjadi satu larangan jika pendidikan agama
telah diberikan, si anak kemudian diberikan pendidikan keduniaan yang akan
memberi manfaat kepadanya dan kaum muslimin secara umum. Bahkan bisa jadi
ilmu-ilmu keduniaan ini merupakan fardlu kifayah bagi kaum muslimin.
Pendidikan keduniaan ini diperbolehkan jika tidak ada hal yang dilarang oleh
syari’at. Contoh bagian dari ilmu ini adalah ilmu pasti (sains), biologi,
bahasa, dan yang lainnya. Adapun ilmu keduniaan yang mengandung kesia-siaan
dimana ia dibenci atau bahkan diharamkan oleh syari’at seperti ilmu musik,
menggambar makhluk hidup, ekonomi kuffar (misalnya ilmu ekonomi berbasis riba),
hukum kuffar (misalnya ilmu hukum pidana, perdata, dan yang semisal yang
bersumber dari hukum-hukum kuffar), dan yang lainnya; maka ia tidak boleh untuk
dipelajari.
Jika hal-hal tersebut di atas dapat dipahami dan
dilaksanakan oleh seorang istri dalam kehidupan rumah tangganya, satu faktor
penyebab terciptanya keluarga sakinah telah terpenuhi. InsyaAllah, hal
itu dapat sebagai pendorong terciptanya keluarga sakinah dalam kehidupan kita.
Akan tetapi, semua itu tentu akan terwujud jika seorang ibu/istri
benar-benar mencurahkan waktu, tenaga, dan perhatiannya di rumahnya. Namun jika
dzat sang ibu/istri tidak ada di rumah, maka bagaimana bisa ia melaksanakan
kewajiban terhadap dirinya, suaminya, dan anak-anaknya dengan sempurna ? Dan
malah kehadirannya digantikan oleh wanita lain yang sama sekali bukan merupakan
bagian dari keluarganya ? Maka di sini perlu kami sampaikan bahwa : berbicara
mengenai keluarga sakinah tidaklah akan lepas dari keberadaan seorang wanita di
rumah suaminya. Dan itu adalah mutlak. Adalah teori belaka jika ada orang yang
berkata : Yang penting kualitas, bukan kuantitas (pertemuan anggota keluarga).
Tidak ada satupun pakar psikologi atau konsultan keluarga – setahu kami – yang
mengatakan bahwa keberadaan seorang ibu/istri di luar rumah adalah lebih baik
bagi keluarganya (anak dan suaminya) dibandingkan berada di dalam rumah.
Sungguh, betapa banyak musibah ini menimpa pada keluarga-keluarga muslim yang
menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat dimana para ibu tersibukkan oleh
karir “membantu nafkah” [?] suami…… Bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban bagi suami. Allah berfirman :
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma’ruf” [QS. An-Nisaa’ : 34]. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلمَةِ
اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لا يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَداً تَكْرَهُوْنَهُ
فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرباً غَيْرَ مُبَرِّح وَلَهُنَّ
عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya kalian telah
ambil mereka dengan amanah Allah, dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan
kalimat Allah. Dan bagimu ada hak yang harus mereka penuhi yaitu agar mereka
tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang tidak kamu
sukai. Apabila mereka melanggarnya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang
tidak menyakiti. Dan mereka memiliki hak yang harus engkau tunaikan, yaitu
mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang baik” [HR. Muslim no.
1218]. Jika suami telah memenuhi nafkahnya (sesuai dengan kemampuannya), maka pada asalnya istri tidak boleh keluar rumah untuk bekerja, karena (pada hakekatnya) apa yang ia butuhkan telah diberikan oleh suami. Istri wajib qana’ah/menerima dengan lapang dada tanpa mengeluh dan merasa kurang dengan apa yang telah diberikan suami. Hukum asal bagi seorang wanita adalah di rumahnya (sebagaimana telah kami singgung sebelumnya).
Larangan untuk bekerja keluar rumah tanpa alasan syar’i ini semakin keras jika suami melarangnya (dan istri tetap ‘nekad’ untuk keluar rumah dan bekerja).
(-) Lantas, bagaimana jika suami mengijinkannya ?
Setidaknya, dalam hal ini ada 3 (tiga) keadaan :
1. Suami
tidak mampu memberi nafkah karena sebab-sebab kauni seperti sakit, cacat, dan
yang semisalnya. Maka dalam hal ini boleh bagi istri untuk bekerja di luar
rumah dengan syarat-syarat tertentu (yang akan ditulis kemudian). Bahkan bisa
menjadi wajib baginya.
2. Suami
mampu dan telah memberi nafkah kepada istri. Hal ini diperinci :
Apabila pekerjaan istri adalah syar’i [4]
dan memenuhi syarat-syarat syar’i, maka diperbolehkan.
Syarat-syarat tersebut adalah (dan syarat ini juga
berlaku untuk nomor 1) :
a.1 Memenuhi adab wanita jika keluar rumah seperti
: berhijab/berpakaian syar’i [5], tidak memakai wangi-wangian [6], tidak
bertabarruj (berdandan) [7], dan menundukkan pandangan [8].
a.2 Tidak ada percampuran antara laki-laki dan
wanita (ikhtilath). Allah telah berfirman :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنّ مَتَاعاً
فَاسْأَلُوْهُنّ مِنْ وَرَآءِ حِجَابٍ
“Apabila kalian meminta pada mereka satu
keperluan, maka mintalah dari balik hijab” [QS. Al-Ahzab : 53].
a.3 Tidak berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki
dan wanita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
إِلا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan
dengan wanita kecuali bersama mahramnya” [HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim
no. 1341].
a.4 Tidak menimbulkan fitnah. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
فَاتَّقُوا الدُّنيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah terhadap dunia dan
berhati-hatilah pada kaum wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang
menimpa Bani Israil adalah karena wanita” [HR. Muslim no. 2742,
At-Tirmidzi no. 2191, dan lainnya].
a.5 Tetap bisa mengerjakan kewajiban yang
dibebankan kepada dirinya dan keluarganya. Inilah kewajiban asasi bagi seorang
wanita.
Jika memenuhi beberapa persyaratan di atas, maka ia
boleh bekerja. Jika tidak, maka tidak boleh.
Jika pekerjaan istri bukan pekerjaan syar’i,
maka keharamannya bertambah keras dibandingkan yang pertama .
Bagi para suami yang mengijinkan istrinya bekerja
sementara jenis pekerjaan bukanlah pekerjaan syar’i dan syarat-syaratnya pun
tidak terpenuhi, maka kedudukannya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :
ثَلاَثٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ
وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُ وَالِدَيْهِ
وَالْمَرأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ وَالدَّيُوْثُ
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan
Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat : 1) Orang yang durhaka kepada
kedua orang tuanya; 2) Wanita yang menyerupai laki-laki; dan 3) Ad-Dayuts” [HR. Nasa’i no. 2562, Ahmad 2/134,
dan lainnya; hasan].
Siapakah Dayuts itu ? Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menjelaskan : { الذي يقر في أهله الخبث}
“Yaitu suami yang membiarkan kejelekan/kemunkaran dalam keluarganya”
[HR. Ahmad 2/69].
3. Suami
mampu bekerja, namun ia tidak mau bekerja mencari nafkah (malah bergantung pada
istri).
Maka kedudukan suami seperti ini lebih jelek
daripada seorang Dayuts. Ia adalah pangkal kejelekan dalam rumah tangganya.
Seorang istri diberikan pilihan untuk tetap mempertahankan rumah tangganya atau
mengajukan khulu’ (gugatan cerai – karena tidak diberikan nafkah oleh
suami – dengan memberikan ‘iwadl/pengganti pada suami). Sebagian ulama
mengatakan bahwa lebih utama baginya untuk bersabar jika ia melihat perceraian
mengakibatkan fitnah yang lebih besar baginya dan anak-anaknya. Dalam kondisi
seperti ini, ia diperbolehkan untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhannya
(dengan tetap memberikan nasihat kepada suami agar takut kepada Allah dan mau
bekerja). Dia tetap wajib untuk memperhatikan batasan-batasan syar’i yang telah
ditetapkan [9].
Selesai – Wallaahu a’lam bish-shawwab.
[Abu Al-Jauzaa’ – Blok D17/15 – 0815698***] – disampaikan dalam pengajian ibu-ibu Perum Ciomas Permai.
Catatan kaki :
] Atau wanita tersebut menanyakan kepada si tamu
apakah ada pesan yang dapat ia sampaikan kepada suaminy[1a (jika orang tersebut
mempunyai keperluan dengan suami) tanpa ia mempersilakan masuk ke rumahnya.
[2] Tapi bukan berarti suami tidak boleh berperan serta. Ini hanya
menjelaskan hukum asal saja. Adapun dalam kehidupan riil, maka kerjasama antara
suami dan istri sangat dibutuhkan dalam upaya mendekatkan jiwa antara ayah,
ibu, dan anak.
[3] Allah telah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنّ وَالإِنسَ إِلاّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” [QS. Adz-Dzariyaat : 56]. [4] Seperti bidan, dokter khusus wanita, pengajar bagi wanita, pengasuh anak, dan yang lainnya yang memang membutuhkan peran wanita secara khusus.
يَأَيّهَا النّبِيّ قُل لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنّ مِن جَلاَبِيبِهِنّ ذَلِكَ أَدْنَىَ أَن
يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Ahzab : 59]. [6] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَة اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْم
لِيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
”Wanita mana saja yang memakai parfum
lalu melewati satu kaum agar mereka mencium bau harumnya, maka ia (sama saja)
dengan seorang pezina” [HR.
An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 5126 dengan sanad hasan]. [7] Allah berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ وَلاَ تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ
الْجَاهِلِيّةِ الاُولَىَ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di
rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyyah dahulu” [QS.
Al-Ahzab : 33]. [8] Allah berfirman :
وَقُل لّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya” [QS. An-Nur : 31]. [9] Walau mungkin mengharuskannya tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban rumah tangga secara sempurna karena alasan dlarurat. Kita berharap Allah memberikan maaf pada kondisi seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar