Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa
1. Musafir
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh
sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut madzhab yang paling
kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat
sebagai safar (Majmu’ Fataawaa, 34/40-50, 19/243 Orang yang melakukan safar
boleh untuk tidak berpuasa
sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ
عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah
hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184).
أن حمزة بن عمرو الأسلمي قال للنبي صلى الله عليه وسلم
أأصوم في السفر وكان كثير الصيام فقال إن شئت فصم وإن شئت فأفطر
Bahwasannya Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami pernah
bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apakah saya berpuasa di
waktu safar ?” – Ia adalah seorang yang banyak melakukan puasa - . Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Puasalah
jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” (HR.
Al-Bukhari no. 1943 dan Muslim no. 1121).
Hadits di atas (dan beberapa lagi hadits lain)
menunjukkan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar.
Bagi yang berkehendak berpuasa, maka puasa tersebut dilakukan bila ia memang
mampu dan diperkirakan tidak membawa mudlarat terhadap dirinya. Pertimbangan
inilah yang terdapat dalam hadits berikut :
ليس من البر الصوم في السفر
“Berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah
kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 1844 dan Muslim no. 1115; ini adalah lafadh
Al-Bukhari)
فكانوا يرون أنه من وجد قوة فصام فحسن
ومن وجد ضعفا فافطر فحسن
“Dan mereka (para shahabat) berpendapat bahwa
barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya. Dan
barangsiapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya” (HR.
At-Tirmidzi no. 713. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan shahih; dan Al-Albani
berkata : Shahih).
Namun secara umum, safar membolehkan berbuka walau
orang yang melakukannya tidak merasakan berat, karena hal tersebut merupakan rukhshah
(keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن
تؤتى معصيته
“Sungguh Allah menyukai dilaksanakan rukhshah
(keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya”
(HR. Ahmad 2/108 dan Ibnu Hibban no. 2742. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Irwaaul-Ghalil 3/9 no. 564).
Dan keringanan bagi seorang musafir (salah satunya)
adalah berbuka (tidak berpuasa).
2. Orang
yang Sakit
Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang
berbuka adalah sakit yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan
membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan menyebabkan
lambatnya kesembuhan.[1] (Lihat Fathul-Baari 8/179, Syarhul-Umdah
Kitab Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah 1/208-209, Shifat Shaumin-Nabi
hal. 59). Lihat dalilnya dalam firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah ayat
185.
3. Wanita
yang Haidl atau Nifas
Para ulama’
sepakat bahwa wanita yang sedang haidl atau nifas tidak boleh berpuasa, dan
keduanya harus berbuka dan mengqadla’ (mengganti)nya di hari yang lain. Dan
bila keduanya berpuasa, maka puasanya tersebut tidak sah. Lihat pada penjelasan
sebelumnya.
4. Orang
yang Lanjut Usia dan Wanita yang Lemah
Allah ta’ala berfirman :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ
عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari
yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan
seorang miskin” (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengatakan :
هو الشيخ الكبير الذي لا يستطيع
الصيام فيفطر ويطعم عن كل يوم مسكينا نصف صاع من حنطة
”Dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu
berpuasa. Maka ia berbuka dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari
sebanyak setengah sha’ gandum” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya
3/198 no. 2386 dengan sanad shahih).
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia
tua berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia
tinggalkan sebesar setengah sha’ gandum. Adapun tentang fidyah, insyaAllah akan
dijelaskan kemudian.
5. Wanita
yang Mengandung dan Menyusui
Di antara keagungan rahmat Allah ta’ala kepada
hamba-Nya yang lemah adalah pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa
kepada wanita hamil dan menyusui. Dari Anas bin Malik , seorang laki-laki dari
Bani Abdillah bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
أغارت علينا خيل رسول الله صلى الله
عليه وسلم فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فوجدته يتغدى فقال ادن فكل فقلت إني
صائم فقال ادن أحدثك عن الصوم أو الصيام إن الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر
الصلاة وعن الحامل أو المرضع الصوم أو الصيام والله لقد قالهما النبي صلى الله
عليه وسلم كلتيهما أو إحداهما فيا لهف نفسي أن لا أكون طعمت من طعام النبي صلى
الله عليه وسلم
Datang kuda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam kepada kami. Lalu aku mendatangi beliau, dan ternyata aku mendapatkan
beliau sedang makan. Kemudian beliau bersabda,”Mendekatlah dan makanlah”.
Aku menjawab,”Aku sedang puasa”. Beliau bersabda,”Mendekatlah, akan aku
ceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan keringanan
dari setengah shalat bagi seorang musafir, dan memberikan keringanan dari beban
puasa bagi wanita hamil dan menyusui”. Demi Allah, Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam benar-benar telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, dan
aku benar-benar berselera untuk makan makanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam” (HR. At-Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i 4/180, Abu Dawud no. 2408, dan
Ibnu Majah no. 1667; ini adalah lafadh At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/64-65 no. 1361 dan Misykatul-Mashaabih
1/344).
Bagi wanita hamil dan/atau menyusui, menurut
pendapat yang paling kuat (rajih), bagi mereka hanyalah dibebani membayar
fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadla. Hal ini diperkuat oleh atsar para
shahabat, diantaranya adalah perkataan Ibnu ‘Abbas kepada seorang budak wanita
yang hamil atau menyusui :
أنت بمنزلة الذي لا يطيق ، عليك أن
تطعمي مكان كل يوم مسكينا ولا قضاء عليك
“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu.
Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada
kewajiban qadla atasmu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang
dikatakan Syaikh Al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim – Irwaaul-Ghalil
4/19. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 4/219 no.
7567 – tapi tanpa kata-kata : tidak ada kewajiban qadla atasmu).
Juga perkataan Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhum mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui :
أنت من الذين لا يطيقون الصيام عليك
الجزاء وليس عليك القضاء
“Engkau termasuk tidak mampu, kewajibanmu
memberi makan, bukan qadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya
3/196 dan ia berkata : sanadnya shahih).
Juga perkataan Ibnu ‘Umar atas pertanyaan seorang
wanita hamil :
أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا
تقضي
“Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin
sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” (Diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/198 no. 2388. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa sanadnya bagus – Irwaaul-Ghalil 4/20).
Namun jika mereka (wanita yang hamil atau menyusui)
kuat untuk berpuasa dan kemudian melaksanakan puasa tanpa menimbulkan
kemudlaratan, maka itu lebih baik baginya sesuai dengan keumuman ayat :
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 185).
Berbuka Puasa - Waktu Berbuka
Allah telah menjelaskan kepada kita tentang waktu
diperbolehkannya berbuka puasa yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana
firman-Nya :
ثُمّ أَتِمّواْ الصّيَامَ إِلَى
الّليْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga
(datang) malam” (QS. Al-Baqarah : 187).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
menafsirkan ayat tersebut dengan datangnya malam, berlalunya siang, dan
tenggelamnya matahari. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda
sambil mengisyaratkan tangannya:
إذا أقبل الليل من ها هنا وأدبر
النهار من ها هنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam telah tiba dari arah sini dan
siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun terbenam, maka orang yang
berpuasa sudah boleh berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1954 dan Muslim no.
1100; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Dan sabdanya yang lain :
إذا رأيتم الليل أقبل من ها هنا فقد
أفطر الصائم
“Apabila engkau melihat malam telah tiba dari
arah sini, maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka” (HR. Al-Bukhari
no. 1941).
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : ( إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْل وَأَدْبَرَ النَّهَار وَغَابَتْ الشَّمْس
فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِم ) مَعْنَاهُ : اِنْقَضَى صَوْمه وَتَمَّ , وَلَا يُوصَف
الْآن بِأَنَّهُ صَائِم , فَإِنَّ بِغُرُوبِ الشَّمْس خَرَجَ النَّهَار وَدَخَلَ
اللَّيْل , وَاللَّيْل لَيْسَ مَحِلًّا لِلصَّوْمِ
“Makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Apabila malam telah tiba dan siang telah berlalu, serta matahari pun terbenam,
maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” ; adalah puasanya telah selesai
sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan
orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari, habislah waktu siang dan
malam pun tiba; dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa” (Syarah
Shahih Muslim hal. 794).
Timbul pertanyaan : Bagaimana jika matahari
telah tenggelam, namun adzan belum berkumandang (muadzin telat mengumandangkan
adzan) ???
Maka dijawab : Yang menjadi patokan untuk
berbuka puasa adalah tenggelamnya matahari. Hal ini sesuai dengan dalil di
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan para shahabat sebagaimana telah
disebutkan. Maka selayaknya bagi kaum muslimin menyegerakan berbuka puasa
setelah melihat matahari benar-benar telah tenggelam. Dan bagi muadzin,
hendaknya selalu menjaga amanah untuk mengumandangkan adzan pada awal waktunya.
2. Menyegerakan
Berbuka Puasa
Menyegerakan berbuka dapat mendatangkan kebaikan
Dari Sahl bin Sa’ad radliyallaahu ‘anhu ia berkata
: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر
“Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1957 dan Muslim
no. 1098).
Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam
Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تزال أمتى على سنتى ما لم تنتظر
بفطرها النجوم
“Umatku senantiasa berada di atas sunnahku,
selagi mereka tidak menunggu munculnya bintang ketika berbuka puasa” (HR.
Ibnu Khuzaimah no. 2061 dan Ibnu Hibban no. 3510 dengan sanad shahih. Lihat Ta’liq
‘alaa Shahih Ibni Khuzaimah).
Menyegerakan berbuka puasa agar tidak termasuk
golongan orang-orang yang sesat
Apabila manusia menjalani manhaj dan memelihara
sunnah Rasul mereka, maka Islam akan tetap jaya dan berdiri kokoh serta tidak
akan disusahkan oleh umat-umat yang menentang mereka. Ummat Islam tidak mau
mengekor kaum kafir dari golongan Yahudi dan Nasharani, yang mereka ini dicap
oleh Allah dan Rasulnya sebagai kaum yang sesat. Dengan menyegerakan berbuka,
berarti kita telah turut mengokohkan agama Islam dan menyelisihi sebagian dari
adat dan kebiasaan mereka yang tercela, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا يزال الدين ظاهرا ما عجل الناس
الفطر لأن اليهود والنصارى يؤخرون
“Agama senantiasa kokoh selama manusia
menyegerakan berbuka; karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya (menundanya)”
(HR. Abu Dawud no. 2353; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 2/58).
Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka
puasa sebelum melaksanakan shalat maghrib sebagaimana dikhabarkan dalam hadits
berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
يفطر على رطبات قبل أن يصلي فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات فإن لم تكن حسا حسوات من
ماء
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak
ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr. Jika tidak ada (tamr) maka beliau
berbuka dengan meneguk air” (HR. Abu Dawud no. 2356 dan lainnya dengan
sanad hasan; lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/59 no. 2356 dan Irwaaul-Ghalil
4/45 no. 922).
Maka tidak ragu lagi, bahwa menyegerakan berbuka
mempunyai keutamaan yang sangat besar. Dari Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ثلاث من أخلاق النبوة : تعجيل الإفطار
و تأخير السحور و وضع اليمين على الشمال في الصلاة
“Tiga (perkara) termasuk akhlaq kenabian
(yaitu) : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri dalam shalat” (HR. Thabarani dalam Al-Kabiir
sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawaaid
2/105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihu
Al-Jami’ish-Shaghiir 1/583 no. 3038).
3. Apa
yang Dimakan Saat Berbuka ?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan
untuk mengawali berbuka puasa dengan ruthab. Ruthab adalah
kurma yang masih setengah matang, agak sedikit lebih keras (dibandingkan tamr),
dan berwarna hijau kecoklatan. Apabila tidak ada ruthab, maka dianjurkan
memakan tamr (= kurma yang biasa dijual di pasaran). Bila tidak ada,
maka beliau menganjurkan berbuka dengan air. Hal ini merupakan bentuk kasih
sayang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya (lihat QS.
At-Taubah : 128). Untuk haditsnya, lihat kembali pembahasan di atas.
Makan makanan manis di saat perut kosong itu lebih
bermanfaat bagi tubuh, terutama tubuh yang sehat, sehingga kekuatannya dapat
pulih kembali. Adapun berbuka dengan meminum air, dapat membasahi tubuh seperti
halnya fungsi makanan, karena tubuh mengalami kekeringan cairan saat berpuasa
sehingga apabila dibasahi dengan air akan sangat bermanfaat.
Dan ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa
kurma memiliki berkah dan keistimewaan. Begitu juga dengan air sebagai zat
vital dalam metabolisme tubuh. Wallaahu a’lam.
4. Apa
yang Dibaca Ketika Berbuka ?
Adapun doa khusus yang terkait dengan berbuka
puasa, menurut penelitian para ahli hadits, hanya satu yang dapat diterima dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abdullah
bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengatakan :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ
اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
[Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru
insya Allooh]
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah
terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah” (HR. Abu Dawud no.
2357, Al-Hakim no. 1536, Ad-Daruquthni 3/156 no. 2279, dan yang lainnya;
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 4/39 no. 920).[2]
Doa ini dibaca setelah selesai menyantap makanan
berbuka (- perhatikan arti doa tersebut -). Adapun doa yang sering dibaca oleh
sebagian kaum muslimin seperti : Allaahumma laka shumtu….dst. dan yang
lain-lain; maka doa tersebut berasal dari hadits-hadits berstatus dl’aif. Sudah
selayaknya kita hanya memilih doa yang tsabit (tetap) berasal dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam.
5. Makan
Secara Berjama’ah
Disunnahkan berbuka secara berjama’ah dengan
keluarga, rekan, atau kaum muslimin lainnya. Allah menurunkan keberkahan dengan
banyaknya tangan di atas makanan.
عن وحشي بن حرب عن أبيه عن جده رضي
الله عنه أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا يا رسول الله إنا نأكل ولا
نشبع قال فلعلكم تفترقون قالوا نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله
يبارك لكم فيه
Dari Wahsyi bin Harb, dari ayahnya, dari kakeknya
radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Sesungguhnya para shahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tapi tidak merasa kenyang”. Beliau
menjawab : “Barangkali kalian makan secara berpencar (sendiri-sendiri)”.
Mereka menjawab : “Benar”. Maka beliau bersabda : “Berkumpullah kalian atas
makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya makanan itu diberkahi untuk
kalian” (HR. Abu Dawud no. 3764; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shahiihah no. 664. Lihat pula Riyadlush-Shaalihiin no. 747).
6. Memberi
Makanan Orang yang Berbuka Puasa
Allah ta’ala telah menjanjikan pahala yang besar
bagi orang yang telah menyisihkan sebagian harta/rizkinya secara ikhlash untuk
memberi makan kepada orang yang berbuka puasa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda :
من فطر صائما كان له مثل أجرهم من غير
أن ينقص من أجورهم شيئا
“Barangsiapa yang memberi makanan orang yang
berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa
tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga”
(HR. Ahmad 4/114, 4/116; At-Tirmidzi 807; Ibnu Majah no. 1746; dan Ibnu Hibban
no. 3429; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).
Dan apabila ada seorang muslim yang berpuasa dan ia
mendapat undangan untuk makan/berbuka dari saudaranya, maka hendaklah ia
memenuhi undangan tersebut. Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
إذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو
نحوه
“Bila salah seorang dari kalian mengundang
saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut, apakah (undangan
tersebut adalah) undangan nikah atau semisalnyai” (HR. Muslim no. 1429).
Hal ini tentunya dikecualikan apabila dalam
undangan tersebut mengandung unsur kemaksiatan atau terdapat unsur kemaksiatan
(seperti nyanyi-nyanyian/musik, ikhtilath, dan lain-lain).
Bagi yang diundang dan/atau yang diberikan makanan
berbuka dari saudaranya, maka hendaklah ia mendoakan saudaranya tersebut dengan
kebaikan. Beberapa doa yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
diantaranya:
اللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي
وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
[Alloohumma ath’im man ath’amanii wa asqi man
saaqoonii]
“Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang
memberiku makan, dan berikanlah minuman kepada orang yang memberiku minuman”
(HR. Muslim no. 2055 dari Al-Miqdad).
اللّهُـمَّ بارِكْ لَهُمْ فِيمَا
رَزَقْـتَهُمْ، وَاغْفِـرْ لَهُـمْ وَارْحَمْهُمْ
[Alloohumma baariklahum fiiimaa rozaqtahum
wagh-firlahum war-hamhum]
“Ya Allah, berikanlah barakah apa yang Engkau
rizkikan kepada mereka, ampunilah dan belas-kasihanilah mereka” (HR.
Muslim no. 2042 dari Abdullah bin Busr).
Hukum Seputar Fidyah Fidyah merupakan shadaqah yang dibayarkan oleh seorang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui (menurut pendapat yang paling kuat dari para ulama’), yang dibayarkan kepada orang miskin (lihat QS. Al-Baqarah : 184). Lihat pembahasan sebelumnya tentang Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Puasa.
Lalu berapa takaran jumlah fidyah yang harus dibayarkan ??? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Beberapa hal yang terkait dengan pertanyaan tersebut dapat dijelaskan pada beberapa poin berikut :
1. Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan jumlah
takaran fidyah tersebut. (lihat Tafsir Ath-Thabari 2/83). [3] Yang
rajih adalah apa yang difatwakan oleh Ibnu ’Abbas radliyallaahu ‘anhuma
(sebagaimana telah disebutkan sebelumnya), yaitu takaran jumlah fidyah tersebut
adalah setengah sha’ atau kurang lebih 1,5 kg (satu setengah kilogram)
per jiwa. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baaz
dan Lajnah Fatwa Saudi Arabia (Fataawaa
Ramadlan 2/554-555 dan 604). Sehingga apabila seseorang tidak sanggup
berpuasa selama 30 hari, maka yang dibayarkan adalah 1,5 kg x 30 = 45 kg.
2. Diperbolehkan
memberi makanan yang siap santap (makanan matang) dengan ukuran yang dapat
mengenyangkan si miskin (Fataawaa Ramadlan 2/652). Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu ketika beliau lemah untuk
berpuasa karena tua (selama satu bulan : 30 hari); beliau membuat satu mangkok
besar tsarid (bubur dari roti yang diremas dan dicampur kuah), lalu beliau
mengundang 30 orang miskin sehingga mengenyangkan mereka. (Diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/199 no. 2390 dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul-Ghaliil 4/21).
3. Tidak
diperbolehkan membayar fidyah dengan uang, tetapi harus dengan makanan
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah (Hadits
Shahih).
4. Diperbolehkan
membayar fidyah sekaligus atau terpisah-pisah waktunya (Lajnah Fatwa Saudi Arabia, Fataawaa Ramadlan 2/652).
5. Bolehkan
memberi fidyah kepada orang yang miskin yang kafir??? Maka pertanyaan ini
dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah (seorang
fuqahaa, ahli tafsir, dan ahli ushul) : “Jika di daerahnya ada orang Islam yang
berhak, maka diberikan kepadanya. Tapi jika tidak ada, maka disalurkan ke
negeri-negeri Islam yang membutuhkannya” (Fataawaa Ramadlan 2/655).
Qadla Puasa Ramadlan
1. Bagi
orang-orang yang diberikan rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan
(karena safar, sakit, haidl, dan nifas), maka ia diwajibkan mengganti puasanya
(qadla) tersebut di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan
(lihat kembali pembahasan Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa).
Qadla’ puasa Ramadlan tidak harus dilakukan
seketika. Kewajiban mengqadla’ ini bersifat fleksibel dan penuh keluasan.
Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menceritakan tentang qadla’ puasanya :
كان يكون علي الصوم من رمضان فما
أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Aku mempunyai hutang puasa Ramadlan, lalu aku
tidak bisa mengqadla’-nya kecuali di bulan Sya’ban karena ada kesibukan dengan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Muslim no. 1146).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata dalam Fathul-Baari
(4/212) :
وفي الحديث دلالة على جواز تأخير قضاء
رمضان مطلقا سواء كان لعذر أو لغير عذر
“Hadits ini merupakan petunjuk dibolehkannya
menunda qadla’ Ramadlan secara mutlak, baik karena alasan atau karena tidak ada
alasan”.
Namun, menyegerakan qadla’ puasa adalah lebih utama
daripada menundanya, karena hal ini tercakup dalam keumuman dalil yang
menunjukkan anjuran untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menunda-nunda,
seperti firman Allah ta’ala :
وَسَارِعُوَاْ إِلَىَ مَغْفِرَةٍ مّن
رّبّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Rabbmu” (QS. Ali Imran : 133).
2. Tidak
wajib mengqadla’ puasa secara berurutan.
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma telah menjelaskan
:
لا بأس أن يفرق
“Tidak apa-apa (mengqadla’ puasa) secara
terpisah” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dan
disambungkan sanadnya oleh Abdurrazzaq, Ad-Daruquthni, dan Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar
Shahih Bukhari 1/569).
Adapun hadits yang berbunyi :
من كان عليه صوم من رمضان فليسرده ولا
يقطعه
“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa
Ramadlan, hendaklah ia mengerjakannya secara berurutan dan tidak putus-putus”
--- maka hadits ini adalah dla’if.[4]
3. Para ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggal dunia,
sedangkan dia memiliki tanggungan kewajiban puasa, maka walinya atau yang
lainnya tidak wajib mengqadla’-nya. Demikian juga orang yang tidak mampu
berpuasa, tidak boleh ada seseorang yang menggantikan puasanya selama orang
tersebut masih hidup. Akan tetapi yang harus ia lakukan adalah memberi makan
satu orang miskin setiap hari sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik
radliyallaahu ‘anhu.
Adapun permasalahan kebolehan seorang mempuasakan
orang lain yang telah meninggal (orang tua atau saudaranya) yang mempunyai
tanggungan puasa yang belum terbayar, maka dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat. Yang rajih adalah bahwa puasa yang dimaksud adalah puasa nadzar.
Bukan termasuk puasa wajib yang lain (misal : qadla puasa Ramadlan). [5]
4. Barangsiapa
yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka jika ada
beberapa orang yang berpuasa untuknya sesuai dengan jumlah hari yang ia
nadzarkan, maka hukumnya boleh. Al-Hasan berkata:
إن صام عنه ثلاثون رجلا يوما واحدا
جاز
”Jika ada tiga puluh orang berpuasa untuknya,
setiap orang satu hari, maka hukumnya adalah boleh” (HR. Al-Bukhari secara
mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Ad-Daruquthni dalam kitab Adz-Dzabhi
dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar
Shahih Bukhari 1/570).
Lailatul-Qadar Keutamaan Lailatul-Qadar sangat besar, karena pada malam itulah diturunkannya Al-Qur’an Al-Kariim yang membimbing manusia yang berpegang kepadanya kepada jalan kemuliaan dan kehormatan, mengangkatnya ke puncak ketinggian dan keabadian.
- Keutamaan Lailatul-Qadar
Tanda kebesaran dan keagungan Lailatul-Qadar adalah
bahwa malam itu merupakan malam yang penuh berkah yang lebih baik daripada
seribu bulan. Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مّبَارَكَةٍ إِنّا كُنّا مُنذِرِينَ
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan”
(QS. Ad-Dukhaan : 3).
وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Dan tahukah kamu apakah lailatul-qadar itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan” (QS. Al-Qadr : 2-3).
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa amalan di
Lailatul-Qadar (yang penuh barakah) itu menyamai pahala amal seribu bulan yang
tidak ada Lailatul-Qadarnya. Seribu bulan setara dengan 83 tahun lebih. Oleh
karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk
berusaha mencari malam tersebut dengan sabdanya :
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا
غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang mendirikan ibadah (pada
malam) Lailatul-Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan
diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no.
760).
Allah mensifati malam itu dengan malam
keselamatan/kesejahteraan, sebagaimana firman-Nya :
سَلاَمٌ هِيَ حَتّىَ مَطْلَعِ
الْفَجْرِ
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar” (QS. Al-Qadr : 5).
Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan
keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi
dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada
malam yang penuh barakah ini.
Pada malam ini kita diperintahkan untuk
banyak-banyak berdoa dengan doa :
اللّهُـمَّ إِنَّكَ عَفُوّ ٌ تُحِبُّ
اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
[Alloohumma innaka ‘afuwun tuhibbul-‘afwa
fa’fu’annii]
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf,
menyukai maaf, maka berilah maaf kepadaku” (HR. Tirmidzi no. 3513; Ibnu
Majah no. 3850; Ahmad 6/171, 6/182, 6/183, 6/208; Al-Hakim no. 1942, An-Nasa’i
dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 878. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 3/259 no. 3119 dan Misykatul-Mashaabih
1/353) [6].
2. Waktu
Terjadinya Lailatul-Qadar
Lailatul-Qadar terjadi pada malam-malam ganjil pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan. Ada
beberapa hadits shahih yang menyebutkan tentang hal ini, seperti malam ke-21,
23, 25, 27, dan 29 Ramadlan[7]. Imam Asy-Syafi’i berkata,”Ini menurut saya,
wallaahu a’lam, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab sesuai
dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada
malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan berdasarkan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadlan dan beliau mengatakan :
تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر
الأواخر من رمضان
“Carilah Lailatul-Qadar pada malam ganjil dari
sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan” (HR. Al-Bukhari no. 2017 dan Muslim
no. 1169; ini lafadh Al-Bukhari) [8] .
Silakan membuka Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim yang menyebutkan beberapa hadits dimaksud.
3. Tanda-Tanda
Lailatul-Qadar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
mengkhabarkan kepada kita tentang beberapa tanda yang mengisyaratkan terjadinya
Lailatul-Qadar. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ubay
radliyallaahu ‘anhu ketika ia menjawab tanda-tanda Lailatul-Qadr yang
diberitakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أن تطلع الشمس في صبيحة يومها بيضاء
لا شعاع لها
“Matahari terbit di pagi harinya tampak putih
tanpa cahaya yang menyinari (redup, tidak panas)” (HR. Muslim no. 762).
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma ia berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
في ليلة القدر ليلة سمحة طلقة لا حارة
ولا باردة تصبح شمسها صبيحتها صفيقة حمراء
“Lailatul-Qadar merupakan malam penuh
kelembutan, cerah, tidak panas, dan tidak dingin. Matahari di pagi harinya
menjadi nampak lemah lagi nampak kemerah-merahan” (HR. Ath-Thayalisi no.
2680, Ibnu Khuzaimah no. 2192, dan yang lainnya; ini adalah lafadh
Ath-Thayalisi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani pada Shahihul-Jaami’sh-Shaghiir
no. 5475).
4. Beribadah
di Lailatul-Qadar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila
telah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, beliau semakin giat dan
khusyuk dalam beribadah. Beliau kencangkan ikat pinggangnya dan beri’tikaf di
dalam masjid. Tidaklah beliau keluar dari masjid kecuali untuk menunaikan
hajatnya saja.
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل
العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله
“Apabila memasuki sepuluh (malam terakhir di
bulan Ramadlan), Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengencangkan ikatan
kainnya, [9] menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya
(istri-istrinya)” (HR. Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
يجتهد في العشر الأواخر مالا يجتهد في غيره
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak
beliau lakukan di saat-saat lain” (HR. Muslim no. 1175).
Maka selayaknyalah kita sebagai ummat beliau untuk
meneladani beliau dalam menghidupkan bulan Ramadlan, khususnya sepuluh hari
terakhir bulan Ramadlan dengan ibadah-ibadah, seperti : I’tikaf, membaca
Al-Qur’an dan berusaha menghafalnya, mempelajari hadits dan
kandungan-kandungannya, dan lain-lain. Tidak selayaknya kita habiskan waktu
malam dan siang kita hanya dengan tidur dan makan.
I’tikaf
1. Pengertian
I’tikaf
Secara syari’at makna i’tikaf adalah bertempat
tinggal di masjid[10] dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah
ta’ala [11] yang dilakukan dengan sifat-sifat tertentu [12].
2. Disyari’atkannya
I’tikaf
Disunnahkan i’tikaf di bulan Ramadlan dan bulan
lainnya sepanjang tahun. I’tikaf yang paling utama adalah pada bulan Ramadlan,
berdasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف
في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
biasanya beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadlan. Maka ketika di
tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari” (HR. Al-Bukhari
no. 2044).
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان
يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله
“Bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan hingga Allah
mewafatkan beliau” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa).
3. Waktu
Pelaksanaan I’tikaf
Disunnahkan memulai i’tikaf setelah shalat fajar
(shubuh), sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa tentang i’tikaf Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل
معتكفه
“Bila beliau hendak i’tikaf, maka beliau shalat
fajar kemudian masuk ke tempat i’tikaf-nya” (HR. Muslim no. 1173).
4. Syarat-Syarat
I’tikaf
a. Islam.
b. Berakal/Tamyiz.
c. Niat.
d. Tidak disyari’atkan melakukan i’tikaf selain di masjid, berdasarkan firman Allah ta’ala :
b. Berakal/Tamyiz.
c. Niat.
d. Tidak disyari’atkan melakukan i’tikaf selain di masjid, berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri istri-istri kalian,
sedangkan kamu dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah :
187).
5. Disunnahkan
bagi yang ber-i’tikaf untuk berpuasa. Adapun hadits ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa :
ولا اعتكاف إلا بصوم
“Tidak ada ada I’tikaf melainkan dengan
berpuasa” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2473; hasan shahih. Lihat Shahih
Sunan Abi Dawud 2/87) --- maka maknanya di sini adalah puasa tersebut
hanya dihukumi sunnah saja, bukan wajib. Sebab, telah shahih adanya pemalingan
makna wajib kepada sunnah berdasarkan riwayat :
عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما أن
عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال كنت نذرت في الجاهلية أن اعتكف ليلة في
المسجد الحرام قال فأوف بنذرك
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ta’ala ‘anhuma :
Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaf semalam suntuk di
Masjidil-Haram. Maka beliau menjawab : “Penuhilah nadzarmu” (HR.
Al-Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656).[13]
6. Larangan
I’tikaf
Berjima’/Bersetubuh dengan Istri
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian bercampur (berjima’)
dengan istri-istri kalian sedangkan kalian dalam keadaan i’tikaf di dalam
masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).
Ibnul-Mundzir berkata :
وأجمعوا على أن المعتكف ممنوع من
المباشرة. وأجمعوا على أن من جامع امرأته وهو معتكف عامدًا لذلك في فرجها أنه
مفسدٌ لاعتكافه
”Para ulama telah
bersepakat bahwasannya seseorang yang beri’tikaf terlarang untuk bercumbu. Dan
para ulama pun telah bersepakat bahwa siapa saja yang menjima’i istrinya dengan
sengaja di kemaluannya dalam keadaan orang tersebut sedang ber-i’tikaf, maka
i’tikafnya tersebut batal” (Kitaabul-Ijma’ oleh Ibnul-Mundzir no. 133 dan 134,
tahqiq dan ta’liq : Abu ’Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin ’Utsman;
Daarul-Atsar, Kairo, Cet. 1).
Keluar dari Masjid
Di antara petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam adalah bila beliau melakukan i’tikaf, maka beliau menyendiri di tempat
i’tikafnya dan tidak masuk ke rumahnya (keluar dari masjid) kecuali karena
hajat manusia yang sifatnya mendesak, seperti mandi apabila junub karena mimpi,
buang hajat, dan lainnya.
عن عائشة قالت كان النبي صلى الله
عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الإنسان
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila beliau beri’tikaf, beliau
mencondongkan kepalanya dan aku menyisir rambutnya. [14] Tidaklah beliau
masuk rumah kecuali karena hajat manusia” (HR. Muslim no. 297).
Ibnu Hazm berkata :
واتفقوا على أن من خرج من معتكفه في
المسجد لغير حاجة ولا ضرورة ولا بر أمر به أو ندب اليه فان اعتكافه قد بطل
“Para ulama telah
bersepakat bahwa sesungguhnya seseorang yang keluar dari tempat i’tikafnya di
masjid tanpa ada satu keperluan, tanpa dlarurat, atau tidak karena kebaikan
yang diperintahkan atau disunnahkan; maka i’tikafnya batal” (Maratibul-Ijma’
halaman 40).
7. Hal-Hal
yang Diperbolehkan dalam I’tikaf
Keluar dari tempat I’tikaf untuk satu keperluan
yang mendesak.
Memperindah rambut dan menyisirnya.
Berwudlu dan semisalnya di masjid.
Telah diriwayatkan dari seorang shahabat, bahwa dia
berkata :
حفظت لك ان رسول الله صلى الله عليه
وسلم توضأ في المسجد
“Aku menghafal buatmu, bahwa sesungguhnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berwudlu di masjid” (HR. Ahmad
5/364 dengan sanad shahih).
Membuat tenda kecil atau yang serupa dengannya
di belakang masjid untuk i’tikaf.
‘Aisyah telah membuat khuba’ [15]
buat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam i'tikaf [16] dan
hal itu dengan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam [17].
Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah satu kali beri’tikaf
di dalam Qubbah Tarkiyyah [18] sedang di atas suddah [19]-nya
ada tikaf [20].
Shalat Tarawih Banyak diantara kaum muslimin yang masih belum paham tentang peristilahan : Shalat Lail, Shalat Tahajjud, dan Shalat Tarawih. Shalat Lail adalah shalat sunnah yang dilakukan pada waktu malam hari setelah shalat ‘isya’ sampai dengan sebelum fajar shadiq muncul. Adapun Shalat Tahajjud adalah Shalat Lail yang didahului dengan tidur malam. Dan shalat Tarawih adalah Shalat Lail yang dilakukan pada bulan Ramadlan.
1. Disyari’atkannya
Shalat Tarawih dengan Berjama’ah
Shalat tarawih disyari’atkan dengan berjama’ah
berdasarkan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج
من جوف الليل فصلى في المسجد فصلى رجال بصلاته فأصبح الناس يتحدثون بذلك فاجتمع
أكثر منهم فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في الليلة الثانية فصلوا بصلاته
فأصبح الناس يذكرون ذلك فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج فصلوا بصلاته فلما
كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه
وسلم فطفق رجال منهم يقولون الصلاة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم
حتى خرج لصلاة الفجر فلما قضى الفجر أقبل على الناس ثم تشهد فقال أما بعد فإنه لم
يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid. Lalu
shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya.
Maka berkumpullah kebanyakan dari mereka. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam mengerjakan shalat di malam kedua, mereka pun shalat bersama beliau.
Di pagi hari berikutnya, orang-orang memperbincangkannya kembali. Di malam
ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid bertambah banyak. Lalu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar dan melaksanakan shalatnya. Pada malam
keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jama’ahnya, dan beliau tidak keluar
melaksanakan shalat malam sebagaimana sebelumnya kecuali beliau hanya
melaksanakan shalat shubuh. Ketika telah selesai melaksanakan shalat Shubuh,
beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat, dan
bersabda : Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di
malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi
aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian
tidak sanggup melakukannya”. (HR.Al-Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761).
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
wafat dan syari’at telah mantap, maka hilanglah kekhawatiran. Disyari’atkannya
shalat tarawih berjama’ah tetap ada meski telah hilang illat
(sebab)-nya. Kemudian Khalifah Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu
menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah kembali, sebagaimana hadits
Abdurrahman bin ‘Abdil-Qari (HR. Al-Bukhari no. 2010 dan Abdurrazzaq no. 7723).
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda ketika menekankan untuk berjama’ah ketika shalat tarawih :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب
له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih
bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan
shalat semalam suntuk” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5/226 no. 7777, Abu Dawud
no. 1375, At-Tirmidzi no. 806, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 1364,
dan lainnya; ini adalah lafadh Ibnu Abi Syaibah. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/379-380).
2. Jumlah
Raka’at Shalat Tarawih
Para
ulama berbeda pendapat mengenai jumlah raka’at tarawih. Namun selama
pendapat-pendapat tersebut dilandasi dengan dalil yang shahih, maka tetap dapat
dipakai dan diterima. Dan bahkan itu menunjukkan keluasan syari’at Islam.
Jumlah raka’at yang disebutkan melalui
hadits-hadits shahih adalah 13 raka’at, 11 raka’at dan 9 raka’at.
Diriwayatkan secara shahih dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya beliau
tidak pernah melakukan shalat lail/tahajjud/tarawih melebihi 11 raka’at, yaitu
dengan perkataannya :
ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة......
“Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam melebihkan (jumlah raka’at) pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada
selain bulan Ramadlan dari 11 raka’at” (HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim
no. 736).
Adapun riwayat yang menyebutkan 13 raka’at (Muslim
no. 737; Ahmad 1/324; Abu Dawud no. 1338; dan At-Tirmidzi no. 442) tidak
bertentangan dengan hadits ‘Aisyah di atas. Sebab, 13 raka’at tersebut dihitung
termasuk 2 raka’at ringan dari shalat rawatib ba’diyyah ‘isya’. Untuk
pembahasan selengkapnya, silakan merujuk pada kitab Qiyaamu Ramadlan
oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Adapun pendapat yang menyebutkan jumlah raka’at
shalat tarawih adalah 23 raka’at adalah pendapat yang lemah (dla’if)
berdasarkan penelitian dari para pakar ahli hadits.
Diantara hadits yang dijadikan hujjah diantaranya
adalah :
Dari Yazid bin Ruman beliau berkata :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن
الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan
Ramadlan pada masa ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu 23 raka’at”
(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 282).
Sanad hadits ini terputus (munqathi’)
antara Ibnu Ruman dan ’Umar. Imam Al-Baihaqi berkata dalam Al-Kubraa : “Yazid
bin Ruman tidak menemui masa Umar” (Nashbur-Rayah 2/154). Kesimpulannya : hadits
ini lemah (dla’if).
Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam
dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي
في رمضان عشرين ركعة
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam shalat di bulan Ramadlan 20 raka’at dan witir” (HR. Thabarani
dalam Mu’jamul-Ausath no. 802 dan dalam Al-Mu’jamul-Kabiir
3/148/2 no. 11934).
Imam Ath-Thabarani rahimahullah berkata : “Tidak
ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja” (Al-Mu’jamul-Ausath
1/244). Dalam kitab Nashbur-Rayah (2/153) dijelaskan : “Abu Syaibah
Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah
menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau
bertanya pada ‘Aisyah : Bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadlan?. Syaikh
Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini palsu (maudlu’).
(lihat Adl-Dla’iifah 2/35 no. 560 dan Irwaaul-Ghalil 2/191
no. 445).
Dari Dawud bin Qais dan yang lainnya, dari Muhammad
bin Yusuf, dari As-Sa’ib bin Yazid ia berkata :
أن عمر جمع الناس في رمضان على أبي بن
كعب وعلى تميم الداري على إحدى وعشرين ركعة يقرؤون بالمئين وينصرفون عند فروع
الفجر
“Umar radliyallaahu ‘anhu mengumpulkan
orang-orang di bulan Ramadlan (untuk melaksanakan shalat tarawih) yang diimami
oleh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari dengan 21 raka’at. Mereka membaca
(surat-surat) Al-Mi’iin (= surat
yang berjumlah lebih dari 100 ayat) dan pulang di ambang fajar”
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7730).
Dhahir sanad ini adalah shahih. Namun terdapat ‘illat,
yaitu penyelisihan rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dimana
riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat (yaitu riwayat Imam Malik dari
Muhammad bin Yusuf, dari As-Saain bin Yazid) menyebutkan :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما
الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة
“Umar bin Al-Khaththab memerintahkan Ubay bin
Ka’b dan Tamiim Ad-Daari untuk mengimami manusia (melaksanakan shalat tarawih)
dengan 11 raka’at” (HR. Malik 1/478 no. 271).
Walhasil, hadits ini pun berderajat lemah
(dla'if) lagi syadz.[21]
==>Apabila kaum muslimin tetap
bersikeras melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at (walaupun pendapat ini
adalah lemah), maka mereka tetap harus mengerjakannya secara thuma’ninah.
Karena tidak jarang mereka yang melakukan 23 raka’at, shalat tarawih dilakukan
dengan sangat cepat dan tidak thuma’ninah. Dan bahkan ada diantara mereka yang
membaca Al-Fatihah dengan satu nafas. Padahal Allah telah memerintahkan dalam
membaca Al-Qur’an : وَرَتّلِ
الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً (= dan bacalah Al-Qur’an itu secara
perlahan-lahan/tartil – QS. Al-Muzammil : 4). Diantara mereka juga ada
yang melakukan rukuk dan sujud seperti patukan ayam (karena cepatnya – tidak
thuma’ninah), padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
لا تجزئ صلاة الرجل حتى يقيم ظهره في
الركوع والسجود
“Tidak sah shalat seseorang hingga ia
menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu Dawud
no. 855, An-Nasa’i no. 1027, At-Tirmidzi no. 265, dan Ibnu Majah no. 870; ini
adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 1/241).
رأى رجلاً لا يتم ركوعه، وينقر في
سجوده وهو يصلي، فقال: لو مات هذا على حاله هذه؛ مات على غير ملة محمد؛ [ينقر
صلاته كما ينقر الغراب الدم]، مثل الذي لا يتم ركوعه وينقر في سجوده؛ مثل الجائع
الذي يأكل التمرة والتمرتين لا يغنيان عنه شيئاً
“Beliau melihat seorang laki-laki yang tidak
menyempurnakan ruku’-nya dan mematuk di dalam sujudnya ketika shalat. Kemudian
beliau bersabda,”Sekiranya orang ini mati dalam keadaan seperti ini, niscaya ia
mati bukan pada millah (agama) Muhammad [karena ia mematuk dalam shalatnya
sebagaimana burung gagak mematuk darah]. Perumpamaan orang yang tidak
menyempurnakan ruku’nya dan mematuk di dalam sujudnya seperti orang yang lapar
makan satu buah kurma dan dua buah kurma yang tidak memberikan manfaat apa-apa
baginya” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad 340/1, 349/1; dan
Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 1/192/1 dengan sanad hasan. Lihat Ashlu
Shifati Shalatin-Nabiyy oleh Syaikh Al-Albani halaman 642).
Maka selayaknyalah kaum muslimin tetap melaksanakan
dengan khusyu’, thuma’ninah, dan sesuai dengan contoh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam.
3. Bentuk-Bentuk
Shalat Tarawih dan Witir dalam Riwayat yang Shahih
Tiga belas raka’at, dua raka’at-dua raka’at yang
diawali dengan dua raka’at ringan.
عن زيد بن خالد الجهني أنه قال لأرمقن
صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم الليلة فصلى ركعتين خفيفتين ثم صلى ركعتين
طويلتين طويلتين طويلتين ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما
دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون
اللتين قبلهما ثم أوتر فذلك ثلاث عشرة ركعة
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani ia berkata : “Aku
akan mempraktekkan shalat malam Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Beliau shalat dua raka’at ringan, lalu shalat dua raka’at yang sangat lama, demikian
pula dua raka’at berikutnya dan sesudahnya. Lalu shalat dua raka’at tetapi
lebih pendek dari sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari
sebelumnya, kemudian shalat witir (tiga raka’at). Maka jumlahnya tiga belas
raka’at (HR. Muslim no. 1284).
Tiga belas raka’at, delapan raka’at dilakukan
dua-dua, lalu witir lima
raka’at dengan duduk tasyahud di raka’at terakhir.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان
يرقد فإذا استيقظ تسوك ثم توضأ ثم صلى ثمان ركعات يجلس في كل ركعتين فيسلم ثم يوتر
بخمس ركعات لا يجلس الا في الخامسة ولا يسلم الا في الخامسة
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam biasa tidur malam, apabila bangun beliau bersiwak lalu berwudlu
kemudian melakukan shalat delapan raka’at, salam setiap dua raka’at. Setelah
itu beliau berwitir lima
raka’at dengan duduk tasyahud dan salam pada raka’at yang kelima.” (HR.
Muslim no. 737 dan Ahmad 6/123).
Sebelas raka’at, salam setiap dua raka’at, dan
witir satu raka’at.
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه
وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فيما بين أن يفرغ من صلاة العشاء
وهي التي يدعو الناس العتمة إلى الفجر إحدى عشرة ركعة يسلم بين كل ركعتين ويوتر
بواحدة فإذا سكت المؤذن من صلاة الفجر وتبين له الفجر وجاءه المؤذن قام فركع
ركعتين خفيفتين ثم اضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للإقامة
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam ia berkata : “Biasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
melakukan shalat setelah isya’ – yang oleh orang-orang dinamakan dengan shalat
‘atamah – sampai menjelang fajar sebanyak sebelas raka’at, salam pada setiap
dua raka’at dan witir satu raka’at. Apabila mu’adzin telah mengumandangkan
adzan fajar, dan fajar telah nampak jelas dan muadzinpun telah hadir, maka
beliau shalat dua raka’at ringan (yaitu shalat sunnah fajar) kemudian berbaring
di sisi badan yang kanan sehingga muadzin datang mengumandangkan iqamat”
(HR. Muslim no. 736).
Sebelas raka’at, empat raka’at-empat raka’at
lalu witir tiga raka’at.
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل
عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول الله
صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا
تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا
Dari Abu Salamah bin Abdirrahman bertanya kepada
‘Aisyah : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan
Ramadlan ?”. Aisyah menjawab : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya lebih dari
sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, kamu jangan menanyakan bagus dan
panjangnya. Setelah itu shalat empat raka’at dan kamu jangan menanyakan bagus
dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at [22]”
(HR. Al-Bukhari no. 2013 dan Muslim no. 738; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Sebelas raka’at, delapan raka’at dengan
tasyahud, tetapi tidak salam, kemudian bangkit satu raka’at dan salam (berarti
sembilan raka’at). Kemudian shalat dua raka’at dan salam.
قلت يا أم المؤمنين أنبئيني عن وتر
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت كنا نعد له سواكه وطهوره فيبعثه الله ما شاء
أن يبعثه من الليل فيتسوك ويتوضأ ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة
فيذكر الله ويحمده ويدعوه ثم ينهض ولا يسلم ثم يقوم فيصلي التاسعة ثم يقعد فيذكر
الله ويحمده ويدعوه ثم يسلم تسليما يسمعنا ثم يصلي ركعتين بعدما يسلم وهو قاعد
فتلك إحدى عشرة ركعة يا بني
Dari Sa’d bin Hisyam bin ‘Amir, ia berkata : “Wahai
Ummul-Mukminin, kabarkan kepadaku tentang shalat witir Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam”. ‘Aisyah menjawab : “Kamilah yang mempersiapkan siwak dan
air wudlu beliau. Bila Allah membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki di
malam hari, beliau bersiwak dan berwudlu lantas shalat sembilan raka’at tidak
duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir, memuji
Allah, dan berdoa, kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan raka’at
kesembilan. Kemudian beliau duduk, berdzikir, memuji Allah, dan berdoa,
kemudian salam dengan satu salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau
shalat dua raka’at sambil duduk. Jadi jumlahnya sebelas raka’at wahai anakku.
Ketika beliau telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua
raka’at setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan wahai
anakku” (HR. Muslim no. 746).
Sembilan raka’at, diantaranya enam raka’at,
duduk tasyahud pada raka’at keenam namun tidak salam, kemudian bangkit satu
raka’at dan salam (berarti tujuh raka’at). Kemudian shalat dua raka’at dengan
duduk.
Dasarnya adalah hadits yang telah disebut
sebelumnya (HR. Muslim no. 746).
4. Disunnahkan
Membaca Qunut dalam Shalat Witir [23]
Doa qunut yang dibaca dalam shalat witir adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hasan bin ‘Ali : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku beberapa kata yang selalu kuucapkan pada
waktu witir :
اللّهُـمَّ اهْـدِنـِيْ فِـيْمَنْ
هَـدَيْـت، وَعَـافِنـِيْ فِـيْمَنْ عَافَـيْت، وَتَوَلَّـنِيْ فِـيْمَنْ
تَوَلَّـيْت ، وَبَارِكْ لـِيْ فِـيْمَا أَعْطَـيْت، وَقِـنِيْ شَرَّ مَا
قَضَـيْت، فَإِنَّـكَ تَقْـضِيْ وَلا يُقْـضَى عَلَـيْك ، إِنَّـهُ لا يَـذِلُّ
مَنْ والَـيْت، [ وَلا يَعِـزُّ مَن عَـادَيْت ]، تَبَـارَكْـتَ رَبَّـنَا
وَتَعَـالَـيْت
[Alloohummah-dinii fiiman hadait, wa’aafinii fiiman
‘aafait, watawallanii fiiman tawallait, wabaariklii fiimaa a’thoit, waqinii
syarro maa qodloit. Fa-innaka taqdlii walaa yuqdloo ‘alaik, innahu laa yadzillu
man waalait, walaa ya’izzu man ‘aadait, tabaarokta robbanaa wata’aalait]
“Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana
orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit
dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi,
sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berikanlah berkah
terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari
kejelekan apa yang telah Engkau telah taqdirkan. Sesungguhnya Engkau yang
menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu.
Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan mulia
orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami yang Maha Tinggi”
(HR. Abu Dawud no. 1425, At-Tirmidzi no. 464, Ibnu Majah no. 1178, An-Nasa’i
dalam Al-Kubraa no. 1446, dan Ahmad no. 1/200, dan Al-Baihaqi no.
4637; shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 2/172).
Bisa ditambahkan shalawat di akhir doa qunut (lihat
Irwaaul-Ghalil 2/175 no. 430).
Doa qunut bisa dilakukan sebelum atau setelah
rukuk. Keduanya telah ada contohnya dalam Sunnah.
عن أبي بن كعب أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قنت يعني في الوتر قبل الركوع
Dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu : "Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut dalam shalat witir
sebelum rukuk” (HR. Abu Dawud no. 1427; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/268 dan Irwaaul-Ghalil 2/167).
عن أبي عبد الرحمن السلمي أن عليا رضى
الله تعالى عنه كان يقنت في الوتر بعد الركوع
Dari Abu ‘Abdirrahman As-Sulamy : Bahwasannya
‘Ali radliyallaahu ‘anhu melakukan qunut pada shalat witir setelah rukuk
(HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 4638).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia menceritakan
qunut nazilah yang dibaca Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
عن أنس بن مالك قنت رسول الله صلى
الله عليه وسلم شهرا بعد الركوع في صلاة الصبح يدعو على رعل وذكوان
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu : "Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berqunut selama satu bulan
(yaitu qunut nazilah) setelah rukuk dalam shalat shubuh mendoakan kecelakaan
atas Bani Ri’l, Dzakwan…..” (HR. Muslim no. 677).
==> Mengangkat Tangan dan
Mengucapkan Amien (Bagi Makmum)
Dasarnya adalah keumuman hadits Salman Al-Farisi
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن ربكم تبارك وتعالى حيي كريم يستحي
من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفرا
“Sesungguhnya Rabbmu Tabaraka wa Ta’ala adalah
Yang Maha Pemalu dan Maha Pemurah. Dia merasa malu terhadap hamba-Nya apabila
ia mengangkat kedua tangannya berdoa kepada-Nya, lalu kembali dengan tangan
hampa” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, dan Ibnu Majah no.
3865; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 1/409).
عن أبي رافع قال صليت خلف عمر بن
الخطاب رضى الله تعالى عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء
Dari Abu Rafi’ bahwa ia menceritakan : “Aku
pernah shalat di belakang ‘Umar bin Khaththab, beliau berqunut setelah rukuk
dan mengangkat kedua tangannya sambil menjahrkan (mengeraskan) doa”
(Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 2698; beliau
menyatakan : “Ini adalah riwayat dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu sanadnya
shahih).
قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم
شهرا متتابعا في الظهر والعصر والمغرب والعشاء وصلاة الصبح في دبر كل صلاة إذا قال
سمع الله لمن حمده من الركعة الآخرة يدعو على أحياء من بني سليم على رعل وذكوان
وعصية ويؤمن من خلفه
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah qunut (nazilah) pada waktu shalat Dhuhur, ‘Asar, Maghrib, ‘Isya’, dan
Shubuh di akhir shalat; dan ketika mengucapkan Sami’alloohu liman hamidah pada
raka’at terakhir, beliau mendoakan kecelakaan atas Bani Sulaim, yaitu suku
Ri’l, Dzakwaan, dan Ushayyah. Sementara orang-orang di belakang beliau
mengaminkannya” (HR. Abu Dawud no. 1443 dan dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/397).
Doa di Akhir Shalat Witir
Yaitu berdoa sebelum atau sesudah salam pada shalat
witir. Telah shahih dari ‘Ali bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa
mengucapkan di akhir witirnya :
اللّهُـمَّ إِنِّـيْ أَعُـوْذُ
بِرِضَـاكَ مِنْ سَخَطِـك، وَبِمُعَـافَاتِـكَ مِنْ عُقُوْبَـتِك، وَأَعُـوْذُ
بِكَ مِنْـكَ، لا أُحْصِـيْ ثَنـَاءً عَلَـيْك، أَنْـتَ كَمَـا أَثْنَـيْتَ عَلَـى
نَفْسـِك
[Alloohumma innii a’uudzu biridlooka min sakhothik,
wabimu’aafaatika min ‘uquubatik, wa-a’uudzubika minka, laa uhshii tsanaa-an
‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik]
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan
keridlaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku
berlindung kepada-Mu dari diri-Mu. Tidak dapat kuhitung pujian kepada diri-Mu,
sebagaimana yang dapat Engkau lakukan terhadap diri-Mu sendiri” (HR. Abu
Dawud no. 1427, At-Tirmidzi no. 3566, Ibnu Majah no. 1179, dan lainnya.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/393
dan Irwaaul-Ghalil 2/175 no. 430).
سُـبْحانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوس
سُـبْحانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوس سُـبْحانَ اْلمَلِكِ القُدُّوس [رَبِّ
اْلمَلائِكَةِ وَالرُّوْح]
[Subhaanal-Malikil-Qudduus,
Subhaanal-Malikil-Qudduus, Subhaanal-Malikil-Qudduus, Rabbil-Malaaikati
war-Ruuh]
“Maha Suci Allah Raja Yang Suci, Maha Suci
Allah Raja Yang Suci, Maha Suci Allah Raja Yang Suci” (Nabi mengangkat
suara dan memanjangkannya pada saat yang ketiga) Rabbnya para malaikat dan
ruh” (HR. Abu Dawud no. 1430, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no.
446-447, Ahmad 3/406, dan Ad-Daruquthni 2/354 no. 1659 Bab Maa Yuqra-u fii
Raka’aatil-Witr wal-Qunuut Fiih. Adapun kalimat dalam tanda kurung
merupakan tambahannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Abi Dawud 1/393).
Bolehkah Witir Dua Kali dalam Satu Malam ?
Mengerjakan witir dua kali dalam satu malam
hukumnya adalah makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا وتران في ليلة
“Tidak ada witir dalam satu malam” (HR.
Abu Dawud no. 1439, At-Tirmidzi no. 470, dan An-Nasa’i dalam Al-Kubraa
no. 1392, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Abani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 1/396).
Shalat witir bisa dilakukan sebelum atau sesudah
tidur. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من خاف أن لا يقوم من آخر الليل
فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل فإن صلاة آخر الليل مشهودة
وذلك أفضل
“Barangsiapa yang merasa khawatir tidak bisa
bangun pada akhir malam, maka hendaklah ia shalat witir pada awalnya (yaitu
sebelum tidur). Dan barangsiapa yang mampu bangun di akhir malam, maka
hendaklah ia shalat di waktu tersebut. Sesungguhnya shalat di akhir waktu malam
disaksikan (oleh para malaikat). Dan itulah yang lebih utama” (HR. Muslim
no. 755).
5. Bilamana
Kaum Wanita Shalat Berjama’ah di Masjid ?
Pada Asalnya, Kaum Wanita Tidak Terlarang
Melaksanakan Shalat di Masjid
Hal ini sesuai dengan keumuman ayat :
إِنّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ
مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ وَأَقَامَ الصّلاَةَ وَآتَىَ الزّكَاةَ
وَلَمْ يَخْشَ إِلاّ اللّهَ فَعَسَىَ أُوْلَـَئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ
الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah
ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta mereka
tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun)
selain Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS.
At-Taubah : 17-18).
عن بن عمر قال كانت امرأة لعمر تشهد
صلاة الصبح والعشاء في الجماعة في المسجد فقيل لها لم تخرجين وقد تعلمين أن عمر
يكره ذلك ويغار قالت وما يمنعه أن ينهاني قال يمنعه قول رسول الله صلى الله عليه
وسلم لا تمنعوا إماء الله مساجد الله
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
“Salah seorang istri ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu biasa
menghadiri shalat ‘isya’ dan shubuh berjama’ah di masjid. Ada yang berkata kepadanya : ‘Mengapa Anda
keluar, bukankah Anda tahu bahwa ‘Umar tidak menyukai hal ini dan pencemburu
?’. Ia menjawab : ‘Apa yang menghalanginya untuk melarangku adalah sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah kalian melarang kaum wanita
pergi ke masjid” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442; ini adalah
lafadh Al-Bukhari).
Rumah Lebih Afdlal bagi Kaum Wanita daripada
Masjid untuk Melaksanakan Shalat
عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah kalian
melarang wanita-wanitamu pergi ke masjid; akan tetapi shalat di rumah adalah
lebih baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683,
Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih lighairihi sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/169 dan Syaikh
Musthafa Al-‘Adawi dalam Jami’ li-Ahkaamin-Nisaa’ 1/293).
Keluarnya Wanita ke Masjid untuk Shalat
Setidaknya Memenuhi Beberapa Syarat Berikut:
Tidak Memakai Wangi-Wangian
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال لا تمنعوا إماء الله مساجد الله ولكن ليخرجن وهن تفلات
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah
kalian melarang kaum wanita ke masjid, dan hendaklah mereka keluar tanpa
memakai wangi-wangian” (HR. Abu Dawud no. 565; Ahmad 2/438,475; Ibnu
Khuzaimah no. 1679, dan lain-lain; hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi
Dawud 1/169).
Tidak Menimbulkan Fitnah
عن يحيى وهو بن سعيد عن عمرة بنت عبد
الرحمن أنها سمعت عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم تقول لو أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم رأى ما أحدث النساء لمنعهن المسجد كما منعت نساء بني إسرائيل قال
فقلت لعمرة أنساء بني إسرائيل منعهن المسجد قالت نعم
Dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Amrah binti
‘Abdirrahman, bahwasannya ia telah mendengar ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ”Sekiranya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang dilakukan kaum wanita sekarang,
tentu beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum
wanita Bani Israil”. Aku berkata kepada ‘Amrah : “Apakah wanita Bani
Israil dilarang pergi ke tempat ibadah mereka ?”. Ia menjawab : “Benar” (HR.
Bukhari no. 869 dan Muslim no. 445; ini adalah lafadh Muslim).
Catatan kaki :[1] Perlu diketahui bahwa orang yang sakit dalam pembahasan ini terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
a) Sakit ringan yang tidak bertambah parah apabila dijalani sambil berpuasa dan tidak akan lebih baik jika orang tersebut berbuka; seperti flu ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi, dan yang semisalnya. Maka dalam hal ini tidak boleh untuk meninggalkan berpuasa.
b) Sakit yang bertambah para dan kesembuhannya akan terhambat bila menjalani puasa. Hanya saja belum sampai tingkat yang membahayakan (jiwanya). Maka dalam hal ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan makruh jika ia tetap melaksanakan puasa.
c) Sakit yang terlalu berat apabila dijalani sambil berpuasa dan sangat membahayakn hingga dapat berpotensi membawa kematian. Dalam kondisi seperti ini, maka diharamkan untuk berpuasa secara asal, karena Allah ta’ala telah berfirman : {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ} ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (QS. An-Nisaa’ : 29).
[2] Adapun Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i mendla’ifkan hadits ini dalam At-Tattabu’ hal. 583.
[3] Sebagian ulama mengatakan ia wajib mengeluarkan setengah sha’ gandum bagi seorang miskin per hari sesuai dengan jumlah hari yang ia berbuka. Sebagian yang lain mengatakan satu mud gandum. Sebagian lain mengatakan setengah sha’ gandum, kurma, atau kismis (yang merupakan bahan makanan pokok sehari-hari). Sebagian lain mengatakan apa saja dari jenis makanan yang dapat membuatnya kenyang pada hari ia tidak berpuasa (tanpa menentukan takaran tertentu). Sebagian lain mengatakan seukuran makan pagi dan makan malam. (Jami’ul-Bayaan ’an Ta’wiilil-Qur’an 2/83 oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari).
[4] Dikeluarkan oleh As-Siraaj dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Al-Mikhladiy (2/99); Ad-Daruquthni (243), dan Al-Baihaqi (4/259) – dinukil melalui perantaraan Irwaaul-Ghalil (4/95). Silakan lihat takhrij beserta penjelasan akan kelemahannya dalam kitab ini (4/95-97).
[5] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
من مات وعليه صيام، صام عنه وليه
”Barangsiapa yang meninggal dunia dan
mempunyai kewajiban puasa, maka ia dipuasakan oleh walinya” (HR. Al-Bukhari no. 1952). Jenis puasa yang disebutkan pada hadits di atas bersifat mutlak. Namun kemudian hadits tersebut ditaqyid oleh hadits lain bahwasannya yang dimaksud hanyalah puasa nadzar saja.
أن
سعد بن عبادة الأنصاري استفتى النبي صلى الله عليه وسلم في نذر كان على أمه فتوفيت
قبل أن تقضيه فأفتاه أن يقضيه عنها
“Bahwasannya Sa’id bin ‘Ubadah
radliyallaahu ‘anhu meminta fatwa kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengenai nadzar ibunya yang telah meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya
tersebut. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi fatwa agar Sa’id
melaksanakan nadzar tersebut atas nama ibunya” (HR. Al-Bukhari no. 6698).
عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم
شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya
ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelamatkan
ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian
menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia
meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya
untuk berpuasa untuknya” (HR. Abu Dawud no. 3308; shahih). Dari Umrah bahwa ibunya meninggal dunia dan ia punya tanggungan puasa Ramadlan. Ia berkata kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Apakah aku harus membayar puasanya?”. Aisyah menjawab :
لا بل تصدقي عنها مكان كل يوم نصف صاع على كل مسكين
”Tidak, tetapi keluarkanlah sedekah
sebagai ganti dari puasanya itu, yaitu setiap satu hari diganti dengan
memberikan setengah sha’ kepada orang miskin” (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitab Musykiilul-Aatsaar
3/142 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4 dengan sanad shahih –
dinukil melalui perantaraan Ahkaamul-Janaaiz karya Syaikh Al-Albani). Dan hal ini diperkuat oleh pemahaman Ibnu ‘Umar bahwasannya pada asalnya seseorang itu tidak boleh berpuasa atau shalat atas nama orang lain. Ia berkata :
لا يصوم أحد عن أحد، ولا يصلي أحد عن أحد
“Tidaklah seseorang berpuasa atas nama
orang lain dan tidaklah seseorang shalat atas nama orang lain” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 738;
shahih mauquf). [6] Adapun tambahan Kariim sesudah kalimat Alloohumma innaka ‘afuwun bukanlah tambahan yang berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
[7] Berbagai macam pendapat tentang hal ini saling berbeda dan cukup beragam. Imam Al-‘Iraqi mengarang sebuah risalah tersendiri yang berjudul Syarhush-Shadr bi Dzikri Lailatil-Qadr. Ia mengumpulkan di dalamnya pendapat para ulama dalam masalah ini.
[8] Seperti yang dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah.
[9] Maksudnya meninggalkan hubungan badan dengan istrinya untuk beribadah serta berusaha keras mencari Lailatul-Qadar.
[10] Lihat Tharhut Tatsrib (4/166) oleh Ibnul-‘Iraqi – dinukil melalui perantaraan I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf oleh Syaikh ’Ali Al-Halaby hal. 15; Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
[11] Lihat Al-Mufradat (343) oleh Ar-Raghib – idem.
[12] Lihat Syarhu Muslim (8/66) oleh Imam Nawawi – idem.
[13] Pemahamannya adalah bahwa waktu malam dalam hadits ’Umar tentu tidak menunjukkan bahwa waktu itu ia harus berpuasa, sebab makna puasa adalah menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar shadiq sampai tenggelamnya matahari.
[14] Beliau mencondongkan kepalanya dengan posisi badannya masih berada di masjid, untuk disisir ‘Aisyah yang berada di rumahnya. Sebagaimana diketahui bahwasannya rumah beliau dekat dengan masjid. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak keluar dari masjid kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak.
[15] Yaitu rumah kecil dari bulu domba (wol) yang ditegakkan di atas dua atau tiga tiang, sebagaimana yang dkatakan Ibnul-Atsir dalam An-Nihaayah (2/9) - dinukil melalui perantaraan I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf oleh Syaikh ’Ali Al-Halaby hal. 48; Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
[16] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 4/226 – idem.
[17] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1183 – idem.
[18] Yaitu sejenis qubah kecil – idem.
[19] Naungan yang diletakkan di atas pintu untuk menjaga diri dari hujan dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah meletakkannya agar hati orang yang i'tikaf tidak terganggu oleh orang yang lewat di depannya dan dapat memperoleh maksud (tujuan) i'tikaf. Lihat Risaalah Qiyaami Ramadlaan halaman 26 – idem.
[20] Dikeluarkan oleh Muslim no. 1167.
[21] Terdapat pembicaraan yang panjang mengenai hadits dalam bahasan ini. Sebagian ulama ada yang menshahihkannya seperti An-Nawawi, Az-Zaila’i, Al-’Aini, Ibnul-’Iraqi, As-Subki, dan Ibnu Baaz rahimahumullah. Mereka menshahihkan riwayat ini karena dhahir sanad menyatakan demikian. Adapun ’illat yang dikatakan oleh sebagian ulama yang kontra dengan mereka adalah diabaikan karena jalan-jalan tersebut pada hakekatnya bisa dilakukan pen-jamak-an. Pemahaman yang dihasilkan oleh para ulama di kelompok ini adalah bahwasannya ’Umar memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia, kadang dengan 21 raka’at, kadang 11 raka’at. Namun hal ini tidak bisa diterima, karena dhahir matan hadits pada hakekatnya adalah satu. Oleh karena itu, jalan tarjih lah yang semestinya ditempuh. Perawi yang meriwayatkan dengan 11 raka’at lebih kuat daripada perawi yang meriwayatkan dengan 21 raka’at. Dan tentu kita mafhum bahwasannya sosok ’Umar bin Khaththab adalah orang yang sangat bersemangat mencontoh sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Tidaklah ia memerintahkan sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Dan contoh yang ada pada diri beliau adalah bahwasannya shalat tarawih dilakukan tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at sebagaimana telah disebutkan haditsnya. Wallaahu a’lam.
[22] Kaifiyat pelaksanaan shalat witir tiga raka’at ini bisa dua macam. Pertama, dilakukan tiga raka’at sekaligus dengan duduk tasyahud dan salam di raka’at ketiga, Kedua, dilakukan dua raka’at salam, dan satu raka’at salam; sesuai dengan keumuman kaifiyat shalat malam : صلاة الليل مثنى مثنى “Shalat malam itu dilaksanakan dua raka’at-dua raka’at” (HR. Muslim no. 749).
[23] Kami masukkan bahasan shalat witir bersama shalat tarawih karena kami menguatkan pendapat bahwasannya shalat witir tersebut merupakan keumuman dari shalat malam. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ – sebagaimana dinukil oleh Abu Malik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah (1/381) – menukil khilaf ulama dalam pendefinisian ini. Sebagian ulama memasukkan shalat witir dalam keumuman shalat malam, sedangkan ulama lain mengatakan bahwa shalat witir ini merupakan shalat tersendiri yang bukan merupakan bagian dari shalat malam.
----bersambung insyaAllah------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar