Al-Imaam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ أَخْبَرَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى
بْنِ حَبَّانَ أَنَّ ابْنَ مُحَيْرِيزٍ الْقُرَشِيَّ ثُمَّ الْجُمَحِيَّ
أَخْبَرَهُ وَكَانَ بِالشَّامِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ مُعَاوِيَةَ فَأَخْبَرَهُ
أَنَّ الْمُخْدَجِيَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي كِنَانَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَجُلًا مِنْ
الْأَنْصَارِ كَانَ بِالشَّامِ يُكْنَى أَبَا مُحَمَّدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ
الْوَتْرَ وَاجِبٌ فَذَكَرَ الْمُخْدَجِيُّ أَنَّهُ رَاحَ إِلَى عُبَادَةَ بْنِ
الصَّامِتِ فَذَكَرَ لَهُ أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ يَقُولُ الْوَتْرُ وَاجِبٌ
فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ
مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ
بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ
غَفَرَ لَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Yaziid[1] : Telah mengkhabarkan kepada
kami Yahyaa – yaitu Ibnu Sa’iid[2] - , dari Muhamad bin Yahyaa
bin Habbaan[3]
: Bahwasannya Ibnu Muhairiiz Al-Qurasyiy Al-Jumahiy[4] telah mengkhabarkannya saat
berada di Syam – dan ia telah bertemu dengan Mu’aawiyyah - , lalu ia (Ibnu
Muhairiiz) mengkhabarkannya bahwa Al-Mukhdajiy[5] – seorang laki-laki dari Bani
Kinaanah – telah mengkhabarkannya : Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar
di Syaam yang ber-kun-yah – Abu Muhammad[6] telah mengkhabarkannya bahwa
shalat witir hukumnya wajib. Al-Mukhdajiy menyebutkan dirinya pergi menemui
‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, lalu ia menyebutkan kepadanya bahwa Abu Muhammad
telah berkata shalat witir itu hukumnya wajib. ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata
: “Abu Muhammad telah berdusta. Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Ada lima
waktu shalat yang diwajibkan Allah tabaraka wa ta’ala atas hamba-hamba-Nya.
Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikitpun dan tanpa
meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah tabaraka wa
ta’ala yang akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak
mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila
berkehendak, Allah akan mengadzabnya. Dan apabila berkehendak, Allah akan
mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 5/315-316].
Takhrij :
Diriwayatkan juga
oleh Ibnu Abi Syaibah (2/296 & 14/235-236) dan dalam Al-Musnad (2/96),
Ad-Daarimiy (no. 1618), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (no.
1029), dan Asy-Syaasyiy dalam Al-Musnad (no. 1281); dari jalan Yaziid
bin Haaruun, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga
oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ (no. 290), ‘Abdurrazzaaq (3/5-6 no.
4575), Al-Humaidiy (no. 392), Abu Daawud (no. 1420), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu
Qadrish-Shalaah (no. 1030), An-Nasaa’iy (1/230), Ath-Thahaawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar (8/193-195 no. 3167-3168), Asy-Syaasyiy (no. 1284 &
1286), Ath-Thabaraaniy dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin (no. 2181-2183),
Ibnu Hibbaan (no. 1732), Al-Baihaqiy (1/361 & 2/8, 467 & 10/217),
Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (4/103-104 no. 977), Ibnu ‘Asaakir
dalam At-Taariikh (7/65 & 71/132), dan Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam
Al-Mukhtarah (8/364-365 no. 447-449); semuanya dari jalan Yahyaa bin
Sa’iid Al-Anshaariy, selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga
oleh Al-Humaidiy (no. 392), Ath-Thabaraaniy dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin
(3/246-249 no. 2182-2187), Ibnu Maajah (no. 1401), Ibnu Hibbaan (no. 1731 &
2417), Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar (no. 3169 &
3171), Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (1/468 no. 967), Asy-Syaasyiy
(no. 1282-1283 & 1287); dari beberapa jalan (Muhammad bin ‘Ajlaan,
‘Abdur-Rabbihi bin Sa’iid, Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah, Naafi’ bin Abi
Nu’aim, ‘Amru bin Yahyaa Al-Maaziniy, Sa’d bin Sa’iid, Muhammad bin Ibraahiim,
dan ‘Uqail bin Khaalid), semuanya dari Muhammad bin Yahyaa bin Habbaan,
selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini dla’iif
karena Al-Mukhdajiy seorang yang majhuul.
Akan tetapi
Al-Mukhdajiy mempunyai mutaba’ah dari :
1.
Abu
Idriis Al-Khaulaaniy.
Abu Daawud
Ath-Thayaalisiy rahimahullah berkata :
حدثنا
زمعة عن الزهري عن أبي إدريس الخولاني قال كنت في مجلس من أصحاب النبي صلى الله
عليه وسلم فيهم عبادة بن الصامت فذكروا الوتر فقال بعضهم واجب وقال بعضهم سنة فقال
عبادة بن الصامت أما أنا فأشهد أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول أتاني
جبرائيل صلى الله عليه وسلم من عند الله تبارك وتعالى فقال يا محمد إن الله عز وجل
قال لك إني قد فرضت على أمتك خمس صلوات من وافى على وضوئهن ومواقيتهن وركوعهن
وسجودهن فإن له عندي بهن عهدا أن أدخله بهن الجنة ومن لقيني قد انتقص من ذلك شيئا
أو كلمة شبهها فليس له عندي عهدا إن شئت عذبته وإن شئت رحمته
Telah
menceritakan kepada kami Za’mah[7], dari Az-Zuhriy[8],
dari Abu Idriis Al-Khaulaaniy[9], ia berkata : Aku pernah
berada di majelis para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dimana ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit ada di antara mereka. Mereka memperbincangkan
tentang shalat witir. Sebagian di antara mereka mengatakan hukumnya wajib, dan
sebagian yang lain sunnah. ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : Adapun aku, maka
aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Jibriil shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dari sisi Allah
tabaaraka wa ta’aalaa, lalu ia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allh
‘azza wa jalla telah berfirman kepadamu : ‘Sesungguhnya Aku telah mewajibkan
bagi umatmu lima
waktu shalat. Barangsiapa memenuhi wudlunya, waktunya, rukuknya, dan sujudnya,
maka ada perjanjian baginya di sisi-Ku dengan hal tersebut untuk dimasukkan ke
dalam surga. Dan barangsiapa yang menemui-Ku dengan mengurangi sesuatu dari hal
itu – atau kalimat yang semisalnya - , maka ia tidak mempunyai
perjanjian di sisi-Ku. Apabila mau, Aku akan mengadzabnya; dan bila mau, Aku
akan merahmatinya” [Al-Musnad no. 374 – tahqiq : At-Turkiy].
Diriwayatkan juga
oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/12-127) dari jalan Ath-Thayaalisiy.
Sanad hadits ini
lemah, karena kelemahan Zam’ah.
2.
‘Abdullah
Ash-Shunaabihiy
Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata :
حَدَّثَنَا
حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ
زَعَمَ أَبُو مُحَمَّدٍ أَنَّ الْوَتْرَ وَاجِبٌ فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ
الصَّامِتِ كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ أَشْهَدُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ
عَلَى عِبَادِهِ مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلَّاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ
فَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَسُجُودَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ
عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ
عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad[10] : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Mutharrif[11], dari Zaid bin Aslam[12],
dari ‘Athaa’ bin Yasaar[13], dari ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy[14], ia
berkata : Abu Muhammad mengatakan bahwa shalat witir hukumnya wajib. Lalu
'Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : “Abu Muhammad telah berdusta. Aku besaksi
bahwasannya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda : ‘Ada lima waktu shalat yang telah Allah wajibkan
atas para hamba-Nya. Barangsiapa yang memperbagus wudlunya dan shalat pada
waktunya, lalu menyempurnakan rukuknya, sujudnya, dan kekhusyu’annya, maka ia
memiliki perjanjian dengan Allah agar Dia mengampuninya. Dan barangsiapa yang
tidak melakukannya, maka ia tidak memiliki perjanjian di sisi Allah. Jika
berkehendak, Allah akan mengampuninya; dan jika berkehendak, Allah akan
mengadzabnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/317].
Diriwayatkan juga
oleh Abu Daawud (no. 425) Al-Baihaqiy (2/215 & 3/367), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah
(no. 978), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (5/56 no. 4658 & 9/12
no. 9315), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/130-131), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu
Qadrish-Shalaah (2/955-956 no. 1034), Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Ghailaaniyyaat
(hal. 284-285 no. 820), dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (23/291);
dari jalan Zaid bin Aslam, selanjutnya sama seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini
shahih, para perawinya tsiqaat.
3.
Al-Waliid
bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit.
Asy-Syaasyiy rahimahullah
berkata :
حدثنا
عباس الدوري نا أبو نعيم نا النعمان عن عبادة بن الوليد عن أبيه الوليد بن عبادة
بن الصامت عن عبادة قال : أشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم يقول
: افترض الله خمس صلوات على خلقه من أداهن كما افترض عليه لم ينتقص من حقهن شيئا
استخفافا به لقي الله وله عنده عهد، ومن انتقص من حقهن شيئا استخفافا لقي الله ولا
عهد له. إن شاء عذبه وإن شاء غفر له.
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abbaas Ad-Duuriy[15] : Telah mengkhabarkan kepada
kami Abu Nu’aim[16]
: Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nu’maan[17], dari ‘Ubaadah bin Al-Waliid[18],
dari ayahnya Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit[19],
dari ‘Ubaadah, ia berkata : Aku bersaksi bahwa sungguh aku telah mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda : ‘Allah
telah mewajibkan shalat lima
waktu atas makhluk-Nya. Barangsiapa yang menunaikannya sebagaimana yang telah
diwajibkan kepadanya tanpa mengurangi sedikitpun hak-haknya dengan
meremehkannya, ia akan bertemu Allah dengan mempunyai perjanjian di sisi-Nya
(untuk dimasukkan ke dalam surga). Dan barangsiapa yang mengurangi hak-haknya
dengan meremehkannya, ia akan bertemu Allah tanpa mempunyai perjanjian di
sisi-Nya. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya; dan jika berkehendak,
akan mengampuninya” [Musnad Asy-Syaasyiy, 3/117 no. 1177].
Diriwayatkan juga
olehnya 3/199 no. 1285 dan Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (hal.
969-970 no. 1053) dari jalan Abu Nu’aim, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini
lemah, karena An-Nu’maan majhuul.
4.
Al-Muthallib
bin ‘Abdillah bin Al-Muthallib.
Asy-Syaasyiy rahimahullah
berkata :
حدثنا
أبو بكر الصغاني نا يحيى بن أبي بكير حدثني يعقوب القاري عن عمرو عن المطلب عن
عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال : خمس صلوات كتبهن
الله عز وجل على العباد، فمن أتى بهن قد حفظ حقهن فأن له عند الله عهدا أن يدخله
الجنة ومن أتى بهن قد أضاع شيئا من حقهن استخفافا فإنه لم يكن له عند الله تعالى
عهد إن شاء عذبه وإن شاء رحمه.
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr Ash-Shaghaaniy[20] : Telah mengkhabarkan kepada
kami Yahya bin Abi Bukair[21] : Telah menceritakan
kepadaku Ya’quub Al-Qaariy[22], dari ‘Amru[23],
dari Al-Muthallib[24], dari ‘Ubaadah bin
Ash-Shaamit : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa
sallam bersabda : “Lima
waktu shalat telah Allah ‘azza wa jalla wajibkan atas para hamba. Barangsiapa
yang melaksanakannya dimana ia menjaga hak-haknya, maka ia mempunyai perjanjian
di sisi Allah untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barangsiapa melaksanakannya
dengan mengabaikan hak-haknya serta meremehkannya, maka ia tidak mempunyai
perjanjian disisi Allah ta’ala. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya,
dan apabila berkehendak, Allah akan merahmatinya” [Musnad Asy-Syaasyiy,
3/179-180 no. 1265].
Sanad hadits ini
lemah, karena keterputusan antara Al-Muthallib dengan ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit,
sebagaimana dikatakan Abu Haatim dalam Al-Maraasiil (hal. 209).
‘Ubaadah bin
Ash-Shaamit mempunyai syawaahid, antara lain :
1.
Abu
Qataadah.
Ibnu Maajah rahimahullah
berkata :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا ضُبَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي السُّلَيْكِ أَخْبَرَنِي دُوَيْدُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ
قَالَ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ إِنَّ أَبَا قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِيٍّ
أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ
عِنْدِي عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ
الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلَا عَهْدَ لَهُ عِنْدِي
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar
Al-Himshiy[25]
: Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin Al-Waliid[26]
: Telah menceritakan kepada kami Dlubaarah bin ‘Abdillah bin Abis-Sulaik[27]
: Telah mengkhabarkan kepadaku Duwaid bin Naafi’[28], dari Az-Zuhriy, ia berkata
: Telah berkata Sa’iid bin Al-Musayyib[29] : Bahwasannya Abu Qataadah
bin Rib'iy telah mengabarkan kepadanya : Bahwa Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda : "Allah azza wa jalla berfirman : ‘Aku
telah mewajibkan atas umatmu shalat lima waktu. Dan Aku telah menetapkan sebuah
perjanjian di sisi-Ku : Barangsiapa yang menjaganya sesuai waktunya, akan Aku
masukkan ia ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka tidak
ada perjanjian baginya di sisi-Ku" [As-Sunan, no. 1403].
Diriwayatkan juga
oleh Abu Daawud (no. 429) dari Abu Sa’iid Al-A’rabiy : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin ‘Abdil-Malik bin Yaziid Ar-Rawwaas – yang ber-kun-yah Abu
Usaamah - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud : Telah
mengkhabarkan kepada kami Haiwah bin Syuraih Al-Mishriy : Telah mengkhabarkan
kepada kami Baqiyyah, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini
lemah, karena Baqiyyah bin Al-Waliid dan Dlubaarah. Riwayat Baqiyyah dari
perawi dla’iif adalah dla’iif, sedangkan Dlubaarah majhuul.
2.
Ka’b
bin ‘Ujrah
Ahmad bin Hanbal rahimahulah
berkata :
حَدَّثَنَا
هَاشِمٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُسَيَّبِ الْبَجَلِيُّ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ
كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدِي ظُهُورِنَا إِلَى قِبْلَةِ مَسْجِدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةُ رَهْطٍ أَرْبَعَةٌ
مَوَالِينَا وَثَلَاثَةٌ مِنْ عَرَبِنَا إِذْ خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الظُّهْرِ حَتَّى انْتَهَى إِلَيْنَا
فَقَالَ مَا يُجْلِسُكُمْ هَاهُنَا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَنْتَظِرُ
الصَّلَاةَ قَالَ فَأَرَمَّ قَلِيلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ أَتَدْرُونَ
مَا يَقُولُ رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ
فَإِنَّ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ مَنْ صَلَّى الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا
وَحَافَظَ عَلَيْهَا وَلَمْ يُضَيِّعْهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا فَلَهُ عَلَيَّ
عَهْدٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ لِوَقْتِهَا وَلَمْ
يُحَافِظْ عَلَيْهَا وَضَيَّعَهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا فَلَا عَهْدَ لَهُ
إِنْ شِئْتُ عَذَّبْتُهُ وَإِنْ شِئْتُ غَفَرْتُ لَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Haasyim[30] : Telah menceritakan kepada
kami ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy[31], dari Asy-Sya’biy[32],
dari Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata : Saat aku duduk di dalam masjid Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam dengan menyandarkan punggung ke kiblat masjid, dan jumlah
kami waktu itu tujuh orang dengan empat orang pembantu dan tiga orang Arab
dusun. Tiba-tiba Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam keluar ke
tempat kami untuk menunaikan shalat dhuhur hingga selesai. Lalu beliau bertanya
: "Apa tujuan kalian duduk-duduk di sini ?". Kami menjawab :
"Wahai Rasulullah, kami sedang menunggu shalat". Kemudian
beliau diam sejenak, lalu mengangkat kepalanya seraya bersabda : "Apakah
kalian tahu apa yang difirmankan oleh Rabb kalian 'azza wa jalla ?".
Kami menjawab : "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui". Beliau
bersabda : "Sesungguhnya Rabb kalian 'azza wa jalla berfirman :
'Barangsiapa menunaikan shalat pada waktunya, kemudian ia menjaganya, tidak
melalaikannya karena meremehkan haknya, maka ia mempunyai janji atas-Ku agar
Aku memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa shalat tidak pada waktunya,
dan tidak pula menjaganya serta melalaikannya karena meremehkan haknya, maka ia
tidak memiliki perjanjian. Apabila mau, Aku akan mengadzabnya; dan apabila mau,
Aku akan mengampuninya" [Al-Musnad, 4/244].
Diriwayatkan juga
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (no. 4764), dalam Al-Kabiir (19/142
no. 311), dan dalam Majma’ul-Bahrain (no. 556) : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Al-Husain Ash-Shaabuuniy[33],
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuraiq bin As-Sukht[34],
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim, ia berkata
: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy, dari
Asy-Sya’biy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku[35]
Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Sanad hadits ini
lemah karena kelemahan ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy.
‘Iisaa mempunyai mutaba’ah
dari Abu Hushain sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahaawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar (no. 3174) dari jalan Abu Umayyah[36],
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Saabiq[37],
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Maalik – yaitu Ibnu Mighwal[38]
- , dari Abu Hushain[39], dari Asy-Sya’biy, dari
Ka’b, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Sanad hadits ini
hasan.
Ada mutaba’ah lain
sebagaimana diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (19/142-143
no. 312-313); dari As-Sirriy bin Isma’iil dan Miskiin bin Shaalih, keduanya
dari Asy-Sya’biy, dari Ka’b bin ‘Ujrah. Namun sanad hadits ini sangat lemah.
Asy-Sya’biy
mempunyai mutaba’ah dari Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir (1/387), ‘Abd bin Humaid
dalam Al-Muntakhab (no. 371), Ad-Daarimiy (no. 1262), dan Ath-Thahaawiy
dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (8/199-200 no. 3173); dari jalan Abu
Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin
An-Nu’maan[40]
: Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Sa’d bin Ka’b bin ‘Ujrah[41],
dari ayahnya[42],
dari Ka’b bin ‘Ujrah.
Sanad hadits ini
lemah karena kelemahan ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan dan jahalah dari
Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah (lihat catatan kaki no. 42).
Walhasil, hadits ini
secara keseluruhan adalah shahih. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy,
Al-Arna’uth, dan Basyar ‘Awwad. Dihasankan juga oleh Mushthafa bin Al-‘Adawiy.
Sebagian Fiqh
Hadits
Hadits ini
dijadikan dalil bagi jumhur ulama tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan
shalat karena malas (dengan tetap mengakui kewajibannya tanpa mengingkarinya).
Sangat sharih (jelas) penunjukkan hadits tersebut bahwa kedudukan orang
yang tidak menjaga shalatnya (shalat tidak pada waktunya, tidak menjaga
kekhusyukannya, atau bahkan tidak mengerjakannya) masih dalam masyi’ah
(kehendak) Allah ta’ala. Jika Allah kehendaki, maka ia akan
diampuni; dan jika Allah kehendaki, maka ia akan diadzab di neraka dengan adzab
yang sangat pedih.
Para ulama Ahlus-Sunnah[43]
berbeda pendapat mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
karena malas (dengan tetap mengakui kewajibannya tanpa mengingkarinya). Jumhur
ulama mengatakan tidak kafir, namun ia telah melakukan dosa yang sangat besar
dan diancam dengan adzab neraka; sedangkan sebagian ulama lain mengatakan
kafir.
Abu Ismaa’iil
Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :
واختلف
أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة
من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك
الصلاة فقد كفر).
وذهب الشافعي ،
وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به –
ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام .
وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام
أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس
بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
“Ahlul-hadiits
berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat
fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga
Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari
agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Batas
antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa
yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.[44]
Adapun
Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga
Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak
dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia
wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang
yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang
meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana
firman Allah subhaanahu tentang
Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari
kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena
kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari
hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84, tahqiq
& takhrij & ta’liq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy; Daarul-Minhaaj, Cet.
1/1423].
Begitu juga yang
dikatakan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmuu’
Al-Fataawaa (7/609).
Kembali pada
bahasan hukum meninggalkan shalat sebagaimana di singgung di awal sub bab ini.
Ibnu Nashr Al-Marwadziy rahimahullah menyanggah pendalilan jumhur dengan
hadits yang telah ditakhrij di atas dengan perkataannya :
فإن
قوله : "لم يأت بهن" إنما يقع معناه على أنه لم يأت بهن على الكمال،
إنما أتى بهن ناقصات من حقوقهن نقصانا، لا يبطلهن ولم يقل ذلك.
“Lalu sabda
beliau (shalallaahu ‘alaihi wa sallam) : ‘tidak mengerjakannya
(shalat lima
waktu)’, maka maknanya hanyalah bahwa ia tidak mengerjakannya secara
sempurna. Orang tersebut mengerjakannya secara kurang (sempurna) dalam
pelaksanaan hak-haknya, tanpa menggugurkannya, dan tanpa ia mengatakannya”
[Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 968, tahqiq & takhrij : Dr.
‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Jabbaar Al-Fariiwaaiy; Maktabah Ad-Daar, Cet. 1/1406].
ومن
حقوق الصلاة : الطهارة من الأحداث، وطهارة الثياب التي تصلي فيها، وطهارة البقاع
التي تصلي عليها، والمحافظة على مواقيتها التي كان يحافظ عليها النبي صلى الله عله
وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، والخشوع فيها من ترك الالتفات، والعبث، والحديث
النفس، وترك الفكرة فيما ليس من أمر الصلاة، وإحضار القلب، واشتغاله بما يقرأ،
ويقول بلسانه، وإتمام الركوع والسجود، فمن أتى بذلك كله كاملا على ما أمر به، فهو
الذي له العهد عند الله تعالى بأن يدخله الجنة، ومن أتى بهن، لم يتركهن، وقد انتقص
من حقوقهن شيئا، فهو الذي لا عهد له عند الله، إن شاء عذبه وإن شاء عفر له، فهذا
بعيد الشبه من الذي يتكها أصلا لا يصليها.
“Dan termasuk
hak-hak shalat adalah : suci dari hadats, sucinya pakaian yang akan dipakai
dalam shalat, sucinya tempat yang akan dipakai shalat di atasnya, menjaga
waktu-waktunya dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya radliyallaahu ‘anhum menjaganya. Juga khusyu’ dengan
meninggalkan iltifat (menoleh ketika shalat), sendau-gurau, dan
perbincangan; serta meninggalkan pikiran yang bukan termasuk perkara shalat,
menghadirkan hati, menyibukkan diri/berkonsentrasi dengan apa yang sedang
dibaca, mengucapkan (bacaan shalat) dengan lisannya, menyempurnakan rukuk dan
sujud. Barangsiapa yang melakukan semua itu secara sempurna sebagaimana yang
diperintahkan, maka ia lah orang yang mempunyai perjanjian di sisi Allah ta’ala
dimana Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang
mengerjakannya tanpa meninggalkannya, namun ia mengurangi sesuatu dari
hak-haknya, maka ia lah orang yang tidak mempunyai perjanjian di sisi Allah.
Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya; dan apabila berkehendak, Allah
akan mengampuninya” [idem, hal. 971].
Akan tetapi
sanggahan Al-Marwadziy rahimahullah ini kurang bisa diterima. Bagaimana
bisa diterima untuk dikatakan tidak kafir hukumnya bagi orang yang sengaja (dan
bahkan membiasakan) mengakhirkan shalat sehingga keluar dari waktunya,
namun di sisi lain mengkafirkan orang yang tidak shalat ? Makna keluar dari
waktunya ini pun juga luas, tidak sekedar keluar sedikit dari waktu yang
ditentukan.[45]
Selain itu, dalam
sebagian lafadh telah disebutkan : ‘Dan barangsiapa shalat tidak pada
waktunya, dan tidak pula menjaganya’ ; maka ini mencakup dua hal sekaligus,
yaitu shalat tidak pada waktunya dan tidak menjaga aktifitas shalat itu sendiri
alias ia tidak melazimkan amalan shalat.
Ath-Thahawiy rahimahullah
berkata :
فكان
في حديث عبادة : إن لم يأت بهن، يعني : الصلاوات الخمس.
“Dan dalam hadits
‘Ubaadah : ‘jika ia tidak mengerjakannya’, yaitu : (tidak mengerjakan)
shalat lima
waktu” [Syarh Musykilil-Aatsaar, 8/200, tahqiq & takhrij &
ta’liq : Syu’aib Al-Arna’uth; Muasasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1415].
Maksudnya, orang
yang tidak mempunyai perjanjian di sisi Allah adalah orang yang tidak
mengerjakan shalat lima
waktu tersebut. Inilah makna dhahir yang terambil dari hadits – sebagaimana
tersurat dalam penjelasan Ath-Thahawiy.
Pendapat jumhur
ulama ini kemudian disokong juga oleh hadits berikut :
حَدَّثَنَا
أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ
عَنِ الْحَسَنِ وَابْنِ سِيرِينَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا
قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ فَلَمَّا احْتُضِرَ قَالَ لِأَهْلِهِ انْظُرُوا إِذَا
أَنَا مِتُّ أَنْ يُحْرِقُوهُ حَتَّى يَدَعُوهُ حُمَمًا ثُمَّ اطْحَنُوهُ ثُمَّ
اذْرُوهُ فِي يَوْمِ رِيحٍ فَلَمَّا مَاتَ فَعَلُوا ذَلِكَ بِهِ فَإِذَا هُوَ فِي
قَبْضَةِ اللَّهِ فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ
عَلَى مَا فَعَلْتَ قَالَ أَيْ رَبِّ مِنْ مَخَافَتِكَ قَالَ فَغُفِرَ لَهُ بِهَا
وَلَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ
Telah menceritakan
kepada kami Abu Kaamil[46] : Telah menceritakan kepada
kami Hammaad[47],
dari Tsaabit[48],
dari Abu Raafi’[49],
dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari
beberapa orang, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin, dari Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Ada seorang laki-laki pada masa sebelum
kalian. Dia tidak pernah beramal satu kebaikkan pun selain tauhid. Maka
ketika ajal menjemputnya, dia berkata kepada keluarganya : 'Perhatikanlah, jika
aku mati, hendaklah mereka membakarnya dan membiarkannya sehingga menjadi
arang. Kemudian hendaklah mereka menghancurkannya (menjadi abu hitam) dan
membuangnya ke udara terbuka (sehingga abu itu berterbangan karena tertiup
angin)'. Maka ketika ajal benar-benar telah menjemputnya, mereka melaksanakan
wasiat tersebut. Ketika Allah telah menggenggamnya, Allah ‘azza wa jalla
berfirman : 'Wahai anak Adam apa yang mendorongmu untuk berbuat begitu ?’. Dia
menjawab : 'Wahai Rabb, aku melakukan begitu karena rasa takutku
kepada-Mu'". Nabi bersabda : "Lalu Allah mengampuninya
karena rasa takut tersebut, padahal ia tidak pernah melakukan perbuatan baik kecuali
tauhid" [Musnad Ahmad, 2/304; shahih].
Hadits di atas
menunjukkan bahwa Allah mengampuni orang tersebut dengan rahmatnya, meskipun
orang tersebut tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun kecuali tauhid.
Jika dikatakan
bahwa hadits tersebut menceritakan kaum sebelum kita yang tidak dibebani
syari’at shalat sehingga tidak ada sisi pendalilan padanya (untuk mengatakan
ketidakkafiran orang yang meninggalkan shalat), maka alasan ini juga tidak bisa
diterima. Telah banyak tertera dalam hadits-hadits bahwa umat-umat sebelum kita
juga dibebani syari’at shalat. Bahkan hal itu tergambar jelas pada hadits
tentang dialog antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
Muusaa ‘alaihis-salaam pada peristiwa mi’raj.
Jika dikatakan
bahwa hadits tersebut di-takhshish dengan hadits yang menyatakan
kekafiran orang yang meninggalkan shalat, maka alasan ini juga terolak. Istitsnaa’
(pengecualian) tidak menerima keberadaan takhshish (pengkhususan). Istitsnaa’
dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu
sendiri.
Kemudian,
dikuatkan lagi oleh hadits syafa’at yang panjang :
حَدَّثَنِي
سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا :
حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ
الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ
الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا
وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ
فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ
أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ
رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا
فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ
فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا
أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ
خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ
أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا
ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ
الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا
إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ
حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ
الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً
مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ
قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ
لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ
السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا
يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى
الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ
تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ
الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ
الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا
خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ
فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ
الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا
رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ
عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah
menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari
Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang
mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di
dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di
dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama
kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada
mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk
mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan
begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya
dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak
tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian
Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di
dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan
jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami
tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada
kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang
kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka
keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian
mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya
seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah
berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam
hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali
mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami,
kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid
Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan
kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan
melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS.
An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para
Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang
yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah
menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah
mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan,
dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan
mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan.
Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran
sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan
mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang
berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan
berwarna putih". Para sahabat
kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah
orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar
seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa
diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah
merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka
amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman :
‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian
miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan
kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari
penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami
siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata :
‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab :
"Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
Al-Qurthubiy rahimahullah
berkata :
قالَ
: «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا
خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ
“Beliau shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam
satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah
melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong
dari amal” [Fathul-Majiid, hal. 48, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy;
Mathba’ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Cet. 7/1377].
Sebagian ada yang
mengatakan bahwa hadits di atas di-takhshish dengan hadits yang
menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sehingga maknanya adalah :
Orang yang tidak pernah berbuat amal kebaikan tersebut adalah amal kebaikan
selain shalat. Pemaknaan semacam ini – selain janggal – bertentangan dengan
dhahir hadits. Telah disebutkan secara jelas bahwa keadaan orang tersebut tanpa
amalan yang pernah mereka amalkan (بغيرِ عَمَل
عمِلُوه) dan tanpa kebaikan yang mereka
lakukan sebelumnya (وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ) sewaktu hidup di dunia. Apakah shalat bukan termasuk amalan
dan kebaikan ?
Adapun klaim
bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat merupakan ijma’ di
kalangan shahabat[50], maka ini perlu dikritisi.
Perhatikan riwayat berikut :
عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا
يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى
كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ
آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنْ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ
يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ وَلَا صِيَامٌ وَلَا نُسُكٌ
وَلَا صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا
كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي
الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنْ النَّارِ ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah
bin Al-Yaman ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda : “(Ajaran) Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang
terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu
ibadah dan apa itu sedekah, dan akan ditanggalkan Kitabullah di malam hari,
sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun. Yang tersisa adalah beberapa
kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami
menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah', maka kami mengucapkannya". Shilah berkata kepadanya :
" Apakah perkataan Laa ilaaha
illallaah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat,
puasa, haji, dan shadaqah?".
Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi
pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzifah menjawab : “Wahai Shilah, kalimat itu (laa ilaaha
illallaah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah
mengucapkan itu sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan
Al-Haakim 4/473, shahih].
Hadits ini
menunjukkan bahwa Hudzaifah berpendapat bahwa orang yang tidak melakukan shalat
bermanfaat untuk menyelamatkannya dari kekekalan neraka. Jawaban yang diberikan
Hudzaifah adalah jawaban yang bersifat umum. Seandainya kalimat tauhid secara
asal tidak memberikan manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa,
zakat, dan haji itu – sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang
bertanya – niscaya Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata
: “Benar wahai Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena
ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum tersebut” – atau yang semakna.
Dan yang lainnya.
Banyak hal yang
dapat didiskusikan antara dua pendapat di kalangan ulama Ahlus-Sunnah ini.
Sengaja saya
tuliskan hujjah jumhur ulama saja. Hal itu dikarenakan, semula, tulisan ini
hanya bertujuan untuk memberikan bantahan terhadap orang-orang yang pendek
pikirannya yang punya angan-angan bahwa khilaf ini bukan khilaf mu’tabar.
Bukan khilaf yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah. Terutama bagi orang
yang tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat, sehingga
digolongkan sebagai Murji’ah. Dapat kita lihat bahwa ini merupakan bahasan
ilmiah klasik yang telah dilakukan oleh salaf kita semenjak beratus-ratus tahun
lalu. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita bersikap bijak menghadapi
perselisihan ini dengan tidak mengeluarkan orang-orang yang berbeda pendapat
dengan kita dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Apalagi jika perbedaan pendapat itu
terletak pada khilaf fiqhiyyah mu’tabarah. Dan jujur, bukan hal yang mudah
untuk memberikan tarjih pada salah satu pendapat karena masing-masing
mempunyai dalil yang cukup kuat.
Itu saja yang
dapat dituliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
[abul-jauzaa].
[1]
Yaziid bin Haaruun bin Zadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy
Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ahli
ibadah (117-206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1084 no. 7842 dan Mu’jam Syuyuukh Al-Imaam Ahmad fil-Musnad hal.
394 no. 283].
[2]
Yahyaa bin Sa’iid bin Qais bin ‘Amru Al-Anshaariy
An-Najaariy; seorang yang tsiqah lagi tsabt (w. 143/144/146 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1056 no. 7609].
[3]
Muhammad bin Yahyaa bin Munqidz Al-Anshaariy
Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 121 H dalam usia 74 tahun). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 90 no.
6421].
[4]
‘Abdullah bin Muhairiz bin Junaadah bin Wahb
Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Abu Muhairiiz Al-Makkiy; seorang yang tsiqah (w.
99 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 544 no. 3629].
[5]
Abu Rufai’ Al-Mukhdajiy Al-Kinaaniy Al-Filasthiiniy;
seorang yang majhuul. Tidak ada yang men-tsiqah-kannya kecuali
Ibnu Hibbaan [Ats-Tsiqaat, 5/570]. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul”
[At-Taqriib, hal. 1146 no. 8160]. Adz-Dzahabiy berkata : “Telah di-tsiqah-kan”
[Al-Kaasyif, 2/426 no. 6624].
[6]
Namanya : Mas’uud bin Zaid bin Subai’ Al-Anshaariy,
salah seorang shahabat [lihat Usudul-Ghaabah 5/155-156 no. 4885, Ats-Tsiqaat
3/396, dan Tajriid Asmaaush-Shahaabah 2/73 no. 815].
[7]
Zam’ah bin Shaalih Al-Janadiy Al-Yamaaniy Abu Wahb;
seorang yang dla’iif [idem, hal. 340 no. 2046].
[8]
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy
Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh, lagi mutqiin
(50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 896 no. 6336].
[9]
Ia adalah ‘Aaidzullah bin ‘Abdillah bin ‘Amru Abu
Idriis Al-Khaulaaniy; seorang yang tsiqah (w. 80 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 479 no.
3132].
[10]
Husain bin Muhammad bin Bahraam At-Tamiimiy Al-Marruudziy;
seorang yang tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem hal. 250 no. 1354, dan Mu’jamu Syuyuukh
Al-Imam Ahmad hal. 162 no. 56].
[11]
Muhammad bin Mutharrif bin Daawud Al-Laitsiy Abu Ghassaan
Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 897 no. 6345].
[12]
Zaid bin Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy; seorang yang tsiqah
lagi ‘aalim, namun sering meng-irsal-kan riwayat (w. 136).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 350
no. 2129].
[13]
‘Atha’ bin Yasaar Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah (w. 103/104). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 679 no. 4638].
[14]
‘Abdullah Ash-Shunaabihiy, ini keliru. Yang benar – wallaahu
a’lam – adalah Abu ‘Abdillah Ash-Shunaabihiy, ‘Abdurrahmaan bin ‘Usailah;
seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 591 no. 3977].
[15]
‘Abbaas bin Muhammad bin Haatim bin Waaqid Ad-Duuriy;
seorang yang tsiqah lagi haafidh (185-271 H) [idem, hal.
488 no. 3206].
[16]
Ia adalah Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair
Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi
tsabat (129/130-218 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 782 no. 5436].
[17]
An-Nu’maan bin Daawud bin Muhammad bin ‘Ubaadah bin
Ash-Shaamit; seorang yang majhuul haal [Mishbaahul-Ariid,
3/340 no. 28277].
[18]
‘Ubaadah bin Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang
yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 485 no. 3178].
[19]
Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang tsiqah.
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1038
no. 7480].
[20]
Ia adalah Muhammad bin Ishaaq bin Ja’far Abu Bakr
Ash-Shaaghaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 270 H).
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 824 no. 5758].
[21]
Yahyaa bin ‘Abdillah bin Bukair Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy;
seorang yang tsiqah (154/155-231 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 1059 no. 7630].
[22]
Ya’quub bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin ‘Abdillah
Al-Qaariy; seorang yang tsiqah (w. 181 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1088 no. 7878].
[23]
‘Amru bin Abi ‘Amru maula Al-Muthallib Abu ‘Utsmaan
Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 742 no. 5118].
[24]
Al-Muthallib bin ‘Abdillah bin Al-Muthallib bin Hanthab bin
Al-Haarits Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan irsaal
[Tahriirut-Taqriib, 3/386 no. 6710].
[25]
Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar
Al-Himshiy; seorang yang tsiqah (w. 255 H) [Tahriirut-Taqriib,
4/94-95 no. 7604].
[26]
Baqiyyah bin Al-Waliid bin Shaaid bin Ka’b Al-Kalaa’iy;
seorang yang shaduuq namun banyak
melakukan tadlis taswiyyah (110-197
H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
untuk mutaba’ah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 174 no. 741].
[27]
Dlubaarah bin ‘Abdillah bin Maalik bin Abis-Saliil Abu
Syuraih Al-Himshiy; seorang yang majhuul [idem, hal. 457 no.
2978].
[28]
Duwaid bin Naafi’ Al-Umawiy Abu ‘Iisaa Asy-Syaamiy; seorang
yang hasan haditsnya [Tahriirut-Taqriib 1/381 no. 1832 dan Silsilah
Adl-Dla’iifah 4/405].
[29]
Sa’iid bin Al-Musayyib bin Hun bin Abi Wahb bin ‘Amru
Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang telah
disepakati ketsiqahan dan keimamannya (w. 93/94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2409].
[30]
Haasyim bin Al-Qaasim bin Muslim Abun-Nadlr Al-Laitsiy
Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (134-205/207 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1017
no. 7305 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad hal. 361 no. 254].
[31]
‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif
[Lisaanul-Miizaan, 6/280-281 no. 5950].
[32]
Ia adalah ‘Aamir bin Syaraahiil Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah, masyhuur, faqiih, lagi mempunyai keutamaan
(w. 103/104/105/106/107/110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 475-476 no. 3109].
[33]
‘Abdurrahmaan bin Al-Husain Abu Mas’uud Ash-Shaabuuniy
At-Tusturiy; seorang yang shaduuq [Irsyaadul-Qaashiy wad-Daaniy,
hal. 354 no. 533].
[34]
Zuraiq bin As-Sukht Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang
lurus haditsnya (mustaqiimul-hadiits) [Ats-Tsiqaat, 8/259].
[35]
Tashriih penyimakan Asy-Sya’biy dari Ka’b bin ‘Ujrah
ini membatalkan perkataan Ibnu Ma’iin yang mengatakan bahwa Asy-Sya’biy tidak
mendengar riwayat dari Ka’b, namun melalui perantaraan ‘Abdurrahmaan bin Abi
Lailaa [At-Taariikh, 1/379 no. 2561].
[36]
Ia adalah Muhammad bin Ibraahiim bin Muslim bin Saalim
Al-Khuzaa’iy Abu Umayyah Ath-Thurthuusiy; seorang yang shaduuq (w. 273)
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 820 no. 5736 dan Tahriirut-Taqriib
3/207 no. 5700].
[37]
Muhammad bin Saabiq At-Tamiimiy; seorang yang shaduuq
(w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 846 no. 5934].
[38]
Maalik bin Mighwal bin ‘Aashim Al-Bajaliy Abu ‘Abdillah
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 157/158/159 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 917
no. 6492].
[39]
Ia adalah ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain Abu Hushain
Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w.
128/129/132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 664 no. 4516].
[40]
‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan bin Ma’bad bin Haudzah Al-Anshaariy
Abun-Nu’maan Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif [Silsilah Adl-Dla’iifah 3/75
dan Tahriirut-Taqriib 2/353 no. 4029].
[41]
Ishaaq bin Sa’d bin Ka’b bin ‘Ujrah. Asy-Syaikh Muqbil dalam
At-Tatabbu’ (2/248) mengatakan bahwa penamaan ini keliru, dan yang benar
adalah Sa’d bin Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah sebagaimana dikatakan oleh Abu
Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (2/221-222 no. 765). Adapun Sa’d bin
Ishaaq, maka ia seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 368
no. 2242].
[42]
Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah; seorang yang majhuul haal
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 131 no. 384].
[43]
Sebagian kalangan muta’akkhiriin yang bodoh dan ghuluw
telah menganggap perselisihan tentang masalah ini adalah perselisihan
antara Ahlus-Sunnah dengan Ahlul-Bida’ !
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ
شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan” [QS. Yuunus : 36].
[44]
Shahih : Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), namun
dengan lafadh :
إِنَّ
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya batas
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.
[45]
Misalnya seseorang yang sengaja mengakhirkan shalat Dhuhur
hingga masuk waktu ‘Isya’. Atau sengaja mengakhirkan shalat ‘Isya’ hingga waktu
Dhuhur hingga keesokan harinya. Oleh karena itu, sengaja mengakhirkan
pelaksanaan – dan bahkan membiasakan – shalat hingga keluar dari waktu
sebenarnya tidaklah lebih ringan daripada tidak shalat itu sendiri. Allah ta’ala
telah berfirman :
الصَّلاةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
[46]
Namanya adalah Mudhaffar bin Mudrik Al-Khurasaaniy Abu
Kaamil; seorang yang tsiqah lagi mutqin (w. 207 H) [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 950 no. 6768].
[47]
Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah
lagi ‘aabid (w. 167 H). Dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 268-29 no. 1507].
[48]
Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy Abu Muhammad Al-Bashriy;
seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 185 no. 818].
[49]
Nufai’ Ash-Shaaigh Abu Raafi’ Al-Madaniy; seorang yang tsiqah
lagi tsabat (). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 1008 no. 7231].
[50]
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ
كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal,
dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan
kekafiran selain dari shalat” [Al-Jaami’, no. 2622; shahih].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar