Belum lama ini saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Ustadz Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy yang membahas hukum perkosaan. Point yang hendak ia sampaikan adalah : hukuman bagi seorang pemerkosa bukanlah hadd, karena perkosaan tidak dikatagorikan zina. Hukuman bagi pemerkosa – menurutnya – adalah diyaat. Berikut perkataannya :
Perkosaan termasuk perbuatan haram.
Perkosaan, seperti penjelasan sebelumnya, faktanya berbeda dengan
perzinaan. Perzinaan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan wanita
yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut syariat, dilakukan suka
sama suka, tanpa paksaan, dan kelamin keduanya telah bertemu, seperti masuknya
ember ke dalam sumur. Adapun perkosaan, adalah hubungan seksual yang dilakukan
laki-laki dan wanita yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah, tidak
dengan suka sama suka, alias paksaan oleh salah satu pihak ke pihak lain. Perkosaan
tidak termasuk kasus hudud, sebagaimana perzinaan. Atas dasar itu,
sanksi bagi pelaku perkosaan bukanlah sanksi hudud [selesai kutipan].
Terus terang, baru kali ini saya mendengar dan mengetahui
adanya fatwa ini. Mungkin karena minimnya ilmu saya dibandingkan Ustadz
Syamsuddin. Adapun yang saya ketahui saat ini adalah adanya ijma’
ulama penjatuhan hukum hadd bagi pelaku pemerkosaan dengan hadd zina.
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وقد أجمع العلماء
على ان [ على ] المستكره المغتصب الحد ان شهدت البينة عليه بما يوجب الحد او اقر
بذلك فان لم يكن فعليه العقوبة ولا عقوبة عليها اذا صح انه استكرهها وغلبها على
نفسها وذلك يعلم بصراخها واستغاثتها وصياحها
“Para ulama telah bersepakat
diberlakukannya hadd bagi pelaku pemerkosaan apabila terdapat bukti yang
mewajibkan baginya hadd atau si pelaku mengakui perbuatannya. Jika tidak
memenuhi dua hal tersebut (adanya bukti atau pengakuan – Abul-Jauzaa’),
maka baginya hukuman (ta’zir). Tidak ada hukuman baginya (si wanita)
apabila terbukti tidak menginginkannya dan dipaksa. Hal itu diketahui dengan
suaranya, permintaan tolongnya, dan teriakannya” [Al-Istidzkaar, 7/146].
Al-Baajiy rahimahullah berkata :
الْمُسْتَكْرَهَةُ
لَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ حُرَّةً أَوْ أَمَةً فَإِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَلَهَا
صَدَاقُ مِثْلِهَا عَلَى مَنْ اسْتَكْرَهَهَا وَعَلَيْهِ الْحَدُّ وَبِهَذَا قَالَ
الشَّافِعِيُّ وَهُوَ مَذْهَبُ اللَّيْثِ وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ رَضَىِ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ : عَلَيْهِ
الْحَدُّ دُونَ الصَّدَاقِ
“Wanita yang diperkosa itu ada dua macam : merdeka atau
budak. Apabila ia merdeka, maka baginya pemberian mahar mitsl dari orang
yang memperkosanya, dan orang yang memperkosanya tersebut dijatuhi hadd.
Inilah yang menjadi pendapat Asy-Syaafi’iy dan Al-Laits. Dan diriwayatkan hal
tersebut dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Abu Haniifah
dan Ats-Tsauriy berkata : ‘Ia dijatuhi hadd tanpa pemberian mahar” [Al-Muntaqaa,
4/21 – via Syaamilah].
Ada hadits yang berkaitan dengan hal
ini yaitu :
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، حَدَّثَنَا مَعْمَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ، عَنْ
الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ،
عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " اسْتُكْرِهَتِ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَرَأَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَدَّ، وَأَقَامَهُ عَلَى الَّذِي أَصَابَهَا، وَلَمْ
يُذْكَرْ أَنَّهُ جَعَلَ لَهَا مَهْرًا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hujr : Telah
menceritakan kepada kami Ma’mar bin Sulaimaan Ar-Raqiy, dari Hajjaaj bin
Arthaah, dari ‘Abdul-Jabbaar bin Waail bin Hujr, dari ayahnya, ia berkata : “Ada seorang wanita yang
diperkosa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membebaskannya dari hadd,
namun menegakkannya bagi si pelaku pemerkosaan. Beliau tidak menyebutkan bahwa
laki-laki itu memberikan padanya mahar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no.
1453].
Diriwayatkan pula dari beberapa jalan, semuanya dari
Ma’mar bin Sulaimaan, dari Al-Hajjaaj bin Arthaah, dan seterusnya seperti sanad
di atas. Sanad hadits ini lemah dengan sebab Hajjaaj bin Arthaah. Ia seorang shaduuq,
namun sering melakukan kekeliruan dan tadliis. Ia tidak pernah bertemu
‘Abdul-Jabbaar, dan ‘Abdul-Jabbaar pun tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Walhasil,
sanad hadits ini lemah. Dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam
Dla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 136.
Setelah menyebutkan hadits di atas At-Tirmidziy rahimahullah
menyebutkan satu fiqh :
وَالْعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ، أَنْ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَكْرَهَةِ حَدٌّ
“Para ulama dari kalangan
shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka mengamalkan
kandungan hadits ini, bahwasannya wanita yang dipaksa berzina tidak ditegakkan hadd”
[Sunan At-Tirmidziy, 3/122].
Mafhum yang dapat diambil dari perkataan At-Tirmidziy rahimahullah
ini bahwasannya para ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan selain mereka tetap menegakkan hadd bagi selain dari
wanita yang dipaksa/terpaksa. Dan ini umum meliputi pelaku pemerkosaan. Yang
menarik lagi, hadits pemerkosaan ini dimasukkan At-Tirmidziy dalam Baab :
ما جاء في المرأة
إذا استكرهت على الزنا
“Apa-Apa yang datang tentang Wanita Apabila Dipaksa untuk
Berzina”.
Jadi, At-Tirmidziy rahimahullah mengkatagorikan
pemerkosaan ini sebagai bagian dari perbuatan zina.[1]
Lalu At-Tirmidziy rahimahullah membawakan riwayat :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ،
عَنْ إِسْرَائِيلَ، حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ
الْكِنْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ " أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ، فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ
فَتَجَلَّلَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا، فَصَاحَتْ، فَانْطَلَقَ، وَمَرَّ
عَلَيْهَا رَجُلٌ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا،
وَمَرَّتْ بِعِصَابَةٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ
فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، فَانْطَلَقُوا، فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ
أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا وَأَتَوْهَا، فَقَالَتْ: نَعَمْ هُوَ هَذَا، فَأَتَوْا
بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ
لِيُرْجَمَ، قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، فَقَالَ لَهَا: اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ
وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا، وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ
عَلَيْهَا: ارْجُمُوهُ، وَقَالَ: لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ
الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin yahyaa
An-Naisaabuuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf, dari
Israaiil : Telah menceritakan kepada kami Simaak bin Harb, dari ‘Alqamah bin
Waail Al-Kindiy, dari ayahnya : Ada
seorang wanita di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
keluar rumah hendak melakukan shalat. Lalu ia berjumpa dengan seorang
laki-laki, yang kemudian ia (laki-laki) memperkosanya. Setelah selesai
memperkosanya, wanita itu berteriak-teriak. Laki-laki tadi pun kabur. Lalu ada
seseorang yang melewatinya. Wanita itu berkata kepadanya : “Sesungguhnya ada
seorang laki-laki melakukan begini dan begitu kepadaku”. Lalu lewat pula
sekelompok orang dari kaum Muhaajiriin, dan wanita itu berkata kepada mereka :
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang melakukan begini dan begitu kepadaku”.
Mereka pun pergi, yang kemudian menangkap seorang laki-laki yang diduga
memperkosa si wanita tadi, lalu mereka pun membawa laki-laki tersebut kepadanya
(si wanita). Wanita itu berkata : “Benar, dialah orangnya”. Mereka pun membawa
laki-laki itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar laki-laki itu
dirajam, maka berdirilah seorang laki-laki yang sebenarnya memperkosa si
wanita. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, akulah orangnya (yang memperkosa wanita
itu)”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada si wanita :
“Pergilah, Allah telah mengampunimu (karena salah tuduh)”. Dan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada laki-laki pertama yang dituduh tadi dengan
perkataan yang baik. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada laki-laki yang memperkosa : “Rajamlah ia”. Beliau kemudian
bersabda : “Sungguh, ia telah bertaubat dengan satu taubat yang seandainya
penduduk Madiinah bertaubat dengannya, niscaya akan diterima (oleh Allah)”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1454, dan ia berkata : “Hadits ini hasan ghariib
shahih”].
Semua perawinya tsiqaat, kecuali Simaak bin
Al-Harb. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, dan riwayatnya dari ‘Ikrimah
secara khusus mudltharib. Hapalannya berubah di akhir usianya, sehingga
kadang ia ditalqinkan” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 415 no. 2639]. Ya’quub
bin Syaibah berkata : “Riwayatnya dari ‘Ikrimah secara khusus mudltharib (goncang).
Dan ia selain dari ‘Ikrimah adalah shaalih. Dan siapa saja yang
mendengar riwayat darinya di waktu awal seperti Sufyaan (Ats-Tsauriy) dan
Syu’bah, maka haditsnya darinya adalah shahih lagi lurus” [Tahdziibul-Kamaal,
12/120].
Sufyaan Ats-Tsauriy (lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161
H), Syu’bah bin Al-Hajjaaj (wafat tahun 160 H), dan Israaiil bin Yuunus[2] (wafat tahun
160 H) adalah satu thabaqah dari kalangan kibaaru atbaa’ut-taabi’iin.
Riwayat Israaiil bin Yuunus dari Simaak dijadikan hujjah oleh Muslim dalam Shahiih-nya.
Israaiil bin Yuunus mempunyai mutaba’ah dari Asbaath bin Nashr
Al-Hamdaaniy[3] – sebagaimana
dikatakan oleh Abu Daawud (no. 4379). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah
dalam Ash-Shahiihah 2/567-569 no. 900.
Hadits ini sangat jelas bahwa hadd pemerkosa adalah
hadd zina, sekaligus menjadi pemutus dalam permasalahan ini.
Adapun dalil yang dibawakan Ustadz Syamsuddin Ramadlan
untuk menguatkan pendapatnya[4] tentang diyaat
adalah pendalilan yang menurut saya – maaf - tidak nyambung dengan
pembahasan.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – di keheningan malam desa Sardonoharjo,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, 23042012].
[1]
Para ulama mempunyai
beberapa definisi tentang zina yang mengakibatkan pelakunya dikenai hukuman hadd,
yang kurang lebih adalah : Masuknya penis/dzakar seorang laki-laki mukallaf secara
sengaja pada kemaluan wanita yang bukan istrinya atau budaknya - tanpa adanya
syubuhat.
Pertama, jika
perkosaan menimbulkan luka,maka pelukaan terhadap kelamin dimasukkan ke
dalam jaifah. Adapun diyat pelukaan jaifah adalah 1/3 diyat,
seperti yang disebutkan dalam surat
Nabi saw kepada penduduk Yaman. Di dalam surat
Nabi saw yang dikirim untuk penduduk Yaman ditetapkan bahwa
pelukaan jaifah dikenai 1/3 diyat. Imam Al-Nasaa’iy dari ‘Amru
bin Hazm dari bapaknya, dari kakeknya, sebagai berikut:
«أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ اْليَمَنِ
كِتَابًا وَكَانَ فِيْ كِتَابِهِ أَنَّ مَنِ اعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ
بَيِّنَةٍ فَاِنَّهُ قُوِدَ، إِلاَّ أَنْ يَرْضَيَ أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُوْلِ، وَ
أَنَّ فِيْ الَّنفْسِ الدِّيَّةَ مِائَةً مِنَ اْلاِبِلِ، وَ أَنَّ فِيْ الأَنْفِ
إِذَا أُوْعِبَ جَدْعُهُ الدِّيَّةَ، وَ فِيْ الِّلسَانِ الِّدِيَّةَ، وَ
فِيْ الشَّفَتَيْنِ الدِّيَّةَ ، وَ فِيْ البَيْضَتَيْنِ الدِّيَّةَ، وَ فِيْ
الذَّكّرِ الدِّيَّةُ، وَ فِيْ الصُّلْبِ الدِّيَّةَ، وَ فِيْ العَيْنَيْنِ الدِّيَّةَ،
وَ فِيْ الرِّجْلِ اْلوَاحِدَةِ نِصْفَ الدِّيَّةِ، وَ فِيْ الْمَأْمُوْمَةِ
ثُلُثَ الدِّيَّةِ، وَ فِيْ الجَائِفَةِ ثُلُثَ الدِّيَّةِ، وَ فِيْ
اْلمُنَقِّلَةِ خَمْسَةَ عَشَرًا مِنَ اْلإِبِلِ، وَ فِيْ كُلِّ اِصْبَعٍ مِنْ
أَصَابِعِ اْليَدِّ وَالرِّجْلِ عَشَرًا مِنَ اْلإِبِلِ، وَ فِيْ السِّنِّ خَمْسًا
مِنَ اْلإِبِلِ، وَ فِيْ اْلمُوْضِحَةِ خَمْسًا مِنَ اْلإِبِلِ، وَ إِنَّ
الرَّجُلَ يُقْتَلُ بِاْلمَرْأَةِ، وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِيْنَارٍ»
“Bahwa
Rasulullah saw. telah menulis surat
kepada penduduk Yaman. Di dalam surat
tersebut di tulis, “Barangsiapa terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka
ia dikenai qawad (qishâsh), kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang terbunuh.
Diyat dalam jiwa 100 ekor unta, pada hidung yang terpotong dikenakan diyat,
pada lidah ada diyat, pada dua bibir ada diyat, pada dua buah pelir dikenakan
diyat, pada penis dikenai diyat, pada tulang punggung dikenakan diyat, pada
pada dua biji mata ada diyat, pada satu kaki ½ diyat, pada ma’mumah 1/3 diyat,
pada jaifah 1/3 diyat, pada munaqqilah 15 ekor unta, pada setiap
jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, pada muwadldlihah 5
ekor unta, dan seorang laki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang
perempuan, dan bagi pemilik emas, 1000 dinar.” [HR Imam Al-Nasaa’iy] –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar