Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai dengan kesombongan, maka hukumnya tidak sampai pada derajat haram. Paling berat adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya ingin mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini nanti saya tidak menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada sebagian besarnya saja) yang berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada pendapat yang mengatkan bahwa isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya :
1.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : "Apa-apa
yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka" [HR.
Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor 9936, Abdurrazzaq nomor 19987, dan yang
lainnya].
Abul-Jauzaa’ berkata :
"Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa
segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa
dan tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak ditunjukkan
pembatasan (taqyid) atas kesombongan.
Objek yang dituju oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara langsung".
2.
Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قال
فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا
رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak
akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula
disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu Dzar berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek
dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah)
Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit
kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan
sumpah palsu” [HR. Muslim
nomor 106, Abu Dawud nomor 4087, At-Tirmidzi nomor 1211, dan yang lainnya].
3.
Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu :
عن هبيب الغفاري قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم من وطئ على إزاره خيلاء وطئ في نار جهنم
Dari
Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang kainnya melebihi mata kaki
karena sombong, ia akan menginjaknya di neraka Jahannam” [HR.
Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh
Al-Kabiir nomor 2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ nomor 6592].
4.
Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم
ينظر الله إليه يوم القيامة
Dari
Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Isbal itu pada kain (sarung),
pakaian, dan imamah (surban). Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong,
maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” [HR. Abu Dawud
nomor 4049; Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor 5327,5328; dan Ibnu
Majah nomor 3576; dengan sanad shahih].
Abul-Jauzaa’ berkata :
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
berkata dalam As-ilah Mihimmah halaman 29-30 : ‘“Sesungguhnya
melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan
mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan yang pedih. Adapun apabila tidak
diniatkan sombong, maka hukumnya adalah yang dibawah mata kaki akan disiksa
dengan neraka”. Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin) menyebutkan hadits Abu
Dzar. Kemudian beliau melanjutkan : “Hadits ini adalah hadits muthlaq, akan
tetapi dirinci dengn hadits Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda : { من
جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة}”Barangsiapa
yang melabuhkan/menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya
di hari kiamat” [HR. Al-Bukhari].
Kemutlakan hadits Abu Dzar dirinci oleh hadits
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma.
Sekali lagi, jika dia melakukan karena sombong, Allah tidak akan melihatnya,
membersihkannya, dan dia akan mendapat adzab yang pedih. Hukuman ini lebih
berat daripada hukuman orang yang menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki
tanpa niat sombong. Disebutkan dalam Shahih
Al-Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : { ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار} ”Apa saja yang berada di bawah kedua mata kaki dari
kain sarung, maka tempatnya di neraka”.
Beliau tidak membatasi hal itu dengan
kesombongan, dan sangat keliru apabila membatasinya dengan kesombongan,
berdasarkan hadits terdahulu. Hal ini ditegaskan lagi dengan hadits Abu
Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam telah bersabda : {إزرة المؤمن إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما
بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو في النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر
الله إليه يوم القيامة} ”Batas
sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan sampai kedua
mata kaki, dan yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Dan barangsiapa
melabuhkan/menyeret-nyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat” [HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu
Majah, dan lainnya].
Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menyebutkan dua masalah dalam satu hadits, dan beliau
menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi,
sehingga kedua masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum
dan sanksinya.
Dan jika hukum dan sebab berbeda, tidak boleh
membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad, karena kaidah membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad harus memenuhi syarat diantaranya adalah persamaan nash muthlaq dan muqayyad dalam hukum. Adapun jika terdapat perbedaan hukum, maka
tidak boleh membatasi nash muthlaq
dengan nash muqayyad. [:: selesai nukilan
saya dari penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:::].
Abul-Jauzaa’ berkata :
“Hadits Abu Dzarr menjelaskan secara muthlaq bahwa semua Musbil akan mendapat
sanksi yang berat berupa Allah tidak mengajaknya bicara, tidakmelihat mereka,
tidak mensucikan mereka, dan diberikan siksa yang pedih. Ini adalah jenis adzab
“ekstra” daripada sekedar dimasukkan ke neraka. Namun, dalam hadits Ibnu ‘Umar
dijelaskan bahwa yang mendapat adzab seperti itu adalah orang yang melakukan
isbal secara sombong.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
5.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين
الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه
Dari Abi Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya
batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak mengapa atau tidak
berdosa jika berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah
mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya
karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya” [HR. Abu
Dawud nomor 4093 dan Ibnu Majah nomor 3573. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 518].
Telah berkata Al-‘Adhim ‘Abadi ketika mensyarah
hadits tersebut :
والحديث فيه دلالة على أن المستحب أن يكون
إزار المسلم إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين , وما كان أسفل
من الكعبين فهو حرام وممنوع .
"Hadits ini menunjukkan atas disukainya
keadaan kain sarung seorang muslim sampai pada pertengahan betisnya. Dan
diperbolehkan tanpa dibenci sampai dengan dua mata kaki. Dan apa-apa di bawah
dua mata kaki, maka hal itu haram lagi terlarang” [Lihat kitab ‘Aunul-Ma’bud,
pada Kitaabul-Libaas, Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izaar].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini menyebutkan dua permasalahan dan dua
hukum sekaligus sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
sebelumnya. Yaitu : Larangan keumuman isbal dengan konsekuensi “neraka”; dan
larangan isbal dengan sombong dengan konsekuensi hukum tidak akan dilihat Allah
di hari kiamat”.
Hadits ini merupakan penjelas dari keterangan
sebelumnya dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr, Ibnu ‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu ‘anhum. Tidak bisa dikatakan
bahwa pelarangan isbal itu hanya di-taqyid
jika sombong saja. Jika ada seseorang yang memaksa untuk mengatakan seperti
itu, maka makna hadits ini jadi janggal. Lafadh { من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه} dalam hadits tersebut seakan tidak berfungsi karena sudah ada taqyid kesombongan di kalimat sebelumnya
yaitu pada { ما
كان أسفل من الكعبين فهو في النار }.
Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima.
6.
Hadits ‘Amr bin Asy-Syariid radliyallaahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم تبع رجلا من ثقيف
حتى هرول في أثره حتى أخذ ثوبه فقال ارفع إزارك قال فكشف الرجل عن ركبتيه فقال يا
رسول الله انى أحنف وتصطك ركبتاي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل خلق الله
عز وجل حسن قال ولم ير ذلك الرجل الا وإزاره إلى أنصاف ساقيه حتى مات
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengikuti seorang laki-laki dari
Tsaqif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang
dikenakannya (karena isbal). Maka beliau bersabda : “Angkatlah kain
sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua
lutut seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan
saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi
berkata : Maka orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain
sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [HR.
Ahmad nomor 19490, Al-Humaidi nomor 810, dan Ath-Thahawi Bab Bayan
Musykilah Maa Ruwiya ‘an Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wasallam fii
Dzikril-Fakhidzi Hal Huwa Minal ‘Aurah ?; dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah nomor 1441].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk meninggikan kain sarung orang
tersebut di atas sama sekali tidak menunjukkan adanya ‘illat kesombongan. Pengingkaran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dilakukan
semenjak beliau melihat orang tersebut dari kejauhan. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak
menanyakan kepada orang tersebut : “Apakah engkau melakukannya dengan sombong
?”. Tapi beliau memutlakkan perintahnya ketika behasil memegang kain yang
dikenakannya dengan perkataan : “Angkatlah kainmu !”. Alasan sakit dan
cacat yang ada di dua lututnya tidak menghalangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan tetap mengangkat kedua kainnya. Padahal kita tahu, bahwa alasan
sakit dan cacat pada kasus-kasus tertentu sebenarnya mendapat dispensasi dalam
syari’at untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya adalah dilarang.
Tegasnya, hadits ini mengingkari adanya
pembolehan isbal dengan alasan tidak sombong.
7.
Hadits Abu Juray Jabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu
عن أبي جري جابر بن سليم قال رأيت رجلا يصدر
الناس عن رأيه لا يقول شيئا إلا صدروا عنه قلت من هذا قالوا هذا رسول الله صلى
الله عليه وسلم قلت عليك السلام يا رسول الله مرتين قال لا تقل عليك السلام فإن
عليك السلام تحية الميت قل السلام عليك قال قلت أنت رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال أنا رسول الله الذي إذا أصابك ضر فدعوته كشفه عنك وإن أصابك عام سنة فدعوته
أنبتها لك وإذا كنت بأرض قفراء أو فلاة فضلت راحلتك فدعوته ردها عليك قلت اعهد إلي
قال لا تسبن أحدا قال فما سببت بعده حرا ولا عبدا ولا بعيرا ولا شاة قال ولا تحقرن
شيئا من المعروف وأن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك إن ذلك من المعروف وارفع
إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة
وإن الله لا يحب المخيلة وإن امرؤ شتمك وعيرك بما يعلم فيك فلا تعيره بما تعلم فيه
فإنما وبال ذلك عليه
Dari Abu Juray Jaabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku
melihat seorang laki-laki yang pemikirannya senantiasa diterima oleh rakyat
banyak dan tidak ada seorang pun yang mengomentari ucapannya. Aku bertanya : “Siapa
ini ?”. Mereka menjawab : “Ini Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam”. Lalu aku katakan : “Alaikas-Salaam ya
Rasulullah”. Sebanyak dua kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan kamu
ucapkan ‘alaikas-salaam, karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan
selamat terhadap orang yang mati. Tapi ucapkanlah : Assalamu ‘alaika”. Aku
bertanya : “Apakah engkau Rasulullah ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Aku adalah
Rasulullah (utusan Allah). Apabila kamu tertimpa marabahaya lalu berdoa
kepada-Nya, maka marabahaya tersebut akan lenyap darimu. Apabila daerahmu
sedang dilanda kegersangan lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka bumimu akan
kembali subur. Apabila kamu berada di sebuah padang tandus lalu kendaraanmu
hilang kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu
itu”. Aku katakan : “Berikan kepadaku sebuah wasiat”. Beliau bersabda
:“Jangan cela siapapun”. Maka ia (Juray bin Salim) berkata : “Maka mulai
saat ini tidak ada seorang pun yang aku cela, baik orang merdeka, budak, unta,
maupun kambing”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan engkau sepelekan perbuatan baik
walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah berseri-seri sebab
hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika
engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan
isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya
Allah tidak mencintai kesombongan. Apabila ada seseorang yang mencela atau
mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui dari dirimu, maka jangan engkau balas
mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui dari dirinya. Sebab, bencana
tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri” [HR. Abu Dawud nomor
4084; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz
2 halaman 515-516].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Mari kita perhatikan kalimat { وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن
أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة } “Angkat kain sarungmu hingga setengah betis.
Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu
melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah).
Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan”.
Di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut tiga keadaan kain sarung.
Dua diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua diperbolehkan yaitu keadaan setengah
betis; dan keadaan dijulurkan sampai batas maksimal mata kaki. Ini adalah
penegasan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : irfa’
izaarak !! . Kemudian dua keadaan yang diperbolehkan tersebut diikuti
dengan satu keadaan yang tidak diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan
kalimat larangan : wa iyyaaka wa isbaala (Janganlah/jauhilah
kamu dari melakukan isbal). Kalimat ini adalah kalimat larangan muthlaq tanpa ada indikasi kebolehan
jika tanpa kesombongan.
Jikalau mau ditartibkan keadaan kain dalam wasiat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
tersebut adalah :
¯ sampai pertengahan
betis (dianjurkan)
¯ dijulurkan sampai mata
kaki (diperbolehkan)
¯ melebihi mata kaki
(dilarang).
Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak memberikan tartib :
¯ sampai pertengahan
betis (dianjurkan).
¯ dijulurkan sampai mata
kaki (diperbolehkan).
¯ melebihi mata kaki
jika sombong (dilarang).
Kalaupun misal keadaan
isbal tanpa sombong itu diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara gamblang
dalam hadits tersebut dan juga dalam hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak
bukan ? Ini menunjukkan bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang
keadaan kain yang tidak diperbolehkan/diharamkan. Bahkan,….. dalam hadits di
atas disebutkan bahwa isbal tersebut merupakan hakikat kesombongan, baik si
pelakunya berniat untuk sombong atau tidak sombong.
Saya kira, dalil ini
secara sharih menolak pendapat yang
mengatakan isbal itu boleh asal tidak sombong.
8. Hadits ‘Ubaid bin Khalid
أنه كان بالمدينة يمشي فإذا رجل قال ارفع
إزارك فإنه أبقى وأتقى فنظرت فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله
إنما هي بردة ملحاء قال أما لك في أسوة فنظرت فإذا إزاره على نصف الساق
Bahwasannya ia sedang
berjalan di Madinah (dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke tanah)
dan ketika itu ada seseorang yang menegurku : “Angkatlah kainmu, karena
hal itu lebih baik dan lebih bertaqwa bagimu!”. Maku aku pun menoleh,
dan ternyata orang tersebut adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris
saja”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apakah
engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis”
[HR. Ahmad nomor 23136 dan Nasa’i dalam Al-Kubraa nomor 9683;
serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Musktashar
Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah nomor 97 halaman 69 – Maktabah
Al-Islamiyyah ‘Amman].
Abu Al-Jauzaa’ berkata
:
“Dalam hadits ini terdapat
perintah untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam
berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid
melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits
ini juga sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum
asal dari pakaian adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong.
Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang kemukakan kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam “mirip” dengan alasan yang disampaikan kebanyakan orang.
Perkataan ‘Ubaid : { إنما هي بردة ملحاء} “sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja” ;
bukankah bisa kita kiaskan dengan alasan : “Bukankah ia hanya perkara adat
keduniawian saja” ? (yang membolehkan di dalamnya isbal asalkan tidak
sombong) Ternyata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak
menerima alasan tersebut dan bahkan memerintahkan untuk mencontoh keadaan
pakaian yang beliau kenakan.
9.
Hadits Abu Bakar (lebih tepatnya hadits Ibnu
‘Umar) radliyallaahu ‘anhuma
عن عبد الله بن عمر رضى الله تعالى عنهما قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Dari ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Maka Abu
Bakar berkata : “Sesungguhnya salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali
jika aku terus menjaganya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan
kesombongan” [HR. Al-Bukhari nomor
3465 dan Muslim nomor 2085].
Abu Al-Jauzaa’
berkata :
“Hadits ini
sering dijadikan dalil tentang diperbolehkannya isbal tanpa ada niat
kesombongan. Hal ini tertolak dari beberapa
segi :
a. Abu Bakar memahami bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang
diharamkan, baik dengan atau tanpa niat sombong.
b.
Abu Bakar selalu menjaganya agar tidak melorot. Hal ini
tercermin dari perkataannya : { إلا أن
أتعاهد } “kecuali jika aku terus
menjaganya”. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Abu Bakar tidak berniat
isbal. Sebab melorotnya baju Abu Bakar kemungkinan besar adalah karena tubuhnya
yang ringan (kurus) – sebagaimana dikenal dalam beberapa riwayat.
Al-Hafidh
Ibnu Hajar berkata : { قوله الا أن أتعاهد ذلك منه أي يسترخي إذا غفلت عنه } “Perkataan Abu Bakar :
Kecuali jika aku terus menjaganya ; maknanya adalah selalu melorot/turun
apabila ia terlupa darinya” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276 – Maktabah
Sahab].
c.
Jawaban Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam { إنك لست تصنع ذلك خيلاء} “Sesungguhnya kamu
bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” ; bukanlah
sebagai pengakuan bahwa isbal tanpa sombong itu boleh. Jawaban tersebut sebagai
satu jawaban yang menenangkan hati tentang kekhawatiran Abu Bakar bahwa ia
termasuk katagori orang yang sombong (sebagaimana Abu Juray di Nomor 7 tentang makhiilah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa Abu Bakar sering
menjaganya, namun akhirnya sering melorot.
d.
Perbedaan antara
keadaan Abu Bakar dan sebagian di antara mereka yang membolehkan isbal dengan
niat tidak sombong adalah sangat jelas. Setidaknya ada dua :
-
Abu Bakar selalu menjaga pakaiannya
agar tidak melorot (isbal), sementara mereka melakukan isbal dengan sengaja dan
menjadi satu kebiasaan.
-
Yang menegaskan bahwa Abu Bakar
bukanlah termasuk orang yang sombong dalam berpakaian adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; sedangkan
mereka tidak.
Hadits
tersebut dibawakan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai
berikut :
عن زيد بن أسلم سمعت بن عمر يقول سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيلاء لم ينظر الله عز وجل إليه
قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني
جديدا فقال من هذا فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد الله فارفع إزارك قال فرفعته
قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت إلى أبي بكر فقال من جر ثوبه من
الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر انه يسترخي إزاري أحيانا فقال
النبي صلى الله عليه وسلم لست منهم
Dari
Zaid bin Aslam : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Barangsiapa yang
memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid : Adalah Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam melihat kain sarung yang dikenakannya yang berbunyi karena
terseret. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapakah
ini”. Aku berkata : “Aku adalah Abdullah bin ‘Umar”. Beliau berkata : “Apabila
engkau adalah Abdullah bin ‘Umar, angkatlah kain sarungmu”. Maka ia
pun mengangkat kain sarungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
menambahkan : “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar mengangkat
lagi hingga sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu
Bakar kemudian bersabda : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan
kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari
kiamat”. Maka Abu Bakar berkata : “Bahwasannya kain sarungku sering
turun/melorot”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepadanya : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk mereka (orang-orang yang
sombong)” [HR. Ahmad juz 2 nomor 6340].
Abu Al-Jauzaa’ berkata
:
“Dalam hadits tersebut
ada dua perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua
orang shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada
kesempatan pertama beliau menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang
dikenakannya. Dan pada kesempatan kedua, beliau menegur Abu Bakar.
Perbedaannya, dalam kasus Abu Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu Bakar bukan
termasuk orang-orang yang sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita
anggap sebagai dalil bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang
bersamaan akan kita katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong
sehingga beliau tetap menyuruh untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya ?
Tentu tidak. Hukum yang berlaku pada Ibnu ‘Umar sama dengan yang berlaku pada
Abu Bakar. Hanya saja Abu Bakar telah menyatakan di riwayat sebelumnya bahwa
pakaian tersebut turun jika ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak sengaja
melakukannya.
Dalam riwayat lain
dari Ibnu ‘Umar dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal secara
mutlak (dengan lafadh : istirkhaa’). Berikut riwayat tersebut :
عن بن عمر قال مررت على رسول الله صلى الله
عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع إزارك فرفعته ثم قال زد فزدت
فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال أنصاف الساقين
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : “Aku melewati Rasulullah shallallaah ‘alaihi wasallam
sedangkan kain sarungku turun (istirkhaa’)”. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Abdullah, angkatlah kain
sarungmu”. Maka akupun mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda lagi
: “Tambah !” Maka aku menambahkannya. Maka semenjak saat itu
aku selalu menjaganya. Maka sebagian manusia bertanya kepada Ibnu ‘Umar :
“Sampai batas mana kain sarung tersebut diangkat ?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab :
“Sampai batas pertengahan kedua betis” [HR. Muslim nomor 2086].
Kata istirkhaa’ di
sini menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap
memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan
yang disegaja ? (walau dengan alasan tidak
sombong). Terkait dengan kasus Abu Bakar, maka tidak ada ruang penafsiran untuk
membawa ucapan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar
sebagai dalil pembolehan isbal dengan tidak sombong. Wallaahu a’lam.
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata :
قوله لست ممن يصنعه خيلاء في رواية زيد بن
أسلم لست منهم وفيه أنه لا حرج على من انجر إزاره بغير قصده مطلقا
“Sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam : ’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya
dengan kesombongan’ dan pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya engkau
bukan termasuk mereka’ ; sabda beliau tersebut menunjukkan bahwa orang yang
pakaiannya melorot (sehingga isbal) dengan tanpa sengaja adalah tidak mengapa”
[Fathul-Baari juz 10 halaman 276].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
berkata : “Maksud ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam (kepada
Abu Bakar) adalah bahwa orang yang menjaga pakaiannya apabila melorot lalu
menaikkannya, dia tidak termasuk orang yang melabuhkannya dengan sombong,
karena dia tidak melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi hanyalah sarung itu
terkadang melorot lalu ia naikkan. Tidak diragukan lagi bahwa ini dimaafkan….”
[Al-Isbal li-Ghairi Khuyalaa’ halaman 23].
Hal yang sama
dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail
Al-Muhammadiyyah dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fataawaa Haammah.
10. Hadits Ummu Salamah (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu
‘anhum.
حديث ابن عمر ـ رضي الله عنه ـ قال : قال رسول
الله : (( مَنْ جرّ ثوْبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة )) .
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka
Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Ummu Salamah berkata :
“Bagaimana dengan pakaian yang dikenakan para wanita di bagian
belakang/bawahnya ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya ia memanjangkannya
sejengkal”. Ummu Salamah menimpali : “Jika begitu, kaki mereka masih
tersingkap/terlihat”. Maka beliau menjawab : “Maka hendaknya mereka
menambah sehasta dan tidak boleh lebih dari itu”.
Dalam riwayat yang
lain disebutkan : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah
(keringanan) bagi Ummahatul-Mukminin (untuk memanjangkan pakaian mereka) satu
jengkal. Kemudian mereka meminta agar ditambah lagi. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam menambah satu jengkal lagi. Kami pun mengukurnya bagi kami
yaitu sepanjang satu dzira’ (sehasta)” [HR. Al-Bukhari Kitaabul-Libas
Bab Man Jarra Tsaubuhu Minal-Khuyalaa 10/285 nomor 5791 di bagian awal
hadits khususnya bagian pertanyaan Ummu Salamah. Diriwayatkan juga secara
sempurna oleh At-Tirmidzi Abwaabul-Libaas : Bab Maa Jaa-a fii Jarri
Dzuyuulin-Nisaa’ 4/223 nomor 1731 dan ia berkata : Hadits ini hasan
shahih. Selengkapnya, lihat catatan kaki. ---- Hadits beserta takhrijnya
diambil dari Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin oleh Asy-Syaikh
Masyhur bin Hasan Aalu Salman, Maktabah Al-Misykah halaman 14].
Hadits ini terdapat
dalil tentang diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh
Masyhur menjelaskan sebagai berikut :
أنّه لو كان كذلك لما كان في استفسار أم سلمة
عن حكم النّساء في جرّ ذيولهنّ معنى ، بل فهمت الزّجر عن الإسبال مطلقاً ، سواء
كان عن مخيلة أم لا ، فسألت عن حكم النساء في ذلك لاحتياجهنّ إلى الإسبال من أجل
ستر العورة ، لأن جميع قدمها عورة ، فبيّن لها : أن حكمهنّ في ذلك خارج عن حكم
الرّجال في هذا المعنى فقط .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .
“Bahwasannya apabila
benar klaim mereka bahwa larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti Ummu
Salamah tidak akan meminta keterangan lagi tentang hukum para wanita yang
memanjangkan bagian bawah pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu
Salamah adalah bahwa isbal itu terlarang secara mutlak, baik karena sombong
ataupun bukan karena sombong. Maka ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam tentang hukum wanita yang melakukan isbal untuk menutup
aurat mereka. Hal itu dikarenakan seluruh bagian kaki adalah aurat. Oleh karena
itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keterangan bahwa
hukum isbal bagi wanita keluar (maksudnya : berbeda) dari hukum isbal bagi
laki-laki.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Kesimpulannya, ada dua
keadaan pakaian yang diperbolehkan bagi laki-laki :
a. Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai
pertengahan betis.
b. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata
kaki (dan tidak boleh lebih).
Begitu pula bagi
wanita ada dua keadaan :
a. Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari
batas yang diperbolehkan bagi laki-laki (maksudnya : dipanjangkan sejengkal di
bawah mata kaki).
b.
Keadaan yang diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu
hasta (satu dzira’) [Fathul-Baari 10/259]
Atas
dasar inilah dipraktekkan oleh orang-orang di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau
setelahnya. [selesai perkataan Syaikh Masyhur – lihat selengkapnya di Al-Qaulul-Mubiin
fii Akhthaail-Mushalliin halaman 15 – Maktabah Al-Misykah].
11. Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu
عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه
وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق
للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
Dari Hudzaifah radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas
panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika
engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki”
[HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan
shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi juz 2
halaman 290].
Jika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menisbatkan panjang sarung dari pertengahan betis sampai
kedua mata kaki sebagai sesuatu yang Haq, dan selain daripada itu laisa
minal- haqq (ini redaksi saya – Abul-Jauzaa’, sedangkan
redaksi hadits : Falaa Haqq). Maka hal itu dapat kita pahami bahwa
memanjangkan kain di bawah mata kaki adalah bathil. Sebab dalam Al-Qur’an telah
dijelaskan bahwa tidak ada setelah al-haqq itu melainkan
kebathilan.
Hadits ini juga
merupakan pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Di situ
tidak ada qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam berkaitan dengan kesombongan.
12. Hadits
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نعم الرجل
خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره
Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sebaik-baik
laki-laki adalah Khuraim Al-Asady jika saja dia tidak panjang rambutnya dan
isbal kain sarungnya” [HR. Ahmad nomor 17659; hasan lighairihi].
Pendalilan dari hadits
ini bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghukumi
Khuraim dari dhahirnya saja yaitu pada masalah rambut dan isbal. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak mengatakan [لولا طول جمته وإسبال إزاره خيلاء] “jika saja dia
tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya dengan sombong”.
Sebab, jika yang dimaksud kesombongan di sini adalah kesombongan bathin, tentu
adalah tidak mungkin beliau mengatakannya. Kesombongan jenis itu tidakmungkin
dihukumi dari sekedar melihat rambut dan pakaian saja.
Kesimpulannya, hadits
ini menunjukkan tercelanya isbal secara umum, baik dengan atau tanpa
kesombongan.
13. Atsar Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :
الازار إلى نصف الساق أو إلى الكعبين ، لا خير
فيما هو أسفل من ذلك
“Panjang kain sarung
itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan
terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)” [Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 halaman 29; dengan
sanad shahih].
Abu Al-Jauzaa’ berkata
:
“Dalam atsar tersebut
terdapat dua kalimat, yaitu :
a. Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata
kaki.
b. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi
itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”
Kalimat pertama
menunjukkan tentang batas dibolehkannya dalam pakaian. Kalimat kedua
menunjukkan sisi hukum yang menyertai.
Di sini tidak ada qarinah
bahwa kalimat { لا خير} “tidak ada kebaikan” dibatasi oleh
alasan sombong. Bahkan itu umum, dengan dan tanpa sombong. Dan adalah menjadi
aneh jika hadits tersebut dimaknakan dengan kesombongan, sehingga lafadh hadits
tersebut ekuivalen dengan kalimat :
“Panjang kain sarung
itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan
terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki) yaitu jika
disertai kesombongan”.
Jika memang makna di
atas yang ingin dibawa, tentu kalimat pertama dalam hadits menjadi tidak
berfungsi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan
dua keadaan ‘izar (kain sarung) yang tidak ada ketiganya, yaitu :
1) Sampai pertengahan betis, 2) Di bawah pertengahan betis sampai mata kaki. Di
sinilah letak kebaikan. Di luar keadaan ini, maka tidak ada nisbah kebaikan.
Jika ada orang yang menginginkan bahwa tidak apa-apa hukumnya melabuhkan
pakaian di bawah mata kaki, maka dimana letak kebaikannya di sini ? Al-Jawab :
"Tidak ada !". Tidak ada hukum yang bisa dibawa kepada keadaan
ketiga (melabuhkan pakaian di bawah mata kaki/isbal dengan tidak sombong),
kecuali dosa. Karena hal itu diluar dua keadaan diperbolehkannya panjang ‘izar
(kain sarung).
Wallaahu a'lam.
[Abul-Jauzaa’ – ini merupakan
tulisan saya beberapa waktu lampau, dengan referensi dari Maktabah Sahab dan
yang semisal, sehingga mungkin ada perbedaan dalam hal penomoran hadits dan
halaman pada referensi-referensi standar].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar