Definsi Al-Walaa’
wal-Baraa’
-
[الْوَلْيُ] : artinya
dekat. [تَبَاعَدَ بَعْدَ الْوَلِيِ] artinya : “Saling menjauh
setelah berdekatan”. [كُلْ مَا يَلِيْكَ] artinya : “Makanlah apa yang
dekat denganmu”.
-
[الْوَلِيُّ] artinya
wali, lawan kata dari [الْعَدُوُّ] = musuh. Setiap orang yang
menguasai (berkuasa atas) urusan seseorang, maka dia adalah “wali” dari orang
tersebut.
-
[الْمَوْلَى] artinya :
Orang yang memerdekakan, orang yang dimerdekakan, keponakan, pembela, tetangga,
atau sekutu.
-
[الْمُوَالَةُ], lawan kata
dari [الْمُعَادَةُ], artinya : Permusuhan.
- [الْوِلَايَةُ] artinya : Kekuasaan, atau
- [الْوَلَايَةُ] artinya : Pembelaan.
Ibnu Faaris rahimahullah berkata :
الواو
واللام والياء أصل صحيح يدل على قرب، من ذلك : الوليّ القرب. يقال : تباعد بعد
ولي، أي : قرب.....والباب كلّه راجع إلى القرب
“Huruf wawu, laam, dan yaa adalah huruf asal yang
shahih yang menunjukkan makna dekat. Dari kata tersebut lahir kata : al-waliy,
yang bermakna al-qarb (dekat). Dikatakan : tabaa’ada ba’da waliy (saling
menjauh setelah berdekatan); waliy di situ maknanya dekat. …. Dan
seluruh bab ini semuanya akan kembali pada makna dekat” [Mu’jamu
Maqaayisil-Lughah, 6/141-142].
Secara Istilah :
الْوَلَايَةُ (al-walaayah) atau الْمُوَالَةُ (al-muwaalah) adalah sesuatu
yang merupakan konsekuensi dari cinta. Dan walaa’
atau walaayah atau muwaalah itu sendiri artinya :
“(memberikan) pembelaan, pemuliaan, penghormatan, dan selalu ingin setia
bersama dengan yang dicintainya baik secara lahir maupun batin”.[2]
Jadi al-walaa’ bukan sekedar cinta
dalam hati, tetapi mengandung pengertian membela, memuliakan, mengagungkan, dan
setia kepada yang dicintai, lahir maupun batin. Oleh karena itu, al-walaa’ dalam terminologi syari’at
berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridlai
Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang. Jadi ciri utama wali
Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah,
ia condong melakukan semua itu dengan penuh komitmen.
Kata al-muwaalah yang bermakna seperti
penjelasan di atas terdapat dalam Al-Qur’an di antaranya :
اللَّهُ
وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ
الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang
yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah
: 257].
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا
لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana” [QS. At-Taubah : 71].
B.
Definsi Al-Baraa’
Secara Bahasa :
-
[بَرِئَ مِنْهُ] artinya :
Terbebas darinya.
-
[بَرِئَ مِنَ
الدَّيْنِ]
artinya : Terbebas dari hutang.
-
[بَرِئَ مِنَ
الْعَيْبِ]
artinya : terbebas dari cela; dan
-
[بَرِئَ مِنَ
الْمَرَضِ بُرْءاًَ] artinya : Terbebas dari sakit (sembuh). Menurut
orang Hijaz, [بَرَئَ مِنَ الْمَرَضِ] artinya : Terbebas dari sakit.
-
[بَرَأَ شَرِيْكَهُ] artinya : Memisahkan diri dari kawannya.
-
[بَرَأَ الرَّجُلُ
امْرَأَتَهُ]
artinya : Seorang laki-laki memisahkan diri (menceraikan) istrinya.
-
[الْبَرَاءُ] artinya :
Malam yang paling pertama dari sebuah bulan.
Menurut Istilah :
Baraa’ adalah lawan kata dari Walaa’. Al-Bara’ah artinya
Al-’Adaawah (الْعَدَاوَةُ), yaitu
(memberikan) permusuhan dan penjauhan diri. Ibnu Taimiyyah [3] menjelaskan bahwa Al-Walaayah lawan kata Al-’Adaawah. Adapun makna asal dari Al-Walaayah
adalah cinta dan pendekatan diri. Adapun makna asal dari Al-‘Adaawah adalah
benci dan menjauhkan diri. Oleh karena itu, al-baraa’
menurut terminologi syari’at berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap
apa yang dibenci dan dimurkai Allah dari perkataan, perbuatan, keyakinan,
kepercayaan, dan orang. Jadi, ciri utama al-baraa’
adalah membenci apa yang dibenci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Pengertian Umum Al-Walaa’
wal-Baraa’
Al-Walaa’ wal-Baraa’ adalah
penyesuaian seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridlai Allah serta
apa yang dibenci dan dimurkai Allah; dalam hal perkataan, perbuatan,
kepercayaan, dan orang dengan penuh komitmen.
Dalam perkataan,
maka yang dicintai Allah adalah semua perkataan yang mengandung kebaikan
seperti dzikir yang sesuai sunnah. Adapun perkataan yang dibenci perkataan yang
mengandung kemaksiatan seperti celaan, makian, dan yang sejenisnya.
Dalam perbuatan,
maka yang dicintai Allah adalah semua amal perbuatan yang mengandung ketaatan
seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan yang sejenisnya. Adapun perbuatan yang
dibenci adalah semua amal perbuatan yang mengandung kemaksiatan seperti
mencuri, zina, minum khamr, dan yang semisalnya.
Dalam hal
kepercayaan, maka yang dicintai Allah adalah keimanan dan ketauhidan; sedangkan
kekufuran dan kesyirikan adalah dibenci oleh Allah.
Dalam hal orang,
maka orang yang beriman, muwahhid,
ahli ibadah, dan ahli ilmu adalah dicintai Allah; sedangkan orang kafir,
musyrik, munafiq, dan fasiq dibenci Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda :
إن أوثق عرى الإيمان أن تحب في الله وتبغض
في الله
”Sesungguhnya ikatan
iman yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena
Allah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/286 dan
Ibnu Abi Syaibah 11/41 & 13/229. Berkata Al-Arna’uth : Hasan
bi-syawahidihi].
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله
فقد استكمل الإيمان
”Barangsiapa yang
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak
memberi karena Allah; sungguh telah sempurna imannya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4681, At-Tirmidziy no. 2521, Ahmad 3/438,
dan yang lainnya; shahih].
Ketauhidan Mengkonsekuensikan Adanya Al-Walaa’
wal-Baraa’
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْغَالِبُونَ (56)
”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya,
dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut
(agama) Allah itulah yang pasti menang” [QS. Al-Maaidah : 55-56].
Asy-Syaikh ’Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah
berkata :
أخبر تعالى مَن يجب ويتعين توليه، وذكر
فائدة ذلك ومصلحته فقال: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ } فولاية
الله تدرك بالإيمان والتقوى. فكل من كان مؤمنا تقيا كان لله وليا، ومن كان وليا
لله فهو ولي لرسوله، ومن تولى الله ورسوله كان تمام ذلك تولي من تولاه، وهم
المؤمنون الذين قاموا بالإيمان ظاهرا وباطنا، وأخلصوا للمعبود، ...... فأداة الحصر
في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } تدل
على أنه يجب قصر الولاية على المذكورين، والتبري من ولاية غيرهم.
”Allah ta’ala telah mengkhabarkan siapa saja yang
wajib dan ditentukan sebagai penolong, dan menyebutkan pula faedah dan
kemaslahatannya. Allah berfirman : ’Sesungguhnya penolong kamu hanyalah
Allah dan Rasul-Nya’. Maka, pertolongan Allah itu didapatkan dengan
keimanan dan ketaqwaan. Setiap orang yang beriman lagi bertaqwa, maka ia telah
menjadikan Allah sebagai walinya (penolongnya). Dan barangsiapa menjadikan
Allah sebagai walinya, maka ia menjadikan Rasul-Nya sebagai walinya juga. Maka
sebagai penyempurna hal itu, ia akan menjadikan wali orang-orang yang
menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai walinya juga. Mereka itu adalah
orang-orang yang beriman yang menampakkan imannya secara dhahir dan bathin,
ikhlash beribadah kepada-Nya…. Dan adatul-hashr (kata yang bermakna
membatasi, yaitu innamaa) dalam firman-Nya : ‘Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman’; menunjukkan wajibnya membatasi pihak yang dijadikan sebagai waliy
hanya yang disebutkan pada ayat tersebut, dan bara’ (berlepas diri)
untuk menjadikan waliy dari selain mereka” [Tafsiir As-Sa’diy,
1/236].
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Al-Imaam Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يعني تعالى ذكره بقوله:"ومن يتولهم
منكم فإنه منهم"، ومن يتولَّ اليهود والنصارى دون المؤمنين، فإنه منهم. يقول:
فإن من تولاهم ونصرَهم على المؤمنين، فهو من أهل دينهم وملتهم، فإنه لا يتولى
متولً أحدًا إلا وهو به وبدينه وما هو عليه راضٍ. وإذا رضيه ورضي دينَه، فقد عادى
ما خالفه وسَخِطه، وصار حكُمه حُكمَه، ولذلك حَكَم مَنْ حكم من أهل العلم لنصارى
بني تغلب في ذبائحهم ونكاح نسائهم وغير ذلك من أمورهم، بأحكام نصَارَى بني
إسرائيل، لموالاتهم إياهم، ورضاهم بملتهم، ونصرتهم لهم عليها، وإن كانت أنسابهم
لأنسابهم مخالفة، وأصل دينهم لأصل دينهم مفارقًا.
”Tentang firman-Nya ta’ala : ’ barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka’; maknanya yaitu barangsiapa yang menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin selain dari orang-orang yang
beriman, maka ia termasuk golongan mereka. Ia berkata : Karena barangsiapa yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menolong mereka untuk memerangi kaum
mukminin, maka ia termasuk penganut agama mereka. Karena, tidaklah ada orang
yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin melainkan ia bersamanya dan bersama
agamanya secara ridla (sukarela). Jika ia meridlainya dan meridlai agamanya,
maka ia akan memusuhi apa-apa yang menyelisihinya dan sekaligus membencinya. Ia
pun kemudian menjadikan hukum orang yang ia ikuti itu menjadi hukumnya juga.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang menghukumi orang-orang Nashaaraa Bani
Tsaghlab dari macam semebelihan mereka, menikahi wanita mereka, dan yang
lainnya sama dengan hukum orang Nashaaraa dari Bani Israaiil, karena mereka
telah menjadikan orang Nashara dari Bani Israaiil sebagai pemimpin mereka,
meridlai agama mereka, dan menolong mereka untuk menghadapi musuh-musuh mereka.
Padahal, nasab Bani Tsaghlab dengan Nabi Israaiil berbeda dan juga pokok agama
mereka dengan orang Nashaaraa Bani Israaiil juga berlainan” [Tafsiir
Ath-Thabariy, 10/400].
Allah ta’ala berfirman :
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ
مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي
شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)
”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu)” [QS. Aali ’Imraan : 28].
Al-Imaam Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
وهذا
نهيٌ من الله عز وجل المؤمنين أن يتخذوا الكفارَ أعوانًا وأنصارًا وظهورًا، ولذلك
كسر"يتخذِ"، لأنه في موضع جزمٌ بالنهي، .........
ومعنى ذلك: لا تتخذوا، أيها المؤمنون، الكفارَ ظهرًا وأنصارًا توالونهم على دينهم، وتظاهرونهم على المسلمين من دون المؤمنين، وتدلُّونهم على عوراتهم، فإنه مَنْ يفعل ذلك "فليس من الله في شيء"، يعني بذلك: فقد برئ من الله وبرئ الله منه، بارتداده عن دينه ودخوله في الكفر "إلا أن تتقوا منهم تقاة"، إلا أن تكونوا في سلطانهم فتخافوهم على أنفسكم، فتظهروا لهم الولاية بألسنتكم، وتضمروا لهم العداوة، ولا تشايعوهم على ما هم عليه من الكفر، ولا تعينوهم على مُسلم بفعل
ومعنى ذلك: لا تتخذوا، أيها المؤمنون، الكفارَ ظهرًا وأنصارًا توالونهم على دينهم، وتظاهرونهم على المسلمين من دون المؤمنين، وتدلُّونهم على عوراتهم، فإنه مَنْ يفعل ذلك "فليس من الله في شيء"، يعني بذلك: فقد برئ من الله وبرئ الله منه، بارتداده عن دينه ودخوله في الكفر "إلا أن تتقوا منهم تقاة"، إلا أن تكونوا في سلطانهم فتخافوهم على أنفسكم، فتظهروا لهم الولاية بألسنتكم، وتضمروا لهم العداوة، ولا تشايعوهم على ما هم عليه من الكفر، ولا تعينوهم على مُسلم بفعل
”Ayat ini adalah larangan dari Allah ’azza wa jalla kepada
orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong,
pelindung, dan mencintainya. Oleh karena itu, Allah memisahkan kata yattakhidzu
karena di-jazm-kan dengan larangan (kata laa)..... Dan makna
ayat itu adalah : Janganlah kalian menjadikan – wahai orang-orang mukmin –
orang-orang kafir sebagai pelindung dan penolong yang dengan itu kalian
menolong mereka atas agama mereka. Menolong mereka untuk memusuhi/memerangi
kaum muslimin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Menunjukkan kepada mereka
aurat/rahasia kaum muslimin. Barangsiapa yang melakukan itu, ’niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah’. Yaitu : dengan perbuatannya itu,
sungguh ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah pun berlepas diri darinya,
karena ia telah keluar dari agama-Nya dan masuk pada kekufuran. Firman Allah : ’
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka’;
maksudnya : kecuali bila kalian dalam kekuasaan mereka dan merasa khawatir atas
diri kalian, sehingga kalian (terpaksa) menampakkan loyalitas dengan
lisan-lisan kalian dan menyembunyikan permusuhan kalian terhadap mereka. Dan
janganlah kalian mengikuti mereka dalam hal kekufuran, dan jangan pula menolong
mereka untuk memusuhi/memerangi kaum muslimin dengan perbuatan” [idem,
6/313].
Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
وأما
عند الخوف والتقية، فيرخص في موالاتهم، بقدر المداراة التي يكتفي بها شرهم، ويشترط
في ذلك سلامة الباطن من تلك الموالاة..... ويفهم من ظواهر هذه الآيات أن من تولى
الكفار عمداً اختياراً، رغبة فيهم أنه كافر مثلهم.
”Adapun dalam keadaan khawatir dan takut, maka diberikan rukhshah
dalam pemberian walaa’ kepada mereka sesuai dengan kebutuhan sehingga
dapat terhindar dari kejelekannya. Namun disyaratkan akan hal itu selamatnya
bathin dari muwaalah tersebut.....Maka yang dipahami dari dhahir ayat
ini, bahwa barangsiapa yang ber-wala’ kepada orang kafir secara sengaja
tanpa ada paksaan karena rasa cinta kepada mereka, maka ia dihukumi kafir
seperti mereka” [Adlwaaul-Bayaan, 1/413].
Asy-Syaikh ’Abdullah bin ’Abdil-’Aziiz Al-’Anqariy rahimahullah
(w. 1373 H) :
إن الموالة هي : الموافقة والمناصرة
والمعاونة، والرضا بأفعال من يوالهم، وهذه هي الموالة العامة التي إذا صدرت من
مسلم لكافر، اعتبر صاحبها كافرا، أما المجرّد الاجتماع مع الكفار بدون إظهار تام
للدين مع كراهية كفرهم، فمعصية لا توجب الكفر
”Sesungguhnya muwaalah itu adalah : persetujuan,
saling tolong-menolong, saling bantu-membantu, dan ridla dengan perbuatan yang
dilakukan orang yang ia walaa’-i. Ini adalah muwalah secara umum
yang jika terjadi pada seorang muslim kepada orang kafir, maka orang (muslim)
tersebut dihukumi kafir. Adapun jika hanya berkumpul dengan orang kafir saja
tanpa menyatakan kesempurnaan agama mereka dan benci atas kekufuran mereka,
maka ini adalah hanyalah kemaksiatan tanpa mengkonsekuensikan kekufuran” [Ad-Durarus-Suniyyah,
7/309].
Pembagian Manusia
yang Wajib Dicintai (Walaa’) dan
Dibenci (Baraa’)
Ada 3 (tiga) klasifikasi manusia dalam penempatan
kecintaan dan kebencian karena Allah, yaitu :
1.
Orang yang dicintai dengan kecintaan murni dan tidak
tercampuri dengan permusuhan. Mereka itulah orang-orang yang beriman yang
ikhlash yang terdiri dari para nabi dan rasul, para shahabat termasuk ummahaatul-mukminiin,
shiddiqiin, syuhadaa’, dan para imam kaum muslimin. Allah ta’ala
telah berfirman :
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ
آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al-Hasyr : 10].
Membenci mereka adalah satu kemunafikan.
2.
Orang yang dibenci dan dimusuhi secara totalitas tanpa
adanya kecintaan dan per-walaa’-an.
Mereka itu adalah orang-orang yang betul-betul ingkar dari kalangan orang-orang
kafir, musyrik, munafiq, murtad, dan zindiq/atheis (yang tidak mengakui keberadaan
Allah ta’ala). Allah ta’ala telah
berfirman :
لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka” [QS.
Al-Mujaadilah : 22].
تَرَى
كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ
لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ
خَالِدُونَ * وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ
إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
”Kamu
melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir
(musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri
mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam
siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada
apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil
orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang yang fasik”
[QS. Al-Maaidah : 80-81].
3. Orang yang dicintai
sekaligus dibenci, yaitu orang yang tercampur padanya keimanan dan kemaksiatan.
Ia dicintai karena keimanannya dan dibenci karena kemaksiatannya. Ukuran cinta
dan benci ini seukuran keimanan dan kemaksiatan yang ada padanya. Semakin
tinggi iman orang tersebut, maka semakin ia dicintai. Begitu juga sebaliknya.
Ini adalah keadaan kaum muslimin pada umumnya.
Salah satu wujud rasa cintai (al-walaa’) adalah
mencegah kedhaliman yang dilakukan saudara kita yang muslim.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا
نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ
يَدَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah
menceritakan kepada kami Mu’tamir, dari Humaid, dari Anas radliyallaahu
’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam
: ”Tolonglah saudaramu baik yang berbuat dhalim ataupun yang didhalimi”.
Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang
didhalimi. Namun bagaimana kami menolong orang yang berbuat dhalim ?”. Beliau
menjawab : ”Engkau ambil/pegang tangannya (= mencegahnya berbuat dhalim)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2444].
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari Qataadah, dari Anas radliyallaahu
’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam. Dan dari Husain
Al-Mu’allim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Anas,
dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda : ”Tidak
beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana
dia mencintai dirinya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 13].
Beberapa Permasalahan
1. Apakah menggunakan kalender masehi terhitung
sebagai sikap walaa’ terhadap orang-orang kafir ?
Dijawab oleh Asy-Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah sebagai
berikut :
الحمد
لله
لا
يعتبر موالاة ، لكن يعتبر تشبهاً بهم .
والصحابة
رضي الله عنهم كان التاريخ الميلادي موجوداً في عصرهم ، ولم يستعملوه ، بل عدلوا
عنه إلى التاريخ الهجري .
وضعوا
التاريخ الهجري ولم يستعملوا التاريخ الميلادي مع أنه كان موجوداً في عهدهم ، هذا
دليل على أن المسلمين يجب أن يستقلوا عن عادات الكفار وتقاليد الكفار ، لاسيما وأن
التاريخ الميلادي رمز على دينهم ، لأنه يرمز إلى تعظيم ميلاد المسيح والاحتفال به
على رأس السنة ، وهذه بدعة ابتدعها النصارى ، فنحن لا نشاركهم ولا نشجعهم على هذا
الشيء . وإذا أرّخنا بتاريخهم فمعناه أننا نتشبه بهم .
وعندنا
والحمد لله التاريخ الهجري الذي وضعه لنا أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله
عنه الخليفة الراشد بحضرة المهاجرين والأنصار ، هذا يغنينا
"Alhamdulillah. Hal itu tidak termasuk sikap wala’,
namun termasuk sikap tasyabbuh terhadap mereka. Kalender masehi telah
ada di jaman para shahabat radliyallaahu ’anhum, namun mereka tidak
mempergunakannya. Namun mereka meninggalkannya dan mempergunakan kalender
hijriyyah. Mereka membuat kalender hijriyyah dan tidak mempergunakan kalender
masehi yang telah ada di jaman mereka. Ini merupakan dalil bahwa kaum muslimin
wajib berpaling dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang kafir dan berpaling dari
sikap taqlid terhadap mereka. Khususnya, kalender masehi melambangkan agama
mereka, karena ia menyimbolkan pengagungan terhadap kelahiran Al-Masiih dan
merayakannya setiap tahun. Ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang
Nashara. Dan kita tidak bersama dan mendukung mereka dalam hal ini sedikitpun.
Seandainya kita menggunakan kalender masehi mereka, itu sama saja kita ber-tasyabbuh
dengan mereka. Di sisi kita – alhamdulillah – terdapat kalender
hijriyyah yang dibuat untuk kita oleh Amiirul-Mukminiin ’Umar bin Al-Khaththaab
radliyallaahu ’anhu, salah seorang Khulafaaur-Raasyidin di
hadapan kaum Muhaajirin dan Anshaar. Ini telah mencukupi kita” [Al-Muntaqaa,
1/257].
2. Kapan membeli produk kuffar dianggap sebagai
sikap wala’ terhadap mereka ? Perhatikan soal-jawab di dari Lajnah
Daaimah di bawah.
Soal Ketiga dari Fatawa no. 3323
Pertanyaan:
Apa hukum kaum muslimin tidak saling tolong menolong
yaitu mereka tidak saling ridho dan tidak punya keinginan untuk membeli produk
dari saudara mereka sesama muslim? Namun yang ada malah dorongan untuk membeli
dari toko-toko orang kafir, apakah seperti ini halal atau haram?
Jawab:
Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin. Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.
Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin. Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.
Adapun jika di sana ada faktor pendorong semacam yang
telah disebutkan tadi (yaitu penjual muslim yang sering melakukan penipuan,
harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual sering ditemukan
cacat), maka wajib bagi seorang muslim menasehati sikap saudaranya yang
melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya tersebut meninggalkan
hal-hal jelek tadi. Jika saudaranya menerima nasehat, alhamdulillah. Namun jika
tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang pada orang lain bahkan pada
orang kafir, maka pada saat itu dibolehkan mengambil manfaat dengan
bermua’amalah dengan mereka.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Daa-imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah
wal Iftaa’
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz
[saya sitir dari
: http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3023-fatwa-ulama-tentang-hukum-boikot-produk-yahudi.html].
Catatan :
Namun kita dianjurkan untuk memboikot produk orang-orang
kafir jika mereka memusuhi dan memerangi kaum muslimin untuk melemahkan mereka
(orang-orang kafir), dan sebagai wujud kecintaan dan pertolongan kita kepada
kaum muslimin yang tertindas. Perhatikan tanya jawab berikut :
السائل:
شيخنا بما أن الحرب قائمة بيننا وبين اليهود ، فهل يجوز الشراء من اليهود ، والعمل
عندهم في بلد أوروبا؟
الشيخ الألباني: الشراء من اليهود؟
السائل: نعم ، والعمل عندهم في بلد أوروبا يعني؟
الشيخ الألباني: نحن لا نفرق بين اليهود والنصارى من حيث التعامل معهم في تلك البلاد ، مع الكفار والمشركين إذا كانوا ذميين - أهل ذمة - يستوطنون بلاد الإسلام فهو أمر معروف جوازه.
وكذلك إذا كانوا مسالمين ، غير محاربين أيضاً حكمه هو هو ، أما إذا كانوا محاربين ، فلا يجوز التعامل معهم ، سواء كانوا في الأرض التي احتلوها كاليهود في فلسطين ، أو كانوا في أرضهم ، ما داموا أنهم لنا من المحاربين ، فلا يجوز التعامل معهم إطلاقاً .
أما من كان مسالماً كما قلنا ، فهو على الأصل جائز
الشيخ الألباني: الشراء من اليهود؟
السائل: نعم ، والعمل عندهم في بلد أوروبا يعني؟
الشيخ الألباني: نحن لا نفرق بين اليهود والنصارى من حيث التعامل معهم في تلك البلاد ، مع الكفار والمشركين إذا كانوا ذميين - أهل ذمة - يستوطنون بلاد الإسلام فهو أمر معروف جوازه.
وكذلك إذا كانوا مسالمين ، غير محاربين أيضاً حكمه هو هو ، أما إذا كانوا محاربين ، فلا يجوز التعامل معهم ، سواء كانوا في الأرض التي احتلوها كاليهود في فلسطين ، أو كانوا في أرضهم ، ما داموا أنهم لنا من المحاربين ، فلا يجوز التعامل معهم إطلاقاً .
أما من كان مسالماً كما قلنا ، فهو على الأصل جائز
Penanya : ”Wahai syaikh kami, dengan adanya peperangan
yang terjadi antara kita (kaum muslimin) dengan orang-orang Yahudi, apakah
diperbolehkan membeli suatu barang dari orang Yahudi. Dan bermuamalah dengan
mereka di negeri Eropa ?”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy : ”Membeli dari orang Yahudi ?”.
Penanya : ”Benar, dan bermuamalah dengan mereka di negeri
Eropa”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy : ”Kami tidak membedakan antara
orang Yahudi dan Nashaara apapun bentuk muamalah dengan dengan mereka di negeri
tersebut. Orang-orang kafir dan musyrik jika mereka termasuk ahludz-dzimmah yang
berada di tengah-tengah negeri Islam, maka sudah ma’ruf akan
kebolehannya (untuk bermuamalah). Begitu juga jika mereka termasuk orang yang
mengadakan perjanjian damai (dengan kaum muslimin) yang tidak melakukan
penyerangan, maka hukumnya sama. Namun jika mereka termasuk jenis kafir
harbiy (yang memerangi kaum muslimin), tidak diperbolehkan bermuamalah
dengan mereka. Sama saja apakah mereka itu berada di tempat ia tinggal seperti
orang Yahudi di negeri Palestina, ataupun tinggal di negeri mereka. Selama
mereka masih memerangi kaum muslimin, maka tidak diperbolehkan secara mutlak.
Namun jika mereka itu termasuk orang-orang yang mengikat perjanjian damai
sebagaimana yang kami katakan sebelumnya, maka boleh” [lihat : http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=160].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah pernah berkata :
......ومن أعظم الجهاد وأنفعه
السعي في تسهيل اقتصاديات المسلمين والتوسعة عليهم في غذائياتهم الضرورية
والكمالية ، وتوسيع مكاسبهم وتجاراتهم وأعمالهم وعمالهم ، كما أن من أنفع الجهاد وأعظمه
مقاطعة الأعداء في الصادرات والواردات فلا يسمح لوارداتهم وتجاراتهم ، ولا تفتح
لها أسواق المسلمين ولا يمكنون من جلبها على بلاد المسلمين .. بل يستغني المسلمون
بما عندهم من منتوج بلادهم، ويوردون ما يحتاجونه من البلاد المسالمة. وكذلك لا
تصدر لهم منتوجات بلاد المسلمين ولا بضائعهم وخصوصا ما فيه تقوية للأعداء :
كالبترول ، فإنه يتعين منع تصديره إليهم .. وكيف يصدر لهم من بلاد المسلمين ما به
يستعينون على قتالهم ؟؟! فإن تصديره إلى المعتدين ضرر كبير ، ومنعه من أكبر الجهاد
ونفعه عظيم.....
“….Dan termasuk sebesar-besar jihad dan usaha yang paling
bermanfaat adalah mempermudah dan memperluas jalan perekonomian kaum muslimin
untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya, serta memperluas lapangan
pekerjaan, perdagangan, dan usaha-usaha perekonomian mereka; sebagaimana juga
termasuk jihad yang paling bermanfaat dan agung adalah memutuskan hubungan
ekspor-impor terhadap musuh-musuh kaum muslimin, tidak memberikan
kelapangan masuknya barang import mereka (orang kafir) dan perdagangan mereka,
tidak membuka pasar-pasar kaum muslimin untuk mereka, tidak menempatkan
pengusaha mereka di negeri kaum muslimin..... bahkan kaum muslimin telah cukup
dengan apa-apa yang dihasilkan oleh negeri mereka di sisi mereka. Mereka hanya
mengimpor apa-apa yang mereka butuhkan dari negeri kaum muslimin saja. Begitu
juga kaum muslimin tidak mengeksport untuk mereka (orang-orang kafir)
barang-barang yang berasal dari negeri kaum muslimin, khususnya segala hal yang
bisa menguatkan musuh, seperti minyak bumi. Barang ini secara khusus harus dicegah
untuk dijual kepada mereka.... Bagaimana bisa barang itu dijual kepada mereka
dari negeri kaum muslimin yang dengannya akan membantu/menolong memerangi
mereka (kaum muslimin) ?. Karena, menjualnya kepada para penjajah merupakan
bahaya yang sangat besar, sehingga mencegahnya (untuk tidak menjual kepada
mereka) termasuk jihad yang paling besar dan bermanfaat.....” [lihat : http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=123].
Ini saja yang dapat saya tuliskan. [Cangkeul yeuh.....]
Masih banyak bahasan yang tertinggal. Sesuatu yang tidak bisa diraih semuanya,
tidak pula ditinggalkan semuanya. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi
diri saya dan rekan-rekan semuanya.
Wallaahu a’lam.
Abu
Al-Jauzaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar